Kompeni Belanda pada abad ke-18 di Batavia merasa menghadapi masalah besar. Hambatan itu datang dari kalangan pedagang. Pelopornya adalah para tauke. Saingan ini memang amat licin karena para tauke dan organisasinya begitu terpadu. Sampai ke pelosok-pelosok mereka punya jaringan yang rapi dan tidak kentara, terutama dalam bidang perdagangan. Kalau harga yang satu naik, harga yang lain ikut naik. Tidak ada yang berbeda. Begitu juga dengan barang-barang mana yang harus muncul dan mana pula yang tidak
dikeluarkan dulu. Semua demi keuntungan para tauke.
Dengan alasan untuk kebugaran jasmani para pedagang dan warga warung kelontong di beberapa kampung Batavia sepakat untuk mendatangkan guru silat dari seberang laut. Mereka mengadakan latihan tersembunyi, biasanya malam hari. Kalau patroli Kompeni datang, mereka pura-pura latihan barongsai karena perayaan besar hampir tiba. Mereka nanti akan mengarak liong-liong besar dan panjang keliling kota Batavia sambil membakar kembang api sehari semalam. Pokoknya pesta besar. Kue-kue langka yang dibuat setahun sekali dan buah-buahan segar menjadi suguhan utama di tiap rumah. Serba istimewa.
Pejabat-pejabat Kompeni tidak suka kepada niat para tauke itu karena penguasa dan penentu segalanya di Batavia adalah para pejabat Kompeni, bukan para tauke. Oleh karena itu, para pejabat Kompeni mengadakan rapat pleno, dihadiri seiuruh bagian yang mengendalikan kota Batavia. Akhirnya, didapatkan beberapa jalan keluar, antara lain dengan mengerahkan budak belian sebanyak-banyaknya. Harga mereka juga tidak murah. Budak laki-laki bisa digunakan sebagai tenaga kasar di laut dan di hutan atau dilatih menjadi pengawal yang handal dan siap mati. Budak perempuan sebagai pembantu rumah tangga.
Karena selalu ikut tuannya yang kaya dan berkuasa, para budak banyak yang menjadi sombong, lupa asalnya. Di hadapan para tauke. mereka bisa berlagak. Bicaranya lebih tinggi dari tuannya. Ikut mengisap cerutu dan bertolak pinggang. Sering terjadi perkelahian antara para budak dan pedagang kelontong di pasar. Anehnya, biarpun para budak itu di pihak yang bersalah, sesampai di pengadilan mereka dibela. Akhirnya timbul protes, kelihatan sekali pejabat-pejabat Kompeni tetap lebih melindungi para budak. Para tauke disalahkan.
“Itu tidak adil,” gerutu si Panjang di hadapan kawan-kawannya.
Si Panjang adalah salah seorang tauke yang sudah lama mengikuti latihan silat di Gading Melati dekat Gandaria. Karena kecakapannya yang menonjol, si Panjang diangkat menjadi pemimpin para pesilat. Dia juga mulai dihormati sebagai guru mereka, dianggap sebagai pengganti guru dari Tiongkok yang sudah tua dan tidak bertenaga lagi itu. Si Panjang masih muda, berusia tiga puluhan, dan kuat. Tidak heran jika dia menjadi tumpuan kawan-kawan pesilat se-Betawi.
“Kalian harus berlatih lebih giat,” kata si Panjang, dimulai sekarang kalian harus berkumpul di sini tiap malam. Kita latihan yang praktis saja, yaitu teknik-teknik mempertahankan diri. Kita juga perlu memperdalam penyerangan dengan tenaga kosong. Gerakan dengan sedikit tenaga, tetapi dapat melumpuhkan lawan. Siapa tahu bisa digunakan sewaktu-waktu. Akan tetapi, rahasia harus tetap kita pegang. Sekali lagi tutup mulut. Berlagaklah seperti tidak tahu apa-apa, tetapi pasang telinga tajam-tajam. Kalau mengetahui hal-hal yang aneh dan mencurigakan, cepat bentahukan ke pusat kita di sini.”
Banyak amanat dan nasihat si Panjang kepada kawan-kawannya. Di antaranya harus tetap ramah kepada orang-orang Kompeni. Mereka yang masih bersahabat teruskan persahabatan itu dan yang berdagang harus makin meningkatkan usaha dagangnya. Akan tetapi, begitu sore hari kalau warung serta toko tutup, mereka satu per satu harus berkumpul kembali ke Gading Melati. Mereka membawa sumbangan makanan dan minuman serta bahan makanan pokok yang bisa disimpan untuk kepentingan perkumpulan silat. Mereka yang memiliki jung-jung di pelabuhan Batavia juga diberi tugas untuk menyediakan satu jung khusus. Siapa tahu dapat digunakan sewaktu-waktu dalam keadaan darurat.
Penguasa Batavia pada waktu itu Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Dari laporan Para penyelidik. dia langsung bisa membaca gelagat aneh dalam kota pemerintahannya. Dia menyebarkan agen-agennya ke daerah sasaran. Di antara agen-agennya itu ada yang bernama Liu Chu. Dari Liu Chu diketahui bahwa pengikut si Panjang makin banyak dan tempat mereka berkumpul di Gading Melati dekat pabrik gula.
“Apa yang mereka kerjakan di sang, mata-mata?” tanya Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Jawab Liu Chu, “Mereka menimbun candu. Hanya bagian atas saja yang berwujud rempah-rempah.”
Selanjutnya Liu Chu menjelaskan bahwa mereka juga mengumpulkan senjata tajam. Tiap malam mereka berlatih penuh semangat. Ikut hadir saat Liu Chu memberikan laporan adalah Jacob. Setelah Liu Chu meninggalkan ruangan, Jacob diperintahkan Baron van Imhoff untuk mengadakan rapat yang membicarakan peningkatan keamanan. Keputusan rapat, kalau para tauke tidak bisa dikendalikan lagi, akan dibuang ke Ceylon (sekarang Sri Lanka).
Si Panjang dan kawan-kawan sudah mendengar keputusan yang dianggap sangat gila ini. Mengapa Beng Kong yang telah ditunjuk sebagai wakil para tauke menurut saja kepada Kompeni? Mengapa tidak memberikan gambaran sedikit lebih baik?
Swa Beng Kong adalah Kapten Cina yang sudah berkali-kali diperintahkan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff untuk membubarkan perkumpulan silat di kampung Gading Melati. Akan tetapi, mereka tetap saja membangkang. Malah Si Panjang mulai menunjukkan sikap permusuhan. Jacob mengusulkan agar orang-orang berpakaian pangsi hitam atau biru ditangkap saja. Padahal waktu itu orang baik-baik pun senang memakai pangsi hitam atau biru. Lebih-lebih saat diadakan pesta barongsai. Masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan tumpah ruah di pusat kota Batavia.
Selesai berpesta, serdadu-serdadu Kompeni sudah mengepung pusat keramaian. Mereka yang berpangsi hitam dan biru ditangkap. Orang-orang itu digiring ke balai kota. Lalu, dipindahkan ke patroli keamanan yang sudah disiapkan di tepi sungai. Sampai di muara Sungai Ciliwung mereka dipindahkan ke kapal perang. Sementara itu, beberapa orang sempat menyelamatkan diri. Empat orang lari ke Gading Metati. Mereka segera menemui si Panjang.
Dan keterangan para pelarian itu, si Panjang menggeleng-gelengkan kepala, “Sepertinya tidak mungkin. Apa benar mereka yang tertangkap diceburkan di tengah laut sebagai santapan hiu?” Sekali lagi si Panjang menggeleng-gelengkan kepaia. Dia bertekad melakukan batasan. Kemudian, dia mengerahkan anak buahnya yang sudah terlatih dalam bersilat dan para pelaut perantauan, temannya datam menyelundupkan candu. Beberapa puluh senjata bisa dimiliki. Tidak sedikit serdadu Kompeni yang berjatuhan kena peluru dari pendukung-pendukung si Panjang. Akan tetapi, Baron van Imhoff mengirimkan serdadu lebih banyak lagi. Akhirnya, kekuatan si Panjang tidak seimbang. Ketangkasan bersilat saja tidak akan mampu menghadapi pasukan bersenjata yang terlatih. Anak buah si Panjang kocar-kacir. Sementara itu, serdadu-serdadu Kompeni semakin ganas. Si Panjang dan gerombolannya mengundurkan diri sampai ke Peninggaran. Di sini si Panjang kena peluru dan tewas.
Gubernur Jenderal Baron van Imhoff tidak meiupakan jasa Liu Chu yang bertindak sebagai mata-mata selama pemerintahannya. Dia menaikkan gaji Liu Chu menjadi 80 dukat setiap bulan dan memberi hadiah-hadiah lainnya. Tentu saja disertai kenaikan pangkat.
*Sumber : http://dongeng.org/tag/cerita-rakyat
6 Januari 2011
Si Panjang dari Betawi
Label:
Betawi,
Cerita Rakyat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar