Ada yang unik di Masjid Agung Demak. Di antara empat tiang utama penyangga atap terdapat satu tiang yang bernama soko tatal. Soko berasal dari bahasa Jawa yang berarti tiang. Sedangkan tatal adalah potongan-potongan kecil dari kayu. Dinamakan soko tatal karena memang tiang itu tersusun dari potongan-potongan kayu kecil hingga berbentuk sebuah tiang utuh berdiameter 70 cm.
Ada cerita menarik di balik keberadaan soko tatal itu. Alkisah, pembangunan Masjid Demak berjalan lancar. Masing-masing wali mendapatkan tugas membawa empat tiang besar, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Purwaganda, Sunan Gunung Jati, Pangeran Palembang, dan Syekh Siti Jenar.
Hanya Sunan Kalijaga sendirilah yang membawa tiga buah tiang. Jumlah semuanya 83 tiang kurang satu. Tatkala semuanya sudah siap dan waktu mendirikan masjid tinggal satu hari, sementara saka guru kurang satu, Sunan Bonang menanyakan kepada Sunan Kalijaga akan tugasnya menyiapkan tiang saka guru itu. Sunan Kalijaga menyanggupinya. Malam-malam sambil menunggui orang mengapak kulit bagian luar, Sunan Kalijaga menyusun dan melekatkan bagian-bagian potongan kayu dengan lem damar, kemenyan, dan blendok, lantas dibalut. Jadilah sebuah tiang dari tatal.
Tiang ini konon menjadi lambang kerukunan dan kesatuan umat Islam. Menurut cerita, sewaktu pendirian Masjid Agung Demak, masyarakat Islam ditimpa perpecahan antargolongan. Kemudian, Sunan Kalijaga mendapatkan ilham dari Allah untuk menyusun tatal-tatal menjadi sebuah tiang yang kokoh.
Hingga kini, cerita itu diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Benarkah legenda soko tatal merupakan kebenaran sejarah? Sebagai pembanding, terdapat ulasan sejarah soko tatal yang diungkapkan oleh Handinoto dan Samuel Hartono dalam Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16.
Menurut kedua peneliti itu, Masjid Agung Demak didirikan ketika Kerajaan Demak diperintah oleh Raden Patah pada abad ke-15. Banyak sumber sejarah menyebutkan Raden Patah adalah Penembahan Jinbun. Ia merupakan orang Cma Muslim. Dalam bahasa Cina, jinbun berarti orang yang kuat. Pendapat ini, kata Handinoto, diamini oleh Denys Lombard, Sumanto Al-Qurthuby, HJ de Graaf. serta Budiman.
Sumber sejarah yang ditemukan oleh Graaf menyebutkan, pembangunan masjid ketika itu tidak kunjung selesai karena atap masjidnya sangat luas, berukuran 31x31 rn. Dikatakan, penduduk setempat belum terbiasa membangun bangunan dengan konstruksi kayu yang demikian besar.
Karena kesulitan itu, Raden Patah mendatangkan orang-orang Cina yang ahli membuat kapal dari pelabuhan di Semarang. Salah satu strategi yang mereka gunakan untuk menyelesaikan masjid itu adalah membuat tiang dengan kayu tatal.
Itulah sebabnya konstruksi tiang tatal tersebut sangat mirip dengan teknik penyambungan kayu pada tiang-tiang kapal Jung Cina. Bahan-bahan yang digunakan pun, kata Handinoto, ada kesamaan dengan bahan yang digunakan pada Kelenteng Talang di Cirebon.
*Sumber : Republika
11 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar