Asmat! Yang muncul di benak kita adalah suku primitif dan terbelakang serta sudah tidak asing lagi di telinga kita, terutama di kalangan pelajar dari SD sampai Perguruan Tinggi. Dalam ilmu pengetahuan sosial suku tersebut sering dikenal sebagai suku yang berada di sebelah timur Indonesia, yaitu tanah Papua. Namun, gambaran seperti itu lenyap, bila melihat orang Asmat membangun kebudayaan melalui seni dan adat istiadat mereka.
Orang Asmat lebih maju dibanding suku-suku lain di tanah Papua. Mereka sering menjadi duta bagi Indonesia di mancanegara yang menunjukan kebolehannya.
Papua adalah propinsi paling timur Indonesia yang menyimpan kekayaan alam dan budaya. Dengan luas sekitar empat ratus dua puluh ribu kilometer persegi, Papua menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Selain luas, Papua juga berlembah, sebagian rawa- rawa dan hutan lebat.
Transportasi sampai detik ini masih menjadi masalah untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain, sehingga sungai memegang peranan penting sebagai salah satu sarana angkutan. Seperti Sungai Membramo atau Digul yang merupakan salah satu sungai terbesar.
Bagi sebagian suku, sungai adalah kehidupan. Sungai yang membawa mereka dari satu ke tempat lain. Dari sungai mereka juga menggantungkan hidup, seperti mencari ikan dan keperluan lain. Ada beratus – ratus suku yang tersebar di wilayah pegunungan lembah dan pantai.
Suku terpencil ini masih tetap menjaga nilai-nilai adat istiadat dan memegang kekerabatan yang sangat tinggi. Seperti ketika mereka hendak membangun rumah adat yang mereka sebut Jew atau rumah para bujang.
Membangun rumah jew harus memenuhi beberapa persyaratan. Dan seluruh bahan dan peralatan harus sudah siap, agar pembangunannya tidak memakan banyak waktu. Jew selalu didirikan menghadap sungai, dan panjangnya bisa mencapai puluhan meter.
Tiang penyangga utamanya adalah kayu besi yang dihubungkan menggunakan tali rotan. Sedangkan dinding dan atapnya terbuat dari anyaman daun sagu. Suku Asmat sama sekali tidak menggunakan paku, melainkan bahan – bahan dari hutan. Ini menunjukan, Asmat masih mempertahankan nilai-nilai leluhur.
Jumlah pintu sama dengan jumlah patung bis dan tungku api. Jumlah ini cermin dari rumpun suku yang tinggal di sekitar Jew. Sedangkan patung bis adalah gambaran leluhur masing – masing rumpun suku, sehingga setiap mereka beri nama. Mereka percaya patung- patung ini akan menjaga rumah mereka dari pengaruh jahat. Setelah rumah Jew berdiri, para lelaki biasanya pergi berburu menggunakan perahu Chi untuk memenggal kepala musuh. Suku Asmat memiliki keunikan dalam mendayung perahu Chi yang bentuknya menyerupai lesung yang terbuat dari pohon ketapang rawa, panjang sebuah chi bisa mencapai dua belas meter. Untuk membuatnya diperlukan waktu satu sampai dua minggu. Dayungnya terbuat dari kayu pala hutan dan bentuknya menyerupai tombak panjang. Sebagian perahu Chi diberi ukiran ular di tepinya serta ukiran khas Asmat di bagian kepalanya.
Ular merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam. Perahu menjadi alat yang penting bagi mereka untuk mencari ikan sepanjang hari. Mengambil sagu, berburu buaya, berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka bisa melintasi sungai hingga puluhan kilometer. Kedekatan suku Asmat dengan perahu kini menjadi atraksi menarik.
Atraksi ini menggambarkan bagaimana suku Asmat berperang. Namun semenjak misionaris datang sekitar tahun lima puluhan, perang antar suku sudah tidak ada.
Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka menari dan bernyanyi diiringi pukulan Tifa.
Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka menari dan bernyanyi diiringi pukulan Tifa.
>Saat – saat seperti ini, ruh leluhur akan datang dan mulai menjaga rumah mereka. Rumah Jew memang memiliki posisi yang istimewa dalam struktur suku Asmat. Dirumah bujang ini, dibicarakan segala urusan yang menyangkut kehidupan warga, mulai dari perencanaan perang, hingga keputusan menyangkut desa mereka.
Jew adalah salah satu bagian dari nilai-nilai suku asmat yang melihat rumah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Suku Asmat selain itu pandai membuat ukiran dan memahat yang sarat simbol leluhur mereka.
Suku asmat adalah sebuah suku di papua. suku asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang
unik. populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. kedua populasi ini saling berbada satu sama lain dalam hal cara hidup,sturktur sosial dan ritual.populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi kedalam dua bagian yaitu suku bisman yang berada di antara sungai sinesty dan sungai nin serta suku simai.
Ada banyak pertentangan di antara desa asmat. yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai suku asmat membunuh musuhnya. ketika musuh bunuh, mayatnya dibawa kekampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk memakan bersama. mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggal kepalanya. otaknya dibunngkus daun sago dan dipanggang kemudian dimakan.
sekarang biasanya di satu kampung dihuni kira-kira 100 sampai 1000 orang. setiap kampung punya satu rumah bujang dan banyak rumah keluarga. rumah bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri.
suku asmat meiliki cara yang sangat sederhana untukmerias diri mereka. mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh.
selain budaya, penduduk kampung syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti suku asmat umumnya.
ukiran bagi suku asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku asmat.
patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. bagi suku asmat kala menukir patung adlah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
percaya sebelum memasuki dusurga< arwah orang sudah meninggal akan mengganggu manusia. gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan mengelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat ulat sagu.
konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. namun kini membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran. mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah diluar papua.
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari<burung< babi hitan< komodo dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
Ada banyak pertentangan di antara desa asmat. yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai suku asmat membunuh musuhnya. ketika musuh bunuh, mayatnya dibawa kekampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk memakan bersama. mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggal kepalanya. otaknya dibunngkus daun sago dan dipanggang kemudian dimakan.
sekarang biasanya di satu kampung dihuni kira-kira 100 sampai 1000 orang. setiap kampung punya satu rumah bujang dan banyak rumah keluarga. rumah bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri.
suku asmat meiliki cara yang sangat sederhana untukmerias diri mereka. mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh.
selain budaya, penduduk kampung syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti suku asmat umumnya.
ukiran bagi suku asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku asmat.
patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. bagi suku asmat kala menukir patung adlah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
percaya sebelum memasuki dusurga< arwah orang sudah meninggal akan mengganggu manusia. gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan mengelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat ulat sagu.
konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. namun kini membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran. mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah diluar papua.
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari<burung< babi hitan< komodo dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
0 komentar:
Posting Komentar