tag:blogger.com,1999:blog-78271282996610478732024-03-12T17:56:03.343-07:00KILAS BALIK NUSANTARAANDA PERLU BUKU SENI DAN BUDAYA, hubungi 0857-2994-6859 atau http://www.facebook.com/buku.rupa@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.comBlogger296125tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-24964635954125039632012-09-06T21:32:00.001-07:002012-09-06T21:35:59.291-07:00Candi Sumber Awan <table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-left: 0px; margin-right: auto; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqzwqeqGyNE2nNZ24Wl43f9uBPEr1A5fg803Zxu1uI9WtwNZWRFcuuG-bL6dBFetO04nV60UV3IWk_MACos6yrad77Gqh3HgCi890YcE0NVzfhBKhM86RDU4iToYVJ6o3fUBTh5BpjQhw/s1600/Candi_Sumberawan_A.JPG" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqzwqeqGyNE2nNZ24Wl43f9uBPEr1A5fg803Zxu1uI9WtwNZWRFcuuG-bL6dBFetO04nV60UV3IWk_MACos6yrad77Gqh3HgCi890YcE0NVzfhBKhM86RDU4iToYVJ6o3fUBTh5BpjQhw/s320/Candi_Sumberawan_A.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: left;">
Candi Sumberawan hanya berupa sebuah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Stupa" title="Stupa">stupa</a>, berlokasi di Desa Toyomarto, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Singosari,_Malang" title="Singosari, Malang">Kecamatan Singosari</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Malang" title="Kabupaten Malang">Kabupaten Malang</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Timur" title="Jawa Timur">Jawa Timur</a>. Dengan jarak sekitar 6 km dari <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Singosari" title="Candi Singosari">Candi Singosari</a>. Candi ini merupakan peninggalan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singhasari" title="Kerajaan Singhasari">Kerajaan Singhasari</a> dan digunakan oleh umat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Buddha" title="Buddha">Buddha</a> pada masa itu.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Candi ini dibuat dari batu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Andesit" title="Andesit">andesit</a>
dengan ukuran panjang 6,25 m, lebar 6,25 m, dan tinggi 5,23 m, dibangun
pada ketinggian 650 m di atas permukaan laut, di kaki bukit <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Arjuna" title="Gunung Arjuna">Gunung Arjuna</a>.
Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat
sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi
nama Candi Rawan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada tahun
1935 diadakan kunjungan oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada zaman <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindia_Belanda" title="Hindia Belanda">Hindia Belanda</a>
pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi, sedangkan
sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan
satu-satunya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Stupa" title="Stupa">stupa</a> yang ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak be<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Relief" title="Relief">relief</a>.
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur
candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada
keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas
lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Padma" title="Padma">Padma</a>,
sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.
Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas
dari tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang kembali.
Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang atau dihias dengan payung atau
chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi
Sumberawan tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya
digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi, hanya bentuk luarnya saja
yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang
sesungguhnya. Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk
pemujaan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Para ahli purbakala memperkirakan Candi Sumberawan dulunya bernama <i>Kasurangganan</i>, sebuah nama yang terkenal dalam kitab <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Negarakertagama" title="Negarakertagama">Negarakertagama</a>. Tempat tersebut telah dikunjungi <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hayam_Wuruk" title="Hayam Wuruk">Hayam Wuruk</a>
pada tahun 1359 masehi, sewaktu ia mengadakan perjalanan keliling. Dari
bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupanya)
dapat diperkirakan bahwa bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar
abad 14 sampai 15 masehi yaitu pada periode <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit" title="Majapahit">Majapahit</a>. Bentuk stupa pada Candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan yang bersifat <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Buddhisme" title="Buddhisme">Buddhisme</a>.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioLSkMxvDEhExrsEbfv-Rn9z1C-d5gv6Znv8Rb4PfozUwqnzQ63KoeQ4USVFKyRtzEY99xTGglYmDFPW46SkFwb9492aoAUKFEyjFT6cMfJLveYAX3s2zvu5HLQUidgt7I9A8rEmndCRI/s1600/Candi-Sumberawan-2.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioLSkMxvDEhExrsEbfv-Rn9z1C-d5gv6Znv8Rb4PfozUwqnzQ63KoeQ4USVFKyRtzEY99xTGglYmDFPW46SkFwb9492aoAUKFEyjFT6cMfJLveYAX3s2zvu5HLQUidgt7I9A8rEmndCRI/s320/Candi-Sumberawan-2.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
Untuk menuju candi ini, dari Kota Malang, ikuti saja Jl. Raya Malang –
Pandaan hingga melewati Pasar Singosari. Setelah Pasar Singosari akan
ada sebuah pertigaan dengan arah ke Polsek Singosari. Belok di pertigaan
tersebut dan pembaca akan tiba di Jl. Kartanegara. Tepat di perempatan
dekat Candi Singosari, akan ada papan petunjuk arah menuju Candi
Sumberawan. Dari Candi Singosari, jarak ke Candi Sumberawan sekitar 6
km. </div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Setelah memasuki Desa Toyomarto, alangkah baiknya bertanya kepada warga
sekitar arah menuju Candi Sumberawan. Sebab, untuk menuju Candi
Sumberawan pembaca harus berbelok di sebuah pertigaan. Jalan selepas
pertigaan tersebut...duh...jalan tanah yang konturnya naik-turun.
Sepanjang perjalanan, nampak ada beberapa bapak-bapak yang sepertinya
sedang mengukur jalan tanah yang kami lalui. Semoga saja bapak-bapak itu
sedang merencanakan membangun jalan tanah ini menjadi lebih bagus.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Setelah memarkir kendaraan di hutan pinus, pengunjung harus menyebrangi
jembatan kecil untuk memasuki kompleks Candi Sumberawan. Seperti biasa,
setelah mengisi buku tamu pengunjung diminta untuk membayar biaya
retribusi secara sukarela.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhq4Atr1xHfTXkYTjMnpIoc2OHJ17dY8-jPgxMCSIiaIwx-Fa9PfZck6OuFkOeJa7QXsuEdLgxbTvoQkA7krut-wVsS7hT51cpTG_f1DpR-TbG3AoG-UWvB9DbHvsCLLORNigEu3y5S9Go/s1600/candi-sumberawan-malang-5.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhq4Atr1xHfTXkYTjMnpIoc2OHJ17dY8-jPgxMCSIiaIwx-Fa9PfZck6OuFkOeJa7QXsuEdLgxbTvoQkA7krut-wVsS7hT51cpTG_f1DpR-TbG3AoG-UWvB9DbHvsCLLORNigEu3y5S9Go/s320/candi-sumberawan-malang-5.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
Tepat di samping pos penjaga candi, terdapat papan informasi mengenai
Candi Sumberawan. Candi Sumberawan dibangun dari batu andesit. Terletak
pada ketinggian 650 meter dpl di kaki gunung Arjuna. Candi ini terletak
di dekat sebuah telaga yang airnya sangat bening, sehingga masyarakat
sekitar menamainya Candi Rawan. Air dari telaga ini sudah dipergunakan
untuk konsumsi warga semenjak proyek pipanisasi di bulan Desember 1996.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Candi Sumberawan diketahui keberadaannya pada tahun 1904. Pada tahun
1935, Dinas Purbakala mulai meneliti candi ini dan memugarnya pada tahun
1937.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Candi Sumberawan berbentuk stupa. Tanpa ada tangga naik dan bilik.
Karenanya, Candi Sumberawan kerap disebut sebagai Stupa Sumberawan.
Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemui di Jawa
Timur. Namun, bagian atas stupa tidak dipasang kembali karena ada
beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh
candi.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR5O0JAurzk-MzEwZEUFdcM280Vh4ioNSbm-GIat2bg9MqMkUmcr0OoixTPKJv469Yy52sOuekIT-sM0fyq7rzd4LoA3T4ScVWQXxoFbRXxcARKfXE6v3iWSc5PJXdnXd6wiPVlIC5hNE/s1600/sumberawan.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR5O0JAurzk-MzEwZEUFdcM280Vh4ioNSbm-GIat2bg9MqMkUmcr0OoixTPKJv469Yy52sOuekIT-sM0fyq7rzd4LoA3T4ScVWQXxoFbRXxcARKfXE6v3iWSc5PJXdnXd6wiPVlIC5hNE/s320/sumberawan.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
Oleh karena bentuk candi adalah stupa, maka latar belakang agamanya
adalah Buddha. Para ahli menduga Candi Sumberawan ini digunakan sebagai
tempat pemujaan. Bahkan saat kami berkunjung ke sana, baru saja ada yang
melakukan pemujaan di candi ini. Tak jauh dari candi terdapat sebuah
kolam untuk mengambil air suci.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
*Sumber : wikipedia, http://mblusuk.com/474-Candi-Sumberawan.html dan http://linguafranca.info/tag/singosari </div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-25712082488960601012012-03-27T18:44:00.003-07:002012-03-27T19:01:22.766-07:00Misteri dan Kronologi Meletusnya Tambora dan Tiga Kerajaan yang Lenyap<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" height="265" src="http://indonesiaarchipelago.com/wp-content/uploads/2010/04/Tambora_Volcano_Sumbawa_Island_Indonesia.jpg" title="Mount Tambora volcano, Sumbawa, Indonesia" width="400" /></div><br />
Gunung Tambora yang terletak di Pulau Sumbawa Indonesia mengalami letusan terakhir pada tanggal 10 April 1815. Memuntahkan Magma seluas 100 km³. Lepasan abu mencapai 400 km³ debu ke angkasa. dengan ketinggian abu 44 km dari permukaan tanah. Lontaran abu 1300km. Radius suara letusan sampai 2600 km. Endapan aliran piroklastik 7-20 m. Tsunami sepanjang pantai sejauh 1200km, tinggi 1-4m, di Maluku Tsunami hingga 2 meter. Korban letusan langsung 117.000 korban jiwa.<br />
<br />
<a name='more'></a><b>Kerajaan yang lenyap akibat letusan:</b> Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Sanggar.<br />
<b></b><br />
<div style="text-align: left;">Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara Barat.</div><br />
<b>Sejarah Letusan</b><br />
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.<br />
<br />
<img alt="" class="alignleft" height="300" src="http://indonesiaarchipelago.com/wp-content/uploads/2010/04/tas.jpg" width="320" /><br />
<br />
Perkiraan ketiga letusannya pada tahun:<br />
- Letusan pertama: 39910 sebelum masehi ± 200 tahun<br />
- Letusan kedua: 3050 sebelum masehi<br />
- Letusan ketiga: 740 ± 150 tahun.<br />
<br />
Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang sama.<br />
Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik.<br />
<br />
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.<br />
<br />
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" height="211" src="http://indonesiaarchipelago.com/wp-content/uploads/2010/04/tambora1.jpg" title="Tambora caldera" width="319" /></div><br />
<div class="wp-caption alignright" style="text-align: center; width: 329px;"><div class="wp-caption-text"> </div></div>Letusan ketiga ini mempengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815.<br />
<br />
Pada saat letusan terjadi, beberapa orang Belanda yang berada di Surabaya mencatat dalam buku hariannya mengaku mendengar letusan tersebut, juga beberapa orang di benua Australia bagian Barat Laut. Mereka mengira itu hanyalah suara gemuruh guntur karena tiba-tiba muncul awan mendung yang membuat redupnya sinar matahari. Namun mereka tidak yakin karena yang mereka yakini awan, ternyata adalah asap dan debu vulkanis.<br />
<br />
<div class="wp-caption alignright" id="attachment_1825" style="width: 329px;"><a href="http://indocropcircles.files.wordpress.com/2011/09/tambora-explosion1.jpg" target="_blank"><img alt="" class="size-medium wp-image-1825" height="206" src="http://indocropcircles.files.wordpress.com/2011/09/tambora-explosion1.jpg?w=319&h=206" title="Tambora explosion" width="319" /></a></div><br />
Dan yang turun ke bumi bukanlah air melainkan debu dan kerikil kecil. Letusan Gunung Tambora merupakan letusan gunung terdahsyat sepanjang masa yang pernah tercatat.<br />
<br />
Pada saat gunung Tambora meletus, daerah radius kurang lebih 600km dari gunung Tambora gelap gulita sepanjang hari hampir seminggu lamanya, letusan yg terdengar melebihi jarak 2000km dan suhu Bumi menurun hingga beberapa derajat yg mengakibatkan bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa bulan.<br />
<br />
<div class="wp-caption alignright" style="width: 333px;"><a href="http://www.meteoweb.eu/wp-content/uploads/2011/09/vulcani4.jpg" target="_blank"><img alt="" height="211" src="http://www.meteoweb.eu/wp-content/uploads/2011/09/vulcani4.jpg" title="letusan Tambora dalam lukisan" width="323" /></a><br />
<div class="wp-caption-text"><br />
</div></div>Sehingga berdampak juga ke daerah Eropa & Amerika Utara mengalami musim dingin yg panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim panas. Peristiwa ini dikenal dengan “<i>The year without summer</i>” atau tahun tanpa musim panas.<br />
<br />
Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun 1815. Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI.<br />
<br />
Sekitar tahun 1880 (± 30 tahun), Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.<br />
<br />
<div class="wp-caption alignright" style="width: 325px;"><a href="http://indonesiaarchipelago.com/wp-content/uploads/2010/04/calderagunungtambora.jpg" target="_blank"><img alt="" class=" " height="209" src="http://indonesiaarchipelago.com/wp-content/uploads/2010/04/calderagunungtambora.jpg" title="Kaldera gunung Tambora" width="315" /></a><br />
<div class="wp-caption-text"> </div></div>Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan terakhir terjadi pada tahun 1967, yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi tanpa disertai dengan ledakan.<br />
<br />
Total volume yang dikeluarkan Gunung Tambora saat meletus hebat hampir 200 tahun silam mencapai 150 kilometer kubik atau 150 miliar meter kubik. Deposit jatuhan abu yang terekam hingga sejauh 1.300 kilometer dari sumbernya.<br />
<br />
Peneliti dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Igan Supriatman Sutawidjaja, dalam tulisannya, ”<i>Characterization of Volcanic Deposits and Geoarchaeological Studies from the 1815 Eruption of Tambora Volcano</i>”, menyebutkan, distribusi awan panas diperkirakan mencapai area 820 kilometer persegi.<br />
<br />
<div class="wp-caption alignright" style="width: 321px;"><a href="http://www.newswise.com/images/uploads/2006/02/22/fullsize/Artifact1.jpg" target="_blank"><img alt="" height="232" src="http://www.newswise.com/images/uploads/2006/02/22/fullsize/Artifact1.jpg" title="Artifak peninggalan penduduk asli kerajaan Tambora yang ikut terkubur abu vulkanik" width="311" /></a><br />
<div class="wp-caption-text"><br />
</div></div>Jumlah total gabungan awan panas (piroklastik) dan batuan totalnya 874 kilometer persegi. Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada yang mencapai 20 meter.<br />
<br />
Ahli botani Belanda, Junghuhn, dalam ”<i>The Eruption of G Tambora in 1815</i>”, menulis, empat tahun setelah letusan, sejauh mata memandang adalah batu apung. Pelayaran terhambat oleh batuan apung berukuran besar yang memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah. Bumi begitu mengerikan dan kosong. Junghuhn membuat deskripsi itu berdasarkan laporan Disterdijk yang datang ke Tambora pada 16 agustus 1819 bersama The Dutch Residence of Bima.<br />
<br />
Letusan Tambora memang dahsyat, bahkan terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah manusia modern.<br />
<br />
<div class="wp-caption alignright" style="width: 318px;"><a href="http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/4748902.stm" target="_blank"><img alt="" class=" " height="218" src="http://news.bbc.co.uk/nol/shared/spl/hi/pop_ups/06/africa_enl_1141064284/img/1.jpg" title="Selama enam minggu arkeolog menggali telah menemukan sisa dua mangkok untuk orang dewasa berbahan perunggu, pot keramik, peralatan dari besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi dari artefak menunjukkan bahwa budaya Tamboran (orang Tambora) terkait dengan budaya orang Vietnam dan orang Kamboja. (Gambar: URI Berita Biro)" width="308" /></a><br />
<div class="wp-caption-text"><br />
<br />
</div></div>Selama enam minggu arkeolog menggali telah menemukan sisa dua mangkok untuk orang dewasa berbahan perunggu, pot keramik, peralatan dari besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi dari artefak menunjukkan bahwa budaya Tamboran (orang Tambora) terkait dengan budaya orang Vietnam dan orang Kamboja. (Image: URI News Bureau)<br />
<br />
Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.<br />
Tambora juga tercatat sebagai gunung yang paling mematikan. Jumlah korban tewas akibat gunung ini sedikitnya mencapai 71.000 jiwa tapi sebagian ahli menyebut angka 91.000 jiwa.<br />
Sebanyak 10.000 orang tewas secara langsung akibat letusan dan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.<br />
<br />
Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang didera bencana kelaparan akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di dua benua itu. Bahkan di Eropa, Napoleon Bonaparte kalah perang karena efek dari gunung Tambora ini.<br />
Berikut ringkasan laporan kesaksian saat letusan Gunung Tambora terjadi, yang disarikan dari ”<i>Transactions of the Batavian Society</i>” Vol VIII, 1816, dan dan ”<i>The Asiatic Journal</i>” Vol II, Desember 1816.<br />
<b><br />
</b><a href="http://www.wellhome.com/blog/wp-content/uploads/2011/02/volcano.jpg" target="_blank"><img alt="" class="alignright" height="342" src="http://www.wellhome.com/blog/wp-content/uploads/2011/02/volcano.jpg" width="327" /></a><br />
<br />
<b>Sumanap (Sumenep), 10 April 1815</b><br />
Sore hari tanggal 10, ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam. Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal sehingga harus menggunakan lilin pada pukul 16.00. Pada pukul 19.00 tanggal 11, arus air surut, disusul air deras dari teluk, menyebabkan air sungai naik hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali dalam waktu empat menit.<br />
<br />
<b>Baniowangie (Banyuwangi), 10 April 1815<br />
</b>Pada tanggal 10 April malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14.<br />
<br />
<b>Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815<br />
</b>Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815. Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak menemukan apa pun. Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain. Seorang asing yang tinggal di Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11 April 1815 terdengar tembakan meriam sepanjang hari.<br />
<br />
<b>Besookie (Besuki, Jawa Timur), 11 April 1815<br />
</b>Kami terbungkus kegelapan pada 11 April sejak pukul 16.00 sampai pukul 14.00 pada 12 April. Tanah tertutup debu setebal 2 inci. Kejadian yang sama juga terjadi di Probolinggo dan Panarukan, terus sampai di Bangeewangee (Banyuwangi) tertutup debu setebal 10-12 inci. Lautan bahkan lebih parah akibat dari letusan tersebut. Suara letusan terdengar sampai sejauh 600-700 mil.<br />
<br />
<b>Grissie (Gresik, Jawa Timur), 12 April 1815<br />
</b>Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari. Jam 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal. Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa membaca atau menulis tanpa cahaya lilin.<br />
<br />
<div class="wp-caption alignright" style="width: 320px;"><a href="http://msnbc.msn.com/id/11594274/#.TnZOVFlZA2c" target="_blank"><img alt="" class=" " height="237" src="http://www.crystalinks.com/archaeology306.jpg" title="Dua ilmuwan sedang menyelidiki bekas-bekas peradaban yang telah lenyap di dekat gunung Tambora." width="310" /></a><br />
<div class="wp-caption-text"><br />
</div></div>Dua ilmuwan sedang menyelidiki bekas-bekas peradaban yang telah lenyap di dekat gunung Tambora.<br />
<br />
<div class="wp-caption alignright" style="width: 328px;"><a href="http://indocropcircles.files.wordpress.com/2011/09/excavation3_461.jpg?w=300" target="_blank"><img alt="" height="238" src="http://indocropcircles.files.wordpress.com/2011/09/excavation3_461.jpg?w=318&h=238" title="Situs peradaban Tambora" width="318" /></a><br />
<div class="wp-caption-text"> </div></div>Tidak ada seorang yang ingat ataupun tercatat dalam tradisi erupsi yang sedemikian besar. Ada yang melihat kejadian itu sebagai transisi kembalinya pemerintahan yang lama. Lainnya melihat kejadian itu dari sisi takhayul dan legenda bahwa sedang ada perayaan pernikahan Nyai Loro Kidul (Ratu Kidul) yang tengah mengawini salah satu anaknya. Maka dia tengah menembakkan artileri supernaturalnya sebagai penghormatan. Warga menyebut abu yang jatuh berasal dari amunisi Nyai Loro Kidul.<br />
<br />
<b>Makasar, 12-15 April 1815<br />
</b>Tanggal 12-15 April udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang. Dengan sedikit dan terkadang tidak ada angin sama sekali. Pagi hari tanggal 15 April, kami berlayar dari Makassar dengan sedikit angin. Di atas laut terapung batu-batu apung, dan air pun tertutup debu. Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat sulit menembus Teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.<br />
<br />
*Sumber : http://indocropcircles.wordpress.com/2011/09/18/misteri-dan-kronologi-meletusnya-gunung-tambora/ </div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-85986684351113117832012-03-21T00:47:00.001-07:002012-03-21T00:48:40.508-07:00Sisi Lain Candi Prambanan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br />
<a href="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Candi-Prambanan.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Candi Prambanan Yogyakarta" class="alignright size-medium wp-image-1677" height="200" src="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Candi-Prambanan-300x200.jpg" title="Candi Prambanan" width="300" /></a><b>Candi Prambanan</b> termasuk dalam salah satu situs warisan dunia oleh UNESCO dan merupakan Candi Hindu terbesar di Indonesia, bahkan terbesar di Asia Tenggara. Candi ini terletak di Jl. Solo Km 16, Desa Prambanan, Propinsi Yogyakarta, Indonesia.<br />
<br />
Candi Prambanan di bangun sekitar tahun 850 Masehi pada abad ke-9 oleh Dinasti Sanjaya, pada masa masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Candi ini di bangun sebagai tandingan untuk Dinasti Syailendra yang membangun Candi Borobudur dan Candi Sewu di daerah tersebut. Para sejarawan menyatakan bahwa pembangunan Prambanan mungkin dimaksudkan untuk menandai kembalinya Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu setelah hampir satu abad jatuh di bawah dominasi Dinasti Syailendra yang beragama Buddha di Jawa Tengah, sedangkan nama Prambanan berasal dari nama desa dimana candi itu berdiri.<br />
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Model-Candi-Prambanan.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Model Candi Prambanan" class="alignright size-medium wp-image-1678" height="225" src="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Model-Candi-Prambanan-300x225.jpg" title="Model Candi Prambanan" width="300" /></a></div><br />
<br />
Kompleks Candi Prambanan terdiri dari tiga zona, yaitu zona luar, zona tengah, dan zona utama. Zona luar merupakan ruangan terbuka yang besar, ditandai dengan dinding empat persegi panjang (hancur). Fungsi asli dari zona ini tidak diketahui, kemungkinan merupakan taman suci dengan bangunan penunjang candi dibuat dari bahan organik. Zona Tengah terdiri dari ratusan candi kecil dan zona utama terdiri dari delapan candi utama dan delapan pura kecil.<br />
<br />
Candi Prambanan memiliki 3 candi utama yang terletak di halaman utama, yaitu Candi Wisnu (pemelihara), Brahma (pencipta), dan Siwa (penghancur). Ketiga candi tersebut merupakan lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu dengan posisi candi menghadap ke arah timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat dan di dedikasikan sebagai kendaraan (wahana) untuk masing-masing dewa. Banteng Nandi untuk Siwa, Angsa suci Hamsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Relief-Candi-Prambanan.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Relief Candi Prambanan Yogyakarta" class="alignright size-medium wp-image-1681" height="208" src="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Relief-Candi-Prambanan-300x208.jpg" title="Relief Candi Prambanan" width="300" /></a></div><br />
<br />
Candi Siwa terletak di terletak di antara Candi Brahma dan Candi Wisnu dengan ketinggian 47 meter dan lebar 34 meter. Candi Siwa dikelilingi relief-relief yang terpahat di dinding dan menyambung ke Candi Brahma, menceritakan kisah Ramayana. Untuk mengikuti cerita yang sesuai, pengunjung harus masuk dari sisi sebelah timur dan mulai melakukan pradakshina atau keliling searah jarum jam. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Candi Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.<br />
<br />
Candi Siwa memilik empat buah ruangan, satu ruangan utama berisi arca Siwa, sedangkan 3 ruangan lainnya masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam <a href="http://www.gonjangganjing.com/legenda/legenda-candi-prambanan/" title="Legenda Candi Prambanan"><b>legenda candi prambanan</b></a>.<br />
<br />
Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, hanya memiliki satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, hanya memiliki satu ruangan berisi arca Brahma. Candi Brahma dan Candi Wisnu memiliki ukuran 20 meter dan lebar 33 meter.<br />
<br />
Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti ‘terbit’ atau ‘bersinar’, biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).<br />
<br />
Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Arsitektur-Candi-Prambanan.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Arsitektur Candi Prambanan" class="alignright size-medium wp-image-1679" height="300" src="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Arsitektur-Candi-Prambanan-273x300.jpg" title="Arsitektur Candi Prambanan" width="273" /></a></div><br />
<br />
Arsitektur Candi Prambanan mengikuti arsitektur Hindu berdasarkan tradisi Vastu Shastra. Desain candi memasukkan mandala dalam pengaturan candi dan juga menara khas candi Hindu yang menjulang tinggi. Candi Prambanan awalnya bernama Shivagrha dan didedikasikan untuk dewa Siwa. Candi Prambanan ini dirancang untuk meniru Meru, gunung suci tempat tinggal para dewa Hindu, dan rumah Siwa. Seluruh kompleks Candi merupakan model alam semesta menurut kosmologi Hindu dan lapisan-lapisan Loka .<br />
Sama seperti Candi Borobudur , Candi Prambanan juga mengenal hirarki zona candi, membentang dari kurang suci ke alam suci. Setiap konsep Hindu dan Budha ini memiliki cara mereka sendiri, tapi konsep utamanya serupa. Baik itu rencana ruangan tertutup (horizontal) atau struktur candi (vertikal) yang terdiri dari tiga zona : <br />
<ul><li>Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu ), alam terendah dari manusia biasa, manusia, hewan juga setan. Dimana manusia masih diikat oleh keinginan, nafsu dan cara hidup yang tidak suci. Halaman luar dan kaki (dasar) masing-masing bagian dari candi yang melambangkan dunia bhurloka.</li>
<li>Bhuvarloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu ), alam tengah orang suci, Resi , pertapa, dan dewa-dewa yang lebih rendah. Orang di sini mulai melihat cahaya kebenaran. Halaman tengah dan tubuh setiap candi dilambangkan dunia bhuvarloka.</li>
<li>Svarloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu ), alam suci tertinggi dewa, juga dikenal sebagai svargaloka . Halaman bagian dalam dan atap candi melambangkan dunia svarloka . Atap candi Prambanan dihiasi dan dimahkotai dengan Ratna ( sansekerta : permata). Dalam arsitektur candi Jawa kuno, Ratna dalam Hindu setara dengan stupa dalam Buddha, dan terletak sebagai puncak candi tersebut. </li>
</ul><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Peta-Candi-Prambanan.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Peta Candi Prambanan" class="alignright size-medium wp-image-1682" height="164" src="http://www.gonjangganjing.com/wp-content/uploads/2011/03/Peta-Candi-Prambanan-300x164.png" title="Peta Candi Prambanan" width="300" /></a></div><br />
<br />
Selama restorasi, sumur yang berisi pripih (peti batu) ditemukan di bawah pusat candi Siwa. Candi utama memiliki kedalaman sumur 5,75 m di mana peti mati batu ditemukan di atas tumpukan arang, tanah dan sisa-sisa tulang hewan yang dibakar. Lembar daun emas dengan tulisan Baruna (dewa laut) dan Parvata (dewa gunung) juga ditemukan di sini. Peti mati batu berisi lembaran tembaga dicampur dengan arang, abu dan bumi, 20 koin, perhiasan , kaca, potongan emas dan perak daun , kerang dan 12 daun emas (5 di antaranya dalam bentuk kura-kura, ular Naga, padma , altar dan telur).<br />
<br />
Sumber : http://www.gonjangganjing.com/tag/relief-candi-prambanan/</div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-33485293808562248242011-11-03T01:58:00.000-07:002011-11-03T02:37:38.271-07:00Misteri Pembuatan Candi Borobudur<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSpttUo5wQlFOaOiN9m-Ywlw2Y500YdpnR7Vknn8vWDG1D-4IJiAlej8UEbQl-JvjyhvlET6E9MyNwiDGsVOtOa9U8KOCUsH9eIfs65A-5a9jrzNx4hZpp_kit_iocCzb1IkSyzvGcz9k/s1600/borobudur_001.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSpttUo5wQlFOaOiN9m-Ywlw2Y500YdpnR7Vknn8vWDG1D-4IJiAlej8UEbQl-JvjyhvlET6E9MyNwiDGsVOtOa9U8KOCUsH9eIfs65A-5a9jrzNx4hZpp_kit_iocCzb1IkSyzvGcz9k/s320/borobudur_001.jpg" width="320" /></a></div>Candi Borobudur adalah candi terbesar peninggalan Abad ke sembilan. Candi ini terlihat begitu impresif dan kokoh sehingga terkenal seantero dunia. Peninggalan sejarah yang bernilai tinggi ini sempat menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Namun tahukah Anda bahwa seperti halnya pada bangunan purbakala yang lain, Candi Borobudur tak luput dari misteri mengenai cara pembuatannya? Misteri ini banyak melahirkan pendapat yang spekulatif hingga kontroversi. <br />
<a name='more'></a><br />
Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa. Candi Borobudur didirikan di atas sebuah bukit atau deretan bukit-bukit kecil yang memanjang dengan arah Barat-Barat Daya dan Timur-Tenggara dengan ukuran panjang ± 123 m, lebar ± 123 m dan tinggi ± 34.5 m diukur dari permukaan tanah datar di sekitarnya dengan puncak bukit yang rata.<br />
<br />
Candi Borobudur juga terlihat cukup kompleks dilihat dari bagian-bagian yang dibangun. Terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel. Terdapat 504 arca yang melengkapi candi.<br />
<br />
Inti tanah yang berfungsi sebagai tanah dasar atau tanah pondasi Candi Borobudur dibagi menjadi 2, yaitu tanah urug dan tanah asli pembentuk bukit. Tanah urug adalah tanah yang sengaja dibuat untuk tujuan pembangunan Candi Borobudur, disesuaikan dengan bentuk bangunan candi. Menurut Sampurno Tanah ini ditambahkan di atas tanah asli sebagai pengisi dan pembentuk morfologi bangunan candi. Tanah urug ini sudah dibuat oleh pendiri Candi Borobudur, bukan merupakan hasil pekerjaan restorasi. Ketebalan tanah urug ini tidak seragam walaupun terletak pada lantai yang sama, yaitu antara 0,5-8,5 m.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiY3yhf4g3XRh93gM0PHygvu2_GWUD9hVZi0DYdyo5xf1rJ17N84XMTTgo0BIqJ95uV3dqMMXFsOHx4aX6NwPcD8Xl0K8wyGO9aaNtPsMVn6HDLcLMpdqW0HCfcvAmjOFCZmWLfbRxDleg/s1600/Konstruksi-Candi-Borobudur-11.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="128" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiY3yhf4g3XRh93gM0PHygvu2_GWUD9hVZi0DYdyo5xf1rJ17N84XMTTgo0BIqJ95uV3dqMMXFsOHx4aX6NwPcD8Xl0K8wyGO9aaNtPsMVn6HDLcLMpdqW0HCfcvAmjOFCZmWLfbRxDleg/s400/Konstruksi-Candi-Borobudur-11.jpg" width="400" /></a></div><br />
Batuan penyusun Candi Borobudur berjenis andesit dengan porositas yang tinggi, kadar porinya sekitar 32%-46%, dan antara lubang pori satu dengan yang lain tidak berhubungan. Kuat tekannya tergolong rendah jika dibandingkan dengan kuat tekan batuan sejenis. Dari hasil penelitian Sampurno (1969), diperoleh kuat tekan minimum sebesar 111 kg/cm2 dan kuat tekan maksimum sebesar 281 kg/cm2. Berat volume batuan antara 1,6-2 t/m3.<br />
<br />
Data mengenai candi ini baik dari sisi design, sejarah, dan falsafah bangunan begitu banyak tersedia. Banyak ahli sejarah dan bangunan purbakala menulis mengenai keistimewaan candi ini.<br />
<br />
Hasil penelusuran data baik di buku maupun internet, tidak ada satupun yang sedikit mengungkapkan mengenai misteri cara pembangunan candi. Satu-satunya informasi adalah tulisan mengenai sosok Edward Leedskalnin yang aneh dan misterius. Dia mengatakan “Saya telah menemukan rahasia-rahasia piramida dan bagaimana cara orang Mesir purba, Peru, Yucatan dan Asia (Candi Borobudur) mengangkat batu yang beratnya berton-ton hanya dengan peralatan yang primitif.”<br />
<br />
Edward adalah orang yang membangun Coral Castle yang terkenal. Beberapa orang lalu memperkirakan bagaimana cara kerja dia untuk mengungkap misteri tentang pengetahuan dia bagaimana bangunan purba dibangun. <br />
<br />
Berikut pendapat beberapa orang dan ahli mengenai cara Edward membangun Coral Castle:<br />
<br />
1. Ada yang mengatakan bahwa ia mungkin telah berhasil menemukan rahasia para arsitek masa purba yang membangun monumen seperti piramida dan Stonehenge.<br />
<br />
2. Ada yang mengatakan mungkin Edward menggunakan semacam peralatan anti gravitasi untuk membangun Coral Castle.<br />
<br />
3. David Hatcher Childress, penulis buku Anty Gravity and The World Grid, memiliki teori yang menarik. Menurutnya wilayah Florida Selatan yang menjadi lokasi Coral Castle memiliki diamagnetik kuat yang bisa membuat sebuah objek melayang. Apalagi wilayah Florida selatan masih dianggap sebagai bagian dari segitiga bermuda. David percaya bahwa Edward Leedskalnin menggunakan prinsip diamagnetik jaring bumi yang memampukannya mengangkat batu besar dengan menggunakan pusat massa. David juga merujuk pada buku catatan Edward yang ditemukan yang memang menunjukkan adanya skema-skema magnetik dan eksperimen listrik di dalamnya. Walaupun pernyataan David berbau sains, namun prinsip-prinsip esoterik masih terlihat jelas di dalamnya.<br />
<br />
4. Penulis lain bernama Ray Stoner juga mendukung teori ini. Ia bahkan percaya kalau Edward memindahkan Coral Castle ke Homestead karena ia menyadari adanya kesalahan perhitungan matematika dalam penentuan lokasi Coral Castle. Jadi ia memindahkannya ke wilayah yang memiliki keuntungan dalam segi kekuatan magnetik.<br />
<br />
Akhirnya didapat foto yang berhasil diambil pada waktu Edward mengerjakan Coral Castle menunjukkan bahwa ia menggunakan cara yang sama yang digunakan oleh para pekerja modern, yaitu menggunakan prinsip yang disebut block and tackle.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWsHcK17TqAgMwX1hz-yZN3VOTX-jXadcP1LzOHbvZUMkbJ3FHGqneBkVIG9UQ-V2-m7EwKbSxbkwN_HiJd_SVBveYQKyHTqysUNxnrCN-5Ljumc8Ozk_X0O1vHGLcVD0CQ2rk_TZWkyM/s1600/Potongan-candi-borobudur-2.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="152" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWsHcK17TqAgMwX1hz-yZN3VOTX-jXadcP1LzOHbvZUMkbJ3FHGqneBkVIG9UQ-V2-m7EwKbSxbkwN_HiJd_SVBveYQKyHTqysUNxnrCN-5Ljumc8Ozk_X0O1vHGLcVD0CQ2rk_TZWkyM/s320/Potongan-candi-borobudur-2.jpg" width="320" /></a></div><br />
Beda Coral Castle beda pula Candi Borobudur. Coral Castle masih menungkinkan menggunakan Block dan Tackle. Untuk Candi Borobudur rasanya block dan tackle pun masih belum ada. Lalu bagaimana sebenarnya cara membuat Candi ini?. Misteri yang belum terungkap berdasarkan informasi di atas. Saya coba mulai berfikir ulang terlepas dari misteri dengan mencoba menganalisis data-data yang ada.<br />
<br />
ada beberapa aspek yang diperhatikan sebelum memperkirakan bagaimana candi ini dibangun, yaitu:<br />
<br />
<ol style="text-align: left;"><li>Bentuk bangunan. Candi ini berbentuk tapak persegi ukuran panjang ± 123 m, lebar ± 123 m dan tinggi ± 42 m. Luas 15.129 m2.</li>
<li>Volume material utama. Material utama candi ini adalah batuan andesit berporositas tinggi dengan berat jenis 1,6-2,0 t/m3. Diperkirakan terdapat 55.000 m3 batu pembentuk candi atau sekitar 2 juta batuan dengan ukuran batuan berkisar 25 x 10 x 15 cm. Berat per potongan batu sekitar 7,5 – 10 kg.</li>
<li>Konstruksi bangunan. Candi borobudur merupakan tumpukan batu yang diletakkan di atas gundukan tanah sebagai intinya, sehingga bukan merupakan tumpukan batuan yang masif. Inti tanah juga sengaja dibuat berundak-undak dan bagian atasnya diratakan untuk meletakkan batuan candi.</li>
<li>Setiap batu disambung tanpa menggunakan semen atau perekat. Batu-batu ini hanya disambung berdasarkan pola dan ditumpuk.</li>
<li>Semua batu tersebut diambil dari sungai di sekitar candi borobudur.</li>
<li>Candi borobudur merupakan bangunan yang kompleks dilihat dari bagian-bagian yang dibangun. Terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel. Terdapat 505 arca yang melengkapi candi.</li>
<li>Teknologi yang tersedia. Pada saat itu belum ada teknologi angkat dan pemindahan material berat yang memadai. Diperkirakan menggunakan metode mekanik sederhana.</li>
<li>Perkiraan jangka waktu pelaksanaan. Tidak ada informasi yang akurat. Namun beberapa sumber menyebutkan bahwa candi borobudur dibangun mulai 824 m – 847 m. Ada referensi lain yang menyebut bahwa candi dibangun dari 750 m hingga 842 m atau 92 tahun.</li>
<li>Pembangunan candi dilakukan bertahap. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. Tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Tahap kedua, pondasi borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar. Tahap ketiga, undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya. Tahap keempat, ada perubahan kecil, yakni pembuatan relief perubahan pada tangga dan pembuatan lengkung di atas pintu.</li>
<li>Suatu hal yang unik, bahwa candi ini ternyata memiliki arsitektur dengan format menarik atau terstruktur secara matematika. Setiap bagain kaki, badan dan kepala candi selalu memiliki perbandingan 4:6:9. Penempatan-penempatan stupanya juga memiliki makna tersendiri, ditambah lagi adanya bagian relief yang diperkirakan berkatian dengan astronomi menjadikan borobudur memang merupakan bukti sejarah yang menarik untuk di amati.</li>
<li>Jumlah stupa di tingkat arupadhatu (stupa puncak tidak di hitung) adalah: 32, 24, 26 yang memiliki perbandingan yang teratur, yaitu 4:2, dan semuanya habis dibagi 8. Ukuran tinggi stupa di tiga tingkat tsb. Adalah: 1,9m; 1,8m; masing-masing bebeda 10 cm. Begitu juga diameter dari stupa-stupa tersebut, mempunyai ukuran tepat sama pula dengan tingginya : 1,9m; 1,8m; 1,7m.</li>
<li>Beberapa bilangan di borobudur, bila dijumlahkan angka-angkanya akan berakhir menjadi angka 1 kembali. Diduga bahwa itu memang dibuat demikian yang dapat ditafsirkan : Angka 1 melambangkan ke-esaan sang adhi buddha. Jumlah tingkatan borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1. Jumlah stupa di arupadhatu yang didalamnya ada patung-patungnya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73, angka 73 bila dijumlahkan hasilnya: 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 10. Jumlah patung-patung di borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 + 0 = 1.</li>
</ol><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixWlyfj8YjTcIy_ZxN81hHKyM9MDNfjUOaRCC_f07W9yHr0J0lwqVdxzYPy8Embtp6uYpXnJuadHLfzcHtRyzFiLUXh9MDzZgC_A_h6PdzF4qG7Raqp95sxZiOiNy_FJKYm_UALecROms/s1600/candi+borobudur1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="243" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixWlyfj8YjTcIy_ZxN81hHKyM9MDNfjUOaRCC_f07W9yHr0J0lwqVdxzYPy8Embtp6uYpXnJuadHLfzcHtRyzFiLUXh9MDzZgC_A_h6PdzF4qG7Raqp95sxZiOiNy_FJKYm_UALecROms/s320/candi+borobudur1.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: left;">Melihat data-data di atas, tentunya masih bersifat perkiraan, saya mencoba memberikan beberapa analisa yang mudah-mudahan dapat dikomentari sebagai usaha kita menguak misteri yang ada sebagai berikut:<br />
<br />
1. dari data yang ada disebutkan bahwa ukuran batu candi adalah sekitar 25 x 10 x 15 cm dengan berat jenis batu adalah 1,6 – 2 ton/m3, ini berarti berat per potongan batu hanya sekitar maksimum 7.5 kg (untuk berat jenis 2 t/m3).<br />
<br />
Potongan batu ternyata sangat ringan. Untuk batuan seberat itu, rasanya tidak perlu teknologi apapun. Masalah yang mungkin muncul adalah medan miring yang harus ditempuh. Medan miring secara fisika membuat beban seolah-olah menjadi lebih berat.<br />
<br />
Hal ini karena penguraian gaya menyebabkan ada beban horizontal sejajar kemiringan yang harus dipikul. Namun dengan melihat kenyataan bahwa berat per potongan batu adalah hanya 7.5 kg, rasanya masalah medan miring yang beundak-undak tidak perlu dipermasalahkan.<br />
<br />
Kesimpulannya adalah proses pengangkutan potongan batu dapat dilakukan dengan mudah dan tidak perlu teknologi apapun.<br />
<br />
2. sumber material batu diambil dari sungai sekitar candi. Hal ini berarti jarak antara quarry dan site sangat dekat. Walaupun jumlahnya mencapai 2.000.000 potongan, namun ringannya material tiap potong batu dan dekatnya jarak angkut, hal ini berarti proses pengangkutan pun dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu teknologi tertentu.<br />
<br />
3. candi dibangun dalam jangka waktu yang cukup lama. Ada yang mengatakan 23 tahun ada juga yang mengatakan 92 tahun. Jika berasumsi paling cepat 23 tahun. Mari kita berhitung soal produktifitas pemasangan batu.<br />
<br />
Jika persiapan lahan dan material awal adalah 2 tahun, maka masa pemasangan batu adalah 21 tahun atau 7665 hari. Terdapat 2 juta potong batu. Produktifitas pemasangan batu adalah 2000000/7665 = 261 batu/hari.<br />
<br />
Produktifitas ini rasanya sangat kecil. Tidak perlu cara apapun untuk menghasilkan produktifitas yang kecil tersebut. Apalagi menggunakan data durasi pelaksanaan yang lebih lama.<br />
<br />
4. lamanya proses pembuatan candi dapat disebabkan ada perubahan-perubahan design yang dilakukan selama pelaksanaannya. Hal ini mungkin dikeranakan adanya pergantian penguasa (raja) selama proses pembangunan candi.<br />
<br />
5. borobudur dilihat secara fisik begitu impresif. Memiliki 10 lantai dengan bentuk persegi dan lingkaran. Memiliki relief sepanjang dinding dan arca dalam jumlah yang banyak. Candi ini begitu memperhatikan falsafah yang terkandung dalam ukuran-ukurannya. Hal ini membuktikan bahwa candi dibangun dengan konsep design yang cukup baik.<br />
<br />
6. candi borobudur adalah candi terbesar. Candi borobudur juga terlihat kompleks dilihat dari design arsitekturalnya terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel.<br />
<br />
Terdapat 504 arca yang melengkapi candi. Ini jelas bukan pekerjaan design dan pelaksanaan yang gampang. Kesimpulannya candi borobudur yang bernilai dari sisi design baik teknik sipil maupun seni arsitektur membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang matang dari aspek design maupun cara pelaksanaannya. Saya berkesimpulan candi ini dibangun dengan manajemen proyek yang sudah cukup baik.<br />
<br />
Akhirnya saya mengambil suatu kesimpulan umum bahwa candi borobudur berbeda dengan bangunan pubakala lainnya yang dipenuhi misteri dan mistis. Candi ini lebih dapat dijelaskan dengan konsep fisika sederhana. Cara membangun candi ini bukanlah suatu hal yang dianggap misteri apalagi mistis.<br />
<br />
Candi ini lebih bernilai dan terkenal bukan pada misteri-misteri yang berserakan, tapi candi ini memiliki nilai design aristektur dan teknik sipil serta kemampuan manajemen proyek yang tinggi yang menunjukkan kemajuan pemikiran para pendahulu bangsa kita.<br />
<br />
Sedangkan data yang menyimpulkan bahwa terdapat danau purba di lokasi Brobudur berdasar pada penelitian van Bemmelen tahun 1933, yang berhipotesis bahwa Telaga Borobudur terjadi akibat bendungan piroklastika Merapi menyumbat aliran Kali Progo di kaki timurlaut Perbukitan Menoreh. Itu terjadi sebelum Borobodur didirikan tahun 830-850. Dan adalah van Bemmelen juga yang berhipotesis (bisa dibaca di bukunya : the Geology of Indonesia) yang menyebutkan bahwa piroklastika Merapi pada letusan besar tahun 1006 telah menutupi danau Borobudur menjadi kering dan sekaligus menutupi candi ini – lenyap dari sejarah, sampai ditemukan kembali oleh tim van Erp pada tahun 1907-1911. Kalau melihat gambar peta dan penampang geologi volkano-tektonik Gunung Merapi (van Bemmelen, 1949), akan tahulah kita bahwa ”nasib” Borobudur sepanjang sejarahnya telah banyak ditentukan oleh merosot-runtuhnya dinding baratdaya Merapi.<br />
<br />
Hasil kajian geologi yang dilakukan Ir Helmy Murwanto MSc, Ir Sutarto MT dan Dr Sutanto dari Geologi UPN ‘Veteran’ serta Prof Sutikno dari Geografi UGM membuktikan, keberadaan danau di kawasan Candi Borobudur memang benar adanya. Penelitian itu dilakukan sejak 1996 dan masih berlanjut sampai sekarang. Bahkan, tahun 2005, penelitian tentang keberadaan danau purba itu oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Tengah, CV Cipta Karya dan Studio Audio Visual Puskat, dibuat film dokumenter ilmiah dengan judul ‘Borobudur Teratai di Tengah Danau’.<br />
<br />
Yang diteliti adalah endapan lempung hitam yang ada di dasar sungai sekitar Candi Borobudur yaitu Sungai Sileng, Sungai Progo dan Sungai Elo. Setelah mengambil sampel lempung hitam dan melakukan analisa laboratorium, ternyata lempung hitam banyak mengandung serbuk sari dari tanaman komunitas rawa atau danau. Antara lain Commelina, Cyperaceae, Nymphaea stellata, Hydrocharis. “Istilah populernya tanaman teratai, rumput air dan paku-pakuan yang mengendap di danau saat itu,” katanya.<br />
<br />
Penelitian itu terus berlanjut. Selain lempung hitam, fosil kayu juga dianalisa dengan radio karbon C14. Dari analisa itu diketahui endapan<br />
lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun. Tahun 2001, Helmy melakukan pengeboran lempung hitam pada kedalaman 40 meter. Setelah dianalisis dengan radio karbon C14 diketahui lempung hitam itu berumur 22 ribu tahun. “Jadi kesimpulannya, danau itu sudah ada sejak 22 ribu tahun lalu, jauh sebelum Candi Borobudur dibangun, kemudian berakhir di akhir abad ke XIII,” katanya.<br />
<br />
Kenapa berakhir, kata Helmy, karena lingkungan danau merupakan muara dari beberapa sungai yang berasal dari gunung api aktif, seperti Sungai Pabelan dari Gunung Merapi, Sungai Elo dari Gunung Merbabu, Sungai Progo dari Gunung Sumbing dan Sindoro. Sungai itu membawa endapan lahar yang lambat laun bermuara dan menimbun danau. Sehingga danau makin dangkal, makin sempit kemudian diikuti dengan endapan lahar Gunung Merapi pada abad XI. Lambat laun danau menjadi kering tertimbun endapan lahar dan berubah menjadi dataran Borobudur seperti sekarang.<br />
<br />
Menurut Helmy, pada saat dilakukan pengeboran, endapan danaunya banyak<br />
mengeluarkan gas dan air asin. “Tapi lambat laun tekanannya berkurang, dan sekarang kita pakai sebagai monumen saja,” katanya.<br />
<br />
Ditargetkan, pada penelitian berikutnya akan diteliti luasan danau kaitannya dengan sejarah perkembangan lingkungan Borobudur dari waktu ke waktu, mulai air laut masuk sampai laut tertutup sehingga berkembang menjadi danau, kemudian danau menjadi rawa dan menjadi dataran.<br />
<br />
Lalu, apa hubungannya dengan Sulaiman? Benarkah Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang hebat dan agung itu? Apa bukti-buktinya? Benarkah ada jejak-jejak Islam di candi Buddha terbesar itu? Tentu perlu penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak untuk membuktikan validitas dan kebenarannya.<br />
<br />
Namun, bila pertanyaan di atas diajukan kepada KH Fahmi Basya, ahli matematika Islam itu akan menjawabnya; benar. Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman yang ada di tanah Jawa.<br />
<br />
Dalam bukunya, Matematika Islam 3 (Republika, 2009), KH Fahmi Basya menyebutkan beberapa ciri-ciri Candi Borobudur yang menjadi bukti sebagai peninggalan putra Nabi Daud tersebut. Di antaranya, hutan atau negeri Saba, makna Saba, nama Sulaiman, buah maja yang pahit, dipindahkannya istana Ratu Saba ke wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman, bangunan yang tidak terselesaikan oleh para jin, tempat berkumpulnya Ratu Saba, dan lainnya.<br />
<br />
Dalam Alquran, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba disebutkan dalam surah An-Naml [27]: 15-44, Saba [34]: 12-16, al-Anbiya [21]: 78-81, dan lainnya. Tentu saja, banyak yang tidak percaya bila Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman.<br />
<br />
Di antara alasannya, karena Sulaiman hidup pada abad ke-10 SM, sedangkan Borobudur dibangun pada abad ke-8 Masehi. Kemudian, menurut banyak pihak, peristiwa dan kisah Sulaiman itu terjadi di wilayah Palestina, dan Saba di Yaman Selatan, sedangkan Borobudur di Indonesia.<br />
<br />
Tentu saja hal ini menimbulkan penasaran. Apalagi, KH Fahmi Basya menunjukkan bukti-buktinya berdasarkan keterangan Alquran. Lalu, apa bukti sahih andai Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman atau bangunan yang pembuatannya merupakan perintah Sulaiman?<br />
<br />
Menurut Fahmi Basya, dan seperti yang penulis lihat melalui relief-relief yang ada, memang terdapat beberapa simbol, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana keterangan Alquran. Pertama adalah tentang tabut, yaitu sebuah kotak atau peti yang berisi warisan Nabi Daud AS kepada Sulaiman. Konon, di dalamnya terdapat kitab Zabur, Taurat, dan Tingkat Musa, serta memberikan ketenangan. Pada relief yang terdapat di Borobudur, tampak peti atau tabut itu dijaga oleh seseorang.<br />
<br />
“Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman’.” (QS Al-Baqarah [2]: 248).<br />
<br />
Kedua, pekerjaan jin yang tidak selesai ketika mengetahui Sulaiman telah wafat. (QS Saba [34]: 14). Saat mengetahui Sulaiman wafat, para jin pun menghentikan pekerjaannya. Di Borobudur, terdapat patung yang belum tuntas diselesaikan. Patung itu disebut dengan Unfinished Solomon.<br />
<br />
Ketiga, para jin diperintahkan membangun gedung yang tinggi dan membuat patung-patung. (QS Saba [34]: 13). Seperti diketahui, banyak patung Buddha yang ada di Borobudur. Sedangkan gedung atau bangunan yang tinggi itu adalah Candi Prambanan.<br />
<br />
Keempat, Sulaiman berbicara dengan burung-burung dan hewan-hewan. (QS An-Naml [27]: 20-22). Reliefnya juga ada. Bahkan, sejumlah frame relief Borobudur bermotifkan bunga dan burung. Terdapat pula sejumlah relief hewan lain, seperti gajah, kuda, babi, anjing, monyet, dan lainnya.<br />
<br />
Kelima, kisah Ratu Saba dan rakyatnya yang menyembah matahari dan bersujud kepada sesama manusia. (QS An-Naml [27]: 22). Menurut Fahmi Basya, Saba artinya berkumpul atau tempat berkumpul. Ungkapan burung Hud-hud tentang Saba, karena burung tidak mengetahui nama daerah itu. “Jangankan burung, manusia saja ketika berada di atas pesawat, tidak akan tahu nama sebuah kota atau negeri,” katanya menjelaskan. Ditambahkan Fahmi Basya, tempat berkumpulnya manusia itu adalah di Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 36 kilometer dari Borobudur. Jarak ini juga memungkinkan burung menempuh perjalanan dalam sekali terbang.<br />
<br />
Keenam, Saba ada di Indonesia, yakni Wonosobo. Dalam Alquran, wilayah Saba ditumbuhi pohon yang sangat banyak. (QS Saba [34]: 15). Dalam kamus bahasa Jawi Kuno, yang disusun oleh Dr Maharsi, kata ‘Wana’ bermakna hutan. Jadi, menurut Fahmi, wana saba atau Wonosobo adalah hutan Saba.<br />
<br />
Ketujuh, buah ‘maja’ yang pahit. Ketika banjir besar (Sail al-Arim) menimpa wilayah Saba, pepohonan yang ada di sekitarnya menjadi pahit sebagai azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. “Tetapi, mereka berpaling maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[1236] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS Saba [34]: 16).<br />
<br />
Kedelapan, nama Sulaiman menunjukkan sebagai nama orang Jawa. Awalan kata ‘su’merupakan nama-nama Jawa. Dan, Sulaiman adalah satu-satunya nabi dan rasul yang 25 orang, yang namanya berawalan ‘Su’.<br />
<br />
Kesembilan, Sulaiman berkirim surat kepada Ratu Saba melalui burung Hud-hud. “Pergilah kamu dengan membawa suratku ini.” (QS An-Naml [27]: 28). Menurut Fahmi, surat itu ditulis di atas pelat emas sebagai bentuk kekayaan Nabi Sulaiman. Ditambahkannya, surat itu ditemukan di sebuah kolam di Candi Ratu Boko.<br />
<br />
Kesepuluh, bangunan yang tinggal sedikit (Sidrin qalil). Lihat surah Saba [34] 16). Bangunan yang tinggal sedikit itu adalah wilayah Candi Ratu Boko. Dan di sana terdapat sejumlah stupa yang tinggal sedikit. “Ini membuktikan bahwa Istana Ratu Boko adalah istana Ratu Saba yang dipindahkan atas perintah Sulaiman,” kata Fahmi menegaskan.<br />
<br />
Selain bukti-bukti di atas, kata Fahmi, masih banyak lagi bukti lainnya yang menunjukkan bahwa kisah Ratu Saba dan Sulaiman terjadi di Indonesia. Seperti terjadinya angin Muson yang bertiup dari Asia dan Australia (QS Saba [34]: 12), kisah istana yang hilang atau dipindahkan, dialog Ratu Bilqis dengan para pembesarnya ketika menerima surat Sulaiman (QS An-Naml [27]: 32), nama Kabupaten Sleman, Kecamatan Salaman, Desa Salam, dan lainnya. Dengan bukti-bukti di atas, Fahmi Basya meyakini bahwa Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman.<br />
<br />
<br />
*Sumber : diolah dari http://darkofjoker.blogspot.com/2011/06/rahasia-di-balik-pembangunan-candi.html dan http://bumisegoro.wordpress.com/2007/05/29/undangan-peliputan-menapak-jejak-sang-buddha-di-asia-tenggara/ serta http://gokilonline.com/borobudur-peninggalan-nabi-sulaiman/</div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com15tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-86835874976012385102011-11-03T01:29:00.000-07:002011-11-03T01:29:35.142-07:00Nabi Ibrahim dalam Mitologi Jawa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <a href="http://www.semarweb.com/togog.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" src="http://www.semarweb.com/togog.jpg" /></a><br />
Di dalam Mitologi Jawa diceritakan bahwa salah satu leluhur Bangsa Sunda (Jawa) adalah Batara Brahma atau Sri Maharaja Sunda, yang bermukim di Gunung Mahera.<br />
<br />
Selain itu, nama Batara Brahma, juga terdapat di dalam Silsilah Babad Tanah Jawi. Di dalam Silsilah itu, bermula dari Nabi Adam yang berputera Nabi Syits, kemudian Nabi Syits menurunkan Sang Hyang Nur Cahya, yang menurunkan Sang Hyang Nur Rasa. Sang Hyang Nur Rasa kemudian menurunkan Sang Hyang Wenang, yang menurunkan Sang Hyang Tunggal. Dan Sang Hyang Tunggal, kemudian menurunkan Batara Guru, yang menurunkan Batara Brahma.<br />
<a name='more'></a><br />
Berdasarkan pemahaman dari naskah-naskah kuno bangsa Jawa, Batara Brahma merupakan leluhur dari raja-raja di tanah Jawa.<br />
<a href="http://www.semarweb.com/togog.jpg"></a><br />
Di dalam Kitab ‘al-Kamil fi al-Tarikh’ tulisan Ibnu Athir, menyatakan bahwa Bani Jawi (yang di dalamnya termasuk Bangsa Sunda, Jawa, Melayu Sumatera, Bugis… dsb), adalah keturunan Nabi Ibrahim.<br />
Bani Jawi sebagai keturunan Nabi Ibrahim, semakin nyata, ketika baru-baru ini, dari penelitian seorang Profesor Universiti Kebangsaaan Malaysia (UKM), diperoleh data bahwa, di dalam darah <strong>DNA Melayu</strong>, <strong>terdapat 27% Variant Mediterranaen</strong> (merupakan DNA bangsa-bangsa EURO-Semitik).<br />
Variant Mediterranaen sendiri terdapat juga di dalam DNA keturunan Nabi Ibrahim yang lain, seperti pada bangsa Arab dan Bani Israil.<br />
<br />
Sekilas dari beberapa pernyataan di atas, sepertinya terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Akan tetapi, setelah melalui penyelusuran yang lebih mendalam, diperoleh fakta, bahwa Brahma yang terdapat di dalam Metologi Jawa indentik dengan Nabi Ibrahim.<br />
<br />
Mitos atau Legenda, terkadang merupakan peristiwa sejarah. Akan tetapi, peristiwa tersebut menjadi kabur, ketika kejadiannya di lebih-lebihkan dari kenyataan yang ada.<br />
<br />
Mitos Brahma sebagai leluhur bangsa-bangsa di Nusantara, boleh jadi merupakan peristiwa sejarah, yakni mengenai kedatangan Nabi Ibrahim untuk berdakwah, dimana kemudian beliau beristeri Siti Qanturah (Qatura/Keturah), yang kelak akan menjadi leluhur Bani Jawi (Melayu Deutro).<br />
Dan kita telah sama pahami bahwa, Nabi Ibrahim berasal dari bangsa ‘Ibriyah, kata ‘Ibriyah berasal dari ‘ain, ba, ra atau ‘abara yang berarti menyeberang. Nama Ibra-him (alif ba ra-ha ya mim), merupakan asal dari nama Brahma (ba ra-ha mim).<br />
<br />
Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Brahma yang terdapat di dalam Mitologi Jawa adalah Nabi Ibrahim, di antaranya :<br />
<ol><li>Nabi Ibrahim memiliki isteri bernama Sara, sementara Brahma pasangannya bernama Saraswati.</li>
<li>Nabi Ibrahim hampir mengorbankan anak sulungnya yang bernama Ismail, sementara Brahma terhadap anak sulungnya yang bernama Atharva (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali)…</li>
<li>Brahma adalah perlambang Monotheisme, yaitu keyakinan kepada Tuhan Yang Esa (Brahman), sementara Nabi Ibrahim adalah Rasul yang mengajarkan ke-ESA-an ALLAH. Ajaran Monotheisme di dalam Kitab Veda, antara lain :<br />
<strong><em>Yajurveda Ch. 32 V. 3</em></strong> menyatakan bahwa <strong>tidak ada rupa bagi Tuhan, Dia tidak pernah dilahirkan, Dia yg berhak disembah<em></em></strong><br />
<strong><em>Yajurveda Ch. 40 V. 8</em></strong> menyatakan bahwa <strong>Tuhan tidak berbentuk dan dia suci<em><br />
</em></strong><br />
<strong><em>Atharvaveda Bk. 20 Hymn 58 V. 3</em></strong> menyatakan bahwa sungguh <strong>Tuhan itu Maha Besar</strong><br />
<strong><em>Yajurveda Ch. 32 V. 3</em></strong> menyatakan bahwa <strong>tidak ada rupa bagi Tuhan<em></em></strong><br />
<strong><em>Rigveda Bk. 1 Hymn 1 V. 1</em></strong> menyebutkan : <strong>kami tidak menyembah kecuali Tuhan yg satu<em></em></strong><br />
<strong><em>Rigveda Bk. 6 Hymn 45 V. 6</em></strong> menyebutkan <strong>“sembahlah Dia saja, Tuhan yang sesungguhnya”</strong><br />
Dalam <strong><em>Brahama Sutra</em></strong> disebutkan : <strong>“Hanya ada satu Tuhan, tidak ada yg kedua. Tuhan tidak berbilang sama sekali”</strong>.<br />
Sumber :<br />
http://rkhblog.wordpress.com/2007/09/10/hindu-dan-islam-ternyata-sama/<br />
Ajaran Monotheisme di dalam Veda, pada mulanya berasal dari Brahma (Nabi Ibrahim). Jadi makna awal dari Brahma bukanlah Pencipta, melainkan pembawa ajaran dari yang Maha Pencipta. </li>
<li>Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah (Ka’bah) di Bakkah (Makkah), sementara Brahma membangun rumah Tuhan, agar Tuhan di ingat di sana (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali). Bahkan secara rinci, kitab Veda menceritakan tentang bangunan tersebut :<br />
Tempat kediaman malaikat ini, mempunyai delapan putaran dan sembilan pintu… (Atharva Veda 10:2:31)<br />
Kitab Veda memberi gambaran sebenarnya tentang Ka’bah yang didirikan Nabi Ibrahim.<br />
Makna delapan putaran adalah delapan garis alami yang mengitari wilayah Bakkah, diantara perbukitan, yaitu Jabl Khalij, Jabl Kaikan, Jabl Hindi, Jabl Lala, Jabl Kada, Jabl Hadida, Jabl Abi Qabes dan Jabl Umar.<br />
Sementara sembilan pintu terdiri dari : Bab Ibrahim, Bab al Vida, Bab al Safa, Bab Ali, Bab Abbas, Bab al Nabi, Bab al Salam, Bab al Ziarat dan Bab al Haram.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://hasanalsaggaf.files.wordpress.com/2008/03/kabah-dulu-1918.jpg?w=376&h=233" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" src="http://hasanalsaggaf.files.wordpress.com/2008/03/kabah-dulu-1918.jpg?w=376&h=233" /></a></div><a href="http://imgtn3.ask.com/ts?t=10552944397156441047&pid=23152&ppid=9"><br />
</a> </li>
</ol><br />
Peninggalan Nabi Ibrahim, sebagai Rasul pembawa ajaran Monotheisme, jejaknya masih dapat terlihat pada keyakinan suku Jawa, yang merupakan suku terbesar dari Bani Jawi.<br />
<br />
Suku Jawa sudah sejak dahulu, mereka menganut <strong>monotheisme</strong>, seperti keyakinan adanya Sang Hyang Widhi atau Sangkan Paraning Dumadi.<br />
<br />
Selain suku Jawa, pemahaman monotheisme juga terdapat di dalam masyarakat <strong>Sunda Kuno</strong>. Hal ini bisa kita jumpai pada <strong>Keyakinan Sunda Wiwitan</strong>. Mereka meyakini adanya ‘Allah Yang Maha Kuasa’, yang dilambangkan dengan ucapan bahasa ‘<strong>Nu Ngersakeun</strong>‘ atau disebut juga ‘<strong>Sang Hyang Keresa</strong>‘.<br />
<div> Dengan demikian, adalah sangat wajar jika kemudian mayoritas Bani Jawi (khususnya masyarakat Jawa) menerima Islam sebagai keyakinannya. Karena pada hakekatnya, Islam adalah penyempurna dari ajaran Monotheisme (Tauhid) yang di bawa oleh leluhurnya Nabi Ibrahim.</div><div> </div>sumber: http://kanzunqalam.blogspot.com/</div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-65670331075865216402011-10-21T01:35:00.000-07:002011-10-25T20:54:53.644-07:00Rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwa Ting Diyu.<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGiRMegX4FhhX9GMqqp1hyphenhyphenIV9MczZ7DZmBPeTzUB2DT9jNuBD-CJQL5R5fgW9cXkSFi_BjKNsviFr9DkjAyARc2_d9tmCGQKsQoq5xf_IcGV68vHChQoWf8z4Y0COeG1irIeJhInb-1pk/s1600/sastra-jendra.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGiRMegX4FhhX9GMqqp1hyphenhyphenIV9MczZ7DZmBPeTzUB2DT9jNuBD-CJQL5R5fgW9cXkSFi_BjKNsviFr9DkjAyARc2_d9tmCGQKsQoq5xf_IcGV68vHChQoWf8z4Y0COeG1irIeJhInb-1pk/s320/sastra-jendra.jpg" width="320" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b></b>Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran “sang angkara murka “ justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra.</div><a name='more'></a><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b>Ilmu untuk Meraih Sifat Luhur Manusia.</b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b>Sifat Manusia Terpilih.</b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.”</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui.”</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia.”</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Nun jauh, negeri Ngalengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli. Beribu ribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri Ngalengka.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b>Pertemuan Dua Anak Manusia.</b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berangkatlah Begawan Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa “ perbuatan “ sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi menantunya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Luluh hati sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. “ Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut pada sembarang orang “.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Betara Guru. “ Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya “.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sang Betara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. “ tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. “ Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b>Tergelincir Dalam Kesesatan.</b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan, akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang kesatria.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b>Akhir Yang Tercerahkan.</b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puaj dan puji ke hadlirat Tuhan yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi pertempuran menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sumber : http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/rahasia-sastra-jendra-hayuningrat/ </div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-11984221700982386272011-10-21T00:50:00.000-07:002011-10-21T00:50:46.361-07:00Pagelaran Wayang Ruwatan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilCr7cVKkdHjWhVIXaJbuTdPG3TK_U4ZRQYFaShUkpoo3jC6-ZCI81Viu4NnHKTVeQYsboYKzdAiSXNZGtYAD3DqWlOb4FE-ioy0QA5eE-7uPXSBQZKzFdsUXeue03IKGora0pvddnV7A/s1600/wayang-kulit-art.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilCr7cVKkdHjWhVIXaJbuTdPG3TK_U4ZRQYFaShUkpoo3jC6-ZCI81Viu4NnHKTVeQYsboYKzdAiSXNZGtYAD3DqWlOb4FE-ioy0QA5eE-7uPXSBQZKzFdsUXeue03IKGora0pvddnV7A/s320/wayang-kulit-art.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;">Pagelaran wayang yang dilakukan untuk keperluan ‘ruwatan’, lazimnya juga dilakukan di sekitar tanggal 1 bulan Sura. Pada masyarakat suku-bangsa Jawa, pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan dalam rangka ‘ruwatan’, lazimnya juga disesuaikan untuk keperluan tertentu. Secara adat dikenal ada sejumlah upacara ‘ruwatan’ yang berbeda-beda. Namun, banyak juga masyarakat kita yang sebenarnya tidak mengerti apa itu ruwatan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa pagelaran wayang dilaksanakan.</div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">Salah satu bentuk upacara ritual adat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, adalah upacara ritual adat <i>ruwatan</i>. Upacara ritual adat <i>ruwatan</i> ini, pada dasarnya bertujuan mengingatkan manusia akan adanya berbagai keburukan dan risiko yang mungkin akan ditanggung manusia sebagai akibatnya. Keburukan-keburukan yang dimaksud itu, umumnya berkait erat dengan sejumlah peri-laku atau kebiasaan tertentu yang bersifat negatif.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada masa sekarang, disebabkan ketidak-tahuan dan ketidak-pahaman akan makna dan hakekat sesungguhnya dari pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwatan</i>, banyak kalangan masyarakat suku-bangsa Jawa (terutama orang yang berada, pejabat, atau orang yang kaya) yang sekedar melaksanakan upacara ritual adat<i>ruwatan</i> ini secara besar-besaran, sekedar untuk menunjukkan atau pamer kepada khalayak ramai, bahwa mereka itu ‘orang Jawa yang menjunjung tinggi tradisi nenek-moyangnya’.</div><div style="text-align: justify;">Sebagian besar golongan ini, meskipun melaksanakan secara besar-besaran, bahkan seringkali tidak pernah tahu sama sekali dan tidak tahu apa-apa tentang upacara ritual adat <i>ruwatan</i>. Dengan kata lain, jika mereka cukup kaya dan beruang; maka rasanya tidak lengkap dan tidak afdol, jika tidak melaksanakan upacara ritual adat <i>ruwatan</i>. Dengan demikian, upacara ritual adat <i>ruwatan</i> tidak lebih dan tidak kurang, lalu menjadi semacam kecenderungan (Inggris : <i>trend</i>) untuk menampilkan diri, mengangkat harga diri, dan menaikkan nilai kehormatan seseorang di mata kelompok masyarakat sekitarnya. Kecenderungan ini, justru banyak terjadi pada masyarakat suku-bangsa Jawa yang terpelajar, berpendidikan cukup tinggi, kaya, merupakan orang terpandang, atau mempunyai jabatan yang penting. Sebagian besar dari mereka itu, tinggal di kota-kota besar.</div><div style="text-align: justify;">Upacara ritual adat <i>ruwatan</i>, sebenarnya sangat erat hubungannya dengan adanya sebuah kepercayaan, yang sudah hidup selama ratusan tahun di pulau Jawa. Masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa sangat mempercayai bahwa kehidupan mereka itu sebenarnya sangat dipengaruhi oleh <i>sang Kâlâ;</i> yang dalam dunia <i>wayang</i> diperankan oleh <i>Bathârâ Kâlâ,</i> yakni <i>déwâ</i> yang dipercayai sebagai pembawa maut, pembawa sial, atau pembawa mala-petaka dalam kehidupan manusia di alam <i>jânâlokâ;</i> baik manusia secara individu, maupun manusia secara kelompok sosial. Dalam hal ini, istilah<i> kâlâ</i> sebenarnya pengertiannya lebih mewakili ‘waktu’. Dalam bahasa Jawa, kata <i>sângkâ-kâlâ,</i> berarti : terompet penanda waktu. Pada jaman dahulu, <i>sângkâ-kâlâ</i> digunakan untuk memberi aba-aba (tanda) kepada pasukan untuk mulai melakukan penyerangan, penyerbuan, atau digunakan untuk memberi aba-aba (tanda) kepada pasukan untuk menghentikan penyerangan. <i>Sângkâ-kâlâ,</i> merupakan sejenis terompet yang dibuat dari rumah keong laut (siput laut) yang berukuran besar. Alat ini, dibunyikan dengan cara ditiup.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span id="more-6619"></span>Tetapi <i>kâlâ</i> juga mempunyai pengertian lain, yaitu : jerat, jebakan, atau perangkap. Dalam bahasa Jawa, kata <i>dikâlâ,</i>[1] mempunyai arti : dijerat. Jika kedua arti kata itu digabungkan, maka pengertian <i>kâlâ </i>menjadi lebih jelas, yaitu : jerat waktu, jebakan waktu, perangkap waktu, atau waktu yang menjerat. Dengan demikian, lebih jelas pula peran <i>sang Kâlâ</i> atau <i>Bathârâ Kâlâ</i> dalam kehidupan manusia di alam <i>jânâlokâ</i>; yaitu menjebak manusia sehingga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan masalah waktu. Pengertian ‘waktu’ di sini, lebih mengarah kepada ‘umur manusia’. Dengan kata lain, jika <i>sang Kâlâ</i> atau<i>Bathârâ Kâlâ</i> berhasil menjebak seorang manusia, maka umur manusia tersebut akan menjadi pendek atau mati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam hikayatnya, <i>sang Kâlâ</i> atau <i>Bathârâ Kâlâ</i> diberi wewenang oleh <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya), untuk mencelakakan, menjebak dan ‘memakan’ manusia yang berperi-laku buruk. Untuk menangkal keganasan <i>sang Kâlâ</i> atau <i>Bathârâ Kâlâ</i> inilah, maka manusia perlu <i>diruwat</i>. Adapun satu-satunya orang yang berhak melakukan upacara ritual adat <i>ruwatan,</i>untuk menangkal keganasan <i>sang Kâlâ,</i> adalah seorang tokoh yang dikenal sebagai <i>dhalang Kândhâ Buwânâ;</i> yang dalam hikayatnya disebut sebagai penjelmaan <i>Bathârâ Wîsnu </i>atau <i>Sang Hyang Wîsnu</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Istilah <i>ruwat,</i> mempunyai arti : pelihara atau rawat. Dalam bahasa Jawa, kata<i>diruwat,</i> mempunyai arti : dipelihara atau dirawat. Istilah memelihara atau merawat, dalam bahasa Jawa disebut : <i>ngruwat, ngrawat, angruwat, angrawat, hangruwat,</i>atau<i> hangrawat.</i> Sedangkan pelaksanaan kegiatannya, dalam bahasa Jawa disebut : <i>ruwatan</i> atau <i>rawatan</i>. Dengan demikian, jelaslah bahwa upacara ritual adat <i>ruwatan,</i> bertujuan memberikan petunjuk bagaimana cara memelihara atau merawat ‘sesuatu hal’; sehingga kondisinya menjadi lebih baik, atau sekurang-kurangnya kondisinya tetap terpelihara dengan baik. Dalam pengertian ini, yang dimaksud dengan ‘sesuatu hal’, adalah kehidupan manusia itu sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Gamelan</i> berbunyi nyaring, <i>gendhîng</i> <i>Talu</i> ditabuh menguak <i>pagelaran;</i> mengiring datangnya <i>dhalang</i> melangkah ke alam jagat raya. Menceritakan perjalanan waktu, menjelajahi hikayat kehidupan manusia di alam <i>jânâlokâ</i>. Lalu seakan semuanya menjadi hening di dalam ramainya <i>lelakôn</i> manusia, menyadarkan kembali manusia akan kekuatan <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya). Bayang-bayang dimainkan dalam keremangan gejolak lidah api <i>bléncông;</i>menghidupkan citra kehidupan masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Membuka mata hati manusia, mengingatkan bahwa hidup ini hanyalah sepenggal waktu yang pendek, ibarat singgah minum dalam perjalanan <i>lelakôn</i> manusia yang panjang. <i>Gunungan</i> diangkat tinggi-tinggi, membayangkan getar-getar kehidupan di dalam layar <i>lelakôn</i> manusia. <i>Tembang</i> dan syair menceritakan awal dan akhir perjalanan kehidupan manusia di dunia yang fana. Penuh cerita tentang keburukan dan kebaikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Begitulah lazimnya permulaan sebuah <i>pagelaran</i> <i>ruwatan</i> dalam masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa dilaksanakan. Masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, sejak jaman dahulu kala, sudah mengenal adanya upacara ritual adat yang kemudian disebut sebagai upacara ritual adat <i>ruwatan</i>. Pada jaman modern ini (pada permulaan abad keduapuluh satu), tradisi untuk melaksanakan upacara ritual adat <i>ruwatan</i> ini, masih dapat kita saksikan. Bahkan di kota-kota besar ada semacam kecenderungan untuk melaksanakan upacara ritual adat <i>ruwatan</i> secara besar-besaran, misalnya dengan menggelar pertunjukan <i>wayang kulît pûrwâ</i>yang dimainkan oleh <i>dhalang</i> terkenal. Sering pula kita bisa menemukan upacara ritual adat <i>ruwatan</i> yang dilaksanakan oleh anggauta masyarakat yang dapat kita golongkan berpendidikan, terpandang, berada, tokoh masyarakat, pejabat negara, atau orang kaya. Upacara ritual adat <i>ruwatan,</i> seringkali dilaksanakan oleh suatu keluarga, hanya demi memenuhi tradisi dan adat-istiadat semata. Sedangkan kenyataannya, tidaklah terlalu banyak orang yang tahu hakekat yang sesungguhnya dari upacara ritual adat <i>ruwatan</i> itu sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut kepercayaan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, upacara ritual adat <i>ruwatan</i> harus dilaksanakan jika ada salah satu anggauta keluarga yang berbuat kesalahan, melanggar pantangan, atau ada suatu kondisi tertentu dalam satu keluarga. Menurut adat tradisi masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, terdapat berbagai macam pantangan, syarat, atau keadaan, yang secara tradisional harus diperhatikan dan ditaati. Pelanggaran atas suatu pantangan tertentu, atau terjadinya suatu kondisi tertentu pada suatu keluarga, berakibat anggauta keluarga yang bersangkutan harus <i>diruwat.</i> Jika tidak <i>diruwat</i>, maka anggauta keluarga tersebut dipercayai akan celaka atau menjadi mangsa <i>sang Kâlâ</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ,</i> adalah suatu upacara ritual adat <i>ruwatan</i> yang dilakukan untuk menangkal keganasan <i>Bathârâ Kâlâ</i> atau <i>Sang Hyang Kâlâ</i>terhadap <i>jalmâ</i> (manusia). Di bawah ini diterakan berbagai pantangan atau kondisi yang membuat seseorang harus <i>diruwat.</i> Sudah barang tentu bahasannya harus dipandang dalam lingkup masa lampau. Namun demikian, pada lingkup masa sekarang, masih banyak juga yang berlaku. Antara lain, misalnya sebagai berikut:</div><ul style="text-align: justify;"><li>Seseorang yang menggulingkan <i>dandang;</i> yaitu periuk atau wadah yang digunakan untuk menanak nasi. Pada masa lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa menanak nasi menggunakan dandang. Jika seorang anggauta keluarga karena sesuatu hal menggulingkan <i>dandang,</i> sehingga pecah atau rusak; maka akibatnya seluruh keluarga tidak akan bisa makan. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa kehidupan kita harus ditempuh secara hati-hati dan penuh perhitungan. Jika kita tidak berhati-hati, dan berbuat suatu kesalahan; maka seringkali yang menjadi korban tidak saja yang berbuat kesalahan, tetapi juga orang lain yang berada di sekitarnya; misalnya, anggauta keluarga lainnya.<i>Dandang,</i> melambangkan sarana yang digunakan untuk menghasilkan suatu kesejahteraan (misalnya : perusahaan, tempat kerja, atau lahan pertanian), yang diberikan atau dikaruniakan oleh <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita.</li>
<li>Seseorang yang memecahkan <i>pipisan;</i> yaitu sarana penggiling yang dibuat dari <i>watu</i> (batu), yang digunakan untuk membuat ramuan <i>jamu</i> (obat tradisional). Pada masa yang lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa sangat menggantungkan kesehatan jasmaninya pada berbagai jenis<i>jamu</i> (obat-obatan tradisional) buatan sendiri. Karenanya, setiap keluarga selalu menyediakan sebuah <i>pipisan,</i> sebagai sarana untuk membuat jamu (obat tradisional). Jika seorang anggauta keluarga karena sesuatu hal menjatuhkan <i>pipisan,</i> sehingga pecah atau rusak; maka akibatnya jika ada salah satu anggauta keluarga yang sakit, mungkin tidak akan bisa diobati; karena alat pembuat obatnya rusak. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa peri-laku kehidupan kita harus ditempuh secara hati-hati dan penuh perhitungan. Jika kita tidak berhati-hati, mungkin saja anggauta keluarga yang lain bisa mendapat mala-petaka atau celaka. <i>Pipisan,</i> melambangkan sarana penangkal terhadap berbagai kesulitan (misalnya : manajemen, cara, sistem, atau konsultan/penasehat perusahaan kita), yang diberikan atau dikaruniakan oleh <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita.</li>
<li>Seseorang yang menumpahkan <i>segâ</i> (nasi) dari tempatnya. Nasi, adalah makanan utama kebanyakan keluarga masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa. Secara tradisional bahkan <i>pari</i> (padi) dan nasi, menduduki tempat yang sangat terhormat,[2] dan dipandang sebagai suatu pemberian oleh<i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya) yang harus selalu disukuri. Jika seseorang karena sesuatu hal menumpahkan <i>segâ</i> (nasi), maka ia dianggap tidak menghormati pemberian <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i>(Sang Penguasa Jagat Raya). Dan lebih celaka lagi, jika nasi sampai ditumpahkan, maka akan terbuang percuma. Sebagai akibatnya, mungkin seluruh anggauta keluarga tidak akan bisa makan. Makna yang dikandung dalam pantangan ini, adalah bahwa kita harus selalu berhati-hati dan berlaku cermat dengan rejeki (apapun bentuknya) yang telah kita terima. Jika kita tidak melakukan hal itu, mungkin saja kehidupan kita akan menjadi susah. <i>Sega</i> (nasi), melambangkan hasil yang didapat dari sarana dan penangkal berbagai kesulitan yang kita gunakan; (misalnya : harta, rejeki, tanah, uang, hasil bumi, pangan, atau tempat tinggal), yang merupakan pemberian (karunia) dari <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita dan seluruh keluarga kita</li>
<li>Keluarga yang mempunyai anak yang digolongkan sebagai <i>‘ontang-antîng’;</i>[3] yaitu anak tunggal atau anak semata <i>wayang</i>. Anak tunggal, baik pria atau wanita, umumnya akan berlaku manja. Jika orang-tua tidak berlaku hati-hati dalam mendidiknya, maka di kemudian hari mungkin anak tunggal ini akan menyulitkannya. Misalnya, anak tunggal ini akan cenderung menjadi sulit untuk mandiri, malas, <i>kemratu-ratu</i> (berperi-laku seakan-akan seperti <i>ratu</i> atau <i>râjâ</i>), mau menang sendiri, segala yang diminta harus dipenuhi seketika, cenderung untuk selalu bergantung kepada orang-tua, atau cenderung selalu meminta berbagai hal yang mungkin sulit untuk ditolak dan mungkin juga sulit untuk dipenuhi oleh orang-tuanya yang sangat menyayanginya. Anak dengan peri-laku seperti ini, tentu saja akan sangat menyulitkan orang-tuanya.</li>
<li>Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai <i>‘kedhânâ-kedhini’;</i>[4] yaitu dua anak bersaudara kandung, pria dan wanita. Dua anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, apalagi jika orang-tuanya tidak selalu bisa mendampinginya; bisa-bisa terjadi hubungan sex antar saudara sekandung. Sudah barang tentu, jika hal ini terjadi, akan menjadi mala-petaka bagi seluruh keluarganya.[5]</li>
<li>Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai <i>‘sendhang kapît pancuran’;</i>[6] yaitu tiga anak bersaudara kandung, yang pertama (sulung) seorang pria,[7] yang kedua (tengah)[8] seorang wanita; dan yang ketiga (bungsu)[9] seorang pria. Tiga anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin anak perempuannya (anak kedua) yang mempunyai kakak dan adik pria, akan menjadi bersifat kelaki-lakian (Inggris : <i>tomboy</i>). Dan sangat mungkin karena berada di lingkung pria; maka anak ini juga akan berperi-laku dan mempunyai berbagai kebiasaan pria, termasuk berbagai kebiasaan buruknya.</li>
<li>Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai <i>‘pancuran kapît sendhang’;</i> yaitu tiga anak bersaudara kandung, yang pertama (sulung) seorang wanita, yang kedua (tengah) seorang pria; dan yang ketiga (bungsu) seorang wanita. Tiga anak bersaudara seperti ini, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin anak lelakinya (anak kedua) yang mempunyai kakak dan adik perempuan, akan menjadi bersifat kewanita-wanitaan atau menjadi<i>wandu</i> (banci; Inggris : <i>gay</i>). Dan sangat mungkin karena berada di lingkung wanita; maka anak ini juga akan berperi-laku dan mempunyai berbagai kebiasaan wanita, termasuk berbagai kebiasaan buruknya.</li>
<li>Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai <i>‘pandhâwâ limâ’;</i> yaitu lima anak bersaudara kandung, semuanya pria. Lima orang anak bersaudara semuanya lelaki, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin kelima anak lelakinya itu akan menjadi sangat nakal dan berandal. Mungkin saja mereka berlima itu, akan dikenal oleh tetangga, masyarakat, atau orang sekelilingnya sebagai ‘gerombolan anak lelaki yang bengal’ (Inggris :<i>crossboy</i>).</li>
<li>Jika suatu keluarga mempunyai anak yang digolongkan sebagai <i>‘putri pandhâwâ’; </i>yaitu lima anak bersaudara kandung, semuanya wanita. Lima orang anak bersaudara semuanya wanita, jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, sangat mungkin kelima anak perempuannya itu akan menjadi sangat nakal dan berandal. Mungkin saja mereka berlima itu, akan dikenal oleh tetangga, masyarakat, atau orang sekelilingnya sebagai ‘gerombolan anak perempuan yang bengal’ (Inggris : <i>crossgirl</i>).</li>
<li>Jika suatu keluarga mempunyai dua anak bersaudara kandung, dan kedua-duanya pria. Jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, bisa-bisa di antara mereka berdua itu menjadi saling menyukai dan mencintai; dan bisa saja menjadi homosex.</li>
<li>Jika suatu keluarga mempunyai dua anak bersaudara kandung; dan kedua-duanya wanita. Jika orang-tuanya tidak berhati-hati dalam mendidik moral dan budi-pekertinya, bisa-bisa di antara mereka berdua itu menjadi saling menyukai dan mencintai; dan bisa saja menjadi lesbian.</li>
</ul><ul style="text-align: justify;"><li>Dari pembahasan di atas, dapatlah dibayangkan sejumlah akibat dan kecenderungan yang bersifat negatif, yang diakibatkan oleh adanya beberapa kondisi tertentu dalam suatu keluarga; atau, akibat adanya suatu pantangan adat yang tidak dipatuhi. Kita tidak mempersoalkan, apakah adat-istiadat tradisional tersebut dianggap kuno atau tidak; yang jelas segala sesuatu yang dijadikan pantangan dalam masyarakat tradisional kita itu, mempunyai tujuan yang baik; yakni menghindarkan dari terjadinya mala-petaka. Selain itu, sudah barang tentu bertujuan pula mengingatkan kita untuk selalu memperbaiki peri-laku, moral, budi-pekerti, lingkung sekitar, keadaan, dan kondisi keluarga; sehingga menjadi lebih baik, berkepribadian positif, dan bertanggung-jawab.</li>
</ul><div style="text-align: justify;">Menurut kepercayaan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, anggauta keluarga yang melanggar pantangan adat; atau, adanya suatu kondisi khas anak-anak dalam suatu keluarga; jika tidak <i>diruwat</i> (jika tidak dirawat), akan menjadi santapan <i>sang Kâlâ</i> atau <i>Bathârâ Kâlâ</i>. Atau, secara singkat mungkin akan mendatangkan mala-petaka. Untuk menghindarkan terjadinya hal itu, maka perlu dilaksanakan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>. Upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>, biasanya dilaksanakan dengan cara melakukan <i>pagelaran wayang kulît pûrwâ</i>.<i>Pagelaran</i> ini, kadang-kadang dilakukan secara pendek (sekitar dua atau tiga jam); atau, semalam suntuk. Cerita atau <i> lakôn</i> yang dimainkan dalam <i>pagelaran wayang kulît pûrwâ</i> yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>; biasanya merupakan cerita yang sangat khas, yaitu cerita<i>Murwâ Kâlâ</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Dhalang</i> yang memainkan <i>wayang</i> dalam <i>pagelaran wayang kulît pûrwâ</i> yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>; biasanya merupaan seorang <i>dhalang</i> yang sudah tua dan sudah mempunyai banyak pengalaman. Selain itu, <i>dhalang</i> tersebut biasanya juga seorang <i>dhalang ruwat</i>. Dalam cerita <i>Murwâ Kâlâ</i> yang lazim digunakan untuk keperluan pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>, dikenal adanya empat tokoh penting; yaitu :</div><ol style="text-align: justify;"><li>Tokoh <i>Mbôk Rândhâ Dhadhapan;</i> janda dari desa <i>Dhadhapan,</i> mewakili tokoh ibu, yaitu orang yang paling bertanggung-jawab terhadap anak. Tokoh ini, juga mewakili tokoh ibu atau orang-tua dalam suatu keluarga, yang anggauta keluarganya harus <i>diruwat</i>.</li>
<li>Tokoh <i>Jâkâ Jatûs Mati;</i>[10]<i> </i>mewakili seseorang yang mungkin bisa mengalami mala-petaka; atau mewakili anggauta keluarga yang harus <i>diruwat</i>.Tokoh ini, diceritakan sebagai anak <i>mbôk rândhâ Dhadhapan</i>.</li>
<li>Tokoh <i>Sang Hyang Kâlâ</i> atau <i>Bathârâ Kâlâ;</i> mewakili kondisi negatif atau mala-petaka yang mungkin akan didapatkan seseorang. Tokoh ini, mewakili kekuatan yang akan menghukum dan ‘memangsa’ anggauta keluarga yang belum<i>diruwat</i>, dan telah melanggar pantangan atau berada dalam kondisi khas.</li>
<li>Tokoh <i>Dhalang Kândhâ Buwânâ; </i>mewakili tokoh yang memberikan nasehat atau jalan ke luar. Tokoh ini, mewakili kekuatan yang akan menyadarkan, menangkal, atau menghilangkan hukuman yang dijatuhkan terhadap anggauta keluarga yang telah melanggar pantangan, atau berada dalam kondisi khas.</li>
</ol><div style="text-align: justify;">Dalam hikayat <i>Murwâ Kâlâ</i>, diceritakan bahwa <i>Jâkâ Jatûs Mati</i> selama hidupnya telah berbuat banyak kesalahan dengan melanggar berbagai pantangan; misalnya : memecahkan <i>pipisan</i> milik ibunya. Sebagai akibatnya, ia dikejar-kejar oleh <i>Bathârâ Kâlâ</i> atau <i>Sang Hyang Kâlâ;</i> untuk dijadikan mangsa. Dalam hikayat ini, juga diceritakan adanya berbagai jenis ‘korban’ yang boleh dimangsa dan dimakan oleh <i>Bathârâ Kâlâ</i>. Daftar persyaratan makanan yang boleh dimakan oleh<i>Bathârâ Kâlâ</i> dan berbagai makanan yang tidak boleh dimakan oleh <i>Bathârâ Kâlâ</i>, diberikan oleh para <i>déwâ</i> penguasa jagat raya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ‘makanan’, secara umum adalah manusia yang telah berbuat kesalahan, dengan melanggar berbagai pantangan; atau, manusia yang berada dalam suatu kondisi khas.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">‘Daftar makanan’ atau ‘menu makanan’ bagi <i>Bathârâ Kâlâ</i> ini, yang isinya sebenarnya adalah daftar persyaratan manusia yang berada dalam kondisi khas; dalam hikayatnya, diceritakan dituliskan di dahi <i>Bathârâ Kâlâ</i>, dalam bentuk rangkaian tulisan atau teraan yang disebut <i>‘Rajah Kâlâ Câkrâ’</i>.[11] Karena daftar makanan itu diterakan di dahi <i>Bathârâ Kâlâ</i>, maka ia tidak akan pernah lupa; dan akan selalu ingat, apa saja yang menjadi makanannya. Di dalam hikayatnya,<i>Bathârâ Kâlâ</i> hanya diperbolehkan menyantap ‘makanan’ yang belum <i>diruwat</i>. Sedangkan ‘makanan’ yang sudah <i>diruwat</i>, tidak diperbolehkan dimakan oleh<i>Bathârâ Kâlâ</i>. Dalam hal ini, tokoh yang ditugasi untuk menangkal dan menyelamatkan manusia yang telah berbuat kesalahan, melanggar pantangan, atau mempunyai suatu kondisi khas; adalah tokoh <i>dhalang Kândhâ Buwânâ</i>. Tokoh ini, dalam hikayat diceritakan sebagai penjelmaan <i>Bathârâ Wîsnu </i>atau <i>Sang Hyang Wîsnu; </i>yang merupakan <i>déwa</i> kebaikan, yang bertugas memerangi kejahatan dan kebathilan.[12]</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>, biasanya anggauta keluarga yang akan <i>diruwat</i>, dimandikan lebih dahulu menggunakan air suci oleh seorang<i>dhalang ruwat;</i> yang bertindak sebagai <i>pawang</i> atau <i>dhukûn ruwat</i> dalam upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>. Secara tradisional, air suci ini harus diambil dari tujuh mata air yang berbeda letaknya. Mencari dan mengupayakan air yang berasal dari tujuh sumber air yang berbeda, bukan merupakan hal yang mudah (terutama pada masa sekarang). Ini mempunyai makna, bahwa upaya awal untuk memperbaiki sesuatu yang telah terlanjur rusak; misalnya : peri-laku, sifat, atau kebiasaan; bukan merupakan hal yang mudah; dan untuk bisa dilaksanakan, diperlukan upaya yang luar biasa. Dengan demikian, persyaratan adanya air yang berasal dari tujuh sumber yang berbeda ini, harus dipandang sebagai sebuah perlambangan; yang menggambarkan kepada kita betapa sulitnya upaya awal yang diperlukan oleh seseorang, untuk memperbaiki berbagai keburukan, peri-laku, sifat, atau kebiasaannya. Dan hanya dengan upaya yang luar biasa, perbaikan diri itu bisa dilaksanakan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada saat <i>pagelaran</i> <i>wayang</i> yang dilaksanakan dalam rangka upacara ritual adat<i>ruwat jalmâ</i> itu dilakukan; anggauta keluarga yang hendak <i>diruwat</i>, disusupkan (dimasukkan) ke dalam panggung <i>pagelaran</i>, melalui bagian depan tempat duduk<i>dhalang</i>. Peristiwa ini, dilakukan pada saat <i>pagelaran</i> <i>wayang</i> hendak dimulai. Kemudian, anggauta keluarga yang hendak <i>diruwat</i> itu, diberi tempat duduk di sebelah kanan atau di belakang tempat duduk <i>dhalang</i>. Peristiwa ini, bukanlah sekedar peristiwa fisik, melainkan merupakan sebuah peristiwa perlambangan; yakni melambangkan bahwa anggauta keluarga yang hendak <i>diruwat</i> itu (yang disusupkan ke dalam panggung <i>pagelaran</i>), sekarang sudah menjadi bagian dari<i>pagelaran</i> <i>wayang</i>. Ia, bukan lagi penonton, melainkan sudah dilebur dan menjadi bagian langsung dari cerita <i>Murwâ Kâlâ</i>. Keberadaannya di dunia ini, kemudian diwakili di <i>geber/kelîr wayang</i> (layar <i>wayang</i>) oleh tokoh <i>Jâkâ Jatûs Mati</i> dalam<i>pagelaran</i> <i>wayang ruwatan</i> tersebut.</div><div style="text-align: justify;">Selama <i>pagelaran</i> berlangsung, diceritakan bahwa bermacam pantangan telah dilanggar oleh <i>Jâkâ Jatûs Mati</i>. Alur ceritanya sendiri, secara jelas menggambarkan bagaimana tokoh <i>Jâkâ Jatûs Mati</i> dikejar-kejar oleh <i>Bathârâ Kâlâ</i>; karena ia merupakan manusia yang berbuat kesalahan, dengan melanggar berbagai pantangan yang diterakan di dalam <i>Rajah Kâlâ Câkrâ</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Untuk menghindarkan <i>Jâkâ Jatûs Mati</i> dari kejaran <i>Bathârâ Kâlâ</i>, maka <i>mbôk rândhâ Dhadhapan</i> berkenan meminta bantuan seorang <i>dhalang</i> untuk melaksanakan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>.[13] <i>Dhalang</i> yang dipanggil untuk melaksanakan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i> ini, adalah <i>dhalang Kândhâ Buwânâ,</i>[14]<i> </i>yang tidak lain adalah penjelamaan <i>Bathârâ Wîsnu </i>atau <i>Sang Hyang Wîsnu</i>. Makna dari peristiwa ini, adalah bahwa mengingatkan seseorang dari berbagai peri-laku dan sifat buruk yang dimilikinya, umumnya tidak bisa dilakukan oleh anggauta keluarga sendiri (orang-tua atau saudara). Seorang anak yang berperi-laku buruk misalnya, seburuk apapun peri-lakunya, akan tetap dipandang sebagai anak kesayangan oleh orang-tuanya. Bahkan di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa ada pepatah <i>‘kencânâ katôn wingkâ’;</i>[15] yang artinya : anak sendiri, seburuk apapun peri-lakunya, akan diperlakukan dan dianggap sebagai anak yang baik. Dengan pemahaman seperti ini, jelas akan sulitlah bagi suatu keluarga (orang-tua) jika hendak menasehati anggauta keluarga atau anaknya. Karenanya, lalu dibutuhkan peran ‘orang ketiga’ atau orang lain yang disegani, untuk menasehati anggauta keluarga, atau anak yang bermasalah itu. Dalam hal ini, peran ‘orang lain’ ini, dalam upacara ritual adat<i>ruwat jalmâ,</i> dilakukan oleh <i>dhalang</i>. Sedangkan di dalam layar <i>pagelaran</i>wayang, peran ini dilakukan oleh tokoh <i>dhalang Kândhâ Buwânâ</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di sinilah terjadi dialog antara kejahatan dengan kebaikan; antara dunia hitam dengan dunia putih; antara peri-laku baik dengan peri-laku buruk; antara kebathilan dengan kesucian. Berbagai proses yang harus ditempuh manusia sebagai suatu cara untuk mengalahkan, menghilangkan, dan menetralisasi keburukan, kejahatan, peri-laku buruk, kebiasaan buruk, dan sifat buruk manusia; diceritakan secara tahap demi tahap oleh <i>dhalang ruwat</i> secara tidak langsung; lewat tokoh <i>dhalang</i> <i>Kândhâ Buwânâ</i>. Selain itu, biasanya kepada tokoh <i>Jâkâ Jatûs Mati</i> (yang sebenarnya mewakili anggauta keluarga yang hendak atau sedang <i>diruwat</i>) juga diberikan berbagai nasehat, petuah, atau <i>wejangan</i>; yang berguna untuk menempuh hidup.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Pagelaran wayang kulît pûrwâ</i> yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>, sebenarnya merupakan suatu <i>pagelaran</i> yang pada dasarnya menceritakan proses pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>itu sendiri. Dengan demikian, <i>pagelaran</i> ini seakan-akan merupakan ‘cerita di dalam suatu cerita’. Seluruh dialog yang dilakukan <i>dhalang</i> selama <i>pagelaran</i>berlangsung, sebenarnya merupakan proses <i>ngruwat</i>; dan juga merupakan proses pemberian nasehat, <i>wejangan,</i> atau ajaran kepada anggauta keluarga yang sedang <i>diruwat</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Masyarakat awam, lazimnya memandang bahwa dengan telah dilaksanakannya upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>, maka segala sesuatunya akan menjadi beres dan selesai. Hal ini, merupakan pandangan yang dapat dikatakan sangat salah (tidak benar). Tetapi apa boleh buat, dangkalnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat tentang hakekat <i>ruwatan</i> itu sendiri, seringkali menggiring kepada pemahaman seperti itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>, adalah sebuah ritual yang seharusnya dilaksanakan dengan tujuan menyadarkan kita sebagai manusia (dengan tidak membedakan atas ras, bangsa, suku-bangsa, agama, atau kepercayaan), untuk selalu mengkoreksi diri sendiri. Apakah ada sifat, sikap, dan peri-laku kita yang negatif (buruk) dalam menghadapi hidup, lingkungan, atau masyarakat yang ada di sekeliling kita; yang semestinya harus diperbaiki. Istilah <i>ngruwat</i> itu sendiri, artinya setara dengan memelihara atau merawat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tokoh <i>Bathârâ Kâlâ,</i> mempunyai hakekat yang lebih dari sekedar tokoh ‘pemangsa manusia’ yang bersalah atau telah melanggar pantangan. Seperti telah dijelaskan, <i>kâlâ</i> adalah refleksi dari waktu; atau juga berarti jerat. Hakekatnya, di dunia ini tidak ada sebuah benda atau makhluk apapun yang tidak dijerat atau dimangsa oleh <i>Bathârâ Kâlâ</i>; artinya di dunia ini tidak ada sebuah benda atau makhluk apapun yang tidak dimakan oleh waktu. Semua benda atau makhluk, pada dasarnya dimakan oleh waktu, sehingga akhirnya menjadi rapuh dan hancur. Jika kita tidak memelihara atau merawat; atau, jika kita tidak ‘<i>ngruwat</i>’ berbagai benda yang ada di sekeliling kita, maka proses penghancuran oleh waktu akan berlangsung secara lebih cepat. Misalnya, kita mempunyai rumah. Jika rumah kita ini tidak kita pelihara dengan baik, maka dalam waktu singkat rumah kita itu akan menjadi rusak dan akhirnya hancur. Sebaliknya, jika kita memelihara dan merawatnya dengan baik; maka rumah kita itu akan semakin panjang umurnya. Hal yang sama, berlaku juga untuk benda-benda lain yang ada di sekeliling kita; misalnya : baju, celana, sepatu, tempat tidur, meja, kursi, mobil, sepeda motor, alat kerja kita, dan sebagainya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Cerita yang lazim digelar dalam rangka pelaksanaan upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i>, adalah cerita <i>Mûrwâ Kâlâ</i>. Kata<i> mûrwâ,</i> berasal dari kata dasar <i>pûrwâ</i> atau<i>parwâ; </i>yang artinya : awal, mula, yang awal, yang pertama, yang paling depan, yang paling awal, atau yang paling ujung. Kata <i>mûrwa, mûrwani, amûrwani,</i> atau<i>hamûrwani;</i> dapat diartikan sebagai : memulai atau mengawali. Dengan demikian, rangkaian kata <i>Murwâ Kâlâ</i> atau <i>Pûrwâ Kâlâ;</i> dapat diartikan sebagai : waktu awal atau saat awal. Atau, secara lebih luas, memberikan makna ‘waktu yang ditetapkan untuk mengawali hidup kita’. Dengan demikian, hakekat atau makna<i>Murwâ Kâlâ</i>, adalah : saat (waktu) yang kita tetapkan untuk memulai dan melakukan suatu kegiatan introspeksi ke dalam diri kita sendiri, untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri, bagi perjalanan menempuh kehidupan di masa depan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hidup kita di dunia ini, adalah menjalani <i>lelakôn</i> (takdir) dan kehidupan yang sejalan dengan panjang waktu <i>(kâlâ)</i> yang diberikan oleh <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya) kepada kita. Waktu hidup ini, bagi setiap benda atau makhluk, tidaklah panjang; melainkan tertentu, relatif, dan sangat pendek; jika dibandingkan dengan umur alam semesta. Karena itu, tradisi kita mengajarkan untuk selalu ingat dan mempersiapkan diri dalam menghadapi suatu kehidupan. Manusia, pada dasarnya harus mulai disadarkan dan mempersiapkan diri untuk menempuh dan menghadapi gelombang serta badai kehidupan, semenjak ia ada atau semenjak ia dilahirkan. Berbagai perlajaran tentang bagaimana mengarungi lautan kehidupan, harus sudah mulai diberikan sejak kita lahir di dunia.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Manusia harus mulai mandiri, harus mulai mempertanggung-jawabkan peri-lakunya dan tindakannya pada saat ia dinyatakan <i>‘diwâsâ’</i> (dewasa) oleh lingkung masyarakatnya; maka upacara ritual adat <i>ruwat jalmâ</i> lazimnya dilaksanakan pada saat orang yang akan <i>diruwat</i> itu sedang mengalami masa remaja; yaitu saat menjelang masa dewasa. Itulah hakekatnya <i>Murwâ Kâlâ,</i> yaitu saat kita harus memulai suatu kehidupan baru kita (yaitu masa dewasa kita); dengan hal-hal yang lebih bertanggung-jawab, lebih hati-hati dalam menilai, mempertimbangkan, dan meneliti segala peri-laku dan tindakan kita sebelum menjalankannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan <i>ruwat jalmâ</i> kita diingatkan untuk berlaku seperti layaknya orang dewasa yang penuh tanggung-jawab. Semua ini, dilakukan dengan tujuan untuk mengingatkan dan memberikan bekal kita sebagai manusia, sebelum menempuh gelombang dan badai kehidupan. Ia harus disadarkan tentang berbagai hal; misalnya, bagaimana harus bersikap jika berhadapan dengan manusia lainnya (saudara, ayah, ibu, guru, teman, anggauta masyarakat lainnya); bagaimana ia harus bersikap menghadapi lingkung di sekelilingnya (tempat tinggal, rumah, tempat bekerja, alam, dan ruang semesta); serta bagaimana ia harus bersikap terhadap kekuatan dan kekuasaan <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya); yang menguasai kehidupan dan kematian.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kapankah seseorang harus <i>diruwat</i> ? Apa yang harus <i>diruwat</i> dan untuk apa ritual <i>ruwatan</i> dilaksanakan ? Dengan memahami logika hakekat <i>ruwatan</i>, maka sebenarnya setiap orang (tanpa pandang bulu) harus selalu <i>diruwat;</i> serta harus selalu <i>ngruwat</i> dirinya sendiri; beserta segala hal yang ada di sekelilingnya. Bahkan ia harus melakukannya setiap hari, setiap saat, sepanjang hayatnya. Semuanya itu, dilaksanakan untuk mempersiapkan manusia, sehingga ia dapat berpikir, bertindak, berperi-laku dewasa, bertanggung-jawab sebagai makhluk sosial; baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi sekelilingnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan pemahaman seperti itu, <i>ruwat jalmâ</i> tidaklah cukup hanya dilakukan satu kali, dengan melaksanakan <i>pagelaran wayang kulît pûrwâ</i>; melainkan harus dilakukan berulang-kali, bahkan secara terus-menerus sepanjang manusia hidup. Manusia harus selalu ingat, bahwa jika ia lupa untuk memelihara dan merawat dirinya (secara rohani dan jasmani) serta lingkung sekitarnya; maka ia seharusnya sadar, bahwa itu sama dengan mengundang mala-petaka di masa datang. Kunci kehidupan kita, adalah ingat bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada manusia; yaitu kekuasaan <i>Sang Murbèng Jagat Râyâ</i> (Sang Penguasa Jagat Raya); yang menguasai alam semesta serta menguasai mati dan hidup kita.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Manusia harus selalu ingat kepada hakekat kehidupannya di dunia ini, ia harus berani dan bisa mawas diri, <i>‘tepâ salirâ’,</i> melihat siapakah dirinya, serta siapakah dan apa saja yang ada di sekelilingnya. Manusia, juga harus selalu ingat kepada hakekat waktu <i>(kâlâ)</i> kehidupan kita yang relatif pendek, dan hakekat bahwa manusia hidup tidak sendiri. Di sekeliling kita, selain manusia lainnya, juga ada lingkungan dan alam, yang telah memberikan kehidupan, kenyamanan, ketenteraman, keamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi kita; misalnya : tempat tinggal, lingkungan, sawah, alam, hutan, sungai, mata air, danau, jalan, kelengkapan rumah-tangga, dan sebagainya. Semua ini (tidak hanya diri kita sendiri), seharusnya dipelihara dan dirawat. Kalau kita melupakannya, maka sang waktu <i>(kâlâ)</i> akan ‘memangsanya’, lebih cepat dari yang kita perkirakan, dan bahkan lebih cepat dari yang kita sadari.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Itulah hakekat <i>ruwat jalmâ</i>, yang seharusnya tidak perlu dilaksanakan secara besar-besaran dan mewah; tetapi justru harus dilaksanakan secara terus-menerus, sepanjang hidup kita dengan berbagai cara yang seringkali cukup sederhana saja. Membersihkan diri, memelihara rumah dan lingkung sekitarnya, merawat dan memperbaiki berbagai peralatan rumah-tangga, membersihkan diri kita dari berbagai nafsu rendah dan berbagai keinginan yang bersifat negatif, menjalankan perintah dan ajaran agama, meluruskan cara berpikir kita, berlaku jujur, belajar dan menimba berbagai pengetahuan yang berguna, bertenggang-rasa dengan teman, tetangga, dan saudara. Semua itu, merupakan kegiatan<i>ngruwat</i>, yang dapat kita lakukan untuk menyiapkan dan menyelamatkan masa depan kita, menepis berbagai mala-petaka yang mungkin terjadi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">________________________________________________________</div><div style="text-align: justify;">[1] <i>Kâlâ,</i> adalah jerat yang mematikan menggunakan tali. Biasanya tali penjerat itu dililitkan secara mendadak pada leher binatang atau orang yang hendak dijerat; kemudian tali penjerat tersebut ditarik kuat-kuat, sehingga binatang atau orang yang dijerat itu akhirnya mati, karena tidak bisa bernafas. Dengan demikian, dampak kerjanya sama dengan mencekik leher. <i>Kâlâ, </i>juga dapat berarti sejenis binatang melata yang sangat beracun; misalnya : <i>Kâlâ-jengkîng.</i> Sejenis laba-laba besar yang beracun, di pulau Jawa juga disebut <i>Kâlâ-mânggâ.</i> Dalam bahasa Jawa, raksana, juga disebut <i>‘dityâ’.</i> Untuk menunjukkan bahwa raksasa tersebut dianggap jahat, menakutkan, atau berbahaya; penyebutan namanya sering ditambah dengan kata <i>kâlâ;</i> misalnya : <i>Dityâ Kâlâ Klanthang Mimîs, Dityâ Kâlâ Gajahgriwâ, Dityâ Kâlâ Singâ Rudrâ, Dityâ Kâlâ Garu Langit,</i> dan sebagainya<i>.</i> <i>Déwâ</i> pembawa maut, di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa, disebut <i>Bathârâ Kâlâ</i> atau <i>Sang Hyang Kâlâ.</i> Musim yang buruk dan penuh wabah penyakit, disebut <i>mângsâ kâlâ.</i> Dengan demikian, ada semacam hubungan antara penggunaan sebutan <i>kâlâ,</i> dengan sesuatu yang bersifat negatif, menyeramkan, menakutkan, bisa mencelakakan, membahayakan, menyakitkan, memperpendek umur, mematikan, menjerat, menjebak, mendatangkan masalah, atau mendatangkan musibah. Jika dicermati, maka semua peristiwa yang diakibatkan oleh <i>kâlâ,</i> umumnya berhubungan dengan berbagai hal yang ‘memungkinkan semakin pendeknya umur seseorang’.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[2] <i>Pari</i> (padi), menduduki tempat yang sangat penting dalam tatanan sosial-budaya masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa. Sedemikian penting kedudukannya, sehingga di kalangan masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa yang berkebudayaan agraris, padi seringkali disebut<i> ‘Sri’;</i> yakni sebuah panggilan akrab untuk <i>dèwi</i> kesuburan, yaitu <i>Dèwi Sri, Sang Hyang Sri,</i> atau <i>Bathari Sri</i>. Di wilayah pedesaan dan pedalaman pulau Jawa, bahkan bibit padi diperlakukan secara khusus, seakan-akan benda atau makhluk hidup. Cara memperlakukan bibit padi ini, seperti memperlakukan manusia. Bibit padi ini, seringkali disebut <i>‘Sri’</i>yang merupakan kependekan <i>Dèwi Sri, Sang Hyang Sri,</i> atau <i>Bathari Sri</i>. Harus pula diingat, bahwa pada masa yang lampau, masyarakat tradisional suku-bangsa Jawa menanam padi hanya sekali setahun. Karenanya, umumnya setiap keluarga atau setiap desa mempunyai <i>lumbûng pari</i> (gudang penyimpanan padi), yang digunakan untuk persediaan pangan selama berbulan-bulan. Sedangkan bibit padi atau induk padi, yang sering disebut <i>‘mbôk Sri’</i> atau <i>‘ibu Sri’;</i> disimpan dan diperlakukan secara khusus; yaitu dibuatkan tempat penyimpanan yang terpisah dan khusus.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[3] Istilah <i>ontang-antîng; </i>digunakan untuk menyebut ‘sesuatu’ yang jumlahnya hanya satu (sebuah), berdimensi kecil, dan diletakkan dengan cara digantung, sehingga bisa bergerak-gerak terayun-ayun; mengikuti gerak penggantungnya. Misalnya, sebuah permata yang digantungkan pada sebuah kalung, disebut <i>‘kalûng ontang-antîng’</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[4] Istilah <i>kedhânâ</i> atau <i>dhânâ,</i> digunakan untuk mewakili pria (laki-laki). Sedangkan istilah <i>kedhini </i>atau <i>dhini,</i> digunakan untuk mewakili wanita (perempuan). Dengan demikian, istilah <i>kedhânâ-kedhini</i> atau <i>dhânâ-dhini;</i>digunakan untuk menyebut dua orang, pria dan wanita.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[5] Salah satu cerita <i>wayang</i> yang menceritakan terjadinya ‘perkawinan sedarah’ atau ‘perkawinan sesaudara kandung’ ini, ada dalam salah satu bagian (episoda) dari cerita <i>Bomâ Nârâ Surâ</i> atau cerita <i>Sâmbâ Juwîng; </i>yakni bagian yang menceritakan perkawinan sedarah antara <i>Bathârâ Darmâ</i> dan <i>Bathari Darmi.</i>Mereka berdua itu, kakak beradik, putera dan puteri <i>Bathârâ Endrâ</i>. Keduanya akhirnya dikutuk oleh ayahnya, yaitu <i>Bathârâ Endrâ</i>, sehingga menjadi patung batu. Setelah mengalami masa hukumannya, mereka itu akhirnya <i>nitîs</i> (lahir kembali) ke dunia. <i>Bathârâ Darmâ</i> kemudian diceritakan lahir kembali sebagai<i>Radyan Sâmbâ </i>(putera <i>narpati Kresna,</i> yang juga adik<i> Bomâ Nârâ Surâ</i>). Sedangkan <i>Bathari Darmi</i> kemudian diceritakan lahir kembali sebagai <i>Dewi Hagnyânâwati, </i>yang kemudian menjadi permaisuri <i>Bomâ Nârâ Surâ</i> (putera<i>narpati Kresna,</i> yang juga kakak <i>Radyan Sâmbâ</i>). Dalam bentuknya sebagai manusia yang berstatus saudara ipar, keduanya juga melakukan upaya untuk ‘menjalin cinta dan berselingkuh’. Yaitu antara adik ipar <i>(Radyan Sâmbâ) </i>dengan kakak ipar <i>(Dewi Hagnyânâwati)</i>. Pada akhir cerita, <i>Radyan Sâmbâ</i> dan <i>Dewi Hagnyânâwati</i> dibunuh oleh sang <i>Bomâ Nârâ Surâ. </i>Sedangkan sang <i>Bomâ Nârâ Surâ</i>, akhirnya dibunuh oleh ayahnya sendiri, yaitu <i>narpati Kresna</i>. Cerita yang sangat tragis ini, merupakan salah satu cerita <i>wayang</i> yang sangat disukai oleh masyarakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[6] Istilah <i>sendhang,</i> yang berarti : danau kecil atau tempat air menggenang agak dalam; melambangkan hakekat alat reproduksi wanita, digunakan untuk mewakili <i>wanitâ</i> (wanita, perempuan). Sedangkan istilah <i>pancuran,</i> yang berarti : air yang mengalir ke arah bawah (air mancur), melambangkan hakekat alat reproduksi pria, digunakan untuk mewakili <i>priyâ (</i>pria, laki-laki). Istilah <i>kapît,</i>berasal dari kata <i>kaapît,</i> yang berarti : diapit, atau didampingi dua orang pada sebelah kanan dan kirinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[7] Anak sulung, dalam bahasa Jawa disebut <i>pambarep, pembarep, </i>atau<i>mbarep</i>. Kadangkala juga disebut<i> kadang tuwâ, kadang sepûh,</i> atau <i>kadang wredhâ;</i> yang artinya : saudara tua.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[8] Anak tengah, dalam bahasa Jawa disebut <i>panengah</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[9] Anak bungsu, dalam bahasa Jawa disebut <i>wuragîl</i> atau <i>ragîl</i>. Kadangkala, juga disebut <i>kadang anôm</i> atau <i>kadang anèm; </i>yang artinya : saudara muda.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[10] Istilah <i>jatûs,</i> setara dengan istilah <i>jatûk,</i> atau<i> jatu; </i>yang artinya : tepat, pas, pasangan, atau sesuai. Dengan demikian, istilah <i>jatûs mati;</i> berarti : sesuai untuk mati, sesuai untuk dikorbankan, atau tepat sebagai korban. Dalam bahasa Jawa, istilah <i>jatû krama;</i> mempunyai pengertian : pasangan yang tepat sebagai suami-isteri. Penggunaan istilah <i>jâkâ;</i> arti sebenarnya adalah : jejaka, pria, atau pria muda. Namun dalam lingkup ini, pengertiannya secara umum lebih mengarah kepada : orang yang belum dewasa, orang muda, remaja, anak muda, atau anak. Dengan demikian, istilah <i>Jâkâ Jatûs Mati</i> mempunyai makna : orang muda (belum dewasa) yang sesuai atau patut untuk dijadikan korban.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[11] Istilah <i>rajah;</i> mempunyai arti : tulisan, teraan, atau cap. Istilah <i>rajah kâlâ câkrâ;</i> mempunyai pengertian : sejumlah tulisan atau teraan yang berisi penjelasan tentang <i>kâlâ,</i> yaitu hal-hal yang buruk, membawa mala-petaka, atau mencelakakan, yang diterakan secara jelas pada setiap ujung jari-jari suatu lingkaran berbentuk <i>câkrâ</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[12] Dalam banyak cerita <i>wayang,</i> <i>Sang Hyang Wîsnu,</i> diceritakan <i>nitîs</i> (lahir dan menjelma kembali) ke dunia secara berulang-ulang pada sejumlah tokoh yang berbeda-beda. Semua tokoh itu, umumnya merupakan ksatria atau raja yang memerangi kejahatan. Misalnya : <i>Râmâ Wijâyâ, Kresnâ</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[13] Di masa yang lampau, seorang <i>dhalang</i> juga berperan sebagai <i>pawang, shaman,</i> atau <i>dhukûn</i>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[14] Istilah <i>kândhâ;</i> mempunyai arti : berkata, mengatakan, memberitakan, mengumumkan, memberitahu, mengabarkan, atau menceritakan. Istilah <i>buwânâ</i>atau<i> bawânâ;</i> mempunyai arti : angkasa atau dunia. Dengan demikian, istilah<i>kândhâ buwânâ; </i>mempunyai arti : mengabarkan ke seluruh dunia, atau mengabarkan kepada orang-orang lain. Dalam pengertian ini, <i>dhalang Kândhâ Buwânâ</i> juga berarti : seseorang (dalam hal ini diwakili oleh seorang<i> dhalang</i>) yang mempunyai pengetahuan dan wawasan luas dan disegani; sehingga bisa memberikan nasehat, jalan ke luar, dan ajaran tentang kehidupan dan budi pekerti kepada seseorang; sehingga orang tersebut bisa terhindarkan dari musibah atau mala-petaka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">[15] Istilah <i>kencânâ;</i> artinya : emas. Istilah <i>katôn;</i> berarti : terlihat. Istilah<i>wingkâ;</i> berarti : pecahan genting tanah liat. Pepatah <i>‘kencânâ katôn wingkâ’;</i>mempunyai arti : emas terlihat seperti pecahan genting. Pepatah ini, mempunyai pengertian : sebaik apapun peri-laku dan sifat anak orang lain, bagi kita tetap anak kita yang kita anggap terbaik. Atau, jika dibalik: seburuk apapun peri-laku dan sifat anak kita, tetap akan kita anggap baik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></div><div class="MsoNormal">Sumber : http://wayangprabu.com/2010/12/22/pagelaran-wayang-ruwatan/</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-3084507027601529362011-10-21T00:34:00.000-07:002014-03-12T06:04:16.336-07:00Ritual Ruwatan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEB-9XpilyNpUYy6q0POgYXJrkgyw3DWh2YrccV7EfzhZR-pF6cUp3vAn8zWmw0CNvNUfhrcdPh15XlHPFTs6nkA8iRcOJMaH74KoGfM_Zq_5CG2BCcOS1EqS_IqnUcjk4rC5QD-XuYfc/s1600/kala.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEB-9XpilyNpUYy6q0POgYXJrkgyw3DWh2YrccV7EfzhZR-pF6cUp3vAn8zWmw0CNvNUfhrcdPh15XlHPFTs6nkA8iRcOJMaH74KoGfM_Zq_5CG2BCcOS1EqS_IqnUcjk4rC5QD-XuYfc/s320/kala.jpg" height="206" width="320" /></a></div>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.<br />
2. Ritual ruwat untuk lingkungan.<br />
2. Ritual ruwat untuk wilayah.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan pada siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pagelaran pewayangan. Pagelaran pewayangan ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat.<a name='more'></a></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<span style="color: #ff6600;">1. Ruwatan Diri Sendiri</span></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan selamatan, melakukan tapa brata. Dalam masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk dalam ruwatan. Dengan memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik), akan memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal yang bersifat baik.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Rituan Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon Mantrawara III, Mantra Yuda</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari <i>sedulur papat limo pancer</i> atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain (makhluk halus). Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan pendeteksian.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan (petungan) Jawa yaitu : Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya. Jika sisa:<br />
1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,<br />
2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,<br />
3. Bersemayam di telinga kanan,<br />
4. Bersemayam di telinga kiri,<br />
5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,<br />
6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,<br />
7. Bersemayam di mulut,<br />
8. Bersemayam di sekeliling pusar,<br />
9. Bersemayam di kemaluan,</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sedikit darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung). Cara mengambil darah ini adalah dengan mengunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas puti. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersama-sama dengan syarat yang lain, berupa :<br />
1. Beras 4 kg,<br />
2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram),<br />
3. Ayam,<br />
4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),<br />
5. Benang Lawe satu gulung,<br />
6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),<br />
7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,<br />
8. Kelapa 1 buah.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan duri dilabuh sambil membaca mantera: <span style="color: maroon;"><i>“Ingsung ora mbuwang klapa lan isine, ananging mbuwang apa kang ndadekake apesing awakku”</i></span>. (Aku tidak membuang kelapa beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang menjadikan kesialan bagiku).</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, dikrarkan untuk disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkan.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<span style="color: maroon;">2. Ruwatan Untuk Lingkungan</span></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi. Sebagai contoh yang sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita adalah memberikan pagar gaib. Hal semacam memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi (anggap saja rumah) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain :<img alt="Ruwatan2" class="aligncenter size-full wp-image-1531" src="http://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2009/09/ruwatan2.jpg?w=337&h=253" height="253" title="Ruwatan2" width="337" /> </h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan, misalnya kepala kerbau atau kepala kambing.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan pada lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal, membaca doa untuk membuat pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh berbeda antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri. Dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<span style="color: maroon;">3. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas</span></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Disini akan dijelaskan contoh ruwatan di Kepatihan Danurejan, dari Babon Primbon Kagungan Dalem KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden hadipati Danureja IV).</h4>
<div style="text-align: left;">
<img alt="Ruwatan" class="aligncenter size-full wp-image-1532" src="http://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2009/09/ruwatan.jpg?w=350&h=233" height="233" title="Ruwatan" width="350" /></div>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Urut-urutan ruwatan sebagai berikut :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
a. Dimulai dengan doa pembuka :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng, tata winanci awignam mastu samas sidhdhem”</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang Hyang Kala, yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip seperti nyanyian, tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat pembukaan sang dalang dalam membuka pagelaran wayang :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Sinigeg sakathahing para jawata watak nawa sanga, pada retane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba ing sela sana sewu, bentar kepara sewu, mila dalah samangka watu, dadi sajagad.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ana sawijine yogane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba telenging samodra, medal akimplik-kimplik, ing aran Sang Hyang Kamasalah, bisa ngadeg ing aranan Sang Hyang Candhusekti.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ing kana kaidenan dening Sang Hyang Pramesthi Guru, sakathahe jawata watak nawasanga, kinen nggunturana marang Kamasalah, sakathahe guntur wedang, guntur watu, apa dene guntur geni, pada nurunake, guntur tanana, kang tumama, nora sangsaya suda, malah sangsaya gedhe kalawun-lawun. Ing kana kocap bebandhem, malar dadi pepak dandananing sarira, nulya minggah marang gagana arsa panggih lawan wong tuwanira, iya Sang Hyang Pramesthi Guru”</i>.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
c. Diteruskan dengan membaca <i>Pakem Sontheng</i>. Pakem ini dimulai dilagukan :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng pra yoganira Sang Hyang Kamasalah tengerannya, kang daging Sang Kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murub, amarab”</i>.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
d. Setelah <i>Pakem</i> <i>Sontheng</i> selesai, dibacakan :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Anekak aken prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan pantara, alimaku tanpa suku, alembehan tanpa tangan, aningali tanpa netra, amyarsa tanpa karna, ambegan tanpa grana, acelathu tanpa lidah, angan-angan tanpa driya”</i>.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca <i>Kidung Sastra Pinandhati</i> :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong Ilaheng Tata winanci awighnam astu nammas siddam. Hong Ilaheng pra yoganira, sang bawana sariraku, randhu kepuh pangadhegku, kidang kancil kor tumaku, raiku lemah paesan, mataku socaning manuk, kupingku sang plempengan, cangkemku sangagunging wong, lambeku sang sarapati, utegku sang watu rejeng, ilatku sang lemah polah, janggutku sang watu sumong, guluku sang lemah dedet, selangku sang darmaraja, bauku sang lemah mraju, geger lemah gigir sapi, cangklekan lemah lempit-lempitan, dadaku sang lungka-lungka, wetengku sang lemah mendhak, susuku sang gunung kembar, penthilku sang asri kembar, wangkungku sang pacul tugel, silitku elenging landhak, kempungku tlaga mambeng, plananganku waja glijenm planangan waja binandung, pringsilan waja malela, uyuhku banyu pancuran, sukerke padhas cecuri, entutku mercu dadari, iduku parang teritis, riyakky pulut bendala, wentisku lemah bajangan, delamakanku lemah seta, paturonku lemah bleberan, tindhakku lindhu prahara, geter pater panebaku, awedi kang buta kabeh, sawedana Durga Kala, sawedana kertidara, tumurun ingsung madya, wowor ing dewata muja, ajiku sang ata ati, amaraja nata wuwusku, amahraja ta ajiku, Ya Yamaraja, Ya Jaramaya, Ya Yamarani, Ya Niramaya, Ya Yasilapa, Ya Palasiya, Ya Yamidora, Ya Rodomiya, Ya Yamidosa, Ya Sadomiya, Ya Yadayuda, Ya Dayudaya, Ya Yasiyaca, Ya Cayasiya, Ya Yasihama, Ya Mahasiya.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu yusisangya, yatangisiyu yusitangya, yadangsiyu yusidangya, yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yahangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya”</i>.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Diteruskan dengan membaca atau amateg sastra yang ada di langit-langit mulut (telak) Bethara Kala. Sastra ini menjadi pepingitan (peringatan) di jawata (menjadi hal yang dirahasiakan) tidak boleh dibacakan keras-keras uleh sang dalang. Hal ini dilakukan sambil menundukkan kepala dan tampak seperti mengheningkan cipta dengan menyanyikan lagi <i>dandhanggula</i>.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Jatiswara, swaraning pamisik, lamun sira miwiti amaca, kawruhana kamulane, kembang cempaka kudhup, sari mulya kang bayu manjing, manjing sang bayu mulya, purnama kang bayu, abali sang bayu mulya, sabda idep-idepa marang kang yogi, ketawang kapigesang”</i>.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
f. Diteruskan dengan membaca <i>“Sastra Banyak Dalang”</i> lagu kentrung :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung lan keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, sampurnaning banyak Dalang”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong Ilaheng pra yoganira.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Sang raja kumitir-kitir anakku si banyak dalang, peksa arep memantuwa kudu bisa angaji, dukuhe ki ulung kembang bale anyar tanpa galar, isi ingkang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winatu aji, asri dinulu tingkahe, tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, saliring mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, ana jaka meneng kembang, denya menek angutapel, wus kebek jejomprangira, dene sekar anelahi, ana ta prawan liwat, dinulu rupane ayu, prawan angaku rara, ya ni mara nini mara, anontana kintel muni, ting caremplung, anggero kang kodok ijo, solahe krangkang rangkang, sedayane kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, kidungku si banyak dalang, saben dina pari dadar, sedina yen ana angring yen garing keaadak, ngelu puyeng pilek watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murub benceretan, yen angrungu kidung iki, wong asomah padha banyak dalang, miwah yen prawan tuwa, miwah yen jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, kang angidung maringa begawan, anonton larung keli, pepitu paring kadulu larunge ki banyak dalang, ajejuluk ki jelarung, garudha cucuke wesi, ora anucuka lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, sampurnaning banyak dalang”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
g. Diteruskan dengan membaca <i>Sastra Gumbalageni</i><i>,</i> Geni, atau api yang datang dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat dan utara, disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan melakukan pembacaan mantera :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng pra yoganira.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ana geni tekane saka wetan, putih rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka aneng wetan.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Hong ilaheng pra yoganira.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ana geni teka saka kidul, abang rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kidul.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Hong ilaheng pra yoganira.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ana geni teka saka kulon, kuning rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kulon.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Hong ilaheng pra yoganira.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ana geni teka saka elor, ireng rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana elor.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Hong ilaheng pra yoganira.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ana geni teka saka tengah, lelima rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana tengah”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
h. Diteruskan dengan <i>Kidung Sastra Puji Bayu</i> :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Sang Hyang sekti naga nila warna, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting liman, abebed kuliting singa, acawet angga genitri, liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan asih-asih, premanaku ing sulasih”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
i. Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng pra yoganira.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Sang Hyang Tangkep Bapa kasa, kaliyan ibu pertiwi, mijil yogyanira Sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube amarab arab, anekakaken prabawa, ketuk lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kudu lumaku rinuwat iki, anata senajata singwang, aranemandalagiri, Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat padha samengko”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Ruwatan dadi pagagan, bale mas sakane dhomas, pinucukan manik putih, rinawe-rawe kumala marbuk miging gandanira cendhana kara, gandhane jebat kasturi, kuning sira kocapa Bethara, ijil Bathara kusika, sang gagra mesi kurusa, umijil Sang Hyang Kuwera, ana sira rupa buta, ana sira rupa ula, kudu lumaku rinuwat anata sanjata ngngwang arane panji kumala, pinaputrakaken gunung, arane mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
j. Diteruskan dengan <i>Sastra Kakancingan</i> :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu sampir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pakoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrak-akengunung arane, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan cara atau ritual ruwat.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
k. Diteruskan dengan <i>Sastra Panulak</i>, pada proses ini, kekuatan gaib dari Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan musnah :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Tolak tunggul ing dhadhaku, macam putih ing raiku, singa barong ing gigirku, baya nyasar ing cangkemku, sarpa naga ing tanganku, raja tuwa ing sikilku, surya candhra ing paningalku, swaraku lir gelap sewu, nulak sakabehing bilahi, setan balio padha adoh, wong saleksa padha lunga, wong sakethi padha mati, rep sirep sajagad kabeh.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Kuneng Bathara kalawan sira Sang Hyang Bethari Durga, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataningwang, arane panji kumala, pinaputrekken gunung, arane Mandhalagir, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samangko.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Nora sira rupa kala, nora sira rupa Durga, atemahan Uma-uma, arep ageweya bala, ana lanang ana wadon, si betapasi betapi, sibrenggala si brenggali, si rahmaya si rahmayi, si kuntara si kuntari, kudu lumaku rinuwat, anata senjataning wang arane panji kumala, pina putrakaken gunung, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Kala atemahan Guru, Durga atemahan Uma, Umayana umayini, widadara widadari, arep mantuk mring khayangan, Hyang Kala Bethara reswara, amediya swara wija, aweha urip sarasa”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
l. Diteruskan dengan <i>Sastra Ruwat Panggung,</i> dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng prayogganatara.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Sang Hyang Galinggang kalawan sira Sang Hyang Damarjati, kelire Hyang Tinjomaya, Peluntur alimun, kekuping Sang Hyng Kuwera, peracik Sang Retna Adi, deboge Sang Hyang Gebohan, Cangkoke Bethara Gana, alinggih pang kayu Tera Sumbu, awune Bethara Brama, arenge Bethara Wisnu, kewala anonton wayang, Sang Hyang Eyang Guru kang amayang, widadari kang nggameli, anyangang iyang ayine, suu tegang ora wangewang, sehamana maya, katon kang anonton nora katon, kabruk-kabruk katung, pralambe yang ana maya katon, kang tinonton nora katon, kang anonton nora katon”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
m. Diteruskan dengan <i>Sastra Panengeran, dengan</i>i dinyanyikan lagu Dandhanggula :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng prayogganatara.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Kang minangka tangeranku, sakti guna nila warna, turuku lindur buwana, salonjorku lungguh wesi, amunjung kayu perbatang, sedhakepku oyod nimang, candi sewu ing dhadhaku, adegku katu kastuba, randhu kepuh ing jengkengku, naga mulat ing guluku, naga peksa tulaleku, gadhingku warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku Hyang pancanaka, lidahku sang sara sekti, brajapati ning wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra,sumuluh ing rat bawana, awedi kang buta dengen, awedi kang manungsa kabeh, awedi raksasa kabeh, undun ngudu aliweran, lemah paran lungka-lungka, liman watu rejeng, alas agung anderkara, tetegale angyangan, songing landhak garung-gungan, ajarat lemah tendhesan, slirane kang lemah aeng, paomahane durga yekti, lemah wates jejebangan, lemah setra akil ing wang, kang katungkul manut ingwang, dandang bango salirane, anauta lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, tuju teluh teregnyana, budug edan ayan buyan, tuju teluh tarangyana, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, supatane adi guru, yoga ruwat dening aku, budug ayan buyan, lumpuh wuta tuli bisu, tak usapi tangan kiwa, pan aku pangruwat mala, geter pater pangucapku, ketuk lindhu prabawaku, kilat cleret ing kendhepku, lebda wara mandi sebda, japa mantra kasektenku, kurdaku galudhug gelap, aku kang Hyang Candra sekti, aku Sang Hyang Raja Polah, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Hyang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung putih, aku surak tanpa mungsuh, aku tengeraning angin, lesus agung aliweran, prahara kalawan tambur, pangleburan rajamala, ila-ila upadarwa, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, tan tumama saliraku, tuju teluh taragnyana, budhug edan ayan buyan, lebur kabeh musna ilang, aku Sang Hyang Candhusekti, turun sira sakareng, rijajegan rejeg wesi pinayungan kalacakra, kinemiting widadara, kinemiting widadari, Resi dewa sogataku, aku Sang Hyang Jaya pamurus”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
n. Diteruskan dengan <i>Kidung Panengeran</i> lanjutan, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng prayogganatara.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Kang minangka tangeranku, Sang Hyang Tiga Pelunguhku, dadaku Sang Ula Naga, Naga Raja selasangku, Naga Mulet ing guluku, Naga Pulet tulaleku, gadhing warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku mas pancanaka, lidahku sang rasa sekti, brajapatining wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra, sumuluh ing rat bawono, awedi kang buta dengen, tumingal ing kasektenku, udung-udung ulur-ulur, pilinglung watu tinumpuk, paran limang watu rejeng, lungka-lungka watu putih, sirate lemah tandhesan, agerat kang lemah sangar, alang-alang amelakang, tetegal kang ameyangan, lemah amunuking lembu, lemah aguluning manuk, lemah anggiring sapi, lemah anjilinthing kendhil, lemah ambara bathari, sakehe kang lemah aeng, akehe kang watu aeng, teja-teja ing ulatku, kuwung-kuwung lelathiku, durga galudhug gelap, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung Putih, aku Naganilawarna, aku Sang Hyang Naga Pamolah, aku tengeraning angin, sindhung lesus leliweran, prahara kalawan geter, udang braja salah mangsa, angagem dendha trisula, musala kalawan gadha, senjataku luwih sewu, ngongdokaken mungsuhku bubar, kabeh dewata tumingal kasektenku, aku sang bala sewu, aku Sang Hyang Guru Taya, tumurun aku sekareng, angadheg ing nggonku ring windhu, ajamang akarawistha, asesep angga genitri, trinaya catur bujangga, rinajegan rejen wesi, pinayungan kalacakra, kinemiting pancaresi, sang kusika gagra mestri kurasa, sang Pritanjala, surenggana, surenggini, kinemiting widadara, kinemiting widadari, kinemiting catur loka, endra baruna kuwera, yama luwan bismawana, nguniweh butawilaksa, padha ngreksa padha kemit, rumeksaa mring aku, angastuti maring mami, ya ingsung Sang Hyang Dewa Murti, papaku jati yuswa, sampurna dak tampa mala, niruga nirupa darwa, ya minamuna mas wahak”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
o. Diteruskan dengan <i>Kidung Sastra Pangruwatan,</i> dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
“Hong ilaheng prayogganatara.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Ilanga Sanga Dyrga Durgi, sakehe kang alas seng, randhu kepuh karangan kroya waringin ageng, lemah seta tangkeling wang, kang katungkul manut ing wang, dandang bango salirane, anglebura lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, supata lawan sengsara, supatane Sang Hyang Dewata, supatane awak dhewe, nguni wah buta wiyaksa, kalawan buta wiyaksi, ila-ila upadarwa, budhug edan ayan buyan, budhug edan buyan, mumet mules bencretan, ngelu puyeng pilek watuk, sarta ingkang kena welak, nguni weh padha rawe, tak usapi tangan kiwa, cakra lepas ing tanganku, ke ka ruwat mala, geter pater pangucapku, gerah minangka sabdaku, sabda wara japa mantra, apan iku kasektenku, Sang Hyang Permana ing senenku, ilanga rupa Kala, ilanga sang rupa buta, ilanga sang rupa sasap, ilanga sang rupa jugil, ilanga sang rupa jakat, ilangan sang rupa gendruwa, ilanga sang rupa dusta, durjana kawisayan ulun, durga uta paripurna, nuraga ni rupa dewa, ya minamuna maswahak”.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
p. Diteruskan dengan <i>Kidung Pangruwat Pamungkas</i>, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>“Hong ilaheng prayogganatara.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
<i>Ruwata Sang Rupa Durga, ruwata sang rupa Buta, ruwata sang rupa Sasab, ruwata sang rupa Jugil, ruwata sang rupa Jakat, ruwata sang rupa Mercu, ruwata sang rupa Taya, ruwata sang rupa Dusta, ulun ingkang angruwata, ulun ingkang angilangna, Durga yuta paripurna, nuraga nirupa darwa, ya minamuna maswahak”.</i></h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Setelah selesai melantunkan <i>Kidung Ruwat Muewakala</i>, rambut anak <i>sukerta</i> dipotong sebagai syarat yang nantinya akan dilarung. Kemudian anak Sukerta tersebut dimandikan air bubga setaman oleh yang meruwat. Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang meruwat (dalang). Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat (dalang ruwat).</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan (gila), atau sudah lama mengalami kesurupan, maka harus dibacakan <i>Kidung Rumaya</i>, <i>sekar sinom</i> yang menyebutkan adanya lelembut di tanah Jawa sebagai berikut :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Tembang Sinom</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrjeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala Nadah ing Tojamas, Segaluh aran si Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng Lowange, gunung Duk Geniyara, Bok Bereng Parangtaritis, Drembamoa ingkang aneng Purbalingga.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing Jenu si Karungkala, ing Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek putih kang nenggani, Buta Glemboh ing Ngayah kajanganira.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin, Juwal-pajal ing Talsinga, ing Tremas Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si Kuncung Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si Asmara aneng Taji, Bagus-anom ing Kudus kayanganira.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati, Cucuk Dandang ing Kartika, Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga Buwana ranipun, Pak Kecek Pejarakan, Cing-cing Goling Kalibening, ing Dahrama Karawelang kang rumeksa.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban, Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung Garunggung, kang aneng Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura ingkang aneng Majaraga.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si Londir ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih ranipun, si Gober Pecangakan, Danapi ing Jatisari, Abar-abir ingkang aneng Jatimalang.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Parangtandang ing Kesanga, ing Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang aran si Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang, Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa sukuning ardi Baita.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih, Buta Kepala Prambanan, Bok Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji, Pager Waja Rahaden Kusumayuda.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit, kalangkung kasektenira, titihane jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege wesi, cametine pat-upate ula lanang.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali mangetan, mangidul panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali mangidul, ngulon panyabetira, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak ngalor parannya, manginggil panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali manduwur, mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati, kalangkung kasektenira, keringan samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli, Yudapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambir Anom aneng Pti, si Kecebung Kadilangu kang den reksa.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang rumeksa Parang Wedang, Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga Nyai Kidul, sampun pepak sadaya, para pramukaning demit, nungsa Jawa paugeran kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan ritual ruwat secara lengkap dan menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden Hadipati Danureja IV).</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala, selanjutnya dibuatlah Rajah Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat. Pembuatan Rajah Kalacakra Balik adalah menulis huruf hanacaraka secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan <i>nga ta ba ga ma</i> sampai <i>ka ra ca na ha</i> dilakukan dengan cara sebagai berikut :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
* Ditulis melingkar diatas lempengan emas,<br />
* Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada tengah malam saja,<br />
* Pati geni selama sehari semalam penuh,<br />
* Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.<br />
* Penulisan huruf dengan aksara Jawa.</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang berwarna putih kemudian ditempel pada tembok atau pintu depan rumah. Penggunaan warna tinta dengan menggunakan dua warna, misalnya hitam dan merah. Dalam menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut :</h4>
<h4 style="font-weight: normal; text-align: justify;">
* Melakukan puasa selama 21 hari,<br />
* Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa,</h4>
Sumber : http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/ruwatan/ <br />
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>
@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-1308514690058399452011-10-21T00:27:00.000-07:002011-10-21T00:27:24.232-07:00Ruwatan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<span id="goog_458579564"></span><span id="goog_458579565"></span> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1Pt3jucdLY2zNibGGeu4l_HFbiPTcOc5PXEURfRfA11yPzC2Ve_bFKhNsNm8ms_95w4swL56GUJabrMxrGABqPBkevrnBafYK3_TV9v5dHAFTFZnkOmSmC6SjIpINOWCwOahyphenhypheneisJz6o/s1600/Ruwatan-201209-1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="203" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1Pt3jucdLY2zNibGGeu4l_HFbiPTcOc5PXEURfRfA11yPzC2Ve_bFKhNsNm8ms_95w4swL56GUJabrMxrGABqPBkevrnBafYK3_TV9v5dHAFTFZnkOmSmC6SjIpINOWCwOahyphenhypheneisJz6o/s320/Ruwatan-201209-1.jpg" width="320" /></a></div><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Ruwatan adalah satu upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia. Ruwatan yang paling terkenal yang sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah <b>Ruwatan Murwakala</b>. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala, dimana orang-orang yang termasuk kategori sukerto diruwat/disucikan supaya terbebas dari ancaman Betara Kala, raksasa besar yang kejam dan menakutkan, yang suka memangsa para sukerto.<br />
<a name='more'></a><br />
<b>Persiapan pelaksanaan ruwatan </b><br />
<br />
Sebelum pelaksanaan upacara ruwat, beberapa hal berikut sudah ada ditempat upacara.</span></div><ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Para sukerto yang berpakaian serba putih bersih. Warna putih adalah lambang dari suci.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Orang tua dari para sukerto berpakaian adat dengan apik.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Seorang dalang sepuh yang mumpuni untuk melakukan upacara ruwatan sukerto, lengkap dengan seperangkat panggung wayang kulit dengan gamelan dan para penabuh dan pesindennya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tempat untuk pelaksanaan ruwatan yang cukup luas untuk panggung wayang kulit, tempat duduk para sukerto dan orang tuanya dan tempat-tempat air untuk memandikan sukerto.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sesaji yang diperlukan yang cukup banyak macamnya.</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<b>Pelaksanaan Ruwatan</b></span></div><ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Para sukerto diantar oleh para orang tuanya diterima oleh Ki Dalang yang akan meruwat.Salah seorang orang tua sukerto atau seseorang yang ditunjuk menyerahkan para sukerto kepada Ki Dalang untuk diruwat. Serah terima sukerto berjalan dengan khusuk, dibarengi aroma ratus dupa yang lembut harum. Suasana sakral terasa.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Para sukerto duduk bersila dibelakang kelir wayang dan selama pagelaran bersikap santun dan memperhatikan cerita wayang dan nasihat, kidung dan doa-doa/mantra yang diucapkan oleh Ki Dalang. Para orang tua sukerto duduk ditempat yang telah disediakan, dekat dengan putra-putrinya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Ki Dalang duduk ditempatnya didepan kelir dan mulai mendalang wayang dengan cerita Murwakala.</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<b>Cerita Muwakala</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pagelaran wayang kulit dimulai dengan adegan jejer di Jonggring Salaka, Betara Guru, ratunya para dewa, didampingi oleh Betari Durga, istrinya, dihadap oleh Betara Narada, Sang Patih dan para dewa yang lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sesudah para dewa menghaturkan sembah kepada Betara Guru, Narada melaporkan keadaan didunia ,dimana kawula sangat risau, karena banyak orang yang menjadi mangsa Kala, raksasa seram, tinggi besar. Kala itu sangat rakus, banyak anak-anak, orang tua,lelaki, wanita ,dia tangkap dan makan. <br />
<br />
Dengan emosional Narada memohon supaya perbuatan raksasa Kala dihentikan segera.<br />
Guru bertanya : “ Siapa yang dimangsa oleh Kala?” </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Narada menjawab : “ Sekarang ini, Kala memangsa siapapun yang ketemu dia. Dia bertindak ngawur dan serakah. Dia melanggar peraturan yang telah ditetapkan dewa. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Betara Guru menyela :” Apa ketentuan dewa itu?” </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Narada menjawab : “ Yang boleh dimangsa Kala adalah manusia yang masuk kategori sukerto. Itu sebenarnya sudah lebih dari cukup,karena jenis sukerto itu banyak sekali. Jadi banyak orang yang ketakutan dikejar-kejar oleh Kala. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kala harus segera dikendalikan, kasihan penduduk bumi”.<br />
<br />
Betara Guru setelah mendengarkan pendapat para dewa, memerintahkan supaya Kala dipanggil. Sidang para dewa juga memutuskan bahwa Betara Guru sendiri yang akan turun tangan mengendalikan Kala, karena Kala punya watak sulit dan punya kesaktian tinggi.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<b>Siapa sebenarnya Betara Kala?</b><br />
<br />
Para dewa tidak tahu siapa sebenarnya Kala. Seperti orang-orang bumi mereka tahunya Kala adalah raksasa seram tinggi besar yang suka makan daging manusia. <br />
<br />
Hanya Guru dan Durga yang tahu siapa Kala sebenarnya,karena dia adalah anak Guru dan Durga. Kala adalah anak yang terjadi dari kama salah, sehingga menjadi mahluk yang berwatak jahat, yang hanya mementingkan diri sendiri. <br />
<br />
Begini kisah kelahiran Kala :</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Disatu hari yang cerah, diawang-awang biru muda nan cerah, Guru bersama istrinya, Durga, dengan menaiki lembu Andini, bercengkerama mengelilingi dunia. Pemandangan begitu indah.langit bersih tiada awan, dari atas bumi kelihatan begitu jelas, sangat indah menawan.<br />
<br />
Betara Guru melihat wajah istrinya berseri-seri, sangat cantik dengan tubuhnya yang sexy. Tiba-tiba Guru kepingin bermain cinta dengan istrinya, hasratnya tak bisa dicegah. Istrinya berusaha menolak , tetapi tak kuasa.<br />
<br />
Dengan nafsu berkobar Guru menggauli istrinya. Durga mengingatkan bahwa ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk bercinta. Guru tak peduli. <br />
<br />
Ketika nafsu Guru memuncak dan mencapai orgasme, Durga mendorong dan melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. Buah cinta Guru jatuh kebumi dan masuk kelaut ,lalu benih itu tumbuh menjadi raksasa jahat yang bernama Kala. Jadi Kala adalah produk yang salah, kama salah, yang dilahirkan dalam keadaan dan waktu yang tidak tepat. Kala, yang adalah putra dewa-dewi menjadi raksasa jahat yang maunya memakan daging manusia.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sebelum Kala datang di Jonggring Salaka, Guru meminta supaya usahanya untuk menjinakkan Kala dibantu oleh Durga, karena bagaimanapun Durga adalah ibu dari Kala. Sejelek-jeleknya anak tentu akan mendengarkan nasihat ayahanda dan ibundanya. Guru juga memberitahu Narada, patihnya, bahwa Kala adalah anak Guru dan Durga, tetapi Kala sendiri sampai saat ini tidak tahu.<br />
<br />
<br />
<b>Kala menghadap Betara Guru </b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dijemput para dewa, Kala datang di Suralaya dan langsung menghadap Betara Guru yang didampingi oleh Durga dan beberapa petinggi dewa.Sikapnya tidak sopan, tidak punya tata krama, bicaranya kasar dan seenaknya sendiri.Dia berdiri didepan Guru dan langsung berteriak-teriak : “ Aku mau makan yang didepanku ini, sambil menunjuk-nunjuk Guru”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Narada bicara dengan nada tinggi : “ E, jangan ngawur kamu, beliau itu rajanya para dewa dan bapakmu sendiri”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Sambil menguap keras, Kala berkata : “ Tidak peduli bapakku sendiri, tetap mau aku makan karena aku lapar”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Durga tak tahan melihat kebringasan Kala dan malu hati atas kelakuan putranya yang sama sekali tak menghormati ayahnya, Durga maju mendekati Kala dan berkata dengan iba : “ Wahai Kala, hormatilah ayahmu, hormatilah orang tuamu”. Dengan nada welas asih ,Durga memberi tahu Kala ,siapa dia sebenarnya”. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
“ Kini Kala, kamu sudah tahu siapa kamu. Meskipun bentukmu raksasa, tetapi kamu itu putranyanya Betara Guru yang rajanya para dewa dan aku adalah ibumu. Oleh karena itu anakku, kamu wajib bersikap santun dan memegang tata karma”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Agak kaget Kala menjawab : “ Kalau Guru memang bapakku, tentulah dia pandai . Aku akan berdialog dengannya, kalau dia lebih pintar dari aku, baru aku akui bahwa dia adalah bapakku”.<br />
Dalam dialog panjang lebar antara Guru dan Kala, Guru bisa menjawab semua pertanyaan Kala. Akhirnya Kala mengaku kalah dalam perdebatan, sehingga dia mau mengakui Guru sebagai bapaknya. Sambil duduk bersila, dia berjanji menurut apapun perintahnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Dengan penuh wibawa Guru bersabda : “ Wahai Kala, kau ku izinkan kembali kebumi dan disana kau boleh memangsa manusia yang termasuk kategori sukerto. Tetapi kau tidak boleh memangsa orang yang didadanya ada tulisan mantra <b><i>Kalacakra</i></b> dan dikepalanya ada tulisan mantra <b><i>Sastra Balik</i></b>. Ini adalah ketentuan dewa dan tidak boleh dilanggar, kalau kau melanggar kau akan menerima hukuman berat yang tidak akan bisa kau hindari”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Kala mengangguk,termenung, dalam batin berkata : “ Aduh, tentu aku akan hidup kelaparan karena aku hanya boleh makan sukerto”. Dia mau tanya apa sukerto itu, tetapi dia tidak berani. Dalam keputus asaan dia melihat ibunya, maksudnya mau minta tolong.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Durga yang ibunya tanggap, dia mendekat ke anaknya dan mengatakan bahwa manusia yang termasuk kategori sukerto itu banyak sekali, jadi Kala tak akan kelaparan, jatah makanannya sangat berlimpah. Mendengar penjelasan ibunya Kala tersenyum dan mohon pamit untuk kembali kebumi, karena dia sudah lapar sekali.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<b>Kategori Sukerto</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pada garis besarnya ada 3(tiga) macam kelompok sukerto, yaitu :</span></div><ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sukerto karena kelahiran seperti anak tunggal, kembar; berdasarkan waktu kelahiran, misalnya anak yang dilahirkan tengah hari atau saat matahari terbenam dll.Sukerto kelompok ini adalah anak-anak yang sangat dicintai oleh orang tua mereka, keselamatan dan kebahagiaan mereka selalu dipikirkan oleh orang tua mereka.Terlebih para orang tua tersebut mengetahui bahwa anak-anak tersebut termasuk dalam daftar sukerto.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sukerto karena berbuat kesalahan meski tidak sengaja seperti : seperti memecahkan gandhik, alat pembuat jamu; menjatuhkan dandang ( tempat untuk menanak nasi) waktu sedang masak nasi.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sukerto karena dalam hidupnya terkena banyak musibah, sial, penyakit dan sering diancam bahaya.</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Mengenai berapa macam sukerto , itu ada beberapa versi. Menurut Pakem Pangruwatan Murwakala ada 60 macam sukerto, Pustaka Raja Purwa ada 136 sukerto, Sarasilah Wayang Purwa ada 22 sukerto, sedangkan menurut Buku Murwokolo ada 147 macam sukerto.<br />
<br />
<b>Sukerto yang berhubungan dengan kelahiran antara lain :</b></span></div><ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Ontang-anting</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Anak tunggal laki-laki.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Unting-unting </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Anak tunggal wanita.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Gedhana-gedhini </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Satu anak laki-laki dan satu anak wanita dalam keluarga.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Uger-uger lawang</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Dua anak laki-laki dalam keluarga. </span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kembar sepasang </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Dua anak wanita dalam keluarga.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pendhawa </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Lima anak laki-laki dalam keluarga.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pendhawa pancala putri</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Lima anak perempuan dalam keluarga.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kembar</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Dua anak laki-laki atau wanita lahir bersamaan.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Gotong Mayit </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Tiga anak wanita semua.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Cukil dulit </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Tiga anak laki-laki semua. </span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Serimpi</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Empat anak wanita semua.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sarambah</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Empat anak laki-laki semua.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sendang kapit pancuran</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah wanita.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pancuran kapit sendang</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Anak tiga, dua wanita, yang tengah laki-laki.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sumala</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Anak cacat sejak lahir.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Wungle</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Anak lahir bule.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Margana</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Wahana </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Wuyungan </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Anak lahir diwaktu perang atau lagi ada bencana.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Julung sungsang</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Anak lahir ditengah hari.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Julung sarab </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Anak lahir waktu matahari terbenam.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Julung caplok </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">: Anak lahir disenja hari.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Julung kembang</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> : Anak lahir saat fajar.</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<b>Sukerto karena perbuatan salah atau tidak patut( Ora ilok) :</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Orang yang bersiul saat tengah hari, itu tidak patut/ ora ilok.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Orang yang memecahkan gandhik, alat dari batu untuk membuat jamu.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Orang yang menjatuhkan dhandhang sewaktu menanak nasi.</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sukerto yang dalam hidupnya mengalami banyak musibah, bencana dan sering sekali diancam bahaya.</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Ada orang yang dalam menjalani hidup ini selalu tertimpa sial.Dalam melakukan pekerjaan banyak salah, dalam usaha mengalami kegagalan. Terlibat banyak urusan yang tidak enak, terkena macam-macam penyakit, boleh dikata hidupnya tidak menyenangkan dlsb.<br />
<br />
Ada yang bilang bahwa waktu dan kondisi selalu tidak berpihak kepadanya. Ada sesuatu yang salah, sehingga orang tersebut perlu diruwat.<br />
<br />
Dalam pemahaman kuno, orang-orang yang termasuk tiga kelompok sukerto itu perlu diruwat secara tradisional. Mereka diruwat supaya tidak menjadi mangsa Kala, terbebas dari gangguan dan bencana yang merupakan ancaman Kala.<br />
<br />
Kita mengerti bahwa Kala artinya waktu dan waktu yang mengancam dan menimbulkan bencana adalah waktu yang tidak baik, tidak tepat. Orang normal tentu berharap perjalanan waktu hendaknya dan selalu diusahakan untuk berpihak kepada kita. Sehingga hidup kita selamat, sehat, berkecukupan dalam bidang materi, tentram jiwa kita , maju pekerjaan dan usaha, sukses dalam menjalani hidup ini, selalu mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.<br />
<br />
<br />
<b>Rapat warga sebuah desa</b><br />
<br />
Disebuah desa diadakan rapat warga yang diadakan di Balai Desa. Rapat dipimpin langsung oleh kepala desa yang dipanggil Ki Ageng oleh rakyatnya. Seluruh aparat desa dan kepala keluarga hadir dipertemuan yang penting tersebut. Ini disebabkan, warga desa kehilangan rasa tentramnya pada akhir-akhir ini, karena ada gangguan yang sangat menggelisahkan.<br />
<br />
Penanggung jawab keamanan, <b><i>Jagabaya</i></b> melaporkan bahwa gangguan maling bisa diatasi, kriminalitas sifatnya ringan-ringan saja dan tidak banyak. <br />
<br />
Yang ditakutkan para orang tua adalah hilangnya beberapa anak dan remaja, yang diculik oleh raksasa besar yang menakutkan. Ini terjadi mulanya terjadi didesa-desa tetangga, tetapi kini mulai terjadi juga didesa ini.Petugas Jagabaya dan anggota-anggota keamanan tidak mampu menangkap raksasa ganas tersebut. Warga mohon kepada Ki Ageng untuk menemukan solusi segera. <br />
<br />
<br />
<b>Mengundang Ki Dalang Kandabuwono</b><br />
<br />
Ki Ageng bertanya kepada seorang pinisepuh desa yang dihormati dan tinggi ngelmu spiritualnya yang oleh orang-orang disebut Romo.<br />
<br />
Ki Ageng bertanya : “Romo, siapa sebenarnya raksasa buas itu dan sebenarnya apa yang terjadi?”</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Romo menjawab dengan serius : “Begini KI Ageng, keadaan desa sangat serius,oleh karena itu harus dihadapi dengan cermat. Seluruh warga desa harus siap siang dan malam dalam keadaan siaga. Menurut pengamatan batin saya, raksasa itu adalah Kala.Dia bukan sembarang raksasa, dia itu sangat sakti.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Ki Ageng menyela : “Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?”</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Romo menjelaskan secara detail dan gamblang apa yang terbaik untuk dilakukan</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Ki Ageng mengumumkan keputusan musyawarah warga desa, yaitu :” Saudara-saudara sekalian, kita akan nanggap wayang. Kita akan mengundang seorang dalang yang berbobot dan mumpuni untuk mengadakan pagelaran wayang kulit dengan cerita Murwakala. Dalang tersebut adalah Ki Dalang Kandabuwono yang kita percaya mampu menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Selain seorang dalang sepuh, beliau juga tinggi ngelmu spiritualnya. Semua hadirin setuju, lalu ditunjuk delegasi untuk menghubungi Ki Dalang. <br />
<br />
<br />
<b>Siapa Ki Dalang Kandabuwono?</b><br />
<br />
Setelah berunding dengan Narada, patihnya yang terpercaya, Betara Guru sependapat bahwa makanan yang boleh dimangsa Kala, terlalu banyak.Tentu penduduk bumi akan ribut. <br />
<br />
Untuk itu Guru memutuskan untuk sementara turun kebumi untuk mengendalikan Kala. Dia didampingi oleh Durga, Narada dan beberapa pengawal.<br />
<br />
Begitu sampai bumi, mereka menyamar sebagai manusia. Guru menjadi seorang yang berprofesi sebagai dalang wayang kulit yang bernama Ki Dalang Kandabuwono.Hal pertama yang dilakukan rombongan dalang adalah menemui<b> KI Lurah Semar </b>yang sebenarnya adalah seorang dewa sepuh, kakak Betara Guru, yang turun hidup di mayapada/dunia untuk mengawal para satria yang berjuang demi kebaikan ,kemakmuran dan keadilan dunia berdasarkan kebenaran. Guru dan semua dewa sangat hormat kepada Semar. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Syarat Pagelaran Wayang</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
Terjadi pertemuan antara Ki Ageng yang didampingi pinisepuh dan pengurus desa dengan Ki Dalang Kandabuwono yang didampingi istrinya, Semar dan beberapa pengawal.Ki Ageng sebagai kepala desa yang bijak dan berpengalaman, begitu ketemu Ki Dalang, langsung merasakan daya dan wibawanya yang kuat. Ki Ageng yakin bahwa Ki Dalang adalah orang berkemampuan tinggi dan tentu akan sanggup mengatasi kekacauan yang tengah terjadi.<br />
<br />
Dengan ramah, sopan, tegas Ki Dalang menerima permintaan Ki Ageng dan warga desa untuk mendalang dengan cerita Murwakala yang dimaksudkan untuk meruwat para sukerto supaya tidak lagi diganggu Kala.Ki Dalang menyatakan bahwa semua sukerto yang diruwat akan dibersihkan segala kotoran fisik dan jiwanya, akan dihapus segala sial dan malapetaka sehingga tidak lagi diancam Kala dan sang waktu jahat yang mengganggu kehidupan manusia. Ini juga disebut <b><i>ruwat sengkolo</i></b>. <br />
<br />
Ki Dalang sanggup melakukan tugas mulia ini, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ki Ageng agak kaget karena Ki Dalang punya syarat dan dia bertanya dengan sopan :” Lalu apa syaratnya –syaratnya?”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dengan santun tetapi tegas KI Dalang berkata : “ Semua anak, semua orang yang saya ruwat menjadi anak KI Dalang, anak saya, sehingga Kala tidak lagi berani mengganggu mereka karena mereka adalah anak Dalang Kandabuwono.”</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Selanjutnya KI Dalang berujar dengan jelas : “ Anak-anak yang telah saya ruwat, untuk Kala sudah bukan lagi merupakan sukerto, mereka bukan lagi sukerto karena sukerto-nya telah sirna”. “ Apa Ki Ageng dan para sukerto dan para orang tua sukerto setuju?, tanya Ki Dalang. Semua menjawab setuju!!!</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Selain itu para pinisepuh desa agar menyiapkan<b><i> uborampe</i></b>- hal-hal yang diperlukan untuk ruwatan seperti sesaji.<br />
<br />
<br />
<b>Esensi Sesaji</b><br />
<br />
Pada masa kini banyak orang terutama generasi muda yang tidak mengerti esensi sesaji. Sesaji yang bermacam-macam itu bermaksud baik, bila diurai berarti :</span></div><ul style="margin-top: 0cm;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Panembah dan ungkapan terimakasih kepada Gusti, Tuhan Sang Pencipta.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Permohonan kepada Tuhan supaya upacara dan tujuannya yang mulia mendapat berkah dan perlindungan Tuhan.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Mendapatkan restu para pinisepuh.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Berisi petuah-petuah bijak untuk menjalani hidup ini dengan baik dan benar.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Supaya tidak ada gangguan berupa apapun dari mahluk yang kelihatan dan”tidak kelihatan”.</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Itulah daya atau enerji yang diharapkan dari serangkaian sesaji yang komplit, yang dirangkai dari berbagai hasil bumi, yang sudah sejak zaman kuno makuno merupakan tradisi. Jadi inti dari sesaji adalah sebuah harapan, sebuah doa terbaik. <br />
<br />
Selain itu harus disediakan air suci dari tujuh sumber mata air yang berbeda.<br />
Supaya tujuan ruwatan berjalan sebagaimana mestinya, upacara harus dilaksanakan secara runut, cermat dan benar.<br />
<br />
Selain Ki Dalang yang telah menyiapkan diri lahir batin, para sukerto dan orang tuanya diwajibkan menghayati ruwatan yang berjalan. Ki Dalang ,para sukerto dan orang tuanya berpakaian tradisional. Sebelum upacara para sukerto mohon restu dari orang tuanya. Semua pihak yang terlibat memohon berkah Tuhan, karena hanya dengan palilah Beliau segalanya berjalan lancar dan baik.<br />
<br />
<b><i>Uborampe</i>/ peralatan yang dipergunakan dalang dan sukerto</b></span></div><ul style="margin-top: 0cm;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sepotong kain putih yang disebut mori, panjang 3 meter dibagi dua, yang sebelah diduduki dalang, potongan lainnya diduduki sukerto.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Diatas mori ditaburi bunga mawar, melati, gambir.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Blencong</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">, lampu untuk menerangi pagelaran wayang, digantungkan diatas dalang. Memakai bahan minyak kelapa bukan dari penerangan listrik.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pakaian para sukerto pada waktu upacara, sesudah selesai upacara diberikan kepada Ki Dalang.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Disediakan nasi kuning dicampur uang logam, nantinya disebar oleh dalang.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pengaron</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> baru, tempat air terbuat dari tanah liat yang diisi air dari tujuh sumber dicampur dengan kembang setaman dari mawar, melati, kenanga dan dua buah telor ayam. Gayung yang dipakai untuk memandikan sukerto terbuat dari buah kelapa dibagi dua, daging kelapanya tidak dibuang.</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sesaji Ruwatan </span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span></div><ul style="margin-top: 0cm;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dua ranting kayu dadap srep lengkap dengan daunnya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dua batang tebu dengan daunnya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sepasang kelapa muda.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dua ikat padi.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dua tandan buah kelapa.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dua tandan buah pisang.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Alat dapur seperti penggorengan, centong dll.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Alat pertanian : cangkul, arit,caping dll.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sepasang merpati, bebek, angsa dll.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Disedikan sejumlah ayam, satu sukerto satu ayam.Ayam jago untuk sukerto lelaki dewasa, ayam betina untuk sukerto wanita . Ayam jago muda untuk sukerto lelaki remaja, ayam betina muda untuk sukerto putri remaja.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">7/ tujuh lembar batik dengan motif : <b><i>bangun tulak, sindur, gading melati, poleng semen, truntum, sulur ringin dan tuwuh watu</i>.</b></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kendil baru diisi beras dan sebuah telor, dua sisir pisang raja, suruh ayu yang belum jadi,kembang boreh- tepung beras dicampur kembang, uang dengan nilai Rp.25 atau Rp.250 atau Rp.2500.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tikar dan bantal baru, minyak wangi, sisir, bedak, cermin dan kendil.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sekul among-</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> nasi dengan sayuran dan telur, biasanya untuk bancakan, syukuran anak kecil.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sekul liwet-</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> nasi dengan lauk sambal gepeng.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sepasang <b><i>golong lulut</i></b>- dua bulatan nasi ketan dengan telur goreng.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Beberapa buah ketupat, salah satunya diisi ikan lele atau wader goreng.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Golong orean</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> untuk setiap sukerto ( bulatan nasi dengan ayam panggang). Untuk setiap sukerto jumlahnya sesuai dengan wetonnya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Misal sukerto yang wetonnya Minggu Legi, golong oreannya 10 biji, yang Sabtu Paing jumlah oreannya 18, begitu seterusnya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tumpeng robyong</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">, nasi tumpeng yang diatasnya ditaruh cabe merah dicampur sayur gudangan dan telur rebus mengitari tumpeng.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sekul gebuli</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">, nasi kebuli dengan lauk ikan.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Rasulan</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">, nasi dengan lauk daging kambing dan sayuran.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Jajan pasar</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">, beberapa kue yang biasa dijual dipasar.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kala kependem</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">,seperti ketela, kacang dsb.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Empat tumpeng nasi, warnanya : merah, putih, hitam dan kuning.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">7 macam rujak dan 7 macam bubur. <b><i>Jangan menir</i></b> yang dibuat dari daun kelor, <b><i>arang-arang </i></b>kembang- nasi goreng sangan dengan air gula, <b><i>gethok-</i></b> potongan daging segar dengan santan dan air gula, <b><i>edan-</i></b> potongan kunyit dari papah lompong/batang talas dengan air gula, <b><i>ulek –degan- </i></b>irisan berbagai buah dengan cabai dan air gula, irisan kelapa dicampur air kelapa ditambah gula kelapa.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Berbagai bubur jenang : merah putih, <b><i>pliringan-</i></b> garis-garis merah putih dengan sedikit merah ditengah,<b><i> bulus angrem</i></b> – dalam bentuk bulus sedang mengeram, <b><i>palang- </i></b>diatas bubur merah ada palang putih, <b><i>sungsum </i></b>– bubur tepung beras diberi air gula Jawa.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tuak dan <b><i>badek/ legen</i></b>- minuman segar dari pohon aren.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Klepat-klepet</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">- daun gadungsari dan dadap srep dibungkus dengan daun kelapa.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Klepon</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> – serabi merah putih, uler-uler – jadah dan wajik.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sepasang kembar mayang yang dipayungi.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sebuah pecut baru.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sebuah sapu lidi yang diikat dengan gelang perak.</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<b>Pagelaran wayang Murwakala</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Diiringi alunan gending lembut, Ki Dalang duduk bersila didepan kelir. Secara pelan dan hati-hati diangkatnya wayang gunungan dan digetarkan pelan-pelan. <br />
<br />
Itu adalah perlambang mulai bergulirnya kehidupan didunia yang berjalan pasti sesuai dengan hukum alam. Sinar lampu blencong yang merupakan representasi sinar kehidupan dari Gusti, Tuhan Yang Maha Agung menyinari Jagat Raya.<br />
<br />
Pagelaran berjalan lancar dengan dihadiri KI Ageng, Romo, Semar, para pejabat desa, para sukerto beserta orang tuanya dan hampir semua penduduk desa.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Suasana desa jadi sepi, yang menjaga secara fisik adalah Jagabaya dengan beberapa anggota keamanan. Sedangkan Romo yang “orang pintar”/ paranormal, membantu dengan pengamanan gaib dengan cara melafalkan mantra saktinya.<br />
<br />
Ada maling yang mencoba memanfaatkan saat sepi untuk membobol rumah, tetapi dengan mudah bisa ditangkap oleh petugas keamanan.<br />
<br />
Sementara itu diluar, Kala sedang mengejar-ngejar sepasang <b><i>kedhono-kedhini</i></b>( kakak beradik laki-laki dan wanita) dan <b><i>ontang-anting</i></b> (anak tunggal laki-laki).<br />
<br />
Untuk menghindari Kala, ketiga sukerto tersebut masuk ketempat pagelaran wayang dan bersembunyi. <br />
Kala yang beringas ,begitu mendekat tempat pagelaran sepertinya jadi lemas dan kehilangan nyali. Dia tidak kuat menerobos pagar gaib yang memagari tempat pagelaran. Dia memilih untuk menunggu diluar sampai selesainya pertunjukan, lalu ketigo sukerto mau dia tangkap. <br />
<br />
Sewaktu menunggu Kala jatuh tertidur, lalu mendengkur. Semakin lama dengkurannya semakin keras dan terus menerus. Para penonton yang dibaris belakang mulai terganggu. Mereka mencari tahu, siapa yang mendengkur begitu keras sehingga mengganggu pagelaran. Beberapa orang terkejut menemukan ada raksasa besar sedang tidur dibalik semak-semak. Orang-orang itu berteriak: “ Ada buto, ada buto ( raksasa)!” Romo tahu bahwa raksasa itu Kala. Bersama Semar, Romo membangunkan Kala. Kala merasa kalah wibawa dan menurut saja diajak menghadap Ki Dalang Kandabuwono.<br />
<br />
<br />
<b>Dialog Ki Dalang dengan Kala</b><br />
<br />
Kala ditanya oleh Ki Dalang kenapa dia ribut dan mengganggu pagelaran wayang.<br />
<br />
Dengan nada marah dan tidak sabar Kala menjawab bahwa dia sedang mengejar 3 sukerto yang sembunyi diantara penonton. Sukerto itu jatah makanannya dan siapapun tak boleh menghalangi, kalau menghalangi mau dia makan juga.Kala yang sudah lapar sekali semakin menunjukkan watak sombongnya, dia meremehkan semua orang disitu. Dia pikir tak ada satu orangpun yang mampu mengalahkannya. <br />
<br />
Ki Dalang dengan sabar meminta Kala tenang dan menjelaskan maksudnya. Kata-kata Ki Dalang sangatlah berwibawa. Suasananya mencekam, apalagi disitu ada Semar, Romo. Kala yang garang jadi menyusut nyalinya. Ki Dalang bilang bahwa Kala harus mendengarkan kata-kata dari orang yang lebih tua dari dia.Kala bilang bahwa dia lebih tua dari semua manusia, artinya dia juga lebih tua dari Ki Dalang, sehingga Ki Dalang yang harus menurut.<br />
<br />
<b>Terjadi perdebatan yang ramai, keduanya mengaku lebih tua. </b><br />
<br />
Sebagai jalan keluar mereka sepakat, Kala akan mengajukan teka-teki (<b><i> cangkriman </i></b>dalam bahasa Jawa) dan pertanyaan. Bila Ki Dalang bisa menjawab, Kala akan mengakui kalah tua, sebaliknya kalau Ki Dalang tak mampu menjawab, maka Kala lebih tua.<br />
<br />
Dengan disaksikan para pinisepuh dan segenap hadirin terjadilah tanya jawab mengenai berbagai hal yang meliputi seni budaya, terjadinya jagat raya dan manusia, juga mengenai hidup sejati. Semua pertanyaan Kala dijawab dengan lugas dan benar oleh Ki Dalang. Kala heran dengan kemampuan Ki Dalang yang begitu luas pengetahuannya termasuk kebatinan.<br />
<br />
Dia menduga KI Dalang tentulah orang yang sangat hebat. Kala terpaksa mengakui bahwa dia kalah dalam perdebatan dengan Ki Dalang dan oleh karena itu dia bersedia mendengarkan nasihat Ki Dalang.<br />
Ki Dalang bertanya : “ Bagaimana, apakah kamu masih ada pertanyaan?’<br />
Kala menjawab tidak, karena pertanyaan yang sulitpun bisa dijawab oleh Ki Dalang. Karena penasaran Kala bertanya :” Kalau boleh aku tahu, siapa sebenarnya KI Dalang ini?’<br />
Dijawab: “ Aku KI Dalang Kandabuwono.yang memerintah kamu dan semua perintah itu harus kamu turuti. Kalau tidak kamu akan celaka.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Kala bersedia memenuhi semua perintah Ki Dalang.<br />
(Sampai saat adegan dialog diatas, Ki Dalang yang mendalang masih memakai ikat kepala/topi yang berupa <b><i>blangkon</i></b>. Kini ketika adegan dalang mau memberi nasihat dan perintah kepada Kala artinya ini saat penting bagi Kala dan sukerto, maka dalang mengganti blangkonnya dengan memakai <b><i>udheng</i></b>. Seorang Jawa tradisional pada masa dulu, kalau sedang samadi atau <b><i>nayuh</i></b>, memohon jawaban dari Gusti, Tuhan, ikat kepala yang dipakai adalah udheng, artinya supaya mudheng- mengerti dengan benar kehendak Tuhan).<br />
<br />
<br />
<b>Mantram Sakti</b><br />
<br />
Dengan penuh wibawa Ki Dalang Kandabuwono bersabda kepada Kala:” Wahai Kala, aku akan menuliskan sebuah mantram sakti didadamu. Siapapun yang bisa membaca mantram dan siapa saja yang bisa mengucapkan mantram ini, tidak boleh kamu jadikan korbanmu, bahkan tidak boleh kamu ganggu. Mengerti?”</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
“ Kalau kamu nekad melanggar, kamu akan mendapat hukuman berat dari Sang Hyang Jagadnata, Gusti, Tuhan”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kala menunduk dan berkata lirih bahwa dia menurut perintah Ki Dalang.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Nama mantram itu adalah Rajah Kalacakra sebagai berikut :<br />
<b><i>Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya; Yasilapa-Palasiya; Yamidosa-Sadomiya; Yadayuda-Dayudaya; Yasiyaca- Cayasiya; Yasihama- Mahasiya.</i></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Artinya : Siapapun yang menimbulkan keributan, hilang kekuatannya. Siapa yang datang untuk membuat celaka, hilang dayanya. Siapa yang membuat kelaparan, mulai sekarang harus memberi banyak makanan. Siapa yang membikin kemelaratan , harus membangun kemakmuran. Siapa yang berbuat dosa , wajib menghentikan nafsu jahatnya. Siapa yang mengobarkan perang, pasti sirna kekuatannya. Siapa yang berkhianat dan kejam, harus berbuat welas asih. Siapa yang suka merongrong, menjadi parasit, harus merobah sikap dengan menghormat dan kasih kepada sesama.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Perbawa mantram itu sangat kuat membuat Kala gemetar dan miris. Dengan sangat hormat Kala berkata kepada Ki Dal;ang : “ Saya amat miris mendengar mantram ini, siapapun yang bisa membaca dan mengucapkan mantram Rajah Kalacakra, tidak akan saya ganggu”.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Masih ada satu mantram lagi yang diucapkan Ki Dalang. Siapapun yang mengucapkan mantram ini tidak akan diganggu Kala. Nama mantram : Hanacaraka Kebalik, bunyinya :<b><i> Ngathabagama, nyayajadhapa, lawasatada, karacanaha.</i></b><br />
<br />
Mendengar mantram itu lunglai tubuh Kala tidak punya daya.<br />
<br />
Kini Kala benar-benar tunduk kepada Ki Dalang Kandabuwono, orang mahasakti, mahabijak. <br />
<br />
<br />
<b>Sukerto yang diruwat</b><br />
<br />
Pada waktu Ki Dalang melafalkan kedua mantram sakti, para sukerto dengan sadar dan penuh perhatian mendengarkan dan menghayatinya. Sehingga secara alami daya mantram bekerja dan dengan berkah Gusti, Tuhan akan mengusir siapa saja yang mau menjahati sukerto yang diruwat, dimanapun dan kapanpun.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Ki Dalang memberitahu Kala bahwa setiap sukerto yang telah diruwat oleh Ki Dalang telah menjadi anak Ki Dalang, mereka tidak boleh diganggu dan dimangsa oleh Kala. Kala setuju.<br />
<br />
Ki Dalang mulai menyebut nama sukerto satu per satu dengan jelas, sebagai berikut :<br />
<b><i>Pramananing jabang bayi</i></b> ( hidup sejati dari si bayi) ( lalu sebut namanya) misalnya Utami,<b><i> unting-unting</i></b>, anak perempuan tunggal.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<b><i>Pramananing jabang bayi</i></b> Basuki,<b><i> ontang-anting</i></b>, anak laki-laki tunggal.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Setalah semua sukerto yang diruwat disebut namanya, Ki Dalang berkata kepada Kala : “ Itu tadi yang saya sebut nama-namanya adalah sukerto yang telah saya ruwat. Meraka adalah anak-anakku. Kamu tidak boleh mengganggu mereka”.<br />
Kala menurut, setuju.<br />
<br />
<br />
<b>Kala mohon diberkati</b><br />
<br />
Ki Dalang Kandabuwono menetapkan Kala menjadi penghuni hutan Krendowahono. Sebelum berangkat kesana, Kala mohon diberkati dengan<b> Santi Puja Mantra</b> supaya hidupnya selamat. Ki Dalang setuju, lalu Kala dimandikan dengan berbagai air bunga.<br />
<br />
Kala juga meminta sesaji untuk bekal hidupnya, berupa : alat-alat pertanian, hasil bumi, alat dapur, ternak seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, itik dll., kain panjang, beberapa jenis makanan, tikar, bantal dan selimut.<br />
<br />
Ki Dalang memanggil Bima supaya mengusir semua anak buah Kala yang berupa berbagai jenis mahluk halus jahat dan bekasaan untuk juga pergi kehutan. Bima mengusir mereka semua dengan menggunakan pecut dan sapu lidi yang diikat dengan tali perak. <br />
<br />
<br />
<b>Prosesi ruwat tahap akhir</b><br />
<br />
Sesudah Kala dan semua anak buahnya pergi, Ki Dalang melanjutkan prosesi ruwat. <br />
<br />
Dengan mantap dan penuh perbawa Ki Dalang berkata :</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Yo aku dalang sejati, yo aku sing menang miseso ing siro, sukerto wis lebur ilang dadi banyu. Mung gari rahayune. </span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
Artinya : Ya akulah dalang sejati, akulah yang berwenang mengurusi kalian. Sukerto kalian hilang, sudah menjadi air. Yang ada hanyalah keselamatan kalian.<br />
<br />
Lalu Ki Dalang akan membuka jatidirinya sendiri dengan mengatakan :<br />
Ya aku dalang Kandabuwono, ya aku dalang ( sebut namanya sendiri) misalnya Ki Timbul Hadiprayitno.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Anak-anak yang diruwat rambutnya sedikit digunting oleh Ki Dalang. Sesudah itu semua yang sudah diruwat sowan kepada Ki Dalang untuk mohon pangestu/berkah.Beberapa wayang kulit yang berperan sebagai sukerto diruwat juga dengan cara kakinya dimasukkan kedalam pengaron/tempat air dan dicuci dengan air kembang, mereka sudah lagi bukan sukerto.<br />
<br />
Ki Dalang Kandabuwono setelah menyelesaikan tugas, berubah wujud lagi jadi Betara Guru, demikian juga pengiring yang lain, berubah jadi Durga dan dewa-dewa. Setelah berpamitan kepada Ki Lurah Semar, Ki Ageng, Romo dan semua warga desa , rombongan dewa kembali lagi naik ke Swargaloka.<br />
<br />
Ki Dalang mencopot udheng dan memakai blangkon lagi.<br />
<br />
Mereka yang diruwat dimandi sucikan satu per satu oleh Ki Dalang.<br />
<br />
Upacara ritual ruwatan paripurna. Semua yang diruwat mendapatkan jalan kehidupan yang baik, terang. Dengan berkah Gusti, Tuhan, semoga selalu selamat, sehat, sejahtera, sukses lahir batin. Semoga.<br />
<br />
<br />
Sumber : Suryo S.Negoro (http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/ruwatan)<br />
<br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-19771254002535381862011-10-10T02:22:00.000-07:002011-10-17T22:54:10.110-07:00Foto-foto Taman Sari - Water Castle Yogyakarta<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisTpVhR28jgF99PTKrvlG_9g62LqvVDzbrN-ONdRMoVWTUIjktecwFvCMMiVLC4PoeQgwb8d4t2moLmqF1vD8FsSEfRNTtXbuqAR7P2lUtP1LXCJC4YlWaqzwwcphUYYKZinAR8AE0A8o/s1600/PICT2885_resize.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisTpVhR28jgF99PTKrvlG_9g62LqvVDzbrN-ONdRMoVWTUIjktecwFvCMMiVLC4PoeQgwb8d4t2moLmqF1vD8FsSEfRNTtXbuqAR7P2lUtP1LXCJC4YlWaqzwwcphUYYKZinAR8AE0A8o/s200/PICT2885_resize.JPG" width="200" /></a></div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPyqh6y-CJVGCv0TLK6r0BbB5Nk0eWlNXhQdkA0ebO0-2ea-8PAAks8j1hEsCq0m6-Su5qr_-9FGBOw7HYEL8PflnNb7QHQI0dRAmMzDOmTxkCkb3UHSp96wD3nNSG5JhRl8bWnH-N8Ug/s1600/PICT2886_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPyqh6y-CJVGCv0TLK6r0BbB5Nk0eWlNXhQdkA0ebO0-2ea-8PAAks8j1hEsCq0m6-Su5qr_-9FGBOw7HYEL8PflnNb7QHQI0dRAmMzDOmTxkCkb3UHSp96wD3nNSG5JhRl8bWnH-N8Ug/s200/PICT2886_resize.JPG" width="200" /></a><br />
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxj1nMvOOKYmC1uIS2-eW-rbfuk63AOZRMK92fYCxO-MHH1M0x6l87ZHy2t8V1nqijUmvBHgL26wNKhBNPCN0nx_BJfHZomERZyFApko8x0ls9-D21ZcyexBRNSSs22bQdLrkErhQhuY/s1600/PICT2887_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxj1nMvOOKYmC1uIS2-eW-rbfuk63AOZRMK92fYCxO-MHH1M0x6l87ZHy2t8V1nqijUmvBHgL26wNKhBNPCN0nx_BJfHZomERZyFApko8x0ls9-D21ZcyexBRNSSs22bQdLrkErhQhuY/s320/PICT2887_resize.JPG" width="320" /></a></div><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG-uof-ZUPccNof985JpCXNpGRUm5tZlCfYzte4VK7iORb66nsDDIAJlmvgoHTKiExzYX4-jt1VGI2laWZrb8YmAId_kRnuVk12U3kat0GU26Sxdj7XR9o-D-tK04nvVudHE47P3A_cCY/s1600/PICT2889_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG-uof-ZUPccNof985JpCXNpGRUm5tZlCfYzte4VK7iORb66nsDDIAJlmvgoHTKiExzYX4-jt1VGI2laWZrb8YmAId_kRnuVk12U3kat0GU26Sxdj7XR9o-D-tK04nvVudHE47P3A_cCY/s1600/PICT2889_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqNgXsn52zl6OrNOboJS2ZJZY958VRVzo0qZW3LNDgJ0QWvX2rIiqo2hAEpBetEZqe-Fsmll9_-57MsOSpd98P7Rqalcxr2isQmKuvtdXF9Htv7POJ2qzIGQhbedqCnG5vwNcAPsCyH7E/s1600/PICT2890_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqNgXsn52zl6OrNOboJS2ZJZY958VRVzo0qZW3LNDgJ0QWvX2rIiqo2hAEpBetEZqe-Fsmll9_-57MsOSpd98P7Rqalcxr2isQmKuvtdXF9Htv7POJ2qzIGQhbedqCnG5vwNcAPsCyH7E/s1600/PICT2890_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6JOoADQzyj9BD-Wd_dzh-Y7iVmD2qLg4GnGcY3Zm8Nr7_HX2cphHEWix-4vQ-jNgPNHgbgc5pHwbUCuBLGI2E7Rv1Yw69SKb8GdFTYEDToD4VdB9U-7i0G5QKfLOXgQFXJLDJKu7vDEc/s1600/PICT2891_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6JOoADQzyj9BD-Wd_dzh-Y7iVmD2qLg4GnGcY3Zm8Nr7_HX2cphHEWix-4vQ-jNgPNHgbgc5pHwbUCuBLGI2E7Rv1Yw69SKb8GdFTYEDToD4VdB9U-7i0G5QKfLOXgQFXJLDJKu7vDEc/s1600/PICT2891_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuOBzWN5WhedMv5fB2QFPkDXkjWLt-ytWiq0_BWDYzIPoc_mM9TJh4DSxSEuZsu1MBNlBNcTZaxBShi79qmkw0ZtCrJizGoMu71tIs-3E7Y30X1RV-3W1SEd7FN_BDnHBa3CJjcf33hyphenhyphenQ/s1600/PICT2892_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuOBzWN5WhedMv5fB2QFPkDXkjWLt-ytWiq0_BWDYzIPoc_mM9TJh4DSxSEuZsu1MBNlBNcTZaxBShi79qmkw0ZtCrJizGoMu71tIs-3E7Y30X1RV-3W1SEd7FN_BDnHBa3CJjcf33hyphenhyphenQ/s1600/PICT2892_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuo3CSodGogNS_kN4QQZUx8RICi2sqa0Ya7TDgkqkZe1xzZ2V5m1OEf43BmYcPoDds5dNZyKfeQWR_jto2gq2PfzpNMnfew44O9g_HZ0McByRn2bdbzyZ_PbhTroT60b1lIzTyklit2Rw/s1600/PICT2895_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuo3CSodGogNS_kN4QQZUx8RICi2sqa0Ya7TDgkqkZe1xzZ2V5m1OEf43BmYcPoDds5dNZyKfeQWR_jto2gq2PfzpNMnfew44O9g_HZ0McByRn2bdbzyZ_PbhTroT60b1lIzTyklit2Rw/s1600/PICT2895_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgC0OoqxOOEG61HmxzicPwz8n2wfmcAi0wYfX8wrJi2hsNLplL1ZwA7UQEUXb1_V9pMRNAuYpdteHUf9aAKajnozBCVu9Y-IERrX4AhpBz4izGD5Vokjoyu0uiMWxvG-gTm_PClPSqFmnA/s1600/PICT2896_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgC0OoqxOOEG61HmxzicPwz8n2wfmcAi0wYfX8wrJi2hsNLplL1ZwA7UQEUXb1_V9pMRNAuYpdteHUf9aAKajnozBCVu9Y-IERrX4AhpBz4izGD5Vokjoyu0uiMWxvG-gTm_PClPSqFmnA/s1600/PICT2896_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4UIZ91k-t4tH2x4JVP2WGrLp3DgtuWeir-b3mpCrmgyYTZObNGBseygp7DpuHVKwRO1UM5cMzVMCuoapBinFT5vhfhdnN-gMIp-ebMR-TnUvxCBOuxY8SRv7Ag4AwQO1iYHGs9oHHGfU/s1600/PICT2897_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4UIZ91k-t4tH2x4JVP2WGrLp3DgtuWeir-b3mpCrmgyYTZObNGBseygp7DpuHVKwRO1UM5cMzVMCuoapBinFT5vhfhdnN-gMIp-ebMR-TnUvxCBOuxY8SRv7Ag4AwQO1iYHGs9oHHGfU/s1600/PICT2897_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgni89v27YP4xcb9B-LYiWAUIFPKF88uL_cuBp-r1jQnRKCAmo8nyr5b9nMlm9HMgkioPQrcGGDhToLUEMfAqgcYTOC4kWwMKpZgW8vfW4mNKqOfSuRxWDqRGhjAs6Qe63BD7UCO1d2ai8/s1600/PICT2898_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgni89v27YP4xcb9B-LYiWAUIFPKF88uL_cuBp-r1jQnRKCAmo8nyr5b9nMlm9HMgkioPQrcGGDhToLUEMfAqgcYTOC4kWwMKpZgW8vfW4mNKqOfSuRxWDqRGhjAs6Qe63BD7UCO1d2ai8/s1600/PICT2898_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixcjxNx5FUHdNwBcgI_F2d9n5GXbPiDDnOlOC64yJb9GK3XTRfrQC0PqiN6I0P1pV7cettvbPBpH7R_WjhhrJ-SujcJ1UOJe7Uf07Pjm1OeC00FqUi1Sa1wiZnCM6teF5xw64aOHt6LK4/s1600/PICT2900_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixcjxNx5FUHdNwBcgI_F2d9n5GXbPiDDnOlOC64yJb9GK3XTRfrQC0PqiN6I0P1pV7cettvbPBpH7R_WjhhrJ-SujcJ1UOJe7Uf07Pjm1OeC00FqUi1Sa1wiZnCM6teF5xw64aOHt6LK4/s1600/PICT2900_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjER7at8VMBJftgrofOiq0U2QgQTGlzzFIKE2_K11sKCBX6d2bjTOlfee2Jr00RG88eUEk31b7XU8w8KZtH0Pz15fIWjnIWJRQ3GlJTFd438IcRzoxVqApL6OZibj-x1QCnkFzWpwfI7Ko/s1600/PICT2901_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjER7at8VMBJftgrofOiq0U2QgQTGlzzFIKE2_K11sKCBX6d2bjTOlfee2Jr00RG88eUEk31b7XU8w8KZtH0Pz15fIWjnIWJRQ3GlJTFd438IcRzoxVqApL6OZibj-x1QCnkFzWpwfI7Ko/s1600/PICT2901_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9XXpy-iIaVMafmrQvWhFVMzL3YoSKI8A0DOxaOgWkqHXaMnc73EBemASByk5pGCMrmbbpl1UKK1oX6PXCHX6lpHhyphenhyphen1Cg7B534zYFbfXh3PXBIbTkn63spqsDDm02QaYBr4SmzUxNpnWc/s1600/PICT2902_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9XXpy-iIaVMafmrQvWhFVMzL3YoSKI8A0DOxaOgWkqHXaMnc73EBemASByk5pGCMrmbbpl1UKK1oX6PXCHX6lpHhyphenhyphen1Cg7B534zYFbfXh3PXBIbTkn63spqsDDm02QaYBr4SmzUxNpnWc/s1600/PICT2902_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsLGGgA7BbHW0hu3_5Z6s_-aWQkMLyys908cGlXoB1k4hsxbA2hs3MeN2AFSBaPmd59e7scVuEKjGs1oo-hAfHEN_IsPKKm_xgLpKmItOBD1URSc111C1TzUe1o63smJJWp60fvBHuubI/s1600/PICT2903_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsLGGgA7BbHW0hu3_5Z6s_-aWQkMLyys908cGlXoB1k4hsxbA2hs3MeN2AFSBaPmd59e7scVuEKjGs1oo-hAfHEN_IsPKKm_xgLpKmItOBD1URSc111C1TzUe1o63smJJWp60fvBHuubI/s1600/PICT2903_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja2NFTi8PvOrpWJjkQIPFD9q2QWu1I5MC7KAQxUoERk8lbEcaFfVbgEcx6yzflYhVudq272P38xs0lVb3M2wG3T1FJ2uqPaqGmNNNC02x9PWcMwiUm36iIJu0mR1gDflpg2W7d8m0Fq4s/s1600/PICT2904_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja2NFTi8PvOrpWJjkQIPFD9q2QWu1I5MC7KAQxUoERk8lbEcaFfVbgEcx6yzflYhVudq272P38xs0lVb3M2wG3T1FJ2uqPaqGmNNNC02x9PWcMwiUm36iIJu0mR1gDflpg2W7d8m0Fq4s/s1600/PICT2904_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX5VQxK0s0S7L2sTks9u4g3434yS0hRyOgaqGcUAJAeuxuQmC7Om9L5ZEqGPRg2S_ryGyUvMAhxXI8WzHUFhIbUsjeJ_LlIAqVLzos6BdOjBPKdxCQYR-p05ZBLkNU3FyTVl_bSFbmfbg/s1600/PICT2905_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX5VQxK0s0S7L2sTks9u4g3434yS0hRyOgaqGcUAJAeuxuQmC7Om9L5ZEqGPRg2S_ryGyUvMAhxXI8WzHUFhIbUsjeJ_LlIAqVLzos6BdOjBPKdxCQYR-p05ZBLkNU3FyTVl_bSFbmfbg/s1600/PICT2905_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJIOSp7qvjT848RojJjtKoTlQU6_nOa7R1KsCS6Heni75cLhkHftE6oZ7moLa4Q48ZLZ6LrGdWQllimFklnCKVoGENpHOs_RgXkmYn4sGGa2-7QaPY1IHTem4XuB-6z24Oc1nkV1oMf7I/s1600/PICT2906_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJIOSp7qvjT848RojJjtKoTlQU6_nOa7R1KsCS6Heni75cLhkHftE6oZ7moLa4Q48ZLZ6LrGdWQllimFklnCKVoGENpHOs_RgXkmYn4sGGa2-7QaPY1IHTem4XuB-6z24Oc1nkV1oMf7I/s1600/PICT2906_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCMUB1ZQRs1U3h0yCRGg_rLL10uQEzhd17OMIzA9btDMBz7h9Q1pyFxNmqOy_uM55B8Ntkf_1Efm3aUmc_p5BTGH5REki0jdX9Uh66puQc8LVHAqsTpUxeftL2ppIPHEKlCh2iNI01drY/s1600/PICT2907_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCMUB1ZQRs1U3h0yCRGg_rLL10uQEzhd17OMIzA9btDMBz7h9Q1pyFxNmqOy_uM55B8Ntkf_1Efm3aUmc_p5BTGH5REki0jdX9Uh66puQc8LVHAqsTpUxeftL2ppIPHEKlCh2iNI01drY/s1600/PICT2907_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmM2xwZ2481r7-RILq_It6KC8ahCJwO_StTS1hIRjPo-H7SO6KV5fcDO6sJH0pD66x6cZVlhw2PYm4aLj1yEwY6H55gHiVs0PkW_Uhz6Wo3InJSDciZwLGO0R7Eky6_NYiXGkKIG_EX_o/s1600/PICT2909_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmM2xwZ2481r7-RILq_It6KC8ahCJwO_StTS1hIRjPo-H7SO6KV5fcDO6sJH0pD66x6cZVlhw2PYm4aLj1yEwY6H55gHiVs0PkW_Uhz6Wo3InJSDciZwLGO0R7Eky6_NYiXGkKIG_EX_o/s1600/PICT2909_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwaSRpHLTzBfCZzXTXEzLboYCvu1wFac0_xxELCGZONMqiZpbfTaJQ3fWMcb1HL6HpxLlBdNLUFOUQeEjQ6gFVuu3oZf6xbDsyUDqOllgs5NmQcI-mU6dFieF2QyJx-FiUlXhu6cPe5H8/s1600/PICT2910_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwaSRpHLTzBfCZzXTXEzLboYCvu1wFac0_xxELCGZONMqiZpbfTaJQ3fWMcb1HL6HpxLlBdNLUFOUQeEjQ6gFVuu3oZf6xbDsyUDqOllgs5NmQcI-mU6dFieF2QyJx-FiUlXhu6cPe5H8/s1600/PICT2910_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYB9uTObHUsPUVtOrTmKlJVQs3RG1jBTXBlmDnpUmHI8MuCt0pv85NeiAf9jcUCj9ytDXPfMaGX5nP9jkyjBuClW2WoVkwlE8cVUK8ps_Jm8iH51sVnP2SBg5j-bFY7iG8dMBR0yNuCec/s1600/PICT2911_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYB9uTObHUsPUVtOrTmKlJVQs3RG1jBTXBlmDnpUmHI8MuCt0pv85NeiAf9jcUCj9ytDXPfMaGX5nP9jkyjBuClW2WoVkwlE8cVUK8ps_Jm8iH51sVnP2SBg5j-bFY7iG8dMBR0yNuCec/s1600/PICT2911_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjc-Gp1m9CTxIe8CMW8wR_VzkjnjJVoDXaKD7mGRGAwRtJa6ph7szvwu5xXJvjxWWmvw1zAFc6LP85Rkcsy0ypp4rsAgDBVYYIGstPGM0tp0GoMQm2JrY632g0qNhUZmLMPiJq7Akvo-Y/s1600/PICT2913_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjc-Gp1m9CTxIe8CMW8wR_VzkjnjJVoDXaKD7mGRGAwRtJa6ph7szvwu5xXJvjxWWmvw1zAFc6LP85Rkcsy0ypp4rsAgDBVYYIGstPGM0tp0GoMQm2JrY632g0qNhUZmLMPiJq7Akvo-Y/s1600/PICT2913_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1YnjB-GeocAsHKJTPuvIg5Nj0summLCCpty64sLotVrpT1o594STsUO4CGuOZmcsg1Q9a-9U8lieuiT0h5tkszwObWlV8CCuUheQOh4poKweY1o7Op3XlL-HNxkET-tCfQV3gwLsyePU/s1600/PICT2914_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1YnjB-GeocAsHKJTPuvIg5Nj0summLCCpty64sLotVrpT1o594STsUO4CGuOZmcsg1Q9a-9U8lieuiT0h5tkszwObWlV8CCuUheQOh4poKweY1o7Op3XlL-HNxkET-tCfQV3gwLsyePU/s1600/PICT2914_resize.JPG" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqt_xLay78mrlfwXatOmxWSLz4A1t8ciG08MS1LlFrMeasEQxkMhqiyvuVN0JEb0b7CdlGAy2MjJukH1wil8PZeNlqs8wOiwXSfa7yrNh_0E90EDpxRPAZ-xylIcM0SUVzcZiWUxI18Ks/s1600/PICT2915_resize.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqt_xLay78mrlfwXatOmxWSLz4A1t8ciG08MS1LlFrMeasEQxkMhqiyvuVN0JEb0b7CdlGAy2MjJukH1wil8PZeNlqs8wOiwXSfa7yrNh_0E90EDpxRPAZ-xylIcM0SUVzcZiWUxI18Ks/s1600/PICT2915_resize.JPG" /></a></div><br />
</div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-12653564443938822882011-10-10T02:02:00.000-07:002011-10-17T23:00:12.369-07:00Foto-foto Koleksi Museum Sono Budoyo Yogyakarta<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCywHGCdrf7JiK1xYJ23NXSWUOtMDEUBIv9LIVRdI1mbCIdRDXv7RaAhbi5VvuWESaQrNr2a26sS8uOUHzp7aIso1WJQ8mhyEQWmbOUmpaxHwv4K_Q6X8y2ZHxp1RkefNBYpRpseVz9fA/s1600/CIMG0006.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCywHGCdrf7JiK1xYJ23NXSWUOtMDEUBIv9LIVRdI1mbCIdRDXv7RaAhbi5VvuWESaQrNr2a26sS8uOUHzp7aIso1WJQ8mhyEQWmbOUmpaxHwv4K_Q6X8y2ZHxp1RkefNBYpRpseVz9fA/s200/CIMG0006.JPG" width="121" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcP8cnrxuidV1YXNLeihOgJVCA9Kl_yrveltDSu9dmiHL9yqsCfogADqGec0CsCI4QbiMFbduNbRg6VkCF5Pr_4-zH5oeD7TvX4VvS7K15JqGRFvavtBjA9WA5Rb8bpziJqOuj9s70ZQA/s1600/CIMG0009.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcP8cnrxuidV1YXNLeihOgJVCA9Kl_yrveltDSu9dmiHL9yqsCfogADqGec0CsCI4QbiMFbduNbRg6VkCF5Pr_4-zH5oeD7TvX4VvS7K15JqGRFvavtBjA9WA5Rb8bpziJqOuj9s70ZQA/s320/CIMG0009.JPG" width="320" /></a></div><br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuYM3PJeTYlkhJfOxZEu2EMfxoDgTkLAeTmoJeqE_Lbwx-WERAa18VxEd2AleNQ7KKCu66mWzYI_uz8F9jAIZRyff3cRe89n427ZLX2ivpdtyvGX7ePOYeu_pXx5iuY2N9v6uoTysbhyphenhypheng/s1600/CIMG0012.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuYM3PJeTYlkhJfOxZEu2EMfxoDgTkLAeTmoJeqE_Lbwx-WERAa18VxEd2AleNQ7KKCu66mWzYI_uz8F9jAIZRyff3cRe89n427ZLX2ivpdtyvGX7ePOYeu_pXx5iuY2N9v6uoTysbhyphenhypheng/s320/CIMG0012.JPG" width="209" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhysmasrpR0DOr_4_Wu6I0dWqmRT-j0ry8TRQ_e0vpQ5fVp67EkOJ_zcGcq3ebk0jiD8DSQEZcTLly08fTxf-AOiKhXAG1B-PxWoLedaSfWKjBW4-_4qtuffxE7LH3EGik-v-RZWWh6hDA/s1600/CIMG0014.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhysmasrpR0DOr_4_Wu6I0dWqmRT-j0ry8TRQ_e0vpQ5fVp67EkOJ_zcGcq3ebk0jiD8DSQEZcTLly08fTxf-AOiKhXAG1B-PxWoLedaSfWKjBW4-_4qtuffxE7LH3EGik-v-RZWWh6hDA/s320/CIMG0014.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAOkmQWmFcNR-xSNyoZDqo2zv_zWRYPKLY4ozQmhGUXcUZGuaB6YwYI7kdUSzrkXYD5Vd57iPy8sIipHagNCIfpAH7HSDvGuX9bXU5aCqEp5yFFaRU6ZnAC2vD3wXLa6mGEx-lnhQyRWg/s1600/CIMG0015.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="274" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAOkmQWmFcNR-xSNyoZDqo2zv_zWRYPKLY4ozQmhGUXcUZGuaB6YwYI7kdUSzrkXYD5Vd57iPy8sIipHagNCIfpAH7HSDvGuX9bXU5aCqEp5yFFaRU6ZnAC2vD3wXLa6mGEx-lnhQyRWg/s320/CIMG0015.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxpRmPGYaaxFC8L2yloiQCBmB_e_X98A80MbKE4RGJt6mM-wdUkC8J1Q-Y6xJdGet-oHTa4reU5acLy5nLNG769KH1pvSo-VTxlPFLYIobSKE_QG_udrvJO_j8M1RZVd3pOYtJSIM8yN4/s1600/CIMG0016.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxpRmPGYaaxFC8L2yloiQCBmB_e_X98A80MbKE4RGJt6mM-wdUkC8J1Q-Y6xJdGet-oHTa4reU5acLy5nLNG769KH1pvSo-VTxlPFLYIobSKE_QG_udrvJO_j8M1RZVd3pOYtJSIM8yN4/s320/CIMG0016.JPG" width="212" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh00uJeeZCMvL6SniTcmwh62gEVwVlI8UIldBW8O7XdbwJS6CQSKoiVlCjFWofmRuaj_m2Z8J1Bppz0lJdVgseyxYB2AURuO6kpBCTkDlD7W7VjvUfuCamBKRGFnHXKloGkL0mlXWS0mp4/s1600/CIMG0017.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh00uJeeZCMvL6SniTcmwh62gEVwVlI8UIldBW8O7XdbwJS6CQSKoiVlCjFWofmRuaj_m2Z8J1Bppz0lJdVgseyxYB2AURuO6kpBCTkDlD7W7VjvUfuCamBKRGFnHXKloGkL0mlXWS0mp4/s320/CIMG0017.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ1bSHFQYDfCcAjSp06NKB8aSyEN_OCHN4TvWFAjXioVuEAX692tFxlsu64tgniefGmw99NW7F1mMuDDcNQLAQMjq3qXQvHbJyDbeGgzXtaj-U6kyPBaDofUlQAtFIdrl21wjr_SHmLE0/s1600/CIMG0018.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ1bSHFQYDfCcAjSp06NKB8aSyEN_OCHN4TvWFAjXioVuEAX692tFxlsu64tgniefGmw99NW7F1mMuDDcNQLAQMjq3qXQvHbJyDbeGgzXtaj-U6kyPBaDofUlQAtFIdrl21wjr_SHmLE0/s320/CIMG0018.JPG" width="300" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUeRahEcfUatp9IEHvVoVuasaSy4q5dPdASGLOXNI2ZvtO9jw_M60oxZiOhxiMBBVRvQNMHem3PR415S_cah9gH8eKnODsqNHaEOSy1Eu68lTXXlRgxhaCOHdEhyv2OkfR66OGozFFrI8/s1600/CIMG0019.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="171" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUeRahEcfUatp9IEHvVoVuasaSy4q5dPdASGLOXNI2ZvtO9jw_M60oxZiOhxiMBBVRvQNMHem3PR415S_cah9gH8eKnODsqNHaEOSy1Eu68lTXXlRgxhaCOHdEhyv2OkfR66OGozFFrI8/s320/CIMG0019.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5vhzoIwPyyhH_26tvXf9p_1SMYu4QjIkpZb3rXUgAG9j1_CfOdoiFkt7620aVlQbRNT3nrLbsBqatb1vunnIK0yA6MIH0wB9tpbM0We2GEBonVEbdJEXW2_UzRJ-YEfOZzUzJFHubO7w/s1600/CIMG0023.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5vhzoIwPyyhH_26tvXf9p_1SMYu4QjIkpZb3rXUgAG9j1_CfOdoiFkt7620aVlQbRNT3nrLbsBqatb1vunnIK0yA6MIH0wB9tpbM0We2GEBonVEbdJEXW2_UzRJ-YEfOZzUzJFHubO7w/s320/CIMG0023.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2VpHokXV_iPpMnsf7VQaw6XPK1XRK3WuE1juZOv_-MnGEe2DUSEo_JYhPOUq8dNj4mrBeaO8s5IiD5eUCoYN_i3gsK37GL3NLEZHLAUiF6YNCwm6Dz215NsPs9jhepb4cV6Lqh7MvhmM/s1600/CIMG0027.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2VpHokXV_iPpMnsf7VQaw6XPK1XRK3WuE1juZOv_-MnGEe2DUSEo_JYhPOUq8dNj4mrBeaO8s5IiD5eUCoYN_i3gsK37GL3NLEZHLAUiF6YNCwm6Dz215NsPs9jhepb4cV6Lqh7MvhmM/s320/CIMG0027.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Hz2QxgCCcTSK31SehKRo0DSwVp-vs_cfDWeORE3UPw2_7klkD8DRiGjiGL43FTDClL0PBhgU2AWRMWZObjmJ3odVTd4wPal7uLzlnMyBPh-nCCwsyE2dY3Sxg2Yi1f_eaq-KMQz_pcA/s1600/CIMG0029.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Hz2QxgCCcTSK31SehKRo0DSwVp-vs_cfDWeORE3UPw2_7klkD8DRiGjiGL43FTDClL0PBhgU2AWRMWZObjmJ3odVTd4wPal7uLzlnMyBPh-nCCwsyE2dY3Sxg2Yi1f_eaq-KMQz_pcA/s320/CIMG0029.JPG" width="218" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoXt8PJJVAi9h_kDkX2Bd9JwDOnZXTPFA0351hnoISUTDyOKZt3IHHN7iYjBP1yHs8Mnykjj-3Nw8x1hZTsdqqlJA7ClyW6bBLGGOXGzJ8ws2FYLVUpNyaTqHDLLao_HI5ybvKmn9ubjM/s1600/CIMG0034.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="310" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoXt8PJJVAi9h_kDkX2Bd9JwDOnZXTPFA0351hnoISUTDyOKZt3IHHN7iYjBP1yHs8Mnykjj-3Nw8x1hZTsdqqlJA7ClyW6bBLGGOXGzJ8ws2FYLVUpNyaTqHDLLao_HI5ybvKmn9ubjM/s320/CIMG0034.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqXWiv-qXj24e5vSEiW1Rji-jyrInJquQvaC4PnSXuRZyqx5gl17FyLXgxmuLAw9yfhm6ZE7QMm2bwI6CLW_gEVZ4yEnMnoRtUzRIwE_f1NUA6WwNeGV8ALZdkXUdqdg8HKm99RGDZAy8/s1600/CIMG0035.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="226" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqXWiv-qXj24e5vSEiW1Rji-jyrInJquQvaC4PnSXuRZyqx5gl17FyLXgxmuLAw9yfhm6ZE7QMm2bwI6CLW_gEVZ4yEnMnoRtUzRIwE_f1NUA6WwNeGV8ALZdkXUdqdg8HKm99RGDZAy8/s320/CIMG0035.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWuryoFdihmQJi2gATT9N3U2UfNb9g7cj0RuAFMup4_YNq-BVTBzgEXfERkfqBI0_X4K0LwuGlQ4uaoOfcZ3hr72weXF1g_mI9xji__PFcijt9emPe27Tgu81JOuX9XE73sidnyj_RoWo/s1600/CIMG0040.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="242" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWuryoFdihmQJi2gATT9N3U2UfNb9g7cj0RuAFMup4_YNq-BVTBzgEXfERkfqBI0_X4K0LwuGlQ4uaoOfcZ3hr72weXF1g_mI9xji__PFcijt9emPe27Tgu81JOuX9XE73sidnyj_RoWo/s320/CIMG0040.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHkkNiCb0Ug8E6ss5wLdWFquEHXFkZq24Q81W7RceaXZPI2HTQqELTtYhLwRoZ3gGm_VX0o1fUacO0bsADlItWEGYpQwsWiYmB3i_czUHPEqXrAD5dyFPzj0WY6c7fLqxvxulxmUehkaM/s1600/CIMG0043.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHkkNiCb0Ug8E6ss5wLdWFquEHXFkZq24Q81W7RceaXZPI2HTQqELTtYhLwRoZ3gGm_VX0o1fUacO0bsADlItWEGYpQwsWiYmB3i_czUHPEqXrAD5dyFPzj0WY6c7fLqxvxulxmUehkaM/s320/CIMG0043.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuVUIyjsxhjqRs1xqcj1pEh5H0cGFriqLEpqunVvkC_8at7heT_x8temjEvFOlyTApy5eevbt3L3psZtR2OdhuqAsmqw8Is23uymuqnPnuivVjSADMqneAfKCyc16UxCqvmlZ9wSCvcxg/s1600/CIMG0052.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="197" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuVUIyjsxhjqRs1xqcj1pEh5H0cGFriqLEpqunVvkC_8at7heT_x8temjEvFOlyTApy5eevbt3L3psZtR2OdhuqAsmqw8Is23uymuqnPnuivVjSADMqneAfKCyc16UxCqvmlZ9wSCvcxg/s320/CIMG0052.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjg0yWdFj_srBphk7flhIusWJNEGsMBhjEmFCk1O3lFz5BEpyQ9XnSxGQYdqB9Enr5QN4Xd-xZqAMs6plp-bBC9ygxrrpv9xY0N5x8jG1uxfb-5ui6IO-gemJnPih8tWDX-htP2NE6vgS8/s1600/CIMG0055.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="197" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjg0yWdFj_srBphk7flhIusWJNEGsMBhjEmFCk1O3lFz5BEpyQ9XnSxGQYdqB9Enr5QN4Xd-xZqAMs6plp-bBC9ygxrrpv9xY0N5x8jG1uxfb-5ui6IO-gemJnPih8tWDX-htP2NE6vgS8/s320/CIMG0055.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhd_pKL8BhIH0V4iRRw7hwH4vCWf3C_vjmYiq6qudNBftIcH2QZQVHiq-oLYHfCPiipentEPrGqNhuTbfBiDL73kusD9G7_m8dengHEIOFRMpSJdq_twe9U44G5-BlxU88fNvynjhn7c0Q/s1600/CIMG0056.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhd_pKL8BhIH0V4iRRw7hwH4vCWf3C_vjmYiq6qudNBftIcH2QZQVHiq-oLYHfCPiipentEPrGqNhuTbfBiDL73kusD9G7_m8dengHEIOFRMpSJdq_twe9U44G5-BlxU88fNvynjhn7c0Q/s320/CIMG0056.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYCkQFLT3rSq97UpOX6fEMmUukX-tknm6v_OzaUFh8A1E3JtnGiZQsYolTCUMopgQzO7ZKK9EhE1AUXiVrnRm1U6gqohJohnbiNmtipO2Om4PyqszqQQx-O-FCRws3n7Yz4o23VkoYO8o/s1600/CIMG0059.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="89" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYCkQFLT3rSq97UpOX6fEMmUukX-tknm6v_OzaUFh8A1E3JtnGiZQsYolTCUMopgQzO7ZKK9EhE1AUXiVrnRm1U6gqohJohnbiNmtipO2Om4PyqszqQQx-O-FCRws3n7Yz4o23VkoYO8o/s320/CIMG0059.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikkttuk8oUrL1ocP5VifaY1ZwV4WVu_m3BfJvwyEDpiSIOZcT2f5cBDqOg2A7LMMzePpzJSSYljBtfoieWFoGk4Ti-AJ7Qd_tWaFVWKg_tPr9cl4Na3Rjn5CqjlNGSwKt18fyA-aO2ZCA/s1600/CIMG0060.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="227" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikkttuk8oUrL1ocP5VifaY1ZwV4WVu_m3BfJvwyEDpiSIOZcT2f5cBDqOg2A7LMMzePpzJSSYljBtfoieWFoGk4Ti-AJ7Qd_tWaFVWKg_tPr9cl4Na3Rjn5CqjlNGSwKt18fyA-aO2ZCA/s320/CIMG0060.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJGTkaq0GT8Vnf37SrXGvV_d-1Ey1xi8xRiWcjoV51O60ql_pAf_ZyhSUFNzTg2HUAr5QuUmHvbKtw54n0F3Fz3tasvgfqlEKzIl35tgwUvyxcLM-rwpOd90Z0wtD-I_pdJcQY8BaQ23I/s1600/CIMG0063.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJGTkaq0GT8Vnf37SrXGvV_d-1Ey1xi8xRiWcjoV51O60ql_pAf_ZyhSUFNzTg2HUAr5QuUmHvbKtw54n0F3Fz3tasvgfqlEKzIl35tgwUvyxcLM-rwpOd90Z0wtD-I_pdJcQY8BaQ23I/s320/CIMG0063.JPG" width="240" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhxdiKXxz4YRR36iV0rGIjroL3gZ21aPMm_WVw6F0UN3S1uJT6s8Nqp19kwyIRXPKhkQoV3sAwaFiqg3IWWfulDNmIatSDmpn6uKNIgmpMmeKZ_QDx6WmKtLQMUFji54dnXECe3HEjZ44/s1600/CIMG0076.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhxdiKXxz4YRR36iV0rGIjroL3gZ21aPMm_WVw6F0UN3S1uJT6s8Nqp19kwyIRXPKhkQoV3sAwaFiqg3IWWfulDNmIatSDmpn6uKNIgmpMmeKZ_QDx6WmKtLQMUFji54dnXECe3HEjZ44/s320/CIMG0076.JPG" width="213" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSQ4ifmUlqNmDoqTRJuegaewuIuzE5alXFYphr2leYBGUC7OtmGuQVviglKf-rNwE-419t9pOSkU-gjkVPEivMWBvnGeL5p11CoOMHSzGsyJ6EelZcM7zC4d-S5qlJ5ZceRF7qJncm5bc/s1600/CIMG0079.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="155" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSQ4ifmUlqNmDoqTRJuegaewuIuzE5alXFYphr2leYBGUC7OtmGuQVviglKf-rNwE-419t9pOSkU-gjkVPEivMWBvnGeL5p11CoOMHSzGsyJ6EelZcM7zC4d-S5qlJ5ZceRF7qJncm5bc/s320/CIMG0079.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7V1JkiTfwz14076CrcHz0LlMr7mAqDVXo2WPkfZbMN7P0gLsAz-39eVl7hBP87JwI9SKjcIvGUz1jSehHsIdfKzHV5cjNJBAIG9kowwkB8ARKtPpeorsXpJfcmN384EdivkX3ahns3HQ/s1600/CIMG0082.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7V1JkiTfwz14076CrcHz0LlMr7mAqDVXo2WPkfZbMN7P0gLsAz-39eVl7hBP87JwI9SKjcIvGUz1jSehHsIdfKzHV5cjNJBAIG9kowwkB8ARKtPpeorsXpJfcmN384EdivkX3ahns3HQ/s320/CIMG0082.JPG" width="244" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIgeCSmNutvw6EX2P21EGwOwMr53zd-8CQT2ZFz56ADq_piIkSeiUTz9KpoXKuAYHcSOVEhYSN23y9luEh0qzdFvLovYe1fUR53TBrxSNiC3ZVIEA1EadWSEUu6oDWH8riIAaOxrGjFpE/s1600/CIMG0100.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIgeCSmNutvw6EX2P21EGwOwMr53zd-8CQT2ZFz56ADq_piIkSeiUTz9KpoXKuAYHcSOVEhYSN23y9luEh0qzdFvLovYe1fUR53TBrxSNiC3ZVIEA1EadWSEUu6oDWH8riIAaOxrGjFpE/s320/CIMG0100.JPG" width="240" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3SE_KcOXGGc9WjoCGpv_-NRQcc22NcDh61D0rS_Eu2Rb16NR1PTspVQdMR4rvN9DTUK1xTc9sHz2yopUwb8WQMDgLLBS4MQ4p3J-KaMCiQS73YWZO1-dn7J6uI7g6_NytNlRZvMblBdk/s1600/CIMG0102.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3SE_KcOXGGc9WjoCGpv_-NRQcc22NcDh61D0rS_Eu2Rb16NR1PTspVQdMR4rvN9DTUK1xTc9sHz2yopUwb8WQMDgLLBS4MQ4p3J-KaMCiQS73YWZO1-dn7J6uI7g6_NytNlRZvMblBdk/s320/CIMG0102.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhStjfmneNuiTGgUrBd2uZbYNB6Ug55TRYimIPBA2pbf-gMufkoizyN4MC0zVMqpY1en0kCdmjrFzxAO6oS5vwoxUhkVdo7dkELbHV5F-WDL-P4LDxawPBVKaUrY0TP2Cdx98EoynrK5c/s1600/CIMG0107.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="162" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhStjfmneNuiTGgUrBd2uZbYNB6Ug55TRYimIPBA2pbf-gMufkoizyN4MC0zVMqpY1en0kCdmjrFzxAO6oS5vwoxUhkVdo7dkELbHV5F-WDL-P4LDxawPBVKaUrY0TP2Cdx98EoynrK5c/s320/CIMG0107.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxeMUGPErfLOV38nkCqjXkQOee8q1WDp7UJmUwLDL6h72DfY4NuswenZHZeQYB-4VNBf32xrj85u6iBWvdHMtJbjMWuUw-FjrRSk3rUyp2fuQ5eRl-uyE2JYebJWPr95JAMPDGQp8UKSk/s1600/CIMG0110.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxeMUGPErfLOV38nkCqjXkQOee8q1WDp7UJmUwLDL6h72DfY4NuswenZHZeQYB-4VNBf32xrj85u6iBWvdHMtJbjMWuUw-FjrRSk3rUyp2fuQ5eRl-uyE2JYebJWPr95JAMPDGQp8UKSk/s320/CIMG0110.JPG" width="281" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7z65-I8ULwvc0KB61FkpcVb8Qfwp29owyRHqzxkFs3KrldqxSgDk6wmyRA5Xe4XmM0xJpt7HtYz9KnHhFNbi3obCeym53mxSQbL7FQHBXuVFIcXmval0N_SnKzOpm6FvLBHkiNe2af2g/s1600/CIMG0116.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="187" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7z65-I8ULwvc0KB61FkpcVb8Qfwp29owyRHqzxkFs3KrldqxSgDk6wmyRA5Xe4XmM0xJpt7HtYz9KnHhFNbi3obCeym53mxSQbL7FQHBXuVFIcXmval0N_SnKzOpm6FvLBHkiNe2af2g/s320/CIMG0116.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio8RzMrCUhqmU4GA4k3aZKwNSAaWBJPWto7Pbm5U72MX1gr45T3doclkEpBLcPehWMGkYkgJvF4jq5EXEkCkG_4l6ltUtXk4BbATLK2TI9qYYq61hzwkdooQ_lUwV5sMlNdq-iexf9hAs/s1600/CIMG0118.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio8RzMrCUhqmU4GA4k3aZKwNSAaWBJPWto7Pbm5U72MX1gr45T3doclkEpBLcPehWMGkYkgJvF4jq5EXEkCkG_4l6ltUtXk4BbATLK2TI9qYYq61hzwkdooQ_lUwV5sMlNdq-iexf9hAs/s320/CIMG0118.JPG" width="203" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGfIR7ZIqEBTVuQ9XascrRVSBDcnznG23crjb-WezCbH35mZHRKRBBMjEOxlcg2EBwIBesLdWY5BX939KuSKKrOtX6GE2tDaXBsVX88IRQa2VRdspwbSEKBxnoVd30yEenykauh3XKa6M/s1600/CIMG0125.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGfIR7ZIqEBTVuQ9XascrRVSBDcnznG23crjb-WezCbH35mZHRKRBBMjEOxlcg2EBwIBesLdWY5BX939KuSKKrOtX6GE2tDaXBsVX88IRQa2VRdspwbSEKBxnoVd30yEenykauh3XKa6M/s320/CIMG0125.JPG" width="179" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5Y1I39EKYNTGW5XYhYcWpkEDOMyJUJuOwDpq7YLGMtio1qG7H-BzCVRq9ZLwyiQdlQSAXZBaZFwjarAuVrb-HdSez9XmjzZmXn_en0ogMe0O3f-a9vd688Ed5gJegrzDOH94MPW6ZGkk/s1600/CIMG0126.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="263" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5Y1I39EKYNTGW5XYhYcWpkEDOMyJUJuOwDpq7YLGMtio1qG7H-BzCVRq9ZLwyiQdlQSAXZBaZFwjarAuVrb-HdSez9XmjzZmXn_en0ogMe0O3f-a9vd688Ed5gJegrzDOH94MPW6ZGkk/s320/CIMG0126.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMRBPa7VgOircqg-ozUyu7h0z3GRl0BE9yG1_cUdXJBuP5EuEunsVh27ASB8lZchZPTpwnhpBy-mEr6dBEfYhXv7fJI5hHtJqOtZRMQoVgNAC99NOx_pa_F-lDSHzcwbmXx1OpGDjw7bU/s1600/CIMG0127.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMRBPa7VgOircqg-ozUyu7h0z3GRl0BE9yG1_cUdXJBuP5EuEunsVh27ASB8lZchZPTpwnhpBy-mEr6dBEfYhXv7fJI5hHtJqOtZRMQoVgNAC99NOx_pa_F-lDSHzcwbmXx1OpGDjw7bU/s320/CIMG0127.JPG" width="218" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPVclTJ7_oBynAPM9Njp5pY0JSHsXZ2t0QiQNRSMQ4L9_ZG1uA-pgpxOsOFLdyAF-ODm9NyLAuTgFUmZ9r8VNcjNd9-zu8KHbn2ami2VylSFj2AjD8N7f8S_Vy7HISfXsldMQtlXfylLY/s1600/CIMG0132.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPVclTJ7_oBynAPM9Njp5pY0JSHsXZ2t0QiQNRSMQ4L9_ZG1uA-pgpxOsOFLdyAF-ODm9NyLAuTgFUmZ9r8VNcjNd9-zu8KHbn2ami2VylSFj2AjD8N7f8S_Vy7HISfXsldMQtlXfylLY/s320/CIMG0132.JPG" width="175" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiBfKpfNFmSBRIJ4LmcgYUZkUsCj3CF5YGkoD87vGg7JfeQNUXX-zYO6cgrmzHhuB42xw23cLOfPh3BkyWKPcZSsMiAapD6xPI7X3_SCc08K6o2KIZI2QNlnims3k4z8nroS6Swg9QaQM/s1600/CIMG0133.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="194" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiBfKpfNFmSBRIJ4LmcgYUZkUsCj3CF5YGkoD87vGg7JfeQNUXX-zYO6cgrmzHhuB42xw23cLOfPh3BkyWKPcZSsMiAapD6xPI7X3_SCc08K6o2KIZI2QNlnims3k4z8nroS6Swg9QaQM/s320/CIMG0133.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXw6j4ZMsE0LQii-t9rk3eKnyzlOs-taVSCYYM0wBZ8OeiYWRHG3SDY9EX1-Pyg0aE5UTLzFHDQAgSL0hCLLqYmcBdeZ0GXM7yu5CcGX2SV-DH7olHptUNPP6XFaT3ydt4sNuShl6vKV0/s1600/CIMG0134.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXw6j4ZMsE0LQii-t9rk3eKnyzlOs-taVSCYYM0wBZ8OeiYWRHG3SDY9EX1-Pyg0aE5UTLzFHDQAgSL0hCLLqYmcBdeZ0GXM7yu5CcGX2SV-DH7olHptUNPP6XFaT3ydt4sNuShl6vKV0/s320/CIMG0134.JPG" width="240" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0_1OJADsY9Rg7U6DJVjz8C0hTde_m7lbrHB4z-YBmx6WYWrP1zVtzp2WDxY87ahuvl55dyCfjGj5esL19v0KJQ69QzZgZtAz_-rkldTObsurevfA4q_XJlw_Ab7ZyjiaEDEP0IA7a5sw/s1600/CIMG0135.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0_1OJADsY9Rg7U6DJVjz8C0hTde_m7lbrHB4z-YBmx6WYWrP1zVtzp2WDxY87ahuvl55dyCfjGj5esL19v0KJQ69QzZgZtAz_-rkldTObsurevfA4q_XJlw_Ab7ZyjiaEDEP0IA7a5sw/s320/CIMG0135.JPG" width="188" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4cYToWtfVXfjX4otLvpKsufSlcm59M4WyBC11E-cwbWIX-Kb5y5GZAZBDClAmyjUEoR6_9z-qCkSb8kETEGSwPunqLUs6RtHzu4R37_d6RYtRcKexeG3c9w-QErqzh9CS2doo5H41uXA/s1600/CIMG0136.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="197" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4cYToWtfVXfjX4otLvpKsufSlcm59M4WyBC11E-cwbWIX-Kb5y5GZAZBDClAmyjUEoR6_9z-qCkSb8kETEGSwPunqLUs6RtHzu4R37_d6RYtRcKexeG3c9w-QErqzh9CS2doo5H41uXA/s320/CIMG0136.JPG" width="320" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMY36Io5K6JdwsmziFP-0NSAx1kDGaUHmDeSBiIiWwhWS2Onn9GsLXYnmivY7HhH7cImCwp0T_V6SKM76sqZH62XUiks-vgrZKLZVf262IrJXW2EhHrJiCwaScuDxoEnDGZZNC7NQ7X3s/s1600/CIMG0137.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMY36Io5K6JdwsmziFP-0NSAx1kDGaUHmDeSBiIiWwhWS2Onn9GsLXYnmivY7HhH7cImCwp0T_V6SKM76sqZH62XUiks-vgrZKLZVf262IrJXW2EhHrJiCwaScuDxoEnDGZZNC7NQ7X3s/s320/CIMG0137.JPG" width="289" /></a></div><br />
</div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-36677686971116532442011-10-10T01:05:00.000-07:002011-10-17T23:48:24.721-07:00Suluk-suluk Sunan Bonang<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0bN23QGhhk_8zcIkhFjPtMdpdhJ8qLf0nqQfw_8n7THQlZI0LOFmq8FSPGUnYcUVjHj0Zc81aKZxJT3k2LBrKWKlv9-rL-6i6Nc4qJAW6HuZGzB02EdVs54TLdjca_PdAzc6H29629H8/s1600/sb3.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="120" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0bN23QGhhk_8zcIkhFjPtMdpdhJ8qLf0nqQfw_8n7THQlZI0LOFmq8FSPGUnYcUVjHj0Zc81aKZxJT3k2LBrKWKlv9-rL-6i6Nc4qJAW6HuZGzB02EdVs54TLdjca_PdAzc6H29629H8/s200/sb3.jpg" width="200" /></a></div><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:35.4pt;
mso-footer-margin:35.4pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang </span></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.<o:p></o:p></span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;"><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Apa itu suluk? suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19). <o:p></o:p></span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid).<o:p></o:p></span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).</span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.<o:p></o:p></span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)<br />
2. Mutawassitah (Mutawassita)<br />
3. Mutakhirah (muta`akhira)</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Lanjutan dari Suluk-suluk Sunan Bonang 1, hanya dibahas 2 saja, yaitu suluk Jebeng dan suluk wujil <br />
<br />
<b>Suluk Jebeng</b><br />
Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Hanya bara dan nyalanya, hanya kilatan cahaya, hanya asapnya kelihatan. Ketauilah wujud sebelum api menyala dan sesudah api padam karena serba diliputi rahasia. Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan? Jangan tinggikan diri melampaui ukuran. Berlindunglah semata kepada-Nya. Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh. Jangan bertanya. Jangan memuja nabi dan wali-wali. Jangan mengaku Tuhan. Jangan mengira tidak ada padahal ada. Sebaiknya diam. Jangan sampai digoncang oleh kebingungan pencapaian sempurna, bagaikan orang yang sedang tidur dengan seorang perempuan, kala bercinta. Mereka karam dalam asyik, terlena. Hanyut dalam berahi. Anakku, terimalah<br />
dan pahami dengan baik ilmu ini memang sukar dicerna<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12). Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.<br />
<br />
<b>Suluk Wujil<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah. <br />
<br />
Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:</span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"></span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">1<br />
Dan warnazen sira ta Pun Wujil<br />
Matur sira ing sang Adinira<br />
Ratu Wahdat<br />
Ratu Wahdat Panenggrane<br />
Samungkem ameng Lebu?<br />
Talapakan sang Mahamuni<br />
Sang Adhekeh in Benang,<br />
mangke atur Bendu<br />
Sawetnya nedo jinarwan<br />
Saprapating kahing agama kang sinelit<br />
Teka ing rahsya purba<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
2<br />
Sadasa warsa sira pun Wujil<br />
Angastupada sang Adinira<br />
Tan antuk warandikane<br />
Ri kawijilanipun<br />
Sira wujil ing Maospait<br />
Ameng amenganira<br />
Nateng Majalanggu<br />
Telas sandining aksara<br />
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti<br />
Anuhun pangatpada<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
3<br />
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih<br />
Ing talapakan sang Jati Wenang<br />
Pejah gesang katur mangke<br />
Sampun manuh pamuruh<br />
Sastra Arab paduka warti<br />
Wekasane angladrang<br />
Anggeng among kayun<br />
Sabran dina raraketan<br />
Malah bosen kawula kang aludrugi<br />
Ginawe alan-alan<br />
<br />
4<br />
Ya pangeran ing sang Adigusti<br />
Jarwaning aksara tunggal<br />
Pengiwa lan panengene<br />
Nora na bedanipun<br />
Dening maksih atata gendhing<br />
Maksih ucap-ucapan<br />
Karone puniku<br />
Datan polih anggeng mendra-mendra<br />
Atilar tresna saka ring Majapait<br />
Nora antuk usada<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
5<br />
Ya marma lunganging kis ing wengi<br />
Angulati sarasyaning tunggal<br />
Sampurnaning lampah kabeh<br />
Sing pandhita sundhuning<br />
Angulati sarining urip<br />
Wekasing jati wenang<br />
Wekasing lor kidul<br />
Suruping radya wulan<br />
Reming netra lalawa suruping pati<br />
Wekasing ana ora<br />
<br />
<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><u><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Artinya, lebih kurang:</span></u><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<br />
<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">1<br />
Inilah ceritera si Wujil<br />
Berkata pada guru yang diabdinya<br />
Ratu Wahdat<br />
Ratu Wahdat nama gurunya<br />
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung<br />
Yang tinggal di desa Bonang<br />
Ia minta maaf<br />
Ingin tahu hakikat<br />
Dan seluk beluk ajaran agama<br />
Sampai rahasia terdalam<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
2<br />
Sepuluh tahun lamanya Sudah <br />
Wujil Berguru kepada Sang Wali<br />
Namun belum mendapat ajaran utama<br />
Ia berasal dari Majapahit<br />
Bekerja sebagai abdi raja<br />
Sastra Arab telah ia pelajari<br />
Ia menyembah di depan gurunya<br />
Kemudian berkata<br />
Seraya menghormat<br />
Minta maaf<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
3<br />
“Dengan tulus saya mohon<br />
Di telapak kaki tuan Guru<br />
Mati hidup hamba serahkan<br />
Sastra Arab telah tuan ajarkan<br />
Dan saya telah menguasainya<br />
Namun tetap saja saya bingung<br />
Mengembara kesana-kemari<br />
Tak berketentuan.<br />
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak<br />
Bosan sudah saya<br />
Menjadi bahan tertawaan orang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
4<br />
Ya Syekh al-Mukaram!<br />
Uraian kesatuan huruf<br />
Dulu dan sekarang<br />
Yang saya pelajari tidak berbeda<br />
Tidak beranjak dari tatanan lahir<br />
Tetap saja tentang bentuk luarnya<br />
Saya meninggalkan Majapahit<br />
Meninggalkan semua yang dicintai<br />
Namun tak menemukan sesuatu apa<br />
Sebagai penawar<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
5<br />
Diam-diam saya pergi malam-malam<br />
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna<br />
Semua pendeta dan ulama hamba temui<br />
Agar terjumpa hakikat hidup<br />
Akhir kuasa sejati<br />
Ujung utara selatan<br />
Tempat matahari dan bulan terbenam<br />
Akhir mata tertutup dan hakikat maut<br />
Akhir ada dan tiada <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.<br />
<br />
Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">6<br />
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi<br />
Heh ra Wujil kapo kamangkara<br />
Tan samanya pangucape<br />
Lewih anuhun bendu<br />
Atunira taha managih<br />
Dening geng ing sakarya<br />
Kang sampun alebu<br />
Tan padhitane dunya<br />
Yen adol warta tuku warta ning tulis<br />
Angur aja wahdat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
7<br />
Kang adol warta tuhu warti<br />
Kumisum kaya-kaya weruha<br />
Mangke ki andhe-andhene<br />
Awarna kadi kuntul<br />
Ana tapa sajroning warih<br />
Meneng tan kena obah<br />
Tinggalipun terus<br />
Ambek sadu anon mangsa<br />
Lirhantelu outihe putih ing jawi<br />
Ing jro kaworan rakta<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
8<br />
Suruping arka aganti wengi<br />
Pun Wujil anuntu maken wraksa<br />
Badhi yang aneng dagane<br />
Patapane sang Wiku<br />
Ujung tepining wahudadi<br />
Aran dhekeh ing Benang<br />
Saha-saha sunya samun<br />
Anggaryang tan ana pala boga<br />
Ang ing ryaking sagara nempuki<br />
Parang rong asiluman<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
9<br />
Sang Ratu Wahdat lingira aris<br />
Heh ra Wujil marangke den enggal<br />
Tur den shekel kukuncire<br />
Sarwi den elus-elus<br />
Tiniban sih ing sabda wadi<br />
Ra Wujil rungokna<br />
Sasmita katenggun<br />
Lamun sira kalebua<br />
Ing naraka isung dhewek angleboni<br />
Aja kang kaya sira<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
… 11<br />
Pangestisun ing sira ra Wujil<br />
Den yatna uripira neng dunya<br />
Ywa sumambar angeng gawe<br />
Kawruhana den estu<br />
Sariranta pon tutujati<br />
Kang jati dudu sira<br />
Sing sapa puniku<br />
Weruh rekeh ing sariri<br />
Mangka saksat wruh sira<br />
Maring Hyang Widi<br />
Iku marga utama <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
<u>Artinya lebih kurang:</u><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
6<br />
Ratu Wahdat tersenyum lembut<br />
“Hai Wujil sungguh lancang kau<br />
Tuturmu tak lazim<br />
Berani menagih imbalan tinggi<br />
Demi pengabdianmu padaku<br />
Tak patut aku disebut Sang Arif<br />
Andai hanya uang yang diharapkan<br />
Dari jerih payah mengajarkan ilmu<br />
Jika itu yang kulakukan<br />
Tak perlu aku menjalankan tirakat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
7<br />
Siapa mengharap imbalan uang<br />
Demi ilmu yang ditulisnya<br />
Ia hanya memuaskan diri sendiri<br />
Dan berpura-pura tahu segala hal<br />
Seperti bangau di sungai<br />
Diam, bermenung tanpa gerak.<br />
Pandangnya tajam, pura-pura suci<br />
Di hadapan mangsanya ikan-ikan<br />
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih<br />
Namun isinya berwarna kuning<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
8<br />
Matahari terbenam, malam tiba<br />
Wujil menumpuk potongan kayu<br />
Membuat perapian, memanaskan<br />
Tempat pesujudan Sang Zahid<br />
Di tepi pantai sunyi di Bonang<br />
Desa itu gersang<br />
Bahan makanan tak banyak<br />
Hanya gelombang laut<br />
Memukul batu karang<br />
Dan menakutkan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
9<br />
Sang Arif berkata lembut<br />
“Hai Wujil, kemarilah!”<br />
Dipegangnya kucir rambut Wujil<br />
Seraya dielus-elus<br />
Tanda kasihsayangnya<br />
“Wujil, dengar sekarang<br />
Jika kau harus masuk neraka<br />
Karena kata-kataku<br />
Aku yang akan menggantikan tempatmu”<br />
…<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
11<br />
“Ingatlah Wujil, waspadalah!<br />
Hidup di dunia ini<br />
Jangan ceroboh dan gegabah<br />
Sadarilah dirimu<br />
Bukan yang Haqq<br />
Dan Yang Haqq bukan dirimu<br />
Orang yang mengenal dirinya<br />
Akan mengenal Tuhan<br />
Asal usul semua kejadian<br />
Inilah jalan makrifat sejati” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tasawuf dan Pengetahuan Diri</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.<br />
<br />
<b><u>Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah</u></b><br />
<br />
Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">12<br />
Kebajikan utama (seorang Muslim)<br />
Ialah mengetahui hakikat salat<br />
Hakikat memuja dan memuji<br />
Salat yang sebenarnya<br />
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib<br />
Tetapi juga ketika tafakur<br />
Dan salat tahajud dalam keheningan<br />
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa<br />
Dan termasuk akhlaq mulia<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
13<br />
Apakah salat yang sebenar-benar salat?<br />
Renungkan ini: Jangan lakukan salat<br />
Andai tiada tahu siapa dipuja<br />
Bilamana kaulakukan juga<br />
Kau seperti memanah burung<br />
Tanpa melepas anak panah dari busurnya<br />
Jika kaulakukan sia-sia<br />
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
14<br />
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?<br />
Dengar: Walau siang malam berzikir<br />
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan<br />
Zikirmu tidak sempurna<br />
Zikir sejati tahu bagaimana<br />
Datang dan perginya nafas<br />
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan<br />
Hayat melalui yang empat<br />
<br />
15<br />
Yang empat ialah tanah atau bumi<br />
Lalu api, udara dan air<br />
Ketika Allah mencipta Adam<br />
Ke dalamnya dilengkapi<br />
Anasir ruhani yang empat:<br />
Kahar, jalal, jamal dan kamal<br />
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya<br />
Begitulah kaitan ruh dan badan<br />
Dapat dikenal bagaimana<br />
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
16<br />
Anasir tanah melahirkan<br />
Kedewasaan dan keremajaan<br />
Apa dan di mana kedewasaan<br />
Dan keremajaan? Dimana letak<br />
Kedewasaan dalam keremajaan?<br />
Api melahirkan kekuatan<br />
Juga kelemahan<br />
Namun di mana letak<br />
Kekuatan dalam kelemahan?<br />
Ketahuilah ini<br />
<br />
17<br />
Sifat udara meliputi ada dan tiada<br />
Di dalam tiada, di mana letak ada?<br />
Di dalam ada, di mana tempat tiada?<br />
Air dua sifatnya: mati dan hidup<br />
Di mana letak mati dalam hidup?<br />
Dan letak hidup dalam mati?<br />
Kemana hidup pergi<br />
Ketika mati datang?<br />
Jika kau tidak mengetahuinya<br />
Kau akan sesat jalan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
18<br />
Pedoman hidup sejati<br />
Ialah mengenal hakikat diri<br />
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk<br />
Oleh karena itu ketahuilah<br />
Tempat datangnya yang menyembah<br />
Dan Yang Disembah<br />
Pribadi besar mencari hakikat diri<br />
Dengan tujuan ingin mengetahui<br />
Makna sejati hidup<br />
Dan arti keberadaannya di dunia<br />
<br />
19<br />
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup<br />
Tubuh kita sangkar tertutup<br />
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya<br />
Jika kau tidak mengenalnya<br />
Akan malang jadinya kau<br />
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil<br />
Sia-sia semata<br />
Jika kau tak mengenalnya.<br />
Karena itu sucikan dirimu<br />
Tinggalah dalam kesunyian<br />
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia<br />
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
20<br />
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari<br />
Ia ada dalam dirimu sendiri<br />
Seluruh isi jagat ada di sana<br />
Agar dunia ini terang bagi pandangmu<br />
Jadikan sepenuh dirimu Cinta<br />
Tumpukan pikiran, heningkan cipta<br />
Jangan bercerai siang malam<br />
Yang kaulihat di sekelilingmu<br />
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
21<br />
Dunia ini Wujil, luluh lantak<br />
Disebabkan oleh keinginanmu<br />
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak<br />
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna<br />
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi<br />
Bentangan pengetahuan ini luas<br />
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya<br />
Orang yang mengenal hakikat<br />
Dapat memuja dengan benar<br />
Selain yang mendapat petunjuk ilahi<br />
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini<br />
<br />
22<br />
Karena itu, Wujil, kenali dirimu<br />
Kenali dirimu yang sejati<br />
Ingkari benda<br />
Agar nafsumu tidur terlena<br />
Dia yang mengenal diri<br />
Nafsunya akan terkendali<br />
Dan terlindung dari jalan<br />
Sesat dan kebingungan<br />
Kenal diri, tahu kelemahan diri<br />
Selalu awas terhadap tindak tanduknya<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
23<br />
Bila kau mengenal dirimu<br />
Kau akan mengenal Tuhanmu<br />
Orang yang mengenal Tuhan<br />
Bicara tidak sembarangan<br />
Ada yang menempuh jalan panjang<br />
Dan penuh kesukaran<br />
Sebelum akhirnya menemukan dirinya<br />
Dia tak pernah membiarkan dirinya<br />
Sesat di jalan kesalahan<br />
Jalan yang ditempuhnya benar<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
24<br />
Wujud Tuhan itu nyata<br />
Mahasuci, lihat dalam keheningan<br />
Ia yang mengaku tahu jalan<br />
Sering tindakannya menyimpang<br />
Syariat agama tidak dijalankan<br />
Kesalehan dicampakkan ke samping<br />
Padahal orang yang mengenal Tuhan<br />
Dapat mengendalikan hawa nafsu<br />
Siang malam penglihatannya terang<br />
Tidak disesatkan oleh khayalan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">35<br />
Diam dalam tafakur, Wujil<br />
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)<br />
Memuja tanpa selang waktu<br />
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)<br />
Disebabkan oleh makrifat<br />
Tubuhnya akan bersih dari noda<br />
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini<br />
Dari orang arif yang tahu<br />
Agar kau mencapai hakikat<br />
Yang merupakan sumber hayat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
36<br />
Wujil, jangan memuja<br />
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja<br />
Juga sia-sia orang memuja<br />
Tanpa kehadiran Yang Dipuja<br />
Walau Tuhan tidak di depan kita<br />
Pandanglah adamu<br />
Sebagai isyarat ada-Nya<br />
Inilah makna diam dalam tafakur<br />
Asal mula segala kejadian menjadi nyata<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">38<br />
Renungi pula, Wujil!<br />
Hakikat sejati kemauan<br />
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita<br />
Berpikir dan menyebut suatu perkara<br />
Bukan kemauan murni<br />
Kemauan itu sukar dipahami<br />
Seperti halnya memuja Tuhan<br />
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak<br />
Pun tidak membuatmu membenci orang<br />
Yang dihukum dan dizalimi<br />
Serta orang yang berselisih paham <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
39<br />
Orang berilmu<br />
Beribadah tanpa kenal waktu<br />
Seluruh gerak hidupnya<br />
Ialah beribadah<br />
Diamnya, bicaranya<br />
Dan tindak tanduknya<br />
Malahan getaran bulu roma tubuhnya<br />
Seluruh anggota badannya<br />
Digerakkan untuk beribadah<br />
Inilah kemauan murni<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
40<br />
Kemauan itu, Wujil!<br />
Lebih penting dari pikiran<br />
Untuk diungkapkan dalam kata<br />
Dan suara sangatlah sukar<br />
Kemauan bertindak<br />
Merupakan ungkapan pikiran<br />
Niat melakukan perbuatan<br />
Adalah ungkapan perbuatan<br />
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan<br />
Keduanya buah dari kemauan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Inilah gerangan suatu madah<br />
Mengarangkan syair terlalu indah<br />
Membetulkan jalan tempat berpindah<br />
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah<br />
Wahai muda kenali dirimu<br />
Ialah perahu tamsil tubuhmu<br />
Tiada berapa lama hidupmu<br />
Ke akhirat jua kekal diammu<br />
Hai muda arif budiman<br />
Hasilkan kemudi dengan pedoman<br />
Alat perahumu jua kerjakan<br />
Itulah jalan membetuli insan<br />
…<br />
La ilaha illa Allah tempat mengintai<br />
Medan yang qadim tempat berdamai<br />
Wujud Allah terlalu bitai<br />
Siang malam jangan bercerai<br />
(Doorenbos 1933:33)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7). <br />
<br />
Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.<br />
<br />
Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).<br />
<br />
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5). <br />
<br />
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.<br />
<br />
Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.<br />
<br />
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.<br />
<br />
<b>Falsafah Wayang</b><br />
<br />
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material. <br />
<br />
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><br />
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu<br />
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau<br />
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,<br />
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat<br />
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah<br />
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya<br />
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin<br />
(Ibid)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.<br />
<br />
*Original post by Dr.Abdul Hadi W. M. ( Sastrawan-Budayawan, Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia )<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-11364598691123735212011-10-09T23:01:00.000-07:002011-10-17T23:16:34.385-07:00Sekilas tentang Serat Dewaruci<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: inherit;"><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
p.MsoListParagraph, li.MsoListParagraph, div.MsoListParagraph
{mso-style-priority:34;
mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:36.0pt;
mso-add-space:auto;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
p.MsoListParagraphCxSpFirst, li.MsoListParagraphCxSpFirst, div.MsoListParagraphCxSpFirst
{mso-style-priority:34;
mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-type:export-only;
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:0cm;
margin-left:36.0pt;
margin-bottom:.0001pt;
mso-add-space:auto;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
p.MsoListParagraphCxSpMiddle, li.MsoListParagraphCxSpMiddle, div.MsoListParagraphCxSpMiddle
{mso-style-priority:34;
mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-type:export-only;
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:0cm;
margin-left:36.0pt;
margin-bottom:.0001pt;
mso-add-space:auto;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
p.MsoListParagraphCxSpLast, li.MsoListParagraphCxSpLast, div.MsoListParagraphCxSpLast
{mso-style-priority:34;
mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-type:export-only;
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:36.0pt;
mso-add-space:auto;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
span.fullpost
{mso-style-name:fullpost;
mso-style-unhide:no;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:35.4pt;
mso-footer-margin:35.4pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
/* List Definitions */
@list l0
{mso-list-id:642544089;
mso-list-type:hybrid;
mso-list-template-ids:129823256 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;}
@list l0:level1
{mso-level-tab-stop:none;
mso-level-number-position:left;
text-indent:-18.0pt;}
@list l1
{mso-list-id:889924036;
mso-list-type:hybrid;
mso-list-template-ids:204384708 67698703 1287171390 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;}
@list l1:level1
{mso-level-tab-stop:none;
mso-level-number-position:left;
text-indent:-18.0pt;
mso-ansi-font-weight:normal;}
@list l1:level2
{mso-level-number-format:bullet;
mso-level-text:-;
mso-level-tab-stop:none;
mso-level-number-position:left;
text-indent:-18.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;}
@list l2
{mso-list-id:1302073437;
mso-list-type:hybrid;
mso-list-template-ids:600468938 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;}
@list l2:level1
{mso-level-tab-stop:none;
mso-level-number-position:left;
text-indent:-18.0pt;}
ol
{margin-bottom:0cm;}
ul
{margin-bottom:0cm;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></div><div class="separator" style="clear: both; font-family: inherit; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPPSXJpFdg-11wshkAucANEhSPmRyyt1kT0lFakFZKLF4GIW0icBlzCLzc8l49g_nYKkEApgfjape5kRo9RitgFkk9WfymRYPCPuUDETz47yW8Oi0Ww2odZU-fyB5CII9jrw-WdKuSheU/s1600/Bima.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="130" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPPSXJpFdg-11wshkAucANEhSPmRyyt1kT0lFakFZKLF4GIW0icBlzCLzc8l49g_nYKkEApgfjape5kRo9RitgFkk9WfymRYPCPuUDETz47yW8Oi0Ww2odZU-fyB5CII9jrw-WdKuSheU/s200/Bima.jpg" width="200" /></a></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;">Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid</span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"> Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.</span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"></span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama </span><span class="fullpost">"angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan".</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi, </span><span class="fullpost">kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.</span><br />
<span class="fullpost">Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu: </span><br />
<span class="fullpost">Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa<o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.</span><br />
<span class="fullpost">Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia."Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras," begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">"Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:</span><br />
<br />
<span class="fullpost">O Gilgamesh, whither do you fare?</span><br />
<span class="fullpost">The life you seek, you will not find</span><br />
<span class="fullpost">When the gods created man,</span><br />
<span class="fullpost">They apportioned death to mankind;</span><br />
<span class="fullpost">And retained life to themselves</span><br />
<span class="fullpost">O Gilgamesh, fill your belly,</span><br />
<span class="fullpost">Make merry, day and night;</span><br />
<span class="fullpost">Make of each day a festival of joy,</span><br />
<span class="fullpost">Dance and play, day and night!</span><br />
<span class="fullpost">Let your raiment be kept clean,</span><br />
<span class="fullpost">Your head washed, body bathed,</span><br />
<span class="fullpost">Pay heed to the little one, holding onto your hand,</span><br />
<span class="fullpost">Let your wife delighted your heart,</span><br />
<span class="fullpost">For in this is the portion of man</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man".Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada </span><br />
<span class="fullpost">gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai, </span><span class="fullpost">dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.</span><span class="fullpost"> Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Filosofi Dewa Ruci</b></span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:"Serat Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Diceritakan Pada saat di negeri Amarta, Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu, maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian. Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna : bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.</span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.</span><br />
<span class="fullpost">Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.</span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,</span> <span class="fullpost">Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".</span></span><span style="line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<br />
<span class="fullpost"><b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><b><u><span style="line-height: 150%;">MAKNA AJARAN DEWA RUCI</span></u></b></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>- Pencarian air suci Prawitasari</b></span><br />
<span class="fullpost">Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka</b></span><br />
<span class="fullpost">Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;">1.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.</span></span><span style="line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">2.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.</span></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<br />
<span class="fullpost"><o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.</span></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala</b></span><br />
<br />
<span class="fullpost">Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.</span><o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>- Samudra dan Ular</b></span><br />
<br />
<span class="fullpost">Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan, tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">1.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">2.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">3.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">4.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">5.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">6.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">7.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">8.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">9.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">10.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">11.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Samadi.<b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">12.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.</span></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<br />
<span class="fullpost"><b><o:p></o:p></b></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><b><span style="line-height: 150%;">Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci</span></b></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 72pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">-<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 72pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">-<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.</span></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<br />
<span class="fullpost"><o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.</span></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima</b></span><br />
<span class="fullpost">Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Tusuk konde besar dari kayu asem</b></span><br />
<span class="fullpost">Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Tanda emas diantara mata.</b></span><br />
<span class="fullpost">Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Kuku Pancanaka</b></span><br />
<span class="fullpost">Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.</span><br />
<span class="fullpost">Melambangkan :<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">1.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.</span></span><span style="line-height: 150%;"><br />
<span class="fullpost">Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: -18pt;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">2.<span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.<o:p></o:p></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"><span style="line-height: 150%;">*Sumber : http://aindra.blogspot.com/2007/11/serat-dewaruci.html</span></span><span style="line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-55590323118379429872011-09-26T20:10:00.000-07:002011-10-17T23:47:25.962-07:00Babad Mangir<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: inherit;"><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGuner%27s%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link><span style="font-size: small;"> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:1;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-format:other;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:35.4pt;
mso-footer-margin:35.4pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></span></div><div class="separator" style="clear: both; font-family: inherit; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOkEiDYF6WCnCifxrcEdkzD0V1qCIy6ZPSoDBkRZeye_ORV8d7AOlII1gDVA7Fv5gQKENuBMvtBfy5xQ8laoMXKuwgVyQRLQqgOKprF2_wWKnoV-C5UklEqlPzCOeTe66PDEUsGJhqv2c/s1600/ketoprak-pembayun_11.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOkEiDYF6WCnCifxrcEdkzD0V1qCIy6ZPSoDBkRZeye_ORV8d7AOlII1gDVA7Fv5gQKENuBMvtBfy5xQ8laoMXKuwgVyQRLQqgOKprF2_wWKnoV-C5UklEqlPzCOeTe66PDEUsGJhqv2c/s200/ketoprak-pembayun_11.jpg" width="171" /></a></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>ENENGENA NEGARI MENTAWIS </b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>DHANDHANGGULA</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Enengena negari mentawis / Wonten kecap gempaling carita / Tur sami tedhaking maos / Pan ingkang rumuwun / Duk bedhahe ingkang negari / Majapahit semana / Kathah kang tan anut / Para putra myang sentana / Samya kesah ing wana / Tuwin ing ardi / Kathah sami mertapa //</span><br />
<span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Mana Raden Alembu Amisani / Sakesahe saking Majalengka / Datan karuwan sedyane / Mangilen purugipun / Manjing jurang aminggah ardi / Anepi guwa </span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;">sonya / Wus lami cinatur / Amung kalih garwa putra / Pan kalunta lampahira siyang ratri / Acegah dhahar nendra //</span><br />
<span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Prapteng nagri Panaraga nenggih / Sampun panggih kaliyan sang raka / Anenggih Bathara Katong / Wus manjing gama Rosul / Raden Lembuamisani nenggih / Tan arsa gama Islam / Tan lami neng riku / Lajeng kesah manjing wana / Lan kang garwa putra setunggil tan keri / Jalu bagus kang warna //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Pinaraban Dyan Wanabayaki / Nenggih wanter kasutapanira / Tan pisah lawan ramane / Siyang dalu lumaku / Datan dhahar miwah lan guling / Kalunta saya tebah / Prapta Ardi Kidul / Dhusun ing Dhandher wastanya / Apan kendel neng riku amangun teki / Nenedha mring dewanya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Datan pegat amuja semedi / Anenedha mring Bathata Mulya / Sanget pamintaning batos / Sageda nggenti pulung / Mengku ing rat tanah Jawi / Jumenenga narendra / Ing sapungkuripun / Sanget mbanting sarira / Duk semana Dyan Lembu Amisani nenggih / Lami sampun muksa.</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Lan kang garwa kantun ingkang siwi / Raden Wanabaya kawlas arsa / Tinilar rama ibune / Dadya arsa nglangut / Sigra kentar saking ardi / Dhandher sampun kawuntat / Nurut samodra gung / Rahaden kalunta-lunta / Amesisir ing Guwa Langse nenepi / Lami amati raga //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Amerengi ing dina sawiji / Duk semana wanci bedhug tiga / Ana swara dumelinge / Kulup Wanabayaku / Lah kentara sangking ing riki / Ngalor ngulon deninggal / Njujuga sireku desa ing Mangir wastanya / Martapa mangsuka agama suci / Kasab anenandura //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Pinggir Progo sira monga tani / Dedanaa besuk masthi sira / Katurunan nugrahane / Nging atmajengireku / Darbe gaman ampuh nglangkungi / Tan ana wong kuwasa / Myang wong teguh timbul / Yen katiban mesthi pejah / Anulya Dyan Wanabaya nglilir / Pupungun ing Wardaya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Byar rahina Raden Jaka mijil / Sangking guwa ningali samodra / Kelangkung ageng alune / Nempuh parang gumebyar / Pan gurnita kagiri-giri / Raden Jaka umesat / Tumameng ing ranu / Tan teles kambah ing toya / Raden Jaka lir lumampah aneng siti / Prapta ing Parang Tigan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Ing gegisik lampahira ririh / Acengkrama ing samarga-marga / Kapirangu ing galihe / Ningali samodra gung / Alun ageng kagiri-giri / Gurnita swaranira / Jumegur gumuruh / Dadya panglipuring beranta / Raden Jaka ing Parang Tritis / Neng riku amemuja //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Pringgabaya rahaden tan keksi / Amung meleng nenedha ing sukma / Wus natas bangun rinane / Byar kesah sang binagus / Lampahnya lon cengkrameng margi / Kathah kang tiningalan / Isining sagra gung / Wus prapta in Parang Wedang / Raden mampir sakedhap nulya lumaris / Parangsuma kamargan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Sira lajeng lampahe lestari / Prapta gisik Mancingan semana / Kendel sakedhap gya lengser / Mangilen lampahipun / Wirandhungan samargi-margi / Prapta sowangan opak neng riku manengku / Apan gantya pituning dina / Enjing kentar nabrang mangilen lumaris / Tan kawarna ing marga //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. Sampun prapta ing sowangan Pragi / Dadya kendel Dyan Jaka neng kana / Nenedha marang Sukmanon / Catut ari dasantuk / Raden Jaka dennya manepi / Saking sowangan kesah mengaler lumaku / Urut Peraga lampahnya / Tan kawarna ing marga Mangir wus prapti / Dyan kendel mangun tapa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. Adhedhukuh neng riku wus lami / Akesosra marang tangga desa / Ing prapat panca limane / Wong urut Praga suyud / Keh kemilik dhateng ing Mangir / Semana sampun ajar / Ing Mangir jalma gung / Wetara wong sewu ono / Ingkang sami tumut dhukuh ing Mangir / Tuwin sami sawita //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15 Raden Jaka semana wus krami / Angksal nake tiyang alelana / Sangking Juwana wijile / Tumut truka neng riku / Sakler kilen dhukuh ing Mangir / Mila araning desa / Juwana kang dhukuh / Panggihira tan ginusta / Dadya karan Ki Ageng Mangir mangkin / Mangir Ki Wonoboyo //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">16. Tan cinatur lamane semangkin / Kyai Wonoboyo wus peputra / Jalu pekik warnane / Apan dewasa sampun /Kinramakaken nenggih kang siwi / Pan angsal putranira Ki Paker punika / Kelangkung binuja krama / Enengana ingkang lagya nambut kardi / Warnanen Jeng Susunan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">17. Adilangu sampun udanening / Yen Ki Ageng Wonoboyo / Badhe uliya kinaot / Nging dereng angsal guru / Jeng Susunan arsa nindaki / Nanging mindha kawula dennya amertamu / Kuneng ingkang namur lampah / Ki Ageng Mangir punika wuwusen malih / Kang lagya nambut karya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18. Abusekan ingkang nambut kardi / Tata tratag miwah tetuwuhan / Pepajangan rampung kabeh / Langse kumendhung kendhung / Saka sami dipun ulesi / Samya rinengga rengga / Lir swargan dinulu / Gangsa ngantya gangsal rancak / Aneng regol njawi pan ingkang satunggil / Regol njero ngrong rancak //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">19. Ri sedhenge tamu ageng prapti / Demang Rangga tampang bekel desa / Gamelan amyang swarane / Kawarnaa sang wiku / Sunan Adi sakedhap prapti / Mangir anamur lampah / Desthar wulung kluwuk / Rasukan gadhung amangkak / Apaningset songer wangkingane / Kusi nyampinge tuwuh sela //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">20. Kawarnaa sang wiku / Sunan Adi sakedhap prapti / Mangir anamur lampah / Desthar wulung kluwuk / Rasukan gadhung amangkak / Apaningset songer wangkingane / Kusi nyampinge tuwuh sela //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">21. Tanpa rencang Jeng Sunan duk prapti / Sareng lenggah pan ora sinapa / Alenggah karsane dhewe / Neng pojok pernahipun / Risedhengnya sanggata mijil / Gangsa munya angraras / Sinden swara rum / Sampun samya ingacara / Lajeng dhahar sagunge kang tamu singgih / Mung sang wiku tan dhahar //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">22. Kyai Ageng Mangir aningali / Yen tamune setunggal tan nedha / Nulya ngacarani alon / Lah nedhaa Ki Bagus / Jeng Susunan nuwun turneki / Rineksana adhahar / Tumungkul abikut tumpeng satunggil meh telas/ Pangrasane dhayoh kang sami ningali / Satuhne tan dhahar //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">23. Risampune adhaharan sami / Ingkang pindha kawula tur sumbang / Tigang buntel ing kathahe / Majeng alon amatur / Nggih Ki Ageng kula ngaturi / Panjuring tumbas sedhah / Paringing Ywang Agung / Ki Ageng nampeni inggal / Kagyat ing tyas / Ki Ageng aniti warti / Kisanak pakenira //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">24. Inggih pundi wisma dika yekti / Lawan sinten sinambating nama / Manira tambet wiyose / Kang pindha alit matur / Ki Dulrajak namamba yekti / Desa ing Somatingal / Ing wismaning ulun / Manira nuwun wangsula / Sigra kesah tan mawi dipunwangsuli / Medal sangking mendhapa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">25. Pan kawur jalma kang ngladeni / Wus tan katon prapteng dhadhah sigra / Jeng Sunan busana kaot / Lawan ingkang ndherek agung / Upacara lir demang desi / Desthare bangun tulak / Tinepi mas murup / Paningsete cindhe tumpak / Arasukan beludru wilis respati / Ngagem epek kencana //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">26. Lawan ingkang ndherek agung / Upacara lir demang desi / Desthare bangun tulak / Tinepi mas murup / Paningsete cindhe tumpak / Arasukan beludru wilis respati / Ngagem epek kencana //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">27. Janur renda bangkole mas adi / Mawi anggar emas tinatratapan / Wangkingan dinar pendhoke / Nyuriga cara wangsul / Ukirane prasu mas adi / Topengan mas rinengga / Kandelan mas murup / Nyampinge tambalan noman / Alancingan panji-panji amanesti / Nitih kuda apelag //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">28. Sigra wangsul grumundug kang ngiring / Pangrasane jalma tumingal / Kagyat angaturi weruh / Ki Ageng gya tumurun / Satamune methuk kori / Gamelan munya omyang / Barung kalaganjur / Horeg sawong dalem pisan / Samya medal ningali kang tamu prapti / Wis ingaturan lenggah //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">29. Wus tumanduk mandhapa gya linggih / Ler piyambuk apan munggeng tengah / Nganan ngering tamu akeh / Ki Ageng munggeng ngayun / Tur perbage mring lagya prapti / Tamu matur anedha / Pasiyan kang dhawuh / Ki Ageng matur tetanya / Inggih Kyai paduka priyagung pundi / Sinten kekasih tuwan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>A S M A R A D A N A</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Akarya brangta ing galih / Sumaur keng lagya prapta / Ing Kembanglampir sun Angger / Raningsun Demang Melaya / Tuwi ing pakenira / Ki Ageng matur anuwun / Sigra dhedhaharan medal //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Ingkang adi-adi prapti / Wus aglar munggeng ngayunan / Ki Ageng umatur alon / Suwawi paduka dhahar / Sawotening adhekah / Kang mindha tamu sumaur / Manira luwih tarima //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Rineksana sigra ngambil / Jenang pinaringken desthar / Juwadah munggeng klambine / Rengginang munggeng wangkingan / Sedaya kang busana / Pinaring panganan sampun / Datan ana kaliwatan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Ki Mangir micoreng ngati / Kaya priye karsanira / Tan dhahar mung busanane / Ingkang pinaring dhaharan / Dadya matur mangerpa / Kandospundi ta pukulan / Tan dhahar mung kang busana //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Sedaya dipunleleti / Sawarnanipun dhaharan / Kang mindhawarna saure / Jer iku kang sira segah / Jeng Sunan nulya lukar / Busana sampun timumpuk / Jeng Sunan sampun akesah //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Kinendhepaken tan kaeksi / Dupi tebah gya katingal / Ki Mangir branta ing tyase / Kapencut ing ngelmu rasa / Jrih tumingal busana / Sigra anututi gupuh / Umatur sarwi ngrerepa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Duh Gusti Sang Maha Yekti / Kawula atur prasetya / Nuwun kawejanga mangke / Jeng Sunan nolih angandika / Dene Ki Jebeng sira / Anututi marang ingsun / Apa paran kersanira //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Ki Wonoboyo tur bekti / Amba ayun andhedhepok / Andherek ing karsa Tuwan / Nadyan pejah gesanga / Jeng Sunan ngandika arum / Yen Sira temen ing manah //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Ingsun gelem asuning margi / Nging mengko sira balia / Nutugna karyamu age / Yen temu anakira / Iya sira nusula / Mring Kembanglampir den gupuh / Sun wejang ing ngelmu rasa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Jeng Sunan wus tan kaeksi / Tan keno tinututana / Ki Gedhe wangsul sir age / Andugekken karyanira / Nggancangaken kang carita / Was panggih pangantenipun / Tan ginustha karesmennya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Wus atut palakrami / Ki Wonoboyo ngandika / Mring putra raden panganten / Lah Kulup sira karia / Den becik apalakrama / Gumantia marang ingsun / Ki Ageng Mangir namaa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Ingsun angulati Gusti / Mring Kembanglampir kang dhekah / Tan mulih-mulih katengong / Yen tan panggih guruningwang / Sun madhep mring kamuksan / Kang putra matur rawat luh / Kawula dherek ing Tuwan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. Ki Wonoboyo ngling aris / Aja sira milu ngringwang / Lah tunggunen dhukuh kene / Ki Wonoboyo gya kesah / Apan datanpa rewang / Katiwang ing lampahipun / Tan ana kacipteng driya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. Amung welinge sang Yogi / Ing Sekarlampir sinedya / Datan kawarna lampahe / Ing marga pan sampun prapta / Kembanglampir semana / Pan inggih kapanggen suwung / Dhukuh asuwung kewala //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15. Mung ana masjid sawiji / Padasan enceh satunggal / Balumbange asri tinom / Nging tan ana ingkang tengga / Ya ta Ki Wonoboyo / Akendel wonten ing riku / Tanpa dhahar tanpa nendra //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">16. Ngantya kawan dasa ari / Dennya nekung aneng langgar / Tan dhahar miwah tan sare / Warnanen Kangjeng Susunan / Ngabdilangu semana / Kemutan sajroning kalbu / Deniro darbe tembaya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">17. Sakedhap parapta Banglampir / Tidakira anglir kilat / Awanci tengah dalune / Marengi tanggal purnama / Jumungan Kaliwonnya / Jeng Sunan duk rawuhipun / Wonoboyo kagyat mulat //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18. Sigra majeng angebekti / Dlamakan sarwi karuna / Sumungkem ngusap lebune / Jeng Sunan alon angandika / Lah wis Jebeng lungguha / Suntarima prasetyamu / Mengko sun mbabar wirayat //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">19. Den mantep marang agami / Den sukurena ing sukma / Hyawa pegat nestapane / Rineksana wus wijenang / Sejatining agama / Wus tamat suraosipun / Sarengat manjing terekat //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">20. Khakekate haywa silib / Pinanjingena makrifat / Tatas suraosing batos / Ing agama sampun tatas / Winejang ngelmu rasa / Ing panjing sumuruping lampus / Sangkan paran wustan kewran //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">21. Lan sira maguna teki / Anaeng ing Guwa Plawangan / Den manteb bekti Yang Manon / Lan den eling Jebeng sira / Aja kaya ing kuna / Tata likur kawlas ayun / Agunggung-gunggung kerajan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">22. Iku sesiriking ngelmi / Nanging wus pasthi ing wuntat / Jalma busana kajene / Ki Wonoboyo tur sembah / Langkung kaduwungira / Polahe kang wus kelanjur / Asru nelangsa ing sukma //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">23. Jeng Sunan ngandika malih / Besuk sira pinaringan / Keramat dening Ywang Manon / Gegaman ampuh kalintang / Amarga tekeng sira / Tan na jalma teguh timbul / Yen katiban mesthi pejah //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">24. Matur sandika nglampahi / Jeng Sunan wus tan katingal / Ki Wonoboyo sirage / Raina wengi lumampah / Tan kawarna ing marga / Pelawangan sampun rawuh / Neng riku amangun tapa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">25. Barang tapa den lampahi / Ngalong ngluwak udan-udan / Angeli yen banjir gedhe / Yen rina angon reditya / Nggenteni wong kang gegawa / Sinung pangan kawlas ayun / Aweh payung wong kudanan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">26. Wus katarima ing Yang Widi / Agal alit tan kewuhan / Dadi barang ing ciptane / Sunana sang Apandhita / Akorud ingkang kama / Sampun takdiring Yang Agung / Cinipta seking dadya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">27. Kuneng ingkang wus angsal sih / Ing Mangir ingkang kocapa / Kang gumanti ing ramane / Ki Ageng Mangir taruna / Wus lawas antaranya / Kang garwa nggarbini sampun / Antara wus pitung wulan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">28. Semanarsa den tingkebi / Ndhatengaken kawula wangsa / Samya kinen nyambut gawe / Lanang wadon sami prapta/ Tanapi tangga desa / Prapat manca lima rawuh / Rerewang anambut karya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">29. Ya ta kawarnaa malih / Ki Ageng Wonoboyo / Kang tapa Plawangane / Wus tan samar tingalira / Kang putra gadhah karya / Anulya tetuwi sampun / Prapta ing Mangir wus lenggah //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">30. Garwa putra matur aris / Sangking ing pundi Paduka / Ki Wonoboyo delinge / Ingsun tekeng puruita / Kembanglampir ing Dhekah / Jeng Susunan Kadilangu / Kang sun pitedah maring wang //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">31. Ingsun kinen mangunteki / Aneng guwa Plawangan / Ngabekti marang Ywang Manon / Kuneng gantya kang lagi wirayat / Dhayoh saya geng prapta / Lanang wadon pun gumuruh / Nambut gawe bak piyambak //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">32. Kacatur tamu pawestri / Ing Jlegong warnane endah / Anake Demang Jalegong / Estri sampun diwasa / Nanging dereng akrama / Angrencangi nakir wau / Kekirangan gegaman //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">33. Mirsa Ki Wanabekti / Ngasta lading seking pelag / Ni Rara umatur alon / Anuwun nyambut sekingnya / Karya nakir punika / Seking sinungaken sampun / Sarwi angling pawekas //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">34. Lah Rara lading puniki / Yen wis nggennya nambut karya / Aja kongsi glethak glethek / Neng ngandhap iku tan kena / Yen kungkulan wanodya /.Seking tinampenan sampun / Kinarya nakir agentya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">35. Sampun rampung dennya nakir / Dilalah pasthi tan kena / Kang nggarap sami kesupen / Seking sineleh kelasa / Kalinggihan semana / Mring Ni Rara ingkang nyambut / Seking musna manjing garba //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">36. Dadya wawrat sang lir suji / Ki Wonoboyo tetanya / Amundhut sekingira ge / Sang Rara matur anembah / Kagungan Tuwan ical / Neng ngandhap kelasa wau / Kalenggahan sirnanira //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">37. Kiyai Ageng miyarsi / Langkung merang ing wardaya / Lajeng kesahira age / Tan poyan ing garwa putra / Lajeng manjing ing guwa / Asru tobat ing Hyang Agung / Dene tan kena ing coba //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">38. Langkung bantere mangun teki / Genti ingkang winurcita / Nenggih Ni Rara Jalegong / Bubar sing Mangir semana / Tan kawarna ing marga / Wus prapta ing wismanipun / Pan sampun antara lama //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">39. Kesah marang ing wanadri / Merang umiyat ing kathah / Dening dereng karma mbobot / Langkung dennya kawlas arsa / Sampun prapteng semaya / Anyakiti neng wana gung / Langkung dennya ngayang-ngayang //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">40. Tan saged lair tumuli / Mila kadelah ing mangkya / Wana kyangan namane / Nulya sang Rara akesah / Saking bantering raga / Akungkum aneng ing ranu / Kang aran Rawa Jembangan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">41. Wus dangu dennya nyakiti / Neng rawa nulya ambabar / Medal taksaka putrane / Sang Rara sanget kantaka / Kasupen purwa duksina / Tan saged ningali sunu / Dene tan rupa manungsa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">42. Taksaka ageng nglangkungi / Apanjang ngleker ing rawa / Pirsa ibune meh layon / Sarpa saged tata jalma / Welas marang ibunya / Nangisi sarwi amuwus / Sih anom aja palastra //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>S I N O M</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Lah biyung sira tangia / Aja sira angemasi / Ni Rara aparipurna / Aningali mring kang siwi / Ajrihira nglangkungi / Nanging tan saged lumayu / Ula ngucap tetanya / Balik ingsun wartanana ingkang yoga //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Ni Rara alon angucap / Saking jrih sarwi gumigil / Sun tan wruh sudarmanira / Sebab sun durung alaki / Dene sun anggerbini / Saking Mangir purwanipun / Ingsun mentas rewang / Tan ngrasa lawanan mami / Lan sun Tanya marang Ki Geng Mangir kana //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Pan arsa suka uninga / Teksaka suka nglangkungi / Ningali mring biyangira / Ngore rekma aniba tangi / Wisa gumuywa mbelik / Nulya lampahira laju / Marang Mangir semana / Datan kawarna ing margi / Ula sigra nututi biyangira //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Ni Rara ing Mangir prapta / Ki Ageng kagyat suryaengling / Lah ta sira ana apa / Lumayu aniba tangi / Megap-megap dennya angling / Tan dangu teksaka rawuh / Jonggol neng wurenira / Ni Rara tiba tan eling / Ki Geng Mangir kagyat ajrih arsa kesah //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Pujangga gumuyu suka / Nggih Kiyai sampun ajrih / Suwawi sami alenggah / Kawula nuwun upeksi / Ki Geng Mangir langkung jrih / Gumeter nggenira lungguh / Ngucap gugup nggeragap / Teksaka apa sireki / Tanpa sangkan umatur ponang pujangga //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Aturipun tata jalma / Kawula inggih Kiyai / Nuwun pirsa jengandika / Sinten sudarma lun yekti / Ki Ageng Mangir mantub ajrih / Wus sareh ing manahipun / Dene bisa angucap / Kelawan emut ing galih / Duk kesahe kang rama sarwi wawarta //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Iya sun tuturi sira / Sudarmanira sayekti / Ran Kiyai Wonoboyo / Mertapa ing Merbabu wukir / Lah jujugen sayekti / Pasthi sira yen denaku / Ula amit umesat / Datan kawarna ing margi / Lampahira prapta Merbabu semana //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Ki Wonoboyo ngandika / Lah ula apa sireki / Dene bisa tata jalma / Anjujug pertapan mami / Pujangga matur aris / Mila kawula pukulun / Sowan sang maha tapa / Kepingin ingaken siwi / Arsa nglebur tapak suku sang Pandhita //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Kiyai Ageng ngandika / Ingsun karya pasang giri / Kelamun sira abisa / Nglengkeri gunung puniki / Tepung sirah dumugi / Lawan buntutira gathuk / Lamun sira tan wignya / Sun tata arsa ngaku siwi / Mrebes mili pujangga nangis lir jalma //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Teksaka matur ngrerepa / Sandika dhateng nglampahi / Angsala pangestu Tuwan / Mugi segeda kiyai / Rineksana tumuli / Awakira gya pinusus / Sadariji geng ira / Panjang arga den lekeri / Pan maneh kemput among ta kirang saasta //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Apa meled ilatira / Tepunge kelawan pethit / Ki Wonoboyo trengginas / Ilat pinancas ing cundrik / Tugel runtuh ing siti / Cinipta dhateng sang wiku / Dadya waos utama / Apan dhapur Barukuping / Baruklinthing pejah nyawa rupa jalma //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Raga pejah rah nyemburat / Gandanya arum wangi / Binucal dhawah ing arga / Kidul kilen pernahneki / Wetan Lowanu nenggih / Gugraking bathang ngganda rum / Sirnaning bathang ula / Tuwuh wraksa waru sak wit / Mawi simbar karan Gunung Wangi mangkya //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. Kuneng raga kang ginustha / Muse Ki Baruklinthing / Sinabda marang kang rama / Lah kulup sira sun tuding / Awora bangsa ejim / Aneng ing Pening ngedhaton / Tunggal sukma nglembara / Dyan Baruklinthing wotsari / Tan lenggana sapituduhe kang rama //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. Gya lengser sangking ngekengan / Sakedhap prapta ing Pening / Tunggal Sukma nglambara / Akayangan aneng Pening / Nengna kang sampun mukti / Ki Wonoboyo winuwus / Lajeng kesah tirakat / Waos Ki Baru cinangking / Ngidul ngilen ing Gunung Wangi wus prapta //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15. Amanggih waru asimbar / Anulya wau pinusthi / Sinabda dadya landheyan / Tabapi sarunganeki / Waru sawit kang dadi / Ki Wonoboyo gya wangsul / Lajeng tapa anangsang / Neng kajeng gurdha wus lami / Sampun gentur Ki Wonoboyo sampurna //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">16. Kantun waos kang sumladhang / Nenggih neng kayu waringin / Nanging katingalan sarpa / Ageng panjang ngrajihi / Ngakak rina wengi / Kathah jalma kang karungu / Tuwin ingkang uninga / Yen ula ageng wringin / Samya ajrih langkung singiding kang wana //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">17. Jalma mara jalma pejah / Sato mara, mara mati / Kuneng ingkang wis sampurna / Warnanen Ki Ageng Mangir / Sampun lama ing mangkin / Apan kathah putranipun / Jalu estri datan ginupit / Among putra kang sepuh ginupita //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18. alu abagus warnanya / Winastan Ki Jaka Mangir / Semana sampun diwasa / Tinimbalan mring sudarmi / Sampun munggeng ing ngarsi / Ki Ageng Mangir nabda rum / Kulup sira karia / Sun arsa mangun teki / Andhedherek marang eyangira ngarga //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">19. Tapa neng Gunung Arbabwa / Wus lawas ingsun tan tuwi / Kang putra matur sumangga / Ki Ageng sigra lumaris / Tan kawarna ing margi / Wus prapta Arbabu Gunung / Panggih suwung kewala / Tanya mring sabate nenggih / Marang ngendi Kiyai dennya akesah //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">20. Kang tinanya matur seca / Sampun lami ta Kiai / Kesahe ambekta tumbak / Dhapuring Barukuping / Purwanipun ginupit / Sedyanira wus katur / Ki Mangir duk miyarsa / Legeg wigugen ing galih / Dadya neknung Ki Ageng aneng jro guwa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">21. Wus lama antaranira / Marengi dina sawiji / Ya ta wanci labuh tiga / Wonten suara kapiarsi / Ujaring swara dumling / Aja sungkawa sireku / Lah kidul ika ana / Kayu gurdha gung sawiji / Ya neng kono sudarmanu tapa nangsang //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">22. Lan nggawa tumbak utama / Dhapuripun Barukuping / Ampuhe kagila-gila / Besuk sira kang ndarbeni / Tumrun anakireki / Dadi pusakaning ratu / Kang mengku ing rat Jawa / Wus nir swara Kyageng nglilir / Apungun sarta alon pamitan //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">23. Lah sabat sira karia / Ingsun arsa angulati / Ingsun tan arsa muliha / Yen tan ketemu kiyai / Nadyan prapta ing pati / Apan wus kasedyeng kalbu / Sabat matur sumangga / Gya lengser Ki Ageng Mangir / Ngidul bener ningali wraksa satunggal //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">24. Ageng asinguh pernahnya / Neng pinggir jurang tumawung / Ki Ageng wus lumeksana / Tan ana baya kaeksi / Mung ujaring kang wangsit / Ingkang pineleng kalbu / Lajeng lumebet enggal / Neng ngandhape kajeng wringin / Aningali an ula geng sumladhang //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">25. Angakak ratri lan siyang / Hatnya melet lira pi / Ki Ageng tapa ing ngandhap / Antuk kawan dasa ari / Tan dhahar tan aguling / Sanget denira manekung / Manah tan kaya-kaya / Umadhep pasrah dhumatheng ing Ywang Kang Murba //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">26. Marengi Dina Jumungah / Kaliwon bangun kang awanci / Wuryan kang rama katingal / Ki Ageng Wonoboyo ngling / Lah kulup dipun aglis / Sira ambila den gupuh / Ingkang katingal naga / Pan iku tumbak sayekti / Langkung ampuh iku pusakaning nata //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">27. Kang mengku ing Tanah Jawa / Iya ingkang wuri-wuri / Pan ingkang uwis sampurna / Ja sira kaliru kapti / Lan ambilen den aglis / Ki Wonoboyo nir sampun / Ki Ageng Mangir trengginas / Pethite naga pinusthi / Gya sinendhal wus dadya waos apelag //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">28. Abungah narwata suta / Sira Ki Ageng ing Mangir / Pinandi kang waos sigra / Arsa mantuk dhateng Mangir / Pun lampahira aglis / Datan kawarna ing enu / Prapta Mangir semana / Ya ta wanci sirep jalmi / Manjing dalem garwa putra tan uninga //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">29. Kang maos sampun pinoncalan / Rinengga kelangkung wingit / Rina wenig kinuntungan / Ing dupa gandanira mrik / Putra wus sinung warti / Wangsite eyangipun / Langkung denira bingah / Pan sampun antara lami / Wus kasusra Ki Ageng Mangir prabawa //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">30. Marga sangking waosira / Jalma kanan karing ajrih / Kathah sami kumawula / Dhumateng Ki Ageng Mangir / Langkung mandhireng galih / Tan arsa seba ing Prabu / Duk lagya Nagri Pajang / Ngantya mangke panjenengan ing Mentaram //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">31. Nanging wus sepuh kalintang / Ki Ageng nulya ngemasi / Putra Ki Jaka gumantya / Nunggak semi ing sudarmi / Nama Ki Ageng Mangir / Tan purun seba Mentarum / Gunge wong tuwa-tuwa / Ing Mangir sami ngaturi / Kacundhuka dhateng sang Prabu Mentaram //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">32. Dene ta sampun kasusra / Mentaram ratu sineki / Rat Jawa tumiyung samya / Pasisir manca negari / Kedhu miwah Bagelen / Banyumas Tegal wus teluk / Ing Banten Pajajaran / Jakarta sami sumiwi / Kantun ngriki bawah alit dereng seba //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">33. Ki Ageng Mangir angucap / Ingsun wani aprang tandhing / Lawan sang Prabu Mentaram / Ing ngendi nggone kepanggih / Lan ingsun tan ngregoni / Marang jenenge ing ratu / Mung iki dhukuh ingwang / Yasane eyang pribadhi / Tekeng rama sedheng ingsun ngakahana //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">34. Ingsun benjang gelem seba / Mring Senopati Mentawis / Yen kelar anadhahana / Tumbak sun Ki Baru iki / Yekti gelem sun bekti / Marang sang Rajeng Mentarum / Kuneng kang asung rembag / Sagung wong tuwa ing Mangir / Kawarnaa Mentarum tan pegat gustha //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>MADYANING PALUGON</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>M E G A T R U H</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Kawarnaa risang Prabu ing Mentarum / Langkung pangunguning galih / Sasedanira kang sunu / Senopati ing Kadhiri / Aneng madyaning palugon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Lagya mangkin sang nata siniweng wadu / Kang paman sang Adipati / Mandaraka aneng ngayun / Lan Pangeran Mangkubumi / Lan Singasari tan adoh //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Ki Dipati Martalaya munggeng ngayun / Tuwin para putra nangkil / Alon ngandika sang Prabu / Lah ta Paman Adipati / Mandaraka ulun taros //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Aprakawis dhusun ing Mangir puniku / Pan sampun tita ing mangkin / Mandhireng tan arsa nungkul / Mandayeng keratin mami / Yen suwawi dipun bunoh //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Gya ginecak tinumpes nakputunipun / Sipat lanang haywa kari / Dipati Mandaraka matur / Kawula datan suwawi / Den sareh karsa sang Katong //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Nadyan alit tan kenging ginampil Prabu / Yen sisip ambebayani / Karya risaking wadya gung / Lan nistha jeneng nerpati / Amungsuh bekel bebaon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Kalih wonten sayektine kang pakewuh / Adarbe pusaka adi / Waos dhapuring Baru / Ampuhe kepati-pati / Nadyan jalma teguh layon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Dhingin ulun winisik dhateng sang wiku / Sunan Adilangu uni / Ki Mangir gamane luhung / Tan kenging tinulak jalmi / Sing ketiban pasthi layon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Tur cinetha dados pusakaning ratu / Dadya kembaraning Kyai / Palered sapungkur ulun / Pramila Angger denrempit / Binunjuk alus kemawon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Lamun sampun kenging waose pun Baru / Tan wonten malangateni / Sakarsa Panduka Prabu / Manira dhateng umiring / Sang Nata ngandika alon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Yen mekaten Paman nggih andika rembug / Apan keng amrih prayogi / Slamete gunging wadu / Ywa nganti nistha nerpati / Tur sandika Dipati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Mandaraka muwus / Lah ta kulup Mangkubumi / Lan Singasari sireku / Dipati Martalayeki / Paran rembug sun taros //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. Jeng Pangeran Mangkubumi lon umatur / Ing putra Rajeng Mentawis / Yen suwawi karsa Prabu / Putranta rahaden Dewi / Ingkang linurug ing kewuh //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. Lun panekkan mendhet mina jroning kedhung / Kang toya meksih abening / Mina kenging satuhu / Mesem Risang Senopati / Ngartika sajroning batos //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15. Sigra jengkar kondur ngedhaton sang Prabu / Ingiring ing para sari / Kang bedhaya kalih lajur / Ngampil pacara nerpati / Supraptanira ing regol //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">16. Para garwa sedaya sami amethuk / Kinanthi asta Nerpati / Kanan kering tuwin pungkur / Papingitan para selir / Wus prapteng dalem sang Katong //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">17. Sampun lenggah angadep sagung pra arum / Warnanen pasowan jawi / Wus bubar sedaya mantuk / Mring wismanirapribadi / Sami prayitna ing batos //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18. Warnanen Ywang Bagaspati / Ywang Candra ingkang gumanti / Ri sedheng purnama tuhu / Sumilak padhang ing langit / Sang Nata ngandika alon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">19. Mring Bupati pawestri Disara luhung / Lah Adisara den aglis / Aturana Paman Juru / Malebua jro puri / Dyan Adisara wot //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">20. Sigra lengser Disara ing ngarsa Prabu / Wus mijil sangking jro puri / Prapta Mandaraka pangguh / Kalih Jeng Kyai Dipati / Ni Adisara turnya alon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">21. Jeng Kiyai lun dinuta putra Prabu / Panduka dipun aturi / Malebet dhateng kedhatun / Cundhuk putranta Nerpati / Dipati Mandaraka gupoh //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">22. Sampun kered tumameng jroning kedhatun / Prapta byantara Nerpati / Kang paman ngatura gupuh / Wus tata lenggah sang Aji / Lan kang paman ngandika lon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">23. Mila Paman kula aturi lumebu / Ndugekken rembag kang rempid / Sinten kang yogi tinuduh / Nginggahi dhateng ing Mangir / Kang samun santoseng batos //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">24. Sang Dipati Mandaraka alon matur / Yen suwawi ing karsa Ji / Putra Panduka Dyah Ayu / Den Ajeng Pembayun nenggih / Katindakeno ing kewoh //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">25. Pangarsane Martalaya ingkang patut / Dhadosa dhalang abangkit / Kekalih sumekseng siwi / Jayasupanta milwandon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">26. Lan pun Suradipa dados panjakipun / Adisara sampun kari / Amomonga ing sang Ayu / Dadosa penggender benjing / Denakena suta yektos //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">27. Sri Narendra miyarsa pareng ing kalbu / Inggih Paman pun prayogi / Lan Adisara den gupuh / Timbalana si Adipati / Martalaya mring kedhaton //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">28. Lan si Jayasupanta Saradipeku / Katelu iriden sami / Adisara awotsantun / Wus medal sangking jro puri / Dhinerekaken ponang wong //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">29. Tan kawarna ing Martalaya wus rawuh / Panggih lawan Ki Adipati / Tuwin kalih kadangipun / Katri sampun den dhawuhi / Ngandikan manjing kedhaton //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">30. Tur sandika sampun kerid lampahipun / Lajeng tumameng jro puri / Prapta ing byantara Prabu / Tur bekti sumungkem siti / Abukuh denira lungguh //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">31. Sri Narendra Mentaram ngandika arum / Lah Martalaya sun tuding / Sira lumeksaneng kewuh / Lan arinira kekalih / Sun kantheni putraningong //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">32. Lan si Adipati milua sireku / Padha alakua sandi / Pepara mring Mangir nyamun / Awasena kang sayekti / Solahe si Mangir magok //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">33. Putra nata kasih Den Ajeng Pembayun / Ngandikan ngarsa rama Ji / Sumungkem mangaras suku / Sang Nata ngandika aris/ Lah lungguha putraningong //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">34. Sri Narendra angandika manis arum / Lah nyawa sira sun tuding / Ngulati tumbal nagri gung / Slamete sagunging dasih / Neng Mangir kalma kinaot //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">35. Lakonana sang Retna tan saget matur / Sumungkem suku anangis / Anukmeng sajroning kalbu / Paran nggoningsun gumingsir / Yen wus karsaning sang Katong //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">36. Lara pati ingsun pun darma lumaku / Sudarma lantaran widi / Lamun ta lenggana ingsun / Duraka ing lair batin / Lara wirang sangking pakon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">37. Dadya matur sandika sarwi amuwun / Kang putra sampun winangsit / Benjang yen sampun katemu / Amrih sebabe Ki Mangir / Sang Nata ngendika alon //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">38. Lah ta Paman Mandaraka dipun gupuh / Si Dhalang dika paring / Ringgit sakothak puniku / Gangsa gender wus paring / Suling rebabe kinaot //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">39. Wus rumanti praboting dhalang sedarum / Niyaga kang mbekta sami / Sang Nata ngandika arum / Lah uwis mangkata mangkin / Ing wuri aja pakewuh //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>SANG RAJA PUTRI</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>P A N G K U R</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Matur sandika gya mangkat / Wanci bangun raina nggennya mijil / Lampahira rangu-rangu / Dipati Mandaraka / Sampun medal sangking sajroning kedhatu n / Ndhawuhi wong kapetangan / Njampangi sang Raja Putri //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Kuneng kang kantun nagara / Kawarnaa kang lumampah mring Mangir / Datan kewarna ing enu / Prapta Mangir semana / Amarengi ungsume wong-wing merti dhusun / Alaris kathah kang nanggap / Kasusra dhalang negari //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Lawan malih wus kawarta / Lamun dhalang darbe atmaja estri / Warnane ayu kelangkung / Desa tan ana madha / Dadya katur mring Ki Ageng Mangir sampun / Duk semana tinimbalan / Dhalang mring Ki Ageng Mangir //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Wus prapta tata alenggah / Neng mendhapa Ki Ageng amanggihi / Namadunya sebdanya rum / Ki Dhalang nuwun turnya / Tanya malih sinten wewangenireku / Lan sangking pundi pinangka / Ki Dhalang amatur aris //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Kawula pun Sandiguna / Angsal ulun Negari ing Kedhiri / Andherek mring Gusti ulun / Senopati ing Pamenang / Mbalik dhateng gusti sang Prabu Mentarum / Nging seda madyaning rana / Keng sampyuh lan pun Pesagi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Mila wonten Mentaram / Ki Geng Mangir mangkya ngandika ris / Kula nedha damelipun / Kisanak ndika mayang / Wonten ngriki Ki Sandiguna turipun / Sumangga yen wonten karsa / Semana sampun alatri //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Tata wayang neng pringgitan / Ingkang nggender Adisara respati / Sang Retna lenggah neng pungkur / Ira Ki Sandiguna / Saradipa punika nabuh kempul / Sandisasmita angendhang / Wus lajeng lekas aringgit //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Lampahane Pikukuhan / Ki Ageng Mangir ningali neng mendhapi / Mulat ingkang atmajanipun / Dhalang ayu utama / Nora linyok sagung wong ingkang anggunggung / Ki Ageng branta ing nala / Sakbandanira aringgit //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Tinimbalan mering mendhapa / Ki Geng Mangir Tanya wecana manis / Rarestri lenggah ing pungkur / Dika kapernah napa / Kiyai Dhalang Sandiguna lon umatur /Punika anak kawula / Lairan saking Kedhiri //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Ki Ageng malih tanya / Nggih punapa teksih legan puniki / Sandiguna aturipun / Mila teksih alegan / Dereng wonten kang dados parenging kalbu / Ki Ageng Mangir wecana / Yen paring dika Kiyai //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Anak dika kula tedha / Karya krama, Sandiguna turnya ris / Yen Tuwan sudi jumurung / Mupu tiyang ngumbara / Tanpa wisma, Ki Ageng wecana arum / Lah dika Kyai tetepa / Awisma wonten ing riki //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Tan ginustha rembagira / Sang Retnayu ingaturaken aglis / Ing dalu ingkang winuwus / Dyah arsa cinengkraman / Sang Retnayu akekah sarwi anuwun / Ki Ageng nglimur ngrerepa / Paran Nimas dadi galih //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. Wong ayu ngur memundhuta / Ingkang adi-adi dasih ngladosi / Sang Retna nembah umatur / Alon sarwi karuna / Kyai Ageng kawula matur satuhu / Dede atmajaning dhalang / Kula putra ing Mentawis //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. Margine kawula kesah / Pan tinari krama kula tan apti / Sanget duka Rama Prabu / Kula pilalah pejah / Milanipun kalampahan kula tinundhung / Sing pura mila ngembara //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15. Kawula pinundhut anak / Dhateng dhalang mila tumut mariki / Temahan Panduka pundhut / Kangjeng Rama tan wikan / Lamun yektos Panduka sudi amupu / Dhateng dama kawlas arsa / Nging wonten panuwun mami //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">16. Panduka sowan Mentaram / Ing Jeng Rama kawula nggih umiring / Tamtu bingah Rama Prabu / Darbe mantu Panduka / Mung punika kang dados panuwun ulun / Yen Panduka datan arsa / Sowan dhateng Mentawis //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">17. Sayektos sun plaur pejah / Boten purun kawula angladosi / Ajrih durakeng Ywang Agung / Durakeng ing sudarma / Ki Ageng Mangir miyarsa ngartikeng kalbu / Yen mangkono raganingwang / Tan kaliru nggosun mipil //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18. Nemu putraning Narendra / Dadi dudu anaking dhalang sayekti / Iya sokur mring Ywang Agung / Sun katiban jimat / Ki Ageng Mangir angandikan manis arum / Dhuh Gusti sun turut sira / Sun seba Rajeng Mentawis //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">19. Dilalah kersaning Sukma / Ki Ageng Mangir manahira agampil / Sangking sanget nandhang wuyung / Marang kusumaning dyah / Kyageng Mangir ngrerepa “Dhuhmirah ingsun” / Nanging Gusti jampenana / Kang abdi kandhon kingkin //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">20. Sayekti tumekeng pejah / Ingkang abdi yen tan pinaring jampi / Wurung mati turut lurung / Pinunggel kang asmara / Sang Dyah Ayu sampun anglanggati sampun / Kawarnaa sampun enjang / Sandiguna den timbali //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">21. Wus prapta lenggah mendhapa / Ki Ageng Mangir tetanya arum manis / Paman manira satuhu / Tanya dhateng andika / Rare niki napa anak dika tuhu / Ki Dhalang umatur seca / Yektose nggen kula manggih //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">22. Rare wonten pangumbaran / Kula tanya bibit kawiting nguni / Tan seca kang darbe sunu / Ngaken rare ngumbara / Sampun lola tan ndarbeni bapa biyung / Sedaya sampun pejah / Milane kulambil siwi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">23. Ki Ageng marwata suta / Jroning galih bungahira tan sepi / Ngemu nyata tur ing dalu / Dadya Ki Ageng warah / Mring Ki Sandiguna / Sang Retna turipun / Ngaken putir ing Mentaram / Putrane Sang Senopati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">24. Lah nedha sami aseba / Mring Mentaram ngaturaken sang Putri / Ki Sandiguna andheku / Inggih dhateng sumangga / Ki Geng Mangir ngundhangi mring nak putu / Tuwin ingkang kulawangsa / Ing Mangir sami kinerig //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">25. Dandan tandhu lan jajaran / Tuwin gawan tur atur mring Mentawis / Busekan wong Mangir sampun / Sumekta upacara / Lan bebetan asrah bulu bektenipun / Kuneng ing Mangir kang dandan / Ucapen ki Gunasandi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">26. Ing ndalu apirembagan / Saradipa ingutus tur upeksi / Ing Gusti Rajeng Mentarum / Dalu denira mangkat / Tan kawarna ing marga ing lampahipun / Enjing prapta ing Mentarum / Lajeng tumameng jro puri //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">27. Cundhuk ing sang Senopatya / Saradipa sumungkem ing pada Ji / Sarwi alon aturipun / Ulun ngunjuki pirsa / Sampun katur saniskareng ngutus / Tuwin solahe neng kana / Sampun katur sedyaning //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">28. Trustha sang Rajeng Mentaram / Animbali Dipati Mandaraka glis / Tan dangu prapteng kedhatun / Cundhuk putra Narendra / Panembahan Senapati ngandika rum/ Lah ta Paman Mandaraka / Pun Mangir arsa suwiwi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">29. Inggih Paman undhangana / Tyang Mataram sami prayitneng wisthi / Ananging ta dipun samun / Mandaraka tur sandika / Ingundhangan sagung wadya ing Mentaram / Wus sami prayitneng baya / Kuneng nagri ing Mentawis //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">30. Ing Mangir kang kawarna / Kyai Ageng arsa utusan dingin / Tur uninga ing sang Prabu / Mentarum kang dinuta / Dhalang Sandiguna kinanthen wau / Awasta Ki Singajaya / Pinituwane wong Mangir //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">31. Ingiring wong kalih dasa / Kakapalan lampahira pun aglis / Kuneng ta ingkang lumaku / Kawarnaa Mentaram / Sri Narendra miyos sineba wadya gung / Lenggah ing dampar kencana / Munggeng ing Bangsal Pangrawit //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">32. Pepak gung putra sentana / Kyai Depati Mandaraka munggeng ngarsi / Tan dangu na jalma rawuh / Njujug waringin kembar / Tyang kekalih lenggah apepe tumungkul / Kawistareng ing Narendra / Gandhek kinen marika glis //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">33. Wong gandhek lampahnya gancang / Sampun panggih lawan jalma kang prapti / Tinaken sampun matur / Lamun Mangir caraka / Sigra wangsul gandhek lampahe tan santun / Prapteng byantara tur sembah / Pukulun atur upeksi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">34. Gusti jalma ingkang prapta / Dutanipun didalem Ki Ageng Mangir / Sang Nata ngadika arum / Lah age timbalana / Wadya gandhek tur sembah sigra awangsul / Lampahira sampun prapta / Ndawuhaken timbalan aji //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">35. Nedha andika ngandika / Tur sandika duta kalih kairid / Prapta byantara wotsantun / Muka sumungkem kisma / Sri Narendra pangandikanira arum / Lah sira kinongkon apa / Marang Ki Ageng ing Mangir //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">36. Duta umatur wotsekar / Lun dinuta gusti atur upeksi / Ki Ageng Mangir pukulun / Ngaturaken pejah gesang / Tur uninga konjuk ing Gusti sang Prabu / Ing mangke manggih wanodya / Angaken putra Nerpati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">37. Den Ajeng Pembayun nama / Lamun yektos putra dalem Nerpati / Didalem Mangir cumundhuk / Ndherekken putra Nata / Sri Narendra angandika manis arum / Iya nyata putraning wang / Kang murca kalaning wengi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">38. Lir jinumput Sukmamanangsa / Sun ulati wus lawas tan kepanggih / Mengko jebeng Mangir nemu / Ingsun sokur ing sukma / Besuk apa nggone seba putraningsun / Pan ingsun utusan mapag / Mring putrengeng Nini Putri //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">39. Ing benjang respati sowan / Sri Narendra ngandika Lah ya uwis / Sun tarima bektenipun / Age sira balia / Tur sandika duta nembah sigra mundur / Sapengkere ponang duta / Sang Nata ngandika aris //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">40. Inggih Paman Mandaraka / Benjang Kemis den sudhiya ing jurit / Ingkang methuk putraningsun / Aneng jaban negara / Tur sandika sang Nata kondur ngedhatun / Kang sewaka sampun bubar / Sedaya mangati-ati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">41. Duta tan kawarneng marga / Lampahira ing Mangir sampun prapti / Katur saatur ingutus / Miwah wewelingira / Sri Narendra Mentaram sedaya katur / Ki Ageng suka ing nala / Sigra angundangi dasih //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">42. Sumekta enjinge budhal / Wong ing Mangir kerig samya umiring / Gegaman wetara sewu / Tuwin ingkang bebektan / Raja putri tinitihaken tandu / Tanapi Ni Adisara / Tan pisah kalih sang Putri //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">43. Upacarane bra sinang / Jajare merapit kanan kering / Ki Ageng busana murup / Ki Baru datan tabah / Munggeng kanan Ki Geng nitih mungguh / Ginarebeg sentanannya / Kinubeng gegaman asri //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">44. Lir pindah binayang karya / Dhasar bagus wau Ki Ageng Mangir / Abusana adiluhung / Lir pendah Partaajmaja / Raja putri lumampah munggeng ing ngayun / Upacara munggeng ngarsa / Ing wuri wongmager sari //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">45. Gotongan lampah ngarsa / Ingkang badhe katur Raden Mentawis / Apan kathah waranipun / Gotongan myang rembatan / Lampah ndulur asri munggeng ing marga gung / Rembeg lampahireng wadya / Akathah tiyang ningali //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">46. Ing Mangir sampun kawuntat / Lampahira Karasan sampun prapti / Arerep wonten ing ngriku / Ngasoen wadyabala / Kawarnaa Sri Narendra ing Mentarum / Njing miyos siniwaka / Pepak kang para dipati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">47. Sang Dipati Mandaraka / Munggeng ngarsa lan Pangran Mangkubumi / Tuwin Pangran Singasantun / Pangran Dipati Kanan / Pangran Puger punika ingkang sumambung / Jeng PangranJagaraga / Pangran Purbaya nambungi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">48. Sang Dipati Mandaraka / Neng Sitinggil wau dennya miranti / Bupati maglaran sampun / Miwah mantri Mentaram / Enengana kang lumampah / Sira Ki Ageng ing Mangir //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">49. Gancanging carita prapta / Sudimara wau Ki Ageng Mangir / Pangeran Mangkubumi menthuk / Dhumateng ingkang putra / Nulya rerep sira Den Ajeng Pembayun / Umatur dhateng kang raka / Nenggih Ki Ageng ing Mangir //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">50. Lah punika Kangjeng Paman / Pangeran Mangkubumi ingkang satunggil / Paman Pangran Singasantun / Amethuk ing kawula / Ki Geng Mangir sangking turangga tumurun / Aris denira lumampah / Panggih Jeng Pangeran kalih //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">51. Ki Baru tan kena tebah / Raden Ayu Pembayun medhak aglis / Lumajeng angraup suku / Ngabekti mring kang Paman / Sekaliyan kang paman sami ngemu luh / Sang Dyah sumungkem karuna / Wus kinen tata alinggih //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">52. Ki Ageng Mangir salaman / Lan Jeng Pangeran Mangkubumi gumanti / Jeng Pangeran Singasantun / Wus sami tata lenggah / Namudana Pangran kalih mring kang rawuh / Nuwun Ki Geng Mangir turnya / Pangeran ngandika malih //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">53. Dhuh angger lampah manira / Pan ingutus ramanta sang Nerpati / Methuk arinta sang Ayu / Ping kalih jengandika / Kaping tiga manira kinen sung pemut / Yen panduka arsa sowan / Dhateng ramanta sang Aji //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">54. Sampun sagelar sapapan / Langkung ewet sang Nata tan manggihi / Tan taningal seca tuhu / Ngabekti wong atuwa / Yen sembada Angger luwung kinen mundur / Sagunge ingkang gegaman / Rumeksaa dalem Mangir //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">55. Menawi andika lama / Neng Mataram ing wuri langkung watir / Dene ingkang atut pungkur / Amungna upacara / Nadyan gaman mungna sawetara tumut / Pantese sowan ing Nata / Sampun angaget-ageti //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">56. Bupati andher aseba / Para mantri Majegan sampun nangkil / Prajurit barisnya tepung / Munggeng alun-alun aglar / Ingkang saos badhe methuk sang Dyah Ayu / Ingkang sangking pangambaran / Saha prayitna ing westhi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">57. Sang Nata alon ngandika / Paman Mandaraka sumangga kardi / Manira wonten kedhatun / Ing jawi jengandika / Sang Dipati sandika ing aturipun / Dipati Mandaraka nabda / Lah ta Kulup Mangkubumi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">58. Lawan kulup Singasekar / Lah methuka aneng jaban negari / Mantri Majegan kang milu / Den prayitna ing baya / Yen si Mangir deniring gegaman agung / Den andhega Sudimara / Aja akeh ingkang ngiring //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">59. Sira Puger Purbaya / Lah methuka Danalaya den aglis / Wong Kajoran ingkang milu / Yen Mangir prapteng kana / Gegamane andhega aja leh milu / Mung karia upacara / Kang ngiringi mlebu negari //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">60. Dene sagung pra nayaka / Aseba aneng ing Pancaniti / Wiroguna ingsun tuduh / Sebaa Panguraken / Yen si Jebeng Mangir prapta aneng riku / Andhege upacaranya / Muga kekasih kang ngiring //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">61. Tuwin para sentananya / Ingkang ngodhe jalu miwah pawestri / Ngiringa marang kedhatun / Sun aneng Brajanala / Gung prajurit barisa pendhem sedarum / Densamun den ngati-ati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">62. Sedaya matur sandika / Sigra budhal Pangeran Mangkubumi / Lan Pangeran Singasantun / Lan Mantri Pamajengan / Sampun prapta Sudimara nggennya methuk / Pangeran Puger Parubaya / Ing Danalaya miranti //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">63. Tanapi wadya Kajoran / Wiroguna Pangraken miranti / Prajurit ngubeng kedhatun / Nanging samun barisnya / Sri Narendra sampun kondur angedhatun / Dene sagung para putra / Sedaya neng Srimanganti //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">64. Ki Ageng Mangir nuwun turnya / Pinaringan prayogi anglampahi / Wadya ingundhangan mantuk / Rumeksa ing wuntat / Mung karia nderek wong patang puluh / Lawan wadya upacara lan gegawan mbacut sami //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>KI AGENG MANGIR LENA</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><b>P A N G K U R</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Wus bubar sagung gegaman / Mantuk dateng Mangir rumekseng wengi / Ing enu datan winuwus / Ki Geng Mangir wus mangkat / Pangeran Mangkubumi kang ngirid ing ayun / Ing Danalaya kapapag / Pangeran Puger Dipati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Kawetareng gya tedhak / Sang Retna Pembayun aningali / Yen kang rayi kalih metuk / Matur dhateng kang raka / Jeng Kiyai punika Adhimas methuk / Pangeran Puger Purbaya / Ki Ageng Mangir nuruni //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Sakedhap tata alenggah / Pangeran Puger namudana amanis / Ki Geng Mangir matur nuwun / Pangeran malih nebda / Kula ngutus ing Nata kinen amethuk / Kakangmbok lan jengandika / Lajenga manjing negari //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Nging sampun mbekta gegaman / Sri Narendra tyas langkung sangga runggi / Sami kantuna ing enu / Namungnya upacara / Lan bebektan lajengan tumut laju / Ki Geng Mangir tur sandika / Wong kawan dasa ken kari //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Amung kari upacara / Sigra lajeng lampahira lestari / Prapta Pangurakan methuk / Tumenggung Wiroguna / Lan umatur mring Ki Ageng Mangir wau / Angger gunging upacara / Panduka antun neng riki //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Pangeran catur lajeng sigra / Tur uninga ing Jeng Sri Narapati / Prapteng byantara umatur / Putranta sampun prapta / Lan pun Mangir kendel Pangurakan dangu / Ngantosi karsa paduka / Sang Nata ngandika aris //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Lah wong gandhek timbalana / Putraningsun lan si Jebeng Mangir / Lajua marang kedhatun / Hangywa suwe neng jaba / Nembah lengser wong gandhuk lampahnya gupuh / Sampun prapta Pangurakan / Ki Ageng dipun dhawuhi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Nedha Ki Ageng ngandikan / Lan arinta tumameng jroning puri / Raja Ji angayun-ayun / Ki Ageng tur sandika / Retnaning dyah pinethuk jempana sampun / Lajeng Ki Ageng andharat / Ki Baru tan keri tebih //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Ginerbeg sentananira / Prapteng Pancaniti tedhak sang putri / Lajeng minggah Sitiluhur / Ki Ageng datan tebah / Lan Ki Baru prapteng Brajanala sampun / Dipati Mandaraka mapag / Mring wayah angemu tangis //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Apan sarwi kapang-kapang / Pangandikanira arum amanis / Adhuh Nyawa putraningsun / Tan nyana meksih gesang / Sun ulati alami datan kepanggah / Sun sebar keh wong Mentawis / Njajah desa milang kori //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Ing wana arga sinasak / Ingulatan ameksa tan kepanggih / Ingsun nyana sampun lampus / Mangke sira pinanggya / Mring Mas Putu ing Mangir langkung jumurung / Wus sami tata alenggah / Kemandhungan amiranti //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Sang Retna ngaturi priksa / Mring Ki Ageng Mangir wecana manis / Punika Jeng Eyang tuhu / Dipati Mandaraka / Keng nguyunu sedaya tiyang Mentarum / Jeng Rama inggih tan wikan / Sampun dening Yang Dipati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. Sang Retna lajeng ngabektya / Mring kang kinen alungguh / Dipati Mandaraka / Namudana Ki Ageng Mangir tur nuwun / Sang Dipati malih nabda / Putu sun asung prayogi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. Sira ngabekti sudarma / Lan Narendra nganggo tataning nagri / Tan kena tumbak malebu / Marang sajroning pura / Lah kantuna ampilanira sun tunggu / Ki Ageng ewe ting driya / Adangu tan kena angling //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15. Kumejot sarjoning manah / Dadya matur sang Retna ngasih-asih / Sampun walang driya tuhu / Punika Kanjeng Eyang / Dipitados sampun lampahing praja gung / Lumebet sajroning pura / Tan kenging gegaman ngiring //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">16. Ki Ageng nuruti garwa / Atur sembah Sumangga Jeng Kiyai / Tan dangu Ni Lurah rawuh / Ndhawuhaken timbalan / Nedha Gusti Panduka ngandikan Prabu / Lumebeng dhatulaya / Panduka Gusti rumiyin //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">17. Sang Retna lajeng mring pura / Sri Narendra lenggah gegilang adi / Kang rayi kalih neng ngayun / Pangeran Mangkubumnya / Lan Pangeran Singasari keringipun / Pangeran dipati ngarsa / Pangran Puger Purbayekti //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18. Sang Retna sareng katingal / Lan Dirasa ingawe sang Nerpati / Aklih majeng awotsantun / Prapteng byantara Nata / Dyan sumungkem ing suku ngusapi lebu / Sang Retna sarwi karuna /Sang Nata ngandika aris //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">19. Adhuh Nyawa sun tarima / Wis menenga aja sira anangis / Mundura mring dalem pungkur / Lan sira Adisara / Dinuk ngliring Disara dugeng ing kalbu / Sang Retna tur sembah medhak / Kondur dhateng dalem wingking //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">20. Pangran Mangkubumi medal / Lan kang rayi Pangran Singasari / Prapta Kemandhungan sampun / Ndhawuhaken timbalan / Lah Ki Ageng Mangir ngandikan sang Prabu / Malebeng sajroning pura / Sandika Ki Ageng Mangir //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">21. Kerid marang Jeng Pangeran / Kang ampilan sentana kantun jawi / Ki Ageng prapteng kedhatun / Munggeng byantara nembah / Dyan ingawe Ki Ageng aseleh dhuwung / Majeng ndhadhap prapteng ngarsa / Sumungkem pada Nerpati //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">22. Sang Nata emut ing driya / Dukanira ing kuna andhatengi / Ki Mangir sirah dhinengku / Ketanggor sela gilang / Kapisanan Ki Mangir sirahnya remuk / Sang Nata anulya jengkar / Sinamun dennya ngemasi //</span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">23. Layon sampun sinaenan / Winedalaken mring pabutulan kering / Sang Ywang Radiktya meh surup / Pangran catur wus medal / Sampun panggih lan sang Adipati gupuh / Wau ta Ki Mandaraka / Sampun anempeni wangsit //<b><o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal;"><span style="font-size: small;"><b>*Sumber : Kiriman dari Mas Sidiq Firmanto di http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/babad-mangir/</b></span><span style="font-size: small;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: inherit; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-34038495055517657592011-09-26T18:11:00.000-07:002011-10-17T23:49:17.892-07:00Misteri Gamelan Sekaten Solo dan Jogjakrta<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; font-family: inherit; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaAKDSxacVSQ-QFM1X8leJBCTaij40NuREi_pAz-Qaw4lK8IzN_7TPgQ8lecXb96ZguVVZ84Eba3MGN6_7ntH3fjy7DGKQyGuRtaHXRTQGF0BGB5vmdR-q49gCmoMCloy_wH136AxRstc/s1600/hiburan+dan+seni-budaya-gamelan-sekaten-06.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="131" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaAKDSxacVSQ-QFM1X8leJBCTaij40NuREi_pAz-Qaw4lK8IzN_7TPgQ8lecXb96ZguVVZ84Eba3MGN6_7ntH3fjy7DGKQyGuRtaHXRTQGF0BGB5vmdR-q49gCmoMCloy_wH136AxRstc/s200/hiburan+dan+seni-budaya-gamelan-sekaten-06.jpg" width="200" /></a></div><div style="font-family: inherit;">Sejarah tradisi Sekaten yang bergulir sejak zaman Majapahit hingga kini, menyisakan misteri besar seputar Gamelan Sekaten yang dipercaya bertuah. Pasalnya, Kraton Solo dan Jogja yang kini masih bertahan, masing-masing memiliki sepasang Gamelan Sekaten. Manakah yang asli dari zaman Majapahit dan Demak Bintoro?</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Ketika tampuk kekuasaan dari Demak Bintoro berpindah ke Pajang Hadiningrat, Gamelan Sekaten sebagai pusaka kerajaan juga ikut berpindah tangan. Peralihan zaman dari Demak ke<br />
<a name='more'></a> Pajang ini juga menghentikan pelaksanaan tradisi sekaten, karena situasi perang dan kekacauan. Tidak ditemukan catatan mengenai sekaten di zaman Sultan Hadiwijaya, yang naik tahta di Pajang pada tahun 1550 Masehi. Namun dimungkinkan adanya gelar tradisi sekaten itu di Pajang, karena masa pemerintahan Pajang yang gemah ripah loh jinawi, selama kurang lebih 40-an tahun.</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Di penghujung masa kejayaan Pajang, tlatah Mataram Hadiningrat didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan pada 1586 Masehi. Terletak di pinggiran Kali Opak yang disebut alas (hutan) Mentaok. Tlatah ini adalah pemberian Sultan Hadiwijaya atas keberhasilan Pemanahan membunuh Arya Penangsang. Pada tahun-tahun selanjutnya, pamor Pajang mulai surut. Sebaliknya, Mataram Hadiningrat perlahan pamornya mencorong ke seantero Nusantara.</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Panembahan Senopati yang getol melebarkan sayap hingga ke tlatah Jawa Timur, telah menyebabkan situasi di Jawa Tengah kembali panas. Beberapa intrik dan peperangan kecil antara Mataram dan Pajang banyak tertulis dalam babad dan kronik-kronik Mataram. Sebuah upaya gempuran Pajang terhadap Mataram, disebutkan kandas di tengah perjalanan karena letusan Gunung Merapi. Sultan Hadiwijaya wafat karena sakit, akibat terjatuh dari Gajah tunggangannya pada peristiwa itu.</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Dengan wafatnya Sultan Hadiwijaya yang menurut DR Purwadi MHum terjadi pada sekitar tahun 1587 M, muncul berbagai intrik perebutan kekuasaan. Ontran-ontran itu mereda ketika Pangeran Benowo, putra sulung Hadiwijaya meminta bantuan Panembahan Senopati untuk menggempur Pajang yang ketika itu dikuasai oleh Harya Pangiri. Pajang akhirnya runtuh. Namun, Benowo menyerahkan kendali kekuasaan kepada Panembahan Senopati. Dengan demikian, berakhirlah riwayat Pajang, dan kejayaan Islam diteruskan oleh Mataram Hadiningrat.</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Gamelan Sekaten Dibagi Dua</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Berbagai peristiwa sejarah kerajaan-kerajaan besar pewaris jagat Nusantara, tentu saja berdampak pada sekian banyak tradisi yang ada. Sekaten sebagai tradisi warisan leluhur, dari zaman ke zaman juga berubah. Di tengah perkembangan itu, terselip banyak misteri. Salah satunya Gamelan Sekaten, yang berasal dari warisan Brawjaya V dan Sunan Kalijaga. Di manakah keberadaannya, kini?</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Gamelan Sekaten sebagai pusaka kerajaan, ikut berpindah tangan mengikuti siapa yang berkuasa. Sejak Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram, sebanyak itulah Gamelan Sekaten berpindah tangan. Namun, perjalanan sejarah belum berakhir. Pasalnya, Mataram Hadiningrat sendiri kemudian juga pecah menjadi dua, pada tahun 1755 Masehi melalui perjanjian Giyanti.</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Harta kekayaan termasuk Gamelan Sekaten itu kemudian dibagi dua. Namun, tidak bisa dipastikan manakah dari kedua kerajaan pecahan Mataram Hadiningrat itu yang mendapat Gong Kiai Sekar Delima warisan Brawijaya V dan Gong Kiai Sekati warisan Sunan Kalijaga. Hasil penelitian sejarah sekaten yang dilakukan Depdikbud tahun 1991-1992 hanya menyebut, karena Gamelan Sekaten harus sepasang, masing-masing kerajaan pecahan Mataram Hadiningrat (Solo dan Jogja) membuat Gong baru sebagai pasangannya.</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">Di Kasultanan Yogyakarta, sepasang Gamelan Sekaten itu oleh Sultan HB I diubah namanya menjadi Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogowilogo. Di Kasunanan Surakarta, Gamelan Sekaten diubah namanya menjadi Gong Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Diduga kuat, dua nama yang sama, Kiai Guntur Madu, merupakan tanda kedua Gong inilah yang asli dari zaman Majapahit.</div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;">*Sumber : http://derapkaki.multiply.com/journal/item/37/Misteri_Gamelan_Sekaten</div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-10775566835756913582011-09-23T23:11:00.000-07:002011-10-17T23:51:15.113-07:00Kompleks Candi Muaro Jambi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHyu6jt2b36fNgI_mL6xKD4jXdXZjlswWDTr_09wYqmLgmh9SJ4j148zPpF70uZ7yMIq-Vm4eGhpxohCXcFqQrJmExB8Y0V5HfXu1Czwi-e2w46LEOEcyaQkC5yu54FAestD6bFho2xDc/s1600/Candi_Gumpung_Muarojambi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="138" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHyu6jt2b36fNgI_mL6xKD4jXdXZjlswWDTr_09wYqmLgmh9SJ4j148zPpF70uZ7yMIq-Vm4eGhpxohCXcFqQrJmExB8Y0V5HfXu1Czwi-e2w46LEOEcyaQkC5yu54FAestD6bFho2xDc/s200/Candi_Gumpung_Muarojambi.jpg" width="200" /></a></span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi adalah sebuah kompleks <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Candi" title="Candi">percandian</a> agama <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu" title="Hindu">Hindu</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Buddha" title="Buddha">Buddha</a> terluas di Indonesia yang kemungkinan besar merupakan peninggalan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sriwijaya" title="Kerajaan Sriwijaya">Kerajaan Sriwijaya</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Melayu" title="Kerajaan Melayu">Kerajaan Melayu</a>. Kompleks percandian ini terletak di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kecamatan" title="Kecamatan">Kecamatan</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Muaro_Sebo,_Muaro_Jambi" title="Muaro Sebo, Muaro Jambi">Muaro Sebo</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Muaro_Jambi" title="Kabupaten Muaro Jambi">Kabupaten Muaro Jambi</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jambi" title="Jambi">Jambi</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a>, tepatnya di tepi <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Batang_Hari" title="Batang Hari">Batang Hari</a>, sekitar 26</span><br />
<span style="font-size: small;"> kilometer arah timur <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Jambi" title="Kota Jambi">Kota Jambi</a>. Koordinat Selatan 01* 28'32" Timur 103* 40'04". Candi tersebut diperkirakakn berasal dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-11" title="Abad ke-11">abad ke-11</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Masehi" title="Masehi">M</a>. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di pulau <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera" title="Sumatera">Sumatera</a>. Dan sejak tahun 2009 Kopleks Candi Muaro Jambi telah </span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;">dicalonkan ke <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/UNESCO" title="UNESCO">UNESCO</a> untuk menjadi <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Warisan_Dunia" title="Situs Warisan Dunia">Situs Warisan Dunia</a>.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><table class="toc" id="toc" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><tbody>
<tr> <td><br />
</td> </tr>
</tbody></table><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1823" title="1823">1823</a> oleh seorang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Letnan" title="Letnan">letnan</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Inggris" title="Inggris">Inggris</a> bernama <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=S.C._Crooke&action=edit&redlink=1" title="S.C. Crooke (halaman belum tersedia)">S.C. Crooke</a> yang melakukan pemetaan daerah aliran <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai" title="Sungai">sungai</a> untuk kepentingan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Militer" title="Militer">militer</a>. Baru tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1975" title="1975">1975</a>, pemerintah Indonesia mulai melakukan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pemugaran&action=edit&redlink=1" title="Pemugaran (halaman belum tersedia)">pemugaran</a> yang serius yang dipimpin <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=R._Soekmono&action=edit&redlink=1" title="R. Soekmono (halaman belum tersedia)">R. Soekmono</a>. Berdasarkan aksara <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa" title="Jawa">Jawa</a> Kuno<sup class="noprint Inline-Template"><span style="white-space: nowrap;" title="Kalimat yang diikuti tag ini membutuhkan rujukan.">[<i><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Mengutip_sumber" title="Wikipedia:Mengutip sumber">rujukan?</a></i>]</span></sup> pada beberapa <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lempeng&action=edit&redlink=1" title="Lempeng (halaman belum tersedia)">lempeng</a> yang ditemukan, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pakar" title="Pakar">pakar</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Epigrafi" title="Epigrafi">epigrafi</a> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Boechari&action=edit&redlink=1" title="Boechari (halaman belum tersedia)">Boechari</a> menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-9" title="Abad ke-9">abad ke-9</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-12" title="Abad ke-12">12</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Masehi" title="Masehi">Masehi</a>. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar,<sup class="reference" id="cite_ref-Medindo_0-0"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_Candi_Muaro_Jambi#cite_note-Medindo-0">[1]</a></sup> dan kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Kotomahligai&action=edit&redlink=1" title="Candi Kotomahligai (halaman belum tersedia)">Candi Kotomahligai</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Kedaton&action=edit&redlink=1" title="Candi Kedaton (halaman belum tersedia)">Kedaton</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Gedong_Satu&action=edit&redlink=1" title="Candi Gedong Satu (halaman belum tersedia)">Gedong Satu</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Gedong_Dua&action=edit&redlink=1" title="Candi Gedong Dua (halaman belum tersedia)">Gedong Dua</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Gumpung&action=edit&redlink=1" title="Candi Gumpung (halaman belum tersedia)">Gumpung</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Tinggi&action=edit&redlink=1" title="Candi Tinggi (halaman belum tersedia)">Tinggi</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Taman_Telago_Rajo&action=edit&redlink=1" title="Taman Telago Rajo (halaman belum tersedia)">Telago Rajo</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Kembar_Batu&action=edit&redlink=1" title="Candi Kembar Batu (halaman belum tersedia)">Kembar Batu</a>, dan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Astano&action=edit&redlink=1" title="Candi Astano (halaman belum tersedia)">Candi Astano</a>.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Junus_Satrio_Atmodjo&action=edit&redlink=1" title="Junus Satrio Atmodjo (halaman belum tersedia)">Junus Satrio Atmodjo</a> menyimpulkan daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada manik-manik yang berasal dari <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Persia" title="Persia">Persia</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Rakyat_Cina" title="Republik Rakyat Cina">Republik Rakyat Cina</a>, dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/India" title="India">India</a>. Agama <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Buddha" title="Buddha">Buddha</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mahayana" title="Mahayana">Mahayana</a> <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tantrayana" title="Tantrayana">Tantrayana</a> diduga menjadi agama mayoritas dengan diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan "<i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Wajra&action=edit&redlink=1" title="Wajra (halaman belum tersedia)">wajra</a></i>" pada beberapa candi yang membentuk <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mandala" title="Mandala">mandala</a>.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Kompleks percandian Muaro Jambi terletak pada tanggul alam kuno <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sungai_Batanghari&action=edit&redlink=1" title="Sungai Batanghari (halaman belum tersedia)">Sungai Batanghari</a>. Situs ini mempunyai luas 12 km persegi, panjang lebih dari 7 kilometer serta luas sebesar 260 <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hektar" title="Hektar">hektar</a> yang membentang searah dengan jalur sungai. Situs ini berisi 61 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum dikupas (diokupasi).<sup class="reference" id="cite_ref-Medindo_0-1"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_Candi_Muaro_Jambi#cite_note-Medindo-0">[1]</a></sup> Dalam kompleks percandian ini terdapat pula beberapa bangunan berpengaruh agama <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu" title="Hindu">Hindu</a>.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span><span style="font-size: small;">Di dalam kompleks tersebut tidak hanya terdapat candi tetapi juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam tempat penammpungan air serta gundukan tanah yang di dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam kompleks tersebut minimal terdapat 85 buah menapo yang saat ini masih dimiliki oleh penduduk setempat. Selain tinggalan yang berupa bangunan, dalam kompleks tersebut juga ditemukan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Arca" title="Arca">arca</a> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Prajnyaparamita&action=edit&redlink=1" title="Prajnyaparamita (halaman belum tersedia)">prajnyaparamita</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dwarapala" title="Dwarapala">dwarapala</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gajahsimha&action=edit&redlink=1" title="Gajahsimha (halaman belum tersedia)">gajahsimha</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Umpak_batu&action=edit&redlink=1" title="Umpak batu (halaman belum tersedia)">umpak batu</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lumpang&action=edit&redlink=1" title="Lumpang (halaman belum tersedia)">lumpang</a>/<a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lesung_batu&action=edit&redlink=1" title="Lesung batu (halaman belum tersedia)">lesung batu</a>. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gong" title="Gong">Gong</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perunggu" title="Perunggu">perunggu</a> dengan tulisan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cina" title="Cina">Cina</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mantra" title="Mantra">mantra</a> Buddhis yang ditulis pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kertas" title="Kertas">kertas</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Emas" title="Emas">emas</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Keramik" title="Keramik">keramik</a> asing, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tembikar" title="Tembikar">tembikar</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Belanga&action=edit&redlink=1" title="Belanga (halaman belum tersedia)">belanga</a> besar dari perunggu, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mata_uang" title="Mata uang">mata uang</a> Cina, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Manik" title="Manik">manik-manik</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bata" title="Bata">bata-bata</a> bertulis, bergambar dan bertanda, fragmen pecahan arca batu, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Batu_mulia" title="Batu mulia">batu mulia</a> serta fragmen <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Besi" title="Besi">besi</a> dan perunggu. Selain candi pada kompleks tersebut juga ditemukan gundukan tanah (gunung kecil) yang juga buatan manusia. Oleh masyarakat setempat gunung kecil tersebut disebut sebagai <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bukit_Sengalo&action=edit&redlink=1" title="Bukit Sengalo (halaman belum tersedia)">Bukit Sengalo</a> atau <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Candi_Bukit_Perak&action=edit&redlink=1" title="Candi Bukit Perak (halaman belum tersedia)">Candi Bukit Perak</a>.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div align="justify" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;">Desa Muaro Jambi Kecamatan Muaro Sebo adalah tempat/lokasi candi Muaro Jambi, terletak 2 km sebelah timur laut kota Jambi atau 20 menit perjalanan menggunakan kendaraan darat melalui Jembatan Batanghari 2. Dikawasan ini terdapat Candi Astano, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Gedong, Candi Kedato dan Candi Koto Mahligai. Dilihat dari segi arsiteknya, bangunan tersebut merupakan kebudayaan Budhis pada abad ke IV dan V masehi. Salah satu penemuan arca di Candi Gumpung memperlihatkan ciri-ciri yang banyak persamaannya dengan arca Prajnaparamita dari zaman Singosari. Beberapa meter dari candi telaga tempat pemandian para raja yang dinamakan telaga Rajo.</span></span></div><div align="justify" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"></div><div align="justify" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"></span></span><br />
<div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size: small;"><span style="line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;">Kelompok Candi Tinggi terletak kurang lebih 200 meter timur laut Candi Gumpung. Candi berukuran 75 x 92 meter yang dipagar sejak tahun 1979-1988. Pintu gerbang utamanya berada disisi timur. Didalam halaman kelompok Candi Tinggi terdapat sebuah candi Induk dan enam buah Candi Perwara (penampilan)</span></span></span></div></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; line-height: 150%;"></span></span><br />
<div align="justify"></div><div align="justify"><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;">Selain itu terdapat sisi lantai bata di depan candi induk yang memiliki denah berbentuk bujur sangkar ukuran 16 X 16 meter. Setelah dipagar, kini candi Induk memiliki dua teras dan tubuhnya cendrung mengecil keatas.</span></span></span></div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;">Lalu ada 6 buah candi lagi yang hanya bagian pondasi dan sedikit bagian kakinya saja. Sejumlah temuan penting yang dapat ditemukan dari kelompok Candi Tinggi adalah sebuah potongan benda dari besi dan perunggu, kaca kuno, pecahan-pecahan arca batu, pecahan-pecahan keramik yang umumnya alat-ala rumah tangga yang berasal dari china dari abad 9-14 M serta ratusan bata bertulis, bertanda, serta ratusan bata bercap. Dan huruf pada bata menunjukkan tertulis huruf Pallawa (Prenagari).</span></span></span></div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;">Dikompleks candi Muaro Jambi ini, terdapat Candi Kembar Batu, letaknya sekitar 250 meter di tenggara Candi Tinggi yang dibatasi fisik oleh pagar keliling yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran yang tidak sama setiap sisinya, namun secara kasar dapat dihitung 64 X 54 meter persegi dan terdapat struktur tiang bangunan yang terbuat dari kayu dan lantai yang terbuat dari batu bata. Gong Cina pernah ditemukan oleh para arkeolog. Gong yang berasal dari perunggu beraksara Cina ini disebut-sebut sebagai gong perang, yang kini tersimpan di Museum Negeri Jambi. Dan ada juga candi induk,berukuran 11,5 x 11,5 meter berada didepan Candi Perwara (penampil). Candi Induk ini memiliki tangga pada bagian timurnya.</span></span></span></div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;">Kemudian Candi Gedong yang terdiri dari dua bagian yakni Gedong 1 dan Gedong 2. Keduanya sangat berdekatan lokasinya sekitar 150 meter. Candi ini terletak sekitar 1.450 meter dari sebelah timur Candi Kedaton, sama-sama memiliki struktur tangga di sebelah timur. Candi Gedong 1 sangat unik, dibangunan yang berbentuk bujur sangkar ini banyak dijumpai temuan lepas purbakala seperti mata uang kepeng dari Cina sebanyak 161 buah, peralatan keagamaan, bata berprofil, bata bertekuk, bata bergores dan kramik Cina serta gerabah local (tembikar). Sebagian besar uang tersebut dalam keadaan aus dan sulit dibaca. Sebagian besar hurufnya berasal dari Dinasti Tang (618-907 M), dinasti Tang selatan (937-976 M), dan dinasti Sung ( 960-1280 M). Di lokasi Candi Gedong juga terdapat sebuah arca Jagopati ( Arca Prajurit)</span></span></span></div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;">Tak kalah menakjubkannya, Sampai awal abad ke-21 M ini, disitus candi Muaro Jambi telah teridentifikasi kurang lebih 110 bangunan candi yang terdiri dari kurang 39 kelompok candi. Bangunan candi tersebut adalah peninggalah kerajaan melayu hingga kerajaan Sriwijaya, yang berlatar belakang kebudayaan melayu budhis. Diperkirakan candi-candi dilokasi situs sejarah candi Muaro jambi mulai dibangun sejak abad 4 M, salah satu diantara kelompok candi tersebut adalah Candi Gumpung. </span></span></span></div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;">Lokasi kelompok Candi gumpung berada pada 500 meter dikanan mudik sungai Batanghari. Candi Gumpung adalah candi terbesar kedua setelah candi Kedaton. Candi Gumpung tersusun dari bangunan bata dari berbagai bentuk dan ukuran. Dan disini pernah ditemukan benda purbakala yang berhasil di ketemukan oleh para arkeolog. Kelompok Candi Gumpung dibatasi pagar keliling yang membentuk bujur sangkar yang memiliki ukuran panjang keseluruhan 604,40 meter. Luas keseluruhan areal Candi Gumpung adalah 229,50 m2. Candi Gumpung memiliki Candi Perwara (penampil) sebanyak 5 buah, yang belum jelas benar wujudnya, 4 buah gapura dan 2 buah tempat yang diperkirakan bekas kolam. Gumpung berasal dari penamaan sebuah menapo gumpung dari masyarakat sekitar, dalam bahasa melayu berarti papak atau patah atau terpotong diatasnya. </span></span></span></div><div align="justify"></div></div><br />
<div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">*Sumber ; diolah dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_Candi_Muaro_Jambi dan http://home.candimuarojambi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=40&Itemid=152</span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-17101582672431612372011-09-20T21:50:00.000-07:002011-10-18T00:08:35.611-07:00Rumah Banjar (Rumah Adat Nusantara #02)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibKPuLL5zWVNP5WW14-e1Jw8Dw0HWQ2w96JjaYEVxtIaZfDRDp9Epn960gzr5rbicAOaqYI7mSlqnReTkv6SQ0dg_InQnHk6C2zM0xUZY7kbsiucsUSXSedgirX2XPFPEiwEo5XWf8UFE/s1600/rmh-banjar_3.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="202" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibKPuLL5zWVNP5WW14-e1Jw8Dw0HWQ2w96JjaYEVxtIaZfDRDp9Epn960gzr5rbicAOaqYI7mSlqnReTkv6SQ0dg_InQnHk6C2zM0xUZY7kbsiucsUSXSedgirX2XPFPEiwEo5XWf8UFE/s320/rmh-banjar_3.jpg" width="320" /></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Rumah Banjar</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> adalah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah" title="Rumah">rumah</a> tradisional <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar" title="Suku Banjar">suku Banjar</a>. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain memiliki perlambang, memiliki penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1871" title="1871">1871</a> sampai tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1935" title="1935">1935</a>. Pada tahun 1871 pemerintah kota Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"> Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya. Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut <b>Rumah Baanjung</b>. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Anjung" title="Anjung">anjung</a>. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 2;"><br />
</div><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Jenis-jenis Rumah Adat Banjar</span></b></div><ul type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi" title="Rumah Bubungan Tinggi">Rumah Bubungan Tinggi</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gajah_Baliku" title="Rumah Gajah Baliku">Rumah Gajah Baliku</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gajah_Manyusu" title="Rumah Gajah Manyusu">Rumah Gajah Manyusu</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Balai_Laki" title="Rumah Balai Laki">Rumah Balai Laki</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Balai_Bini" title="Rumah Balai Bini">Rumah Balai Bini</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Palimbangan" title="Rumah Palimbangan">Rumah Palimbangan</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Palimasan" title="Rumah Palimasan">Rumah Palimasan</a> (<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gajah" title="Rumah Gajah">Rumah Gajah</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Cacak_Burung" title="Rumah Cacak Burung">Rumah Cacak Burung</a>/<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Anjung_Surung" title="Rumah Anjung Surung">Rumah Anjung Surung</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Tadah_Alas" title="Rumah Tadah Alas">Rumah Tadah Alas</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Lanting" title="Rumah Lanting">Rumah Lanting</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Joglo_Gudang" title="Rumah Joglo Gudang">Rumah Joglo Gudang</a></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l1 level1 lfo2; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bangun_Gudang" title="Rumah Bangun Gudang">Rumah Bangun Gudang</a></span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 2;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Rumah adat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar" title="Suku Banjar">Banjar</a>, biasa disebut juga dengan <b>Rumah Bubungan Tinggi</b> karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sudut" title="Sudut">sudut</a> 45º.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bangunan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah" title="Rumah">Rumah</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Adat" title="Adat">Adat</a> Banjar diperkirakan telah ada sejak <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad" title="Abad">abad</a> ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Samudera" title="Pangeran Samudera">Pangeran Samudera</a> yang kemudian memeluk <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Agama" title="Agama">agama</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Islam" title="Islam">Islam</a>, dan mengubah namanya menjadi <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan" title="Sultan">Sultan</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suriansyah" title="Suriansyah">Suriansyah</a> dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gelar" title="Gelar">gelar</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Panembahan_Batu_Habang&action=edit&redlink=1" title="Panembahan Batu Habang (halaman belum tersedia)">Panembahan Batu Habang</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu" title="Hindu">Hindu</a>. Ia memimpin <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Banjar" title="Kerajaan Banjar">Kerajaan Banjar</a> pada tahun 1596–1620.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pada mulanya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bangunan" title="Bangunan">bangunan</a> rumah adat Banjar ini memiliki <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Konstruksi" title="Konstruksi">konstruksi</a> berbentuk segi <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Empat" title="Empat">empat</a> yang memanjang ke <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Depan&action=edit&redlink=1" title="Depan (halaman belum tersedia)">depan</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kiri" title="Kiri">kiri</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kanan" title="Kanan">kanan</a> bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut <i>disumbi</i>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Anjung" title="Anjung">anjung</a>; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama <b>Rumah Ba-anjung</b>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sekitar <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun" title="Tahun">tahun</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1850" title="1850">1850</a> bangunan-bangunan perumahan di lingkungan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton" title="Keraton">keraton</a> Banjar, terutama di lingkungan keraton <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Martapura" title="Martapura">Martapura</a> dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Induk" title="Induk">induk</a> yang utama karena rumah tersebut merupakan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Istana" title="Istana">istana</a> tempat tinggal Sultan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjw7jZKk1ClhN_5hMSF9H7GgFIDuzywdO449UMX4drdmyPU-ogHetwiwbGj-zMmwlvIC0WBUsAicS9tb_VeudkSx08F1yNTERL6JYCY63i_d9K4wn1uoLBk0GwPRu5OtFp9yhodavSFzuo/s1600/rmh-banjar_5jpg.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjw7jZKk1ClhN_5hMSF9H7GgFIDuzywdO449UMX4drdmyPU-ogHetwiwbGj-zMmwlvIC0WBUsAicS9tb_VeudkSx08F1yNTERL6JYCY63i_d9K4wn1uoLBk0GwPRu5OtFp9yhodavSFzuo/s1600/rmh-banjar_5jpg.jpg" /></a></div><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bangunan-bangunan lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Palimasan" title="Palimasan">Palimasan</a> sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Emas" title="Emas">emas</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perak" title="Perak">perak</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Balai_Laki" title="Balai Laki">Balai Laki</a> adalah tempat tinggal para menteri kesultanan, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Balai_Bini" title="Balai Bini">Balai Bini</a> tempat tinggal para inang pengasuh, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah_Manyusu" title="Gajah Manyusu">Gajah Manyusu</a> tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Selain bangunan-bangunan tersebut masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah_Baliku" title="Gajah Baliku">Gajah Baliku</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Palimbangan" title="Palimbangan">Palembangan</a>, dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Balai_Seba" title="Balai Seba">Balai Seba</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pada perkembangan selanjutnya, semakin banyak bangunan-bangunan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Perumahan&action=edit&redlink=1" title="Perumahan (halaman belum tersedia)">perumahan</a> yang didirikan baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bentuk" title="Bentuk">bentuk</a> bangunan rumah ba-anjung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sehingga pada akhirnya bentuk rumah ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ciri&action=edit&redlink=1" title="Ciri (halaman belum tersedia)">ciri</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Khas&action=edit&redlink=1" title="Khas (halaman belum tersedia)">khas</a> kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Penduduk" title="Penduduk">penduduk</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah" title="Daerah">daerah</a> Banjar.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Rumah Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kemudian bentuk bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sekalipun bentuk rumah-rumah yang ditemui di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur memiliki ukuran yang sedikit berbeda dengan rumah Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan ciri khas bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah" title="Kalimantan Tengah">Kalimantan Tengah</a> bentuk rumah ba-anjung ini dapat dijumpai di daerah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kotawaringin_Barat" title="Kotawaringin Barat">Kotawaringin Barat</a>, yaitu di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pangkalan_Bun" title="Pangkalan Bun">Pangkalan Bun</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kotawaringin_Lama" title="Kotawaringin Lama">Kotawaringin Lama</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kumai" title="Kumai">Kumai</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar ke daerah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kotawaringin" title="Kotawaringin">Kotawaringin</a> ialah melalui berdirinya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kotawaringin" title="Kerajaan Kotawaringin">Kerajaan Kotawaringin</a> yang merupakan pemecahan dari wilayah Kerajaan Banjar ketika diperintah oleh <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sultan_Musta%E2%80%99inbillah&action=edit&redlink=1" title="Sultan Musta’inbillah (halaman belum tersedia)">Sultan Musta’inbillah</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sultan Musta’inbillah memerintah sejak tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1650" title="1650">1650</a> sampai <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1672" title="1672">1672</a>, kemudian ia digantikan oleh Sultan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Inayatullah" title="Inayatullah">Inayatullah</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kotawaringin" title="Kerajaan Kotawaringin">Kerajaan Kotawaringin</a> yang merupakan pemecahan wilayah Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta Kesuma sebagai sultannya yang pertama.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar sampai ke daerah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur" title="Kalimantan Timur">Kalimantan Timur</a> disebabkan oleh banyaknya penduduk daerah Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat tinggalnya dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tempat&action=edit&redlink=1" title="Tempat (halaman belum tersedia)">tempat</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Asal&action=edit&redlink=1" title="Asal (halaman belum tersedia)">asal</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mereka&action=edit&redlink=1" title="Mereka (halaman belum tersedia)">mereka</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Demikianlah pada akhirnya bangunan rumah adat Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak saja di daerah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Selatan" title="Kalimantan Selatan">Kalimantan Selatan</a>, tetapi juga di daerah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah" title="Kalimantan Tengah">Kalimantan Tengah</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur" title="Kalimantan Timur">Kalimantan Timur</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kondisi Rumah Adat Banjar</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur" title="Arsitektur">arsitektur</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Klasik" title="Klasik">klasik</a> Banjar itu tidak banyak dibuat lagi.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sejak tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1930" title="1930">1930</a>-an orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Masalah" title="Masalah">Masalah</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Biaya" title="Biaya">biaya</a> pembangunan rumah dan masalah areal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah" title="Tanah">tanah</a> serta masalah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mode" title="Mode">mode</a> nampaknya telah menjadi pertimbangan yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Modern" title="Modern">modern</a> sesuai selera <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Zaman" title="Zaman">zaman</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiO03cftd3uhrLVKP9fYgO0YNdMTEuFMq9vvRUCk-z2ysNi6R-QeJwbrfvGCySygQxrsDZbCjFpNEr5pmG-4N-2n3mQBtWh8yCcbs-c2m8VlG4esTFKhVCZNszMMw1pJrir3liJt89lWvg/s1600/rmh-banjar_2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiO03cftd3uhrLVKP9fYgO0YNdMTEuFMq9vvRUCk-z2ysNi6R-QeJwbrfvGCySygQxrsDZbCjFpNEr5pmG-4N-2n3mQBtWh8yCcbs-c2m8VlG4esTFKhVCZNszMMw1pJrir3liJt89lWvg/s1600/rmh-banjar_2.jpg" /></a></div><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode sekarang.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang memiliki gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai Jingah, Kampung Melayu Laut di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Melayu,_Banjarmasin_Tengah,_Banjarmasin" title="Melayu, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin">Melayu, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin</a>, Desa <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Teluk_Selong_Ulu,_Maratapura,_Banjar&action=edit&redlink=1" title="Teluk Selong Ulu, Maratapura, Banjar (halaman belum tersedia)">Teluk Selong Ulu, Maratapura, Banjar</a>, Desa <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dalam_Pagar,_Martapura_Barat,_Banjar&action=edit&redlink=1" title="Dalam Pagar, Martapura Barat, Banjar (halaman belum tersedia)">Dalam Pagar</a>), Desa <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tibung,_Kandangan,_Hulu_Sungai_Selatan&action=edit&redlink=1" title="Tibung, Kandangan, Hulu Sungai Selatan (halaman belum tersedia)">Tibung</a>, Desa Gambah (<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kandangan" title="Kandangan">Kandangan</a>), Desa Birayang (<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Barabai" title="Barabai">Barabai</a>), dan di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Daha_Selatan,_Hulu_Sungai_Selatan" title="Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan">Negara</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Masing-masing rumah adat tersebut sudah dalam <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kondisi&action=edit&redlink=1" title="Kondisi (halaman belum tersedia)">kondisi</a> yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Rusak&action=edit&redlink=1" title="Rusak (halaman belum tersedia)">rusak</a> sama sekali.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pemerintah sudah mengusahakan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Subsidi" title="Subsidi">subsidi</a> buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Anggota&action=edit&redlink=1" title="Anggota (halaman belum tersedia)">anggota</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga" title="Keluarga">keluarga</a> pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh dengan berbagai <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ornamen&action=edit&redlink=1" title="Ornamen (halaman belum tersedia)">ornamen</a> menarik.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 2;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pondasi, Tiang dan Tongkat</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisional" title="Tradisional">tradisional</a> Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kapur_Naga&action=edit&redlink=1" title="Kapur Naga (halaman belum tersedia)">Kapur Naga</a> atau kayu <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Galam&action=edit&redlink=1" title="Galam (halaman belum tersedia)">Galam</a>. Tiang dan tongkat menggunakan kayu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ulin" title="Ulin">ulin</a>, dengan jumlah mencapai <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/60" title="60">60</a> batang untuk tiang dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/120" title="120">120</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Batang" title="Batang">batang</a> untuk tongkat.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kerangka</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tapak&action=edit&redlink=1" title="Tapak (halaman belum tersedia)">tapak</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kaki" title="Kaki">kaki</a> dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai" title="Nilai">nilai</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Magis&action=edit&redlink=1" title="Magis (halaman belum tersedia)">magis</a> / <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sakral&action=edit&redlink=1" title="Sakral (halaman belum tersedia)">sakral</a>. Bagian-bagian rangka tersebut adalah :</span></div><ol start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Susuk&action=edit&redlink=1" title="Susuk (halaman belum tersedia)">susuk</a> dibuat dari kayu Ulin.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gelagar&action=edit&redlink=1" title="Gelagar (halaman belum tersedia)">Gelagar</a> dibuat dari kayu Ulin, <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Belangiran&action=edit&redlink=1" title="Belangiran (halaman belum tersedia)">Belangiran</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Damar_Putih&action=edit&redlink=1" title="Damar Putih (halaman belum tersedia)">Damar Putih</a>.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lantai&action=edit&redlink=1" title="Lantai (halaman belum tersedia)">Lantai</a> dari <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Papan&action=edit&redlink=1" title="Papan (halaman belum tersedia)">papan</a> Ulin setebal 3 cm.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Watun_Barasuk&action=edit&redlink=1" title="Watun Barasuk (halaman belum tersedia)">Watun Barasuk</a> dari balokan Ulin.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Turus_Tawing&action=edit&redlink=1" title="Turus Tawing (halaman belum tersedia)">Turus Tawing</a> dari kayu Damar.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rangka" title="Rangka">Rangka</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pintu" title="Pintu">pintu</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jendela" title="Jendela">jendela</a> dari papan dan balokan Ulin.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Balabad&action=edit&redlink=1" title="Balabad (halaman belum tersedia)">Balabad</a> dari balokan kayu Damar Putih. Mbr></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Titian_Tikus&action=edit&redlink=1" title="Titian Tikus (halaman belum tersedia)">Titian Tikus</a> dari balokan kayu Damar Putih.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bujuran_Sampiran&action=edit&redlink=1" title="Bujuran Sampiran (halaman belum tersedia)">Bujuran Sampiran</a> dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tiang_Orong_Orong&action=edit&redlink=1" title="Tiang Orong Orong (halaman belum tersedia)">Tiang Orong Orong</a> dan Sangga Ributnya serta <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tulang_Bubungan&action=edit&redlink=1" title="Tulang Bubungan (halaman belum tersedia)">Tulang Bubungan</a> dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kasau" title="Kasau">Kasau</a> dari balokan Ulin atau Damar Putih.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Riing&action=edit&redlink=1" title="Riing (halaman belum tersedia)">Riing</a> dari bilah-bilah kayu Damar putih.</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Lantai</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lantai_Jarang&action=edit&redlink=1" title="Lantai Jarang (halaman belum tersedia)">Lantai Jarang</a> atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Surambi_Muka&action=edit&redlink=1" title="Surambi Muka (halaman belum tersedia)">Surambi Muka</a>, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pembasuhan&action=edit&redlink=1" title="Pembasuhan (halaman belum tersedia)">pembasuhan</a> atau <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pambanyuan&action=edit&redlink=1" title="Pambanyuan (halaman belum tersedia)">pambanyuan</a>. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jenazah" title="Jenazah">jenazah</a>. Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/20" title="20">20</a> cm, dan untuk <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lantai_Ranggang&action=edit&redlink=1" title="Lantai Ranggang (halaman belum tersedia)">Lantai Ranggang</a> dari papan Ulin selebar <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/10" title="10">10</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cm" title="Cm">cm</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dinding</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Posisi" title="Posisi">posisi</a> berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Turus_Tawing&action=edit&redlink=1" title="Turus Tawing (halaman belum tersedia)">Turus Tawing</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Balabad&action=edit&redlink=1" title="Balabad (halaman belum tersedia)">Balabad</a> untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lanan&action=edit&redlink=1" title="Lanan (halaman belum tersedia)">Lanan</a>. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Anjung_Jurai" title="Anjung Jurai">Anjung Jurai</a> dan Ruang Padu, kadang-kadang dindingnya menggunakan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Palupuh&action=edit&redlink=1" title="Palupuh (halaman belum tersedia)">Palupuh</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Atap</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Atap bangunan biasanya menjadi <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ciri&action=edit&redlink=1" title="Ciri (halaman belum tersedia)">ciri</a> yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sirap&action=edit&redlink=1" title="Sirap (halaman belum tersedia)">sirap</a> dengan bahan kayu Ulin atau atap <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Rumbia" title="Rumbia">rumbia</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Ornamentasi (Ukiran)</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ukiran" title="Ukiran">ukiran</a>. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tataban&action=edit&redlink=1" title="Tataban (halaman belum tersedia)">tataban</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pilis" title="Pilis">pilis</a>, dan tangga. Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Motif" title="Motif">motif</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Floral&action=edit&redlink=1" title="Floral (halaman belum tersedia)">floral</a> (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Enggang" title="Enggang">enggang</a> dan naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kaligrafi" title="Kaligrafi">kaligrafi</a>. Kaligrafi Arab merupakan ragam hias yang muncul belakangan yang memperkaya ragam hias suku Banjar. (<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Lambung_Mangkurat" title="Museum Lambung Mangkurat">Museum Lambung Mangkurat</a> - <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Banjarbaru" title="Banjarbaru">Banjarbaru</a>, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya", 1992/1993)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 2;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pengaruh Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Meskipun <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Orang_Banjar&action=edit&redlink=1" title="Orang Banjar (halaman belum tersedia)">orang Banjar</a> sudah memeluk <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Islam" title="Islam">Islam</a>, namun dalam kegiatan sehari-hari yang sehubungan dengan kebudayaan masih melekat unsur <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Aninisme&action=edit&redlink=1" title="Aninisme (halaman belum tersedia)">aninisme</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu" title="Hindu">Hindu</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Buddha" title="Buddha">Buddha</a> yang berkembang sebagai dasar adat pada masa lalu. Akan tetapi hal itu tidak secara keseluruhan. Religi yang dianggap asal adalah dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan" title="Kaharingan">Kaharingan</a> yang dikembangkan oleh orang Dayak. Pengaruh Hindu, Buddha, Islam maupun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kristen" title="Kristen">Kristen</a> tidak berarti kepercayaan nenek moyang dengan segala upacara religinya hilang begitu saja. Orang-orang Dayak yang telah memeluk Islam dianggap sebagai Suku Bangsa Banjar dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai suku Dayak. Suku Banjar hampir semua sendi keagamaanya didasarkan pada sentimen keagamaan yang bersumber pada ajaran Islam. Jadi setiap setiap rumah tangga memiliki peralatan yang berhubungan dengan pelaksanaan keagamaan. Demikian pula pada rumah tradisional Banjar banyak dilengkapi dengan ukiran yang berkaitan dengan persaudaraan, persatuan, kesuburan, maupun khat-khat kaligrafi Arab yang bersumber dari ajaran Islam seperti dua kalimat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Syahadat" title="Syahadat">syahadat</a>, nama-nama <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah" title="Khalifah">Khalifah</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Shalawat" title="Shalawat">Shalawat</a>, atau ayat-ayat tertentu dalam <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an" title="Al-Qur'an">Al-Qur'an</a>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Namun ukiran-ukiran di rumah Banjar juga masih ada yang berhubungan dengan kepercayaan Kaharingan, Aninisme, Dinanisme, maupun Hindu-Buddha, misalnya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Swastika" title="Swastika">swastika</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Enggang" title="Enggang">enggang</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Naga" title="Naga">naga</a> dan sebagainya</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 2;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :</span></div><ol start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l3 level1 lfo4; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Panjang dan lebar rumah ditentukan ukuran depa suami dalam jumlah ganjil. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l3 level1 lfo4; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dihitung dengan mengambil gelagar pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur. Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak baik sehingga harus ditutup dengan gelagar. Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l3 level1 lfo4; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997 : 462); Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang binatang yaitu naga, asap, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Singa" title="Singa">singa</a>, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak. Panjang ideal dilambangkan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Naga" title="Naga">naga</a> dan lebarnya dilambangkan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah" title="Gajah">gajah</a>.Yang tidak baik ialah lambang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Binatang" title="Binatang">binatang</a> asap, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Anjing" title="Anjing">anjing</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Keledai" title="Keledai">keledai</a>, atau <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gagak" title="Gagak">gagak</a>. (Jumlah) panjang depa seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12). Bila panjang rumah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/6" title="6">6</a> depa, berarti 6 x <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/12" title="12">12</a> ukuran atau <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/72" title="72">72</a> ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi. Untuk memperoleh ukuran lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa. (Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997 : 462)</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 2;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Filosofi Rumah Adat Banjar</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pemisahan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Jenis&action=edit&redlink=1" title="Jenis (halaman belum tersedia)">jenis</a> dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat" title="Filsafat">filsafat</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Religi&action=edit&redlink=1" title="Religi (halaman belum tersedia)">religi</a> yang bersumber pada kepercayaan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan" title="Kaharingan">Kaharingan</a> pada suku <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dayak" title="Dayak">Dayak</a> bahwa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Alam_semesta" title="Alam semesta">alam semesta</a> yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Alam_atas&action=edit&redlink=1" title="Alam atas (halaman belum tersedia)">alam atas</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Alam_bawah&action=edit&redlink=1" title="Alam bawah (halaman belum tersedia)">alam bawah</a>.Rumah Bubungan Tinggi merupakan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Lambang" title="Lambang">lambang</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mikrokosmos&action=edit&redlink=1" title="Mikrokosmos (halaman belum tersedia)">mikrokosmos</a> dalam <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Makrokosmos&action=edit&redlink=1" title="Makrokosmos (halaman belum tersedia)">makrokosmos</a> yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bagian&action=edit&redlink=1" title="Bagian (halaman belum tersedia)">bagian</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dunia" title="Dunia">dunia</a> <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tengah&action=edit&redlink=1" title="Tengah (halaman belum tersedia)">tengah</a> yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Besar&action=edit&redlink=1" title="Besar (halaman belum tersedia)">besar</a>, sedang <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kesatuan&action=edit&redlink=1" title="Kesatuan (halaman belum tersedia)">kesatuan</a> dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mahatala&action=edit&redlink=1" title="Mahatala (halaman belum tersedia)">Mahatala</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Jata&action=edit&redlink=1" title="Jata (halaman belum tersedia)">Jata</a> (suami dan isteri).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dwitunggal Semesta</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Bukit" title="Suku Dayak Bukit">suku Dayak Bukit</a> yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Negara_Dipa" title="Kerajaan Negara Dipa">Kerajaan Negara Dipa</a> sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Maharaja_Suryanata&action=edit&redlink=1" title="Maharaja Suryanata (halaman belum tersedia)">Maharaja Suryanata</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Puteri_Junjung_Buih" title="Puteri Junjung Buih">Puteri Junjung Buih</a> merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia Bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Naga" title="Naga">naga</a> yang tersamar/didestilir (<i>bananagaan</i>) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Enggang" title="Enggang">enggang</a> melambangkan "alam atas".</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pohon Hayat</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah "pohon hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tawing_Halat" title="Tawing Halat">Tawing Halat</a> (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi "pohon kehidupan" yang oleh orang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dayak" title="Dayak">Dayak</a> disebut <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Batang_Garing&action=edit&redlink=1" title="Batang Garing (halaman belum tersedia)">Batang Garing</a> dalam kepercayaan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan" title="Kaharingan">Kaharingan</a> yang pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Payung</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung kuning" sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Simetris</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri Panganan bergelar 'Patih' dan Mantri Pangiwa bergelar 'Sang', tiap-tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. KOnsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Kepala-Badan-Kaki</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Bentuk rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia terbagi menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu kepala, badan dan kaki. Sedangkan anjung diibaratkan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yaitu anjung kanan dan anjung kiwa (kiri).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tata Nilai Ruang</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Pada rumah Banjar Bubungan Tinggi (istana) terdapat ruang Semi Publik yaitu Serambi atau surambi yang berjenjang letaknya secara kronologis terdiri dari surambi muka, surambi sambutan, dan terakhir surambi Pamedangan sebelum memasuki pintu utama (Lawang Hadapan) pada dinding depan (Tawing Hadapan ) yang diukir dengan indah. Setelah memasuki Pintu utama akan memasuki ruang Semi Private. Pengunjung kembali menapaki lantai yang berjenjang terdiri dari Panampik Kacil di bawah, Panampik Tangah di tengah dan Panampik Basar di atas pada depan Tawing Halat atau "dinding tengah" yang menunjukkan adanya tata nilai ruang yang hierarkis. Ruang Panampik Kecil tempat bagi anak-anak, ruang Panampik Tangah sebagai tempat orang-orang biasa atau para pemuda dan yang paling utama adalah ruang Panampik Basar yang diperuntukkan untuk tokoh-tokoh masyarakat, hanya orang yang berpengetahuan luas dan terpandang saja yang berani duduk di area tersebut. Hal ini menunjukkan adanya suatu <i>tatakrama</i> sekaligus mencerminkan adanya pelapisan sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan atas adalah golongan berdarah biru disebut Tutus Raja (bangsawan) dan lapisan bawah adalah golongan Jaba (rakyat) serta di antara keduanya adalah golongan rakyat biasa yang telah mendapatkan jabatan-jabatan dalam Kerajaan beserta kaum hartawan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Tawing Halat/Seketeng</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Ruang dalam rumah Banjar Bubungan Tinggi terbagi menjadi ruang yang bersifat private dan semi private. Di antara ruang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Panampik_Basar" title="Panampik Basar">Panampik Basar</a> yang bersifat semi private dengan ruang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Palidangan" title="Palidangan">Palidangan</a> yang bersifat private dipisahkan oleh <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tawing_Halat" title="Tawing Halat">Tawing Halat</a> artinya "dinding pemisah", kalau di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Jawa" title="Daerah Jawa">daerah Jawa</a> disebut Seketeng. Jika ada selamatan maupun <i>menyampir</i> (nanggap) <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Kulit_Banjar" title="Wayang Kulit Banjar">Wayang Kulit Banjar</a> maka pada Tawing Halat ini bagian tengahnya dapat dibuka sehingga seolah-olah suatu garis pemisah transparan antara dua dunia (luar dan dalam) menjadi terbuka. Ketika dilaksanakan "wayang sampir" maka Tawing Halat yang menjadi pembatas antara "dalam" (Palidangan) dan luar (Paluaran/Panampik Basar) menjadi terbuka. Raja dan keluarganya serta dalang berada pada area "dalam" menyaksikan anak wayang dalam wujud aslinya sedangkan para penonton berada di area "luar" menyaksikan wayang dalam bentuk bayang-bayang.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Denah Cacak Burung</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Denah Rumah Banjar Bubungan Tinggi berbentuk "tanda tambah" yang merupakan perpotongan dari poros-poros bangunan yaitu dari arah muka ke belakang dan dari arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cacak_Burung" title="Cacak Burung">Cacak Burung</a> yang sakral. Di tengah-tengahnya tepat berada di bawah konstruksi rangka <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sangga_Ribut&action=edit&redlink=1" title="Sangga Ribut (halaman belum tersedia)">Sangga Ribut</a> di bawah atap <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bubungan_Tinggi" title="Bubungan Tinggi">Bubungan Tinggi</a> adalah Ruang Palidangan yang merupakan titik perpotongan poros-poros tersebut. Secara kosmologis maka disinilah bagian paling utama dari Rumah Banjar Bubungan Tinggi. Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili dengan penampilan Tawing Halat (dinding tengah) yang penuh ukiran-ukiran (Pohon Hayat) yang subur makmur. Tawing Halat menjadi fokus perhatian dan menjadi area yang terhormat. Tawang Halat melindungi area "dalam" yang merupakan titik pusat bangunan yaitu ruang Palidangan (Panampik Panangah).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Sumber : diolah dari http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Banjar </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-55185176634796665522011-09-19T09:30:00.000-07:002011-10-18T00:02:25.489-07:00Pengetahuan Dasar tentang Weton<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://dianing.files.wordpress.com/2009/10/novel-weton.jpg"><img alt="Ramalan Berdasarkan Weton" border="0" height="320" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5373699654361052066" src="http://dianing.files.wordpress.com/2009/10/novel-weton.jpg" style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt;" width="212" /></a>Menurut kepercayaan Jawa, arti dari suatu peristiwa (dan karakter dari seseorang yang lahir dalam </span><span class="IL_AD" id="IL_AD4" style="font-size: small;">hari</span><span style="font-size: small;"> tertentu) dapat ditentukan dengan menelaah saat terjadinya peristiwa tersebut menurut berbagai macam perputaran </span><span class="IL_AD" id="IL_AD8" style="font-size: small;">kalender</span><span style="font-size: small;"> tradisional. Salah satu penggunaan yang umum dari metode ramalan ini dapat ditemukan dalam sistem hari kelahiran Jawa yang disebut wetonan.</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Weton anda merupakan gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, dll.) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, </span><span class="IL_AD" id="IL_AD12" style="font-size: small;">Pon</span><span style="font-size: small;">, Wage, Kliwon). Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa hari kelahiran anda berulang setiap lima minggu dimulai dari hari kelahiran anda.</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><a name='more'></a><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Jumat Legi</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Konon, mereka yang lahir pada hari ini cenderung bersifat jujur. Bahkan, mereka terkadang mungkin terlalu jujur, sebab mereka adalah tipe orang yang suka mengungkapkan pikiran mereka tanpa tedeng aling-aling! Mereka cukup teguh dengan pendirian mereka, tetapi sikap seperti ini terkadang juga menghambat kemampuan mereka untuk menerima orang lain secara apa adanya. Sebaiknya kita tidak memancing amarah mereka, karena mereka dapat bertindak ekstrim bila sedang naik darah. Meskipun demikian, mereka setia dan murah hati terhadap orang-orang yang dicintainya. Simpati mereka mudah timbul sehingga tidak keberatan untuk bertindak diluar jalur mereka untuk membantu teman atau bahkan orang asing. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Sabtu Pahing</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Jika anda lahir pada hari Sabtu Pahing, kemungkinan anda bersifat lekas naik darah! Untungnya, secepat anda memuntahkan kemarahan anda secepat itu pula anda melupakan penyebabnya. Semoga orang lain sebaliknya mudah memaafkan anda pula! Perlu diingat, bukanlah suatu hal yang menyakitkan untuk mengakui kesalahan yang kita lakukan. Akan tetapi meskipun anda memiliki semangat hidup yang tinggi yang terkadang berakibat pada kecerobohan, anda akan bersikap lebih waspada bila menyangkut materi. Anda adalah salah satu tipe yang selalu siap membantu teman yang sedang menderita. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Minggu Pon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda termasuk tipe yang </span><span class="IL_AD" id="IL_AD7" style="font-size: small;">sensitif</span><span style="font-size: small;">. Mungkin karena takut disakiti, anda selalu melindungi perasaan anda. Hati dan pikiran anda mungkin cukup dalam, tetapi terkadang orang lain menganggap anda tertutup. Barangkali anda telah mengembangkan penilaian yang tajam terhadap baik-buruknya watak manusia. Dengan bakat ini, anda dapat menjadi seorang </span><span class="IL_AD" id="IL_AD9" style="font-size: small;">diplomat</span><span style="font-size: small;"> yang piawai -- atau malahan seorang manipulator yang licik! Yang jelas, anda selalu berusaha terlihat baik didepan teman-teman anda. Walaupun anda mungkin saja mengambil cara yang tidak langsung atau menunggu saat yang tepat, tetapi lama-lama anda pasti merebut kesempatan untuk memamerkan kelebihan anda, entah dari segi </span><span class="IL_AD" id="IL_AD2" style="font-size: small;">material</span><span style="font-size: small;"> ataupun intelektual. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Senin Wage</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Menurut kepercayaan Jawa, jika anda lahir pada hari Senin Wage anda jarang terjebak dalam keadaan yang memalukan! Ini dikarenakan anda suka merencanakan dan menimbang pilihan anda dengan hati-hati jauh sebelum mengambil tindakan. Anda cukup jujur dan tidak keberatan mendengarkan permasalahan orang lain. Berkat pendekatan anda yang tenang, anda mampu tampil meyakinkan di depan masyarakat, sehingga anda memiliki bekal menjadi diplomat yang baik. Meskipun demikian, sekali anda marah, anda tidak akan mau menerima alasan apapun. Anda terkadang begitu ndableg sehingga lebih baik anda dibiarkan sendiri saja untuk menjadi tenang kembali. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Selasa Kliwon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mereka yang lahir pada hari Selasa Kliwon terkenal bersifat ramah. Mereka begitu pandai mengungkapkan kata-kata yang tepat dalam berbagai situasi sehingga orang lain cukup mudah menyukainya -- atau malahan cukup mudah diperdayainya bila itu yang mereka inginkan! Anehnya, mereka juga terkenal berpendirian keras, walaupun kesan pertamanya mungkin tidak menunjukkan demikian. Mereka juga dapat bersikap sangat kritis terhadap orang lain pada saat-saat tertentu. Namun, anda tidak perlu berkecil hati bila menjadi sasaran penilaian tajam mereka: menunjukkan kesalahan anda barangkali hanyalah cara mereka membantu anda menjadi orang yang lebih sempurna! </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Rabu Legi</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda menghormati tata krama dan berpegang teguh pada falsafah hidup anda. Kejujuran adalah salah satu prioritas anda, sehingga anda membenci ketidakadilan. Anda sangat setia terhadap teman tercinta anda yang sangat banyak. Anda dikagumi oleh banyak orang karena kata-kata anda yang bijaksana. Lantas, apa gunanya selalu ingin mencampuri urusan orang lain? </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Kamis Pahing</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda memiliki cita-cita yang besar disertai semangat baja untuk mewujudkannya. Anda selalu siaga mencari kesempatan untuk memajukan kepentingan anda. Tetapi hal itu bukanlah untuk anda semata; anda juga sangat mempedulikan keluarga dan selalu siap membantu saudara yang membutuhkan perlindungan atau pengasuhan. Meskipun demikian, anda mungkin perlu menjaga kecenderungan untuk selalu mengambil kesimpulan tanpa mengetahui fakta-fakta yang lengkap. Khusus dalam pergaulan anda, suatu dorongan untuk membantah tanpa lebih dahulu mengatur pikiran dan kata-kata mungkin akan dapat membuat orang lain merasa tidak dihargai. Cara penyampaian anda sangat berpengaruh di sini. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Jumat Pon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Menurut kepercayaan jawa, orang yang dilahirkan pada hari Jumat Pon perlu banyak bergaul dengan berbagai jenis orang. Konon, mereka berpembawaan tenang, </span><span class="IL_AD" id="IL_AD1" style="font-size: small;">serius</span><span style="font-size: small;"> dan bijaksana dalam berbicara. Mereka adalah tipe yang berjiwa sosial, murni dan jujur serta mudah bersimpati terhadap mereka yang tertindas. Mereka mudah beradaptasi dengan orang-orang di sekitar mereka dan dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi seperti seekor bunglon. Akan tetapi, kelebihan ini juga dapat menjadi kelemahan terbesar mereka, karena jika tidak disertai </span><span class="IL_AD" id="IL_AD10" style="font-size: small;">rasa</span><span style="font-size: small;"> percaya diri yang kuat mereka dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pendapat dan kebiasaan buruk orang lain. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Sabtu Wage</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jika anda lahir pada hari Sabtu Wage, maka anda akan bersifat teguh pada pendirian dan sangat mudah naik darah jika rencana tidak berjalan sesuai dengan keinginan anda. Barangkali anda akan sedikit banyak bergelut dengan masalah seputar kepercayaan dan rasa memiliki, karena dikatakan bahwa anda bersifat agak cemburuan. Meskipun demikian, anda sangat setia dan murah hati terhadap orang-orang yang anda sukai. Di samping itu, anda memiliki bakat besar dalam mengatur rumahtangga anda </span><span class="IL_AD" id="IL_AD5" style="font-size: small;">agar</span><span style="font-size: small;"> tetap berjalan tenang. Anda benar-benar menyukai kemewahan dan sangat menghargai barang-barang yang berkualitas tinggi. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Minggu Kliwon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Satu lagi tipe pendiam dengan pendirian tegas dan kemauan keras. Anda sangat pandai dalam membuat orang selalu menduga-duga perasaan anda yang sebenarnya. Anda sebetulnya cukup sensitif, tetapi jangan berharap orang lain akan mempercayainya pada saat mendengar anda beradu pendapat. Anda pandai bersosialisasi, pandai berbicara, dan memiliki bakat </span><span class="IL_AD" id="IL_AD11" style="font-size: small;">politik</span><span style="font-size: small;"> yang besar. Dengan kelebihan seperti ini, tidak mengherankan tipe-tipe seperti anda sering mencapai kedudukan yang tinggi! </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Senin Legi</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kelompok ini suka berkeliling dan melihat-lihat dunia, entah secara fisik ataupun secara intelektual. Mereka juga suka berdebat. Namun, mereka tidak bersifat antagonis; kalangan ini sebenarnya terlalu sopan bahkan untuk bermimpi menyakiti perasaan orang lain. Konon mereka juga sangat murah hati. Tampaknya, mereka memiliki kepribadian yang cemerlang... jika saja mereka mau berhenti mencampuri urusan orang lain! </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Selasa Pahing</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Orang-orang yang lahir pada hari Selasa Pahing konon bersifat santai dan dapat menerima orang lain apa-adanya. Mereka terampil dengan tangan mereka, suka menolong, dan mau berkorban banyak bagi orang yang mereka sayangi. Tetapi jangan tanya tentang orang-orang yang membuat mereka marah! Kalangan Selasa Pahing mempunyai reputasi terburuk dalam hal membalas dendam secara membabibuta. Meskipun mereka cenderung untuk cukup beruntung, mereka harus belajar untuk mengendalikan suatu kehausan pribadi yang mungkin membuat mereka agak serakah. Lalu di kemudian hari mereka dapat hidup tenang dan berbahagia, dikelilingi banyak teman yang baik dan menarik. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. Rabu Pon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada dasarnya, anda termasuk tipe yang penuh keberuntungan, karena anda selalu merencanakan tindakan anda dengan hati-hati, terbuka terhadap peluang yang baru, dan tidak mudah putus asa. Anda juga memiliki beberapa keterampilan sosial, sehingga sejelek apapun wajah anda, kemungkinan besar anda mudah bergaul dengan orang lain! Sisi buruknya, anda suka sekali pamer. Mungkin anda hanya haus perhatian sewaktu masih kecil, sehingga kini anda merasa harus membuat kagum semua orang dengan kepandaian atau kekayaan anda. Jadilah diri sendiri dan orang lain akan menyukai anda apa adanya. Akan lebih baik juga bila anda berusaha untuk tidak terlalu menyalahkan orang lain yang secara tidak sengaja menyakiti perasaan anda. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. Kamis Wage</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Orang yang lahir pada hari Kamis Wage biasanya memiliki cita-cita setinggi langit. Tentu saja, terkadang harapan mereka terlalu tinggi, tetapi mereka juga berpegang pada aturan dan dapat cukup berhati-hati dalam mewujudkan tujuan mereka sehingga seringkali tercapai. Kalangan ini mungkin saja pandai, tetapi mereka sering terpaku pada jalan mereka dan biasanya tidak menghargai saran yang tidak mereka inginkan. Meskipun demikian, mereka dapat cukup mempesona orang lain dengan sopan-santunnya dan cenderung tampil baik dalam pergaulan. Mereka mungkin tidak suka menunjukkan perasaan mereka yang sebenarnya, tetapi mereka mudah dibujuk dengan rayuan -- beberapa patah kata yang manis dan mereka pasti mulai berpamer! </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15. Jumat Kliwon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Karena sabar dan murah hati, anda mudah membuat orang menyukai anda. Mungkin hal ini juga dikarenakan gaya anda yang halus. Anda dapat menjadi seorang pemimpin yang baik, karena anda cenderung mempunyai kemampuan, dapat berpikir secara luas, dan dapat mempengaruhi banyak orang dengan lidah anda yang pandai. Mungkin saja anda sedikit malas pada suatu saat, tetapi orang-orang akan tetap mencintai anda. Jelasnya, anda tidak akan pernah kekurangan teman! </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">16. Sabtu Legi</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda adalah salah seorang penggemar gaya hidup yang santai dan mewah. Bagi anda, kualitas selalu lebih penting daripada harga yang murah. Hal ini berlaku juga pada kehidupan sosial anda: Anda ingin berada disekitar orang-orang baik yang ber-IQ tinggi. Anda sendiri tidak kalah dari segi otak. Untungnya anda juga dapat menghargai pandangan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, omongan anda terkadang sedikit tajam. Tetapi mengapa orang lain mau bersikap sarkatis terhadap anda? </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">17. Minggu Pahing</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Menurut pengertian tradisional, orang yang lahir pada hari Minggu Pahing diakui memiliki kemampuan yang mengagumkan di bidang apa saja yang digelutinya. Mereka adalah pribadi-pribadi kuat yang mampu mempertahankan pendapatnya dalam keadaan sulit sekalipun. Tetapi mereka juga berpikiran luas dan cenderung ditanggapi dengan baik dalam lingkungan sosial. Anehnya, kelompok ini dapat benar-benar ahli dalam menyembunyikan (atau memendam) perasaan-perasaan yang tidak enak seperti kemarahan, kesedihan, atau penyesalan. Kontrol diri semacam itu sangat menguntungkan bagi seorang politikus, doktor UGD, atau agen rahasia. Namun, semoga sifat ini tidak berakibat pula pada terpendamnya perasaan-perasaan yang semestinya ditunjukkan secara terbuka kepada orang-orang yang mereka cintai. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18. Senin Pon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jika anda lahir pada hari Senin Pon, anda adalah seseorang yang penuh kontradiksi. Anda mungkin terlihat sebagai orang yang tangguh, yang suka tampil kuat, bahkan dengan bangga memamerkan kekayaan anda (atau kepandaian anda bila hanya itu yang anda miliki!). Namun, anda sebenarnya adalah seseorang yang sangat perasa. Orang lain akan selalu terkejut bila mendapati betapa ramah, sopan dan bertanggung jawab anda sebenarnya. Tidakkah anda merasa lebih baik sekarang? </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">19. Selasa Wage</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda tidak suka membesar-besarkan diri. Bahkan, anda lebih sering mengalah kepada orang yang lebih cerewet daripada mempersoalkan hal-hal yang remeh. Meskipun demikian, anda bersemangat baja. Beberapa orang mungkin mengatakan anda sedikit kaku. Namun, ada pula yang akan menganggap anda teramat ndableg. Di samping itu, andaikata anda merasa terancam, ego anda yang sensitif akan sangat mudah terusik sehingga anda cenderung bersikap cemburu. Meski demikian, terkadang lawan-lawan anda pun akan mengagumi nafsu anda yang besar akan ilmu pengetahuan dan tekad kuat yang memungkinkan anda menelaah secara mendalam hal-hal yang menarik perhatian anda. Bila keadaan mulai memburuk anda akan tetap bertahan. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">20. Rabu Kliwon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda adalah pemikir sejati dengan sikap lembut disertai gaya duniawi yang mempesona yang mudah menarik orang lain kepada anda. Dikarenakan bakat alami anda akan bahasa dan kepekaan terhadap perasaan orang lain, maka anda memiliki potensi untuk menjadi seorang pembicara besar. Banyak di antara orang yang lahir pada hari Rabu Kliwon menjadi orator atau penulis yang handal. Anda berseri-seri bila mendapatkan pujian (sebenarnya siapa yang tidak?), akan tetapi mungkin anda perlu belajar untuk tidak terlalu memasukkan kritikan orang lain ke dalam hati. Waspadalah agar kelemahan anda terhadap kata-kata yang manis tidak membuat anda terlalu mudah diperdaya. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">21. Kamis Legi</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mereka yang lahir pada hari Kamis Legi memiliki cita-cita yang mulia dan nilai-nilai yang tinggi. Mereka terkadang amat bijaksana, dikarenakan kemampuannya untuk melihat prospek jangka panjang dari suatu hal. Walaupun demikian, mereka harus mampu bersikap tabah dan berhati-hati jika ingin melihat keberhasilan ide-ide mereka yang besar. Masalahnya, meskipun kalangan ini cenderung berpandangan luas, mereka sering terjerumus dalam pernik-pernik kehidupan sehari-hari. Mereka termasuk tipe yang selalu membutuhkan pujian. Namun, kemungkinan dukungan tidak terlalu sulit diperolehnya, sebab mereka biasanya dikelilingi oleh banyak teman (kelompok ini terkenal memiliki kemampuan bergaul yang luar biasa). Sementara itu timbul pertanyaan; benarkah hanya keinginan untuk membantu ataukah dorongan tersembunyi untuk menguasai lingkungannya yang selalu membuat mereka mencampuri urusan orang lain? </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">22. Jumat Pahing</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada dasarnya, anda adalah pembicara yang menyenangkan dengan cita-cita tinggi dan hati yang jujur. Apalah artinya jika anda bersikap sedikit boros! Anda bakal memperoleh banyak poin dari mereka yang ingin melihat anda berhasil -- bahkan jika anda tidak selalu memanjakan mereka. Anda kelihatan begitu mudah dimanfaatkan sehingga orang tidak akan menyangka bahwa anda akan mampu bersikap gigih (baca: keras kepala?) atau menduga betapa ganasnya anda bila sedang mengalami hari yang menjengkelkan! </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">23. Sabtu Pon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda memiliki ego yang besar dan selalu ingin menjadi penguasa di dalam lingkungan anda. Meskipun demikian, anda bukanlah tipe orang yang sulit: bila seseorang mengecewakan anda, anda akan memaafkan dan melupakannya dengan cukup mudah -- asalkan mereka mengakui kesalahannya dan memohon maaf di kaki anda! Anda suka membayangkan diri sebagai orang yang kaya dan terkenal. Hal ini tidak berarti secara otomatis anda materialistis. Namun, jika para peramal Jawa dapat dipercaya, anda memang menikmati suasana yang mewah dan tidak sungkan memperlihatkan kelebihan anda dalam hal materi. Mungkin hal ini berhubungan dengan masa kecil yang kurang bahagia dari segi emosional atau ekonomi. Semoga saja anda tidak terlalu pelit untuk membagi keberuntungan dengan teman-teman anda. Ingatlah bahwa mereka yang banyak memberi akan banyak menerima pula! </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">24. Minggu Wage</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mereka yang lahir di hari Minggu Wage konon bersifat pemurah dan mudah menaruh iba. Mereka tahu cara-cara untuk menghibur orang yang sedang menderita. Mereka merupakan pekerja keras pula. Akan tetapi, mereka terkadang terlalu teguh dalam pendirian -- bahkan sangat keras kepala! Meskipun mereka pandai menenangkan perasaan orang lain, mereka tidak akan menunjukkan perasaan mereka sendiri dengan mudah. Mungkinkah hal ini merupakan pengendalian emosi dari diplomat, doktor UGD, atau pemadam kebakaran, atau justru kewaspadaan yang berlebihan terhadap kemungkinan disakiti oleh orang-orang yang telah mereka percayai? Mereka sendiri yang harus menjawab pertanyaan ini. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">25. Senin Kliwon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Kehormatan keluarga" adalah prinsip kalangan Senin Kliwon. Anda terkenal karena pengabdian anda terhadap orang tua, anak, kakak-adik, bahkan sering pula kerabat jauh. Anda bersedia mengorbankan semuanya untuk membela keluarga anda. Anda memiliki perasaan yang kuat terhadap asal anda, bahkan mungkin juga terhadap negara tempat anda lahir. Sayangnya, segala hal cenderung terlalu dimasukkan hati, sehingga anda mudah tersinggung. Terkadang perlu waktu untuk membuat anda tenang kembali. Meskipun demikian, pada dasarnya anda mudah memaafkan dan tidak suka mendendam. Anda pandai dengan kata-kata dan mungkin dapat menjadi seorang pembicara atau penulis yang baik jika anda tertarik pada pekerjaan semacam itu. Orang lain menghargai keramahan, kesopanan dan kelembutan anda yang terpuji. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">26. Selasa Legi</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jika anda lahir pada hari Selasa Legi, anda akan memiliki kepribadian yang kuat. Anda tidak akan suka melihat orang menghalangi anda, dan tidak akan mau mengalah (walaupun dalam hal yang sebenarnya sepele) agar orang lain tidak merasa sakit hati. Sesungguhnya, popularitas anda tidak akan berkurang jika anda mau belajar sedikit berkompromi. Bila tidak, dorongan anda untuk berkuasa dapat membuat anda membuang banyak tenaga dalam adu kekuatan dengan teman, pasangan, atau majikan. Tetapi bagaimanapun kekurangan tersebut, anda adalah tipe yang jujur dan suka bekerja keras, yang memiliki cita-cita tinggi dan minat yang tak terpuaskan terhadap ilmu pengetahuan. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">27. Rabu Pahing</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Orang-orang ini suka mempertimbangkan segala sesuatu sebelum melakukan suatu tindakan. Mereka akan merenungkan segala kemungkinan hingga puas terhadap hasil yang dapat dicapai. Kelompok ini mungkin terlihat cukup santai, tetapi jangan terkecoh! Mungkin dikarenakan sedikit rasa kurang percaya diri yang membuat mereka bersikap angkuh. Namun, tidak dapat dipungkiri banyak peramal Jawa juga mengatakan bahwa mereka memang tidak suka berbagi dengan yang lain. Kewaspadaan mereka mungkin terlihat berlebihan saat rasa curiga mereka timbul. Orang-orang ini sangat perlu belajar untuk bersikap lebih santai dan menurunkan pertahanan mereka. Untungnya mereka memiliki prinsip untuk tidak mencampuri urusan orang lain. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">28. Kamis Pon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jika anda lahir di hari Kamis Pon, anda biasanya memiliki cita-cita tinggi dan tujuan-tujuan mulia yang berusaha anda wujudkan sekuat tenaga. Anda memiliki pikiran yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu, serta suka mempelajari hal-hal baru yang dapat memperluas wawasan anda. Meskipun demikian, dengan kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dalam skala besar, kebanggaan serta rasa percaya terhadap kekayaan materi atau kepandaian dapat dengan mudah menjadi kelemahan anda pada suatu saat. Anda bukanlah tipe orang yang suka banyak bergaul dan tidak tertarik pada urusan orang lain. Tampaknya anda cukup puas dengan mengandalkan kemampuan pribadi untuk memahami suatu situasi dan menghindarkan diri dari pengaruh orang lain. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">29. Jumat Wage</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mereka yang terlahir pada hari Jumat Wage terkenal sangat mengasihi dan mudah menaruh iba kepada sesama manusia. Oleh karena itu, anda berpotensi menjadi Ibu Teresa kecil yang selalu bersedia membantu mereka yang membutuhkan. Anda memiliki karakter yang sangat jujur, kemurnian hati, dan juga kesetian yang sesuai dengan julukan tersebut. Anda tidak pernah membesar-besarkan kemampuan anda sendiri, padahal di dalam hati anda sesungguhnya adalah orang yang tegar. Sangatlah sulit membuat anda mengubah keputusan yang telah anda tetapkan. Keyakinan anda dapat sangat mengagumkan... atau bahkan hanya suatu kebodohan. Anda mungkin perlu belajar untuk menerima saran dari orang lain yang bermaksud baik. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">30. Sabtu Kliwon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Justru orang seperti ini yang anda perlukan di pesta anda berikutnya, karena mereka begitu ramah, sopan, dan mudah terkesan, sehingga mereka dengan mudah membuat orang lain merasa betah di rumah anda. Mereka juga pintar mengucapkan kata-kata yang menyenangkan. Bahkan, mereka yang terlahir pada hari Sabtu Kliwon termasuk salah satu kalangan yang memiliki bakat alamiah dalam berbicara dan menulis jika mereka memilihnya sebagai pekerjaan. Mereka cenderung memperlakukan semua orang dengan baik, bahkan musuh mereka sendiri! Mereka tidak dikenal sebagai orang tegar yang berpegang pada pendiriannya. Akan sangat berguna jika mereka mau mengembangkan sedikit keberanian dan ketegasan, karena kelompok ini cenderung sangat mudah menyerah pada rintangan pertama. Mereka biasanya memperhitungkan dengan cermat segala tindakan yang akan mereka ambil. Dengan demikian muncullah pertanyaan: mengapa mereka sangat mudah terkecoh oleh penampilan seseorang atau sesuatu? Mereka adalah pelanggan impian para pedagang. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">31. Minggu Legi</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Hanya sedikit orang yang diperkenankan mengetahui isi hati anda yang terdalam. Anda termasuk tipe orang yang tegas dan pendiam. Anda terlihat sangat tenang dan terkendali, bahkan saat anda terbakar amarah, senyuman misterius itu tidak akan pernah lepas dari bibir anda. Maka dari itu, pada saat anda melepaskan perasaan anda, baik cinta ataupun benci, hal itu akan menjadi pengalaman yang luar biasa bagi orang-orang di sekitar anda. Anda berwatak cerdik, bahkan terkadang licik, dan pandai dalam mengorek rahasia. Anda mudah tertarik pada hal yang aneh, mistis, atau misterius. Mencampuri urusan orang lain sangat menyenangkan bagi anda. Oleh karenanya, anda mungkin bisa menjadi seorang detektif, agen rahasia atau psikiater yang baik. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">32. Senin Pahing</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda suka menyampaikan pendapat dengan tegas, dan tidak akan terpengaruh oleh omongan orang lain bila tidak menemukan alasan untuk mempercayainya. Meskipun demikian, anda adalah seorang yang perasa, jujur, beriba, dan bercita-cita tinggi. Anda adalah pekerja giat yang tidak suka menghambur-hamburkan hasil jerih payah. Cobalah untuk mengendalikan perasaan anda yang sensitif agar tidak selalu memasukkan dalam hati setiap perkataan atau tindakan orang lain. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">33. Selasa Pon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kalangan ini sangat menyukai kemewahan. Tingkat pemborosan mereka biasanya tergantung pada kemampuan finansial yang ada, tetapi keinginan yang kuat akan kehidupan yang serba mewah akan selalu mereka rasakan. Meskipun cenderung untuk melindungi perasaan mereka sendiri, mereka dapat menjadi sangat setia dan murah hati kepada orang-orang yang sesuai dengan standar pribadi mereka. Akan tetapi, sekali anda dekat berarti anda telah menjadi milik mereka seutuhnya, dan karena kalangan ini sering terbawa kekhawatiran akan ancaman (nyata maupun khayalan) maka tidak mengherankan jika rasa cemburu selalu menyertai mereka dalam setiap hubungan. Meskipun mereka yang dilahirkan pada hari Selasa Pon terkenal bersifat tertutup, mereka dapat bersikap cukup ramah dalam kehidupan sosial. Barangkali anda tidak akan menduga bahwa mereka berpendirian sangat kaku. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">34. Rabu Wage</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Secara umum, mereka yang lahir pada hari Rabu Wage bersifat baik hati dan ramah. Meskipun terkadang kata-kata mereka agak keras, mereka biasanya mudah bergaul dengan orang lain serta menjunjung tinggi kejujuran dan niat baik. Mereka suka menimbang pilihan mereka dengan cermat sebelum melaksanakannya, dan dalam hal ini mereka memiliki cukup banyak kebijaksanaan. Bisa saja mereka suka menikmati barang-barang dan pelayanan yang mewah, tetapi mereka bukan tipe pemboros. Mereka sangat menghargai uang mereka, dan terkadang beberapa dari mereka dapat bersikap sangat irit. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">35. Kamis Kliwon</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anda memiliki rencana-rencana besar dalam hidup anda. Bahkan, terkadang cita-cita anda sedikit terlalu besar sehingga anda menjadi korban dari imajinasi anda yang terlalu aktif saat keadaan berada diluar jangkauan anda. Meskipun demikian, anda tidak mudah menyerah, dan sikap anda yang optimis dan terhormat akan membuat anda diterima dengan baik oleh kebanyakan orang. Anda suka menjadi pemimpin, akan tetapi terlebih dulu anda harus mengendalikan kecenderungan anda untuk terlalu memasukkan hati ide dan tindakan orang lain yang mungkin berbeda dari sudut pandang anda. </span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="color: blue; font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sumber: http://indigoclairvoyance.blogspot.com/2010/06/ramalan-weton.html</span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-69737460184550117172011-09-19T09:26:00.000-07:002011-10-18T00:02:49.408-07:00Petikan Serat Jangka Jayabaya<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; color: black; font-family: inherit; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPFvwZFlXRS-e-n8sYG_7qDP627Yef7yFU7U-N89TNTFkTSdEZo8-Zn7Ap5U6TkWqeOlRSiVgT5aTR1K8C-YfPptOaNyIEVnMIcsNYvfelmyyTafCy6tmpNT4ugjsUckuDAhYGQqHJdOA/s1600/65124082_1-Gambar-dari-KITAB-LONTAR-ANTIK.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPFvwZFlXRS-e-n8sYG_7qDP627Yef7yFU7U-N89TNTFkTSdEZo8-Zn7Ap5U6TkWqeOlRSiVgT5aTR1K8C-YfPptOaNyIEVnMIcsNYvfelmyyTafCy6tmpNT4ugjsUckuDAhYGQqHJdOA/s320/65124082_1-Gambar-dari-KITAB-LONTAR-ANTIK.jpg" width="320" /></a></span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Mbesuk jen wis ana kreta mlaku tanpa turangga<br />
Tanah Djawa kalungan wesi,<br />
Prahu mlaku ing a duwur awang2.<br />
Kali pada ilang kedunge, iku tanda yen jaman Jayabaya wis cedak</span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Besok jika ada kereta berjalan tanpa kuda ( tafsir= Mobil, kereta api)<br />
Tanah Jawa berkalung besi ( tafsir= Rel Kereta api)<br />
Perahu terbang diatas angkasa ( tafsir= pesawat terbang , pesawat luar angkasa)<br />
Sungai pada hilang danaunya / sumbernya (tafsir = sungai buatan) <br />
Itulah pertanda jaman Jayabaya sudah dekat </span></div><a name='more'></a><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Akeh janji ora ditepati. <br />
Akeh wong wani nglanggar sumpahe dewe,<br />
Manungso pada seneng nyalah, tan ngendah-ake hukum Allah, </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Banyak janji tidak ditepati <br />
Banyak orang melanggar sumpahnya sendiri <br />
Manusia senang berbuat salah, tidak mengindahkan hukum Tuhan.<br />
<br />
Akeh pangkat sing jahat lan jajil,<br />
Hukuman ratu ora adil, </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Banyak orang berpangkat yang jahat dan jahiliyah<br />
Hukuman penguasa tidak adil, .<br />
<br />
Wong sing apik kepencil, <br />
Makarya apik luwih becik ngapusi,<br />
Wong agung kesinggung wong ala kepuja-puja, </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Orang berbuat baik terkucilkan<br />
Berbuat baik malah merasa malu, lebih baik berbohong<br />
Orang Besar tersinggung, orang jahat dipuja-puja/ dihormati<br />
<br />
Wong wadon ilang wanitane ilang wirange,<br />
Wong lanang ilang lanange,priya ilang prawirane, </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
</span><span style="font-size: small;">Wanita hilang kewanitaanya, hilang malunya<br />
Laki-laki hilang kelaki-lakianya, hilang keberaniannya <br />
( Dalam arti harafiah = banci, homo, maupun perlambang laki2 tidak jantan, pengecut)</span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Akeh udan salah mangsa, <br />
Akeh perawan tua, <br />
Akeh randameteng, <br />
Akeh bayi takon bapa<br />
Agama akeh kang nantang, kamanungsan ilang, </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
</span><span style="font-size: small;">Banyak Hujan tidak tepat /sesuai musimnya<br />
Banyak perawan tua (banyak perawan tua, juga banyak wanita yang<br />
kawin diusia tua) <br />
Banyak janda hamil (hamil tanpa suami)<br />
Banyak bayi bertanya siapa bapaknya (hamil diluar nikah)<br />
Agama banyak ditentang, Rasa kemanusiaan makin hilang </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Olah suci pada dibenci, olah ala pada dipuja,<br />
Wanadya pada wani ngendi-ngendi, </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Olah Kebaikan dibenci, Olah kejelekan di puja<br />
Wanita pada berani dimana-mana (maksudnya sama pria)<br />
<br />
Sing Weruh ketuduh, sing ora ya ketuduh </span><span style="font-size: small;"><br />
Terjemahan : </span><span style="font-size: small;"><br />
Yang tahu (bener atau salah) tertuduh , yang tidak tahu juga (cari kambing hitam)<br />
<br />
Mbesuk yen ana prang saka wetan, kulon, lor lan wong cilik sengsara lan mbendul, <br />
Wong jahat mlarat brekat, </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Besok jika ada perang di Timur , Barat, Utara,Selatan, (=berbagai belahan dunia/negara) rakyat kecil semakin sengsara dan menderita<br />
Orang Jahat miskin Berkat<br />
<br />
Sing Curang makin garang ,sing jujur kojur, wong dagang keplanggang, </span><span style="font-size: small;"><br />
</span><span style="font-size: small;"><br />
Yang curang berani, yang jujur hancur, orang berdagang kepalsuan.<br />
<br />
Judi pada dadi, <br />
Akeh barang haram, akeh anak haram, prawan cilik nyidam,<br />
Wanita nglanggar priya, isih bayi pada bayi, </span><span style="font-size: small;"><br />
</span><span style="font-size: small;"><br />
</span><span style="font-size: small;">Judi semakin menjadi ,<br />
Banyak anak haram, banyak gadis kecil yang hamil <br />
Wanita berani sama laki-lakinya, Masih kecil (anak2) sudah punya anak</span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Sing Priya pada ngasorake drajade dewe,<br />
Bumi saya suwe saya mengkeret,<br />
Sekilan bumi dipajegi,<br />
Jaran doran sambel,<br />
Kretane roda papat satugel, </span> </div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Yang laki-laki merendahkan derajatnya sendiri<br />
Bumi semakin menyusut /mengecil ( dunia semakin tak ada batasan ruang dan waktu berkat teknologi modern spt : transpotasi, komunikasi )<br />
Setiap jengkal tanah dipajak (apa2 sekarang dipajakin)<br />
Kuda doyan sambal (tukang becak, ojek doyan sambel)<br />
Kereta beroda empat terpotong (roda kereta api)<br />
<br />
Wong wadon nganggo pakean lanang<br />
Iku tandane yen bakal nemoni wolak-waliking jaman <br />
Akeh manungsa ngutamakake real, lali kemanungsan<br />
Lali kebecikan, lali sanak kadang<br />
Akeh biyung lali anak,akeh anak nlandung biyunge</span><br />
<span style="font-size: small;"> </span> </div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPFvwZFlXRS-e-n8sYG_7qDP627Yef7yFU7U-N89TNTFkTSdEZo8-Zn7Ap5U6TkWqeOlRSiVgT5aTR1K8C-YfPptOaNyIEVnMIcsNYvfelmyyTafCy6tmpNT4ugjsUckuDAhYGQqHJdOA/s1600/65124082_1-Gambar-dari-KITAB-LONTAR-ANTIK.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a></span><span style="font-size: small;"><br />
Perempuan berpakaian laki-laki <br />
Itu pertanda akan menemui jaman yang serba terbalik <br />
Banyak manusia mengutamakan harta, lupa rasa kemanusiaan<br />
Banyak ibu melupakan anak, banyak anak berani sama ibunya <br />
<br />
Akeh bapa lali anak. <br />
Akeh anak wani nglawan ibu, nantang bapa<br />
Sedulur padha cidra.<br />
Kulawarga padha curiga, kanca dadi mungsuh.<br />
Akeh manungsa lali asale.<br />
Ukuman Ratu ora adil.Akeh pangkat sing jahat lan ganjil.<br />
Akeh kelakuan sing ganjil.</span> </div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><span style="font-size: small;">Banyak bapak melupakan anaknya. <br />
Banyak anak melawan ibu dan bapaknya <br />
Saudara saling menyakiti keluarga, teman jadi lawan<br />
Banyak manusia lupa asalnya<br />
Hukuman Penguasa tidak adil, banyak orang pangkat berkelakuan aneh<br />
Banyak kejadian aneh </span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Wong apik-apik padha kapencil. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin.<br />
Luwih utama ngapusi.<br />
Wegah nyambut gawe. </span><span style="font-size: small;"><br />
Kepingin urip mewah.Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka.</span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Orang baik terkucilkan. Banyak orang bekerja baik-baik /jujur yang malah malu <br />
Lebih baik berdusta<br />
Malas bekerja. <br />
Ingin hidup mewah, mengumbar angkara murka/kejahatan, mengagung-agungkan kejahatan<br />
<br />
Wong bener thenger-thenger. Wong salah bungah.<br />
Wong apik ditampik-tampik. Wong jahat munggah pangkat.<br />
Wong agung kasinggung. Wong ala kapuja. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Orang Benar terpaku. Orang Salah bergembira<br />
Orang Baik ditolak di mana-mana. Orang Jahat naik pangkat<br />
Orang Besar tersinggung. Orang Jelek dipuja<br />
<br />
</span><span style="font-size: small;">Wong wadon ilang kawirangane.<br />
Wong lanang ilang kaprawirane.<br />
Akeh wong lanang ora duwe bojo.<br />
Akeh wong wadon ora setya marang bojone.<br />
Akeh ibu padha ngedol anake.<br />
Akeh wong wadon ngedol awake.<br />
Akeh wong ijol bebojo.<br />
Wong wadon nunggang jaran.<br />
Wong lanang linggih plangki. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Orang perempuan hilang malunya<br />
Lelaki hilang keberaniannya/ jadi pengecut<br />
Banyak laki-laki tidak beristri <br />
Banyak Wanita tidak setia/ berselingkuh<br />
Banyak ibu menjual anaknya <br />
Banyak wanita menjual diri, prostitusi (dalam berbagai bentuk)<br />
Wanita naik kuda (wanita banyak menduduki posisi penting di pemerintahan)<br />
Laki-laki duduk di belakang (lelaki hidup dibiayai wanita)<br />
<br />
Randha seuang loro.Prawan seaga lima.<br />
Dhudha pincang laku sembilan uang. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><span style="font-size: small;">Janda seuang dapat 2 orang, Perawan dijual murah<br />
Duda pincang laku 9 keping, (lebih mahal)</span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
Akeh wong ngedol ngelmu. <br />
Akeh wong ngaku-aku. Njabane putih njerone dhadhu.<br />
Ngakune suci, nanging sucine palsu.Akeh bujuk akeh lojo.<br />
Akeh udan salah mangsa.<br />
Akeh prawan tuwa.Akeh randha nglairake anak.<br />
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne.<br />
Agama akeh sing nantang. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Banyak orang menjual "ilmu" (agama) (banyak orang mencari popularitas, politik, uang berkedok agama) <br />
Banyak orang mengaku-aku, luarnya "PUTIH" dalamnya "MERAH DADU" (serigala berbulu domba) <br />
Mengaku "suci", tapi "sucinya" palsu. Banyak yang menipu<br />
Banyak hujan salah musim, <br />
Banyak perawan tua, banyak bayi tanpa bapak (lahir diluar nikah)<br />
Agama banyak yang menentang<br />
<br />
Prikamanungsan ilang.<br />
Omah suci dibenci. Omah ala saya dipuja.<br />
Wong wadon lacur ing ngendi-endi.<br />
Akeh laknat.Akeh pengkianat.<br />
Anak mangan bapak. Sedulur mangan sedulur.<br />
Kanca dadi mungsuh.<br />
Guru disatru. Tangga padha curiga </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Perikemanusiaan semakin hilang, <br />
Tempat ibadah dibenci, <br />
Tempat maksiat dipuja, <br />
Prostitusi di mana-mana<br />
Banyak laknat, pengkhianat<br />
Anak mengorbankan bapak(berani), saudara tega dengan saudara<br />
Teman jadi musuh, <br />
Guru dilawan. Tetangga saling curiga<br />
<br />
Kana-kene angkara murka.<br />
Sing weruh kebubuhan.<br />
Sing ora weruh ketutuh.<br />
Besuk yen ana peperangan.<br />
Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor.<br />
Akeh wong becik saya sengsara.<br />
Wong jahat seneng.<br />
Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Sana-sini semakin terjadi angkara murka<br />
Yang tahu terjebak, yang tidak tahu tersentuh<br />
Besok ada peperangan di timur,barat, utara ,selatan (berbagai belahan dunia dan negara)<br />
Banyak rakyat kecil menderita, orang jahat semakin bergembira<br />
Waktu itu banyak Dandang (tempat menanak nasi) dibunyikan oleh burung kuntul (sejenis burung sawah)<br />
<br />
Wong salah dianggep bener. Pengkhianat nikmat,<br />
Durjana sempurna. <br />
Wong jahat munggah pangkat. Wong lugu kebelenggu. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Orang salah dianggap benar, pengkhianat nikmat, durjana semakin sempurna<br />
Orang jahat naik pangkat, Orang lugu/jujur terbelenggu/ dipenjara<br />
<br />
</span><span style="font-size: small;">Wong mulya dikunjara. Sing curang garang.Sing jujur kojur.<br />
Pedagang akeh sing keplarang.<br />
Wong main akeh sing ndadi </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Orang berhati mulya dipenjara. Yang curang semakin garang/ berani, yang jujur malah hancur<br />
Pedagang banyak tertipu<br />
Orang berjudi makin banyak (adanya tempat-tempat perjudian yang legal)<br />
<br />
Akeh barang haram. Akeh anak haram.<br />
Wong wadon nglamar wong lanang.<br />
Wong lanang ngasorake drajate dhewe.<br />
Akeh barang-barang mlebu luang.<br />
Akeh wong kaliren lan wuda.<br />
Wong tuku ngglenik sing dodol.Sing dodol akal okol.<br />
Wong golek pangan kaya gabah diinteri.<br />
Sing kebat kliwat. Sing telah sambat. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Banyak barang haram, banyak anak haram<br />
Wanita melamar laki-laki <br />
Lelaki merendahkan martabatnya sendiri (gigolo)<br />
Banyak barang masuk lobang (jebakan)<br />
Banyak orang kelaparan dan tak berpakaian <br />
Orang mengandalkan "KLENIK" jika berbisnis<br />
Yang berbisnis, menggunakan kekuatan dan kelicikan<br />
Orang semakin susah mencari makan<br />
Yang salah keterlaluan, banyak orang yang mengeluh <br />
<br />
Pedagang akeh alangane. <br />
Akeh buruh nantang juragan.<br />
Juragan dadi umpan. Sing suwarane seru oleh pengaruh.<br />
Wong pinter diingar-ingar. Wong ala diuja.<br />
Wong ngerti mangan ati.<br />
Bandha dadi memala. Pangkat dadi pemikat.<br />
Sing sawenang-wenang rumangsa menang. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Pedagang banyak hambatan (berbisnis banyak halangannya)<br />
Banyak buruh menentang juragan (pemilik perusahaan) (banyak demo-demo buruh yang memperjuangkan hak2nya)<br />
Juragan jadi umpan (dimanfaatkan oleh penguasa), Yang banyak suara (pengaruh) <br />
Orang pintar dibodohi, diliciki, orang jahat dimanjakan<br />
Orang tahu (akan kebenaran) makan hati (sakit hati)<br />
Harta jadi musibah, pangkat jadi pemikat , <br />
Yang berkuasa merasa menang<br />
<br />
Sing ngalah rumangsa kabeh salah.<br />
Ana Bupati saka wong sing asor imane.<br />
Patihe kepala judhi.<br />
Wong sing atine suci dibenci.<br />
Wong sing jahat lan pinter jilat derajat.<br />
Pemerasan ndadra. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Yang mengalah merasa semua salah<br />
Ada bupati (penguasa daerah), yang rendah imannya<br />
Patihnya (Aparatnya) kepala judi (Mafia judi, maksiat) <br />
Orang berhati suci dibenci, Orang jahat dan penjilat semakin dapat kedudukan<br />
Pemerasan di mana-mana.<br />
<br />
</span><span style="font-size: small;">Maling lungguh wetenge mblenduk.<br />
Pitik angrem saduwure pikulan.<br />
Maling wani nantang sing duwe omah.<br />
Begal pada ndhugal. Rampok padha keplok-keplok.<br />
Wong momong mitenah sing diemong.<br />
Wong jaga nyolong sing dijaga.<br />
Wong njamin njaluk dijamin.<br />
Akeh wong mendem donga.<br />
Kana-kene rebutan unggul. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Maling duduk perutnya buncit (Kayak Gaya KORUPTOR)<br />
Ayam mengeram di atas pikulan (pemaksaan pekerja, TKW, ayam yang mengeram betina) <br />
Maling berani nantang yang punya rumah (KORUPTOR BERANI MENANTANG YANG PUNYA HAK/RAKYAT DI PENGADILAN)<br />
Begal/ Penjahat semakin menjadi, Perampok bertepuk tangan (BANYAK MAFIA YANG LOLOS DI PENGADILAN)<br />
Yang mengasuh memfitnah yang diasuh, yang mengangkat pejabat tapi menjatuhkan (mencari kambing hitam)<br />
Orang yang menjaga malah mencuri (banyak aparat yang "bermain")<br />
Orang yang menjamin minta dijamin (minta upeti)<br />
Banyak orang yang mengubur doa <br />
Sana-sini berebut kekuasaan<br />
<br />
Angkara murka ngombro-ombro.<br />
Agama ditantang.<br />
Akeh wong angkara murka.<br />
Nggedhekake duraka.<br />
Ukum agama dilanggar.<br />
Prikamanungsan di-iles-iles.<br />
Kasusilan ditinggal.<br />
Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi.<br />
Wong cilik akeh sing kepencil. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Angkara murka meraja lela, agama ditentang<br />
Banyak orang berbuat angkara murka, mengagungkan tindak durjana<br />
Hukum agama dilanggar, Perikemanusiaan diinjak-injak<br />
Kesusilaan ditinggalkan/diabaikan. <br />
Banyak orang gila (keduniawian), Jahat dan kehilangan akal budi<br />
Rakyat kecil makin terkucilkan karena menjadi korban yang jahat<br />
<br />
Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit.<br />
Negarane ambane saprawolon.<br />
Tukang mangan suap saya ndadra.<br />
Wong jahat ditampa.Wong suci dibenci. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Kemudian ada Ratu (penguasa) yang berpengaruh dan punya tentara (militer)<br />
Negaranya seperdelapan (maksudnya luas sekali)<br />
Tukang makan suap semakin menjadi . (banyak orang menggunakan kekuasaannya untukkepentingan pribadi dengan makan suap)<br />
Orang Jahat diterima. Orang Suci dibenci<br />
<br />
Mara den titenana,<br />
Samangsa tanah Jawa wus mengku ratu,<br />
Wus ora bapa pra biyung, titik-ane nganggo kethu bengi,asirah watu geni, Pangapesane wanodya ngiwi-iwi jejuluk sarwa ageng edi. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Maka ingatlah, ketika tanah Jawa mempunyai Pemimpin <br />
Yang tidak berbapak dan beribu (tidak ketahuan asal-asulnya) tandanya pakai pada malam , ber"kepala api" (sangat berkuasa). <br />
Kalahnya (kelemahannya) dengan wanita yang melambai-lambai, dikenal kebesarannya dan wibawanya.<br />
<br />
Ratu digdaya ora tedas tapak palu ne pandhe sisane gurindha ning apese mungsuh setan tuyul, setan anu gundul, </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Penguasa sakti, kebal, akan senjata ( sangat berkuasa, tidak mampu digulingkan secara militer, maupun politik)<br />
Tapi pengapesannya/kalahnya dengan setan tuyul, setan gundul <br />
(Setan gundul, tuyul = perlambang rakyat kecil, anak kecil /mahasiswa)<br />
<br />
Bocah cilik pating pendelik ngubengi<br />
Omah surak-surak kaya nggusah pitik.<br />
Ratu atine dadi cilik, ngumdamana bala sabrang sing dojan asu. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Anak kecil memelototi rumah , <br />
Berteriak-teriak seperti mengusir ayam<br />
Penguasa langsung berkecil hati (ciut nyalinya), memanggil bala bantuan dari seberang yang suka makan anjing. (meminta bantuan dari kekuatan asing) <br />
<br />
Ana wong tuwa ahli tapa Ageng, muncul ing tengahing gunung Kendheng,<br />
Ngrasuk sarwa cemeng, ambiyantu Ratu sing dirubung tuyul nggremeng,<br />
Pandhita ajejuluk Condro siji Jawa. </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Ada orang tua,pertapa agung, muncul dari gunung Kendheng (Gunung yang berada antara Jawa Tengah dan Jawa Timur)<br />
Berpakaian serba hitam, membantu penguasa yang dirubung tuyul (kroni) yang bergumam<br />
Pandita /pertapa yang bergelar : Candra Satu jawa </span></div><div style="color: black; font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><span style="font-size: small;">(Ketika pemerintahan sudah kacau balau, muncullah sosok yang akan membantu pemerintah mengatasi masalah, seorang yang tahu benar akan hukum-hukum agama (seorang sufi/pendita/pertapa), yang berpakaian serba hitam artinya sudah tidak mempunyai keinginan apa-apa, akan menuntaskan masalah pemerintahan dan membawa Nusantara ke arah kejayaan dan kemakmuran). </span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-75516847703022284152011-09-19T09:15:00.000-07:002011-10-18T00:03:13.235-07:00Potensi Sastra Banyumasan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/_8MgdD_LYlSQ/THClurhyapI/AAAAAAAABco/PbbPuZo6_e0/s1600/bawor1.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5508084565651122834" src="http://3.bp.blogspot.com/_8MgdD_LYlSQ/THClurhyapI/AAAAAAAABco/PbbPuZo6_e0/s320/bawor1.jpg" style="float: right; height: 299px; margin: 0pt 0pt 10px 10px; width: 244px;" /></a>Menyaksikan sederetan daftar ragam bentuk kebudayaan ketika pawai dan kirab budaya di Banyumas beberapa hari lalu, pertanyaan saya yang muncul adalah betulkah kota ini menjadi ’’lahan basah’’ budaya dan sastra? Atau, apakah ini menunjukkan gejala bahwa memang ada kebangkitan kaum budaya di Banyumas?</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Untuk pertanyaan kedua tentu tidak akan saya bahas, karena berbagai hal saya merasa tidak mampu secara tuntas menggambarkannya. Tapi secara kasat mata kita tentu mafhum bahwa budaya Banyumasan yang secara periodik dicipta, dibangun dan lama kelamaan di hayati sebagai hasrat hidup masyarakatnya. Oleh karena budaya Banyumasan lahir dari berbagai dialog antar pandangan hidup menjadikannya seperti anatomi budaya yang terus berkembang secara organis. Artinya bentuk kebudayaan itu tidaklah hadir secara given tapi lewat proses panjang yang tambal sulam.</span></div><a name='more'></a><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Menurut Koencaraningrat (1984), Banyumas merupakan wilayah marginal. Maknanya mungkin kurang lebih menganggap bahwa wilayah ini berada di luar poros budaya jawa (Jogja dan Solo). Tapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya banyumasan sebenarnya memiliki akar yang sama yaitu budaya Jawa Tua. Budaya yang di kembangkan dari cultur Jawa tua itu kemudian berinteraksi dengan berbagai agama seperti Hindu, Budha dan Islam. Inilah yang menjadikannya memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah. Kita bisa lihat kesemuanya dalam berbagai seni pertunjukkan, music dan tari antara lain; Wayang kulit Gagrag Banyumas, Begalan, Calung, Kenthongan, Salawatan Jawa, Bongkel, Lengger, Sintren, Aksimuda, Anggukaplang atau daeng, Buncis dan Ebeg.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Pikiran penulis melayang ke akhir abad XV, ke wilayah vostenlanden (daerah kerajaan) yang didirikan oleh R. Djoko Kahiman (1582) lengkap dengan segenap mitos dan perangkap sejarahnya. Berdasarkan data sudah ada 30 Bupati yang memimpin Banyumas, tentu sederetan panjang nama itu tak mengherankan sebab kota tua ini memang sudah sangat dini tumbuh. Dan garis fikir untuk mengambil mata rantai hari jadi kabupaten merunut pada babad (folklore) R. Djoko Kahiman yang usianya ratusan tahun itu dalam kacamata budaya tentu sangat potensial. Ini artinya masyarakat memiliki ingatan kolektif panjang tentang asal – usul dan pandangan masa lampau. Berbeda misalnya dengan kabupaten yang berusia puluhan tahun. Mitos lama yang ada pun menjadi kabur atau mungkin hanya menjadi bacaaan yang sifatnya arus kecil. Ambil perbandingan dengan Kabupaten Kebumen, kini folklore tentang Joko Sangkrib seringkali hanya menjadi wacana pinggiran bagi sedikit warganya.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kesemuanya sebenarnya merupakan “ladang emas” bagi kaum budayawannya termasuk sastrawan. Artinya kekayaan budaya yang melimpah ruah dalam seni pertunjukkan ataupun ingatan kolektif dan imajinatif itu memiliki kesanggupan untuk diolah dan dieksplorasi menjadi karya sastra kelas dunia.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Penulis ingat bahwa bahkan Nietzche dalam menuangkan gagasan filsafatnya tentang Will to Power berangkat dari sebuah mitologi dari bangsa Persia. Tokoh yang diangkat pun tak tanggung tanggung seorang arif bijak yang bernama Zaratustra. Jadilah novel itu betul – betul luar biasa karena masih dikaji walaupun diterbitkan seraus tahun lebih. Hal ini bsa jadi karena kemampuan pengarangnya mengangkat ingatan masa lampau dan mengawinkannya dengan gagasan filosofis yang genial.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Namun tentu kesemua gambaran tadi hanya menyediakan bahan mentah saja. Pada akhirnya semua toh kembali pada hasrat, kemampuan dan kemauan untuk menciptakan jenis karya yang betul – betul menampilkan eross dan semangat hidup masyarakat Banyumas. Hanya saja dengan menguatnya semangat lokalitas dalam bersastra menurut saya hasilnya akan sangat estetik. Dalam bahasa antropologi, Banyumas memiliki nilai magik yang mampu menumbuhkan romantika antropologia. Keunikan bahasa, budaya dan pandangan hidup itulah yang membuat hal yang berwarna Banyumas akan menarik bagi orang luar.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Hanya saja memang kajian tentang Banyumas dalam eksplorasi budaya belum segempita di Yogya, Bali, ataupun Solo. Untuk itulah estetika budaya Banyumasan menurut hemat saya perlu dikaji lebih giat oleh kaum sastrawannya agar mampu duduk sama – sama populer dalam konteks khazanah budaya. Dalam pandangan saya tulisan – tulisan Ahmad Tohari bisa jadi semacam rintisan untuk membingkai kultur Banyumas di tataran internasional. Sehingga vitalitas, harmoni dan cablaka nya orang Banyumas bukan hanya sebagai kesahajaan dan keterbukaan masyarakatnya dalam ruang dekorasi komunikasi belaka tapi ke depan hadir dalam menginspirasi untuk memperkaya kebijakan kehidupan yang dituangkan dalam bentuk – bentuk yang lebih estetik. Semoga.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">Sumber : Sabit Banani, Bergiat di Nyalaterang Institute, dimuat di Kolom Esai Radar Banyumas : 13 – 04 -2010</span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-2208770535423623142011-09-19T09:11:00.000-07:002011-10-18T00:03:37.741-07:00Petuah yang diambil dari Serat Wédhatama<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; font-family: inherit; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoWLPez-7Nm-M5hqBG7hWRte2Ao8s4kOF8GKR5jQBKCZeG3FyaPzlCJtwal-3i-qrcQxiGQAqQO_1oQn4Cx-FwfxVvS_NJveUQLckHKblSmwO0zDgPSpBHN63AGLvSHCU_SGGZc_oluZ0/s1600/0_67246900_1295929923.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoWLPez-7Nm-M5hqBG7hWRte2Ao8s4kOF8GKR5jQBKCZeG3FyaPzlCJtwal-3i-qrcQxiGQAqQO_1oQn4Cx-FwfxVvS_NJveUQLckHKblSmwO0zDgPSpBHN63AGLvSHCU_SGGZc_oluZ0/s320/0_67246900_1295929923.JPG" width="320" /></a></span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Pupuh Sinom yang diambil dari serat Wédhatama karya KGPA Mangkunegara IV sebuah petuah tentang ilmu, petuah tentang ilmu tersebut dituliskan bersama terjemahan bebasnya kurang lebih berbunyi seperti ini :</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-weight: bold;"><br />
Pupuh Pucung</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">1.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Ngelmu iku</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kalakone kanthi laku</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Lekase lawan kas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tegese kas nyantosani</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Setya budya pangekese dur angkara</span></div><a name='more'></a><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Ilmu itu didapatnya berdasarkan mencari dan berusaha,</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Karena sebuah proses itu yang menciptakan kekuatan dari ilmu….</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sebab sebuah proses itu dapat menghilangkan keangkara murkaan terhadap penguasaan ilmu tersebut</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">2.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Angkara gung</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Neng angga-anggung gumulung</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Gogolonganira</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tri loka lekere kongsi</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Yen den umbar ambabar dadi rubeda</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;"><br />
…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sebuah keserakahan itu sifatnya merasa selalu kurang, sekali terlibat akan terus membesar sampai sampai menutup semua hal… pikiran, perasaan dan harapan tertutupi dengan keserakahan, apabila diterus teruskan akan menyebabkan sebuah permasalahan yang sangat besar</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">3.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Beda lamun</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Wus sengsem rehing asamun</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Semune ngaksama</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sesamane bangsa sisip</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sarwa sareh saking mardi martotama</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Berbeda dengan yang telah berpengalaman dalam hal proses…</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Selalu memahami dan menimbang nimbang segala hal dengan baik, selalu memperhatikan dengan seksama tentang segala hal, selalu sabar dan menjaga agar tidak lepas dari sebuah jalan keutamaan</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">4.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Taman limut</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Durgameng tyas kang weh limput</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kerem ing karamat</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Karana karoban ing sih</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sihing suksma ngrebda saardi gengira</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Bila terkena sebuah perasaan senang yang berlebihan, kadang mengalami perasaan lupa, sebab sebuah ilmu itu pada dasarnya menyenangkan (dapat mempermudah segala hal)</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Akan tetapi karena memperhatikan dengan seksama, cermat disertai rasa cinta pada sesama mahluk, maka perasaan senang yang berlebihan itu dapat dikendalikan</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">5.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Yeku patut</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Timulad-tulad timurut</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sapituduhira</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Aja kaya jaman mangkin</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Keh pra mudha mundhi dhiri rapal makna</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Yaitu yang harus dijadikan contoh dan ditiru semua orang yang mempelajari ilmu seperti anda, jangan seperti jaman sekarang… banyak pemuda pemudi yang hanya membaca segala hal kemudian tanpa diselami dan dipahami tetapi sudah dipercaya (bahasa keren nya “textbooks thinking” gituu hlo…)</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">6.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Nora weruh</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Rosing rasa kang rinuruh</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Lumeketing angga</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Anggere padha marsudi</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kana-kene kahanane nora beda</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tidak pernah tau sebuah perasaan rasa yang tenang (suci atau damai) yang selalu ada dalam tubuh manusia……</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Padahal, apabila mau berusaha untuk mencari, dimana saja tetap sama tidak peduli dimana pun tempatnya…</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">7.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Uger lugu</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Denta mrih pralebdeng kalbu</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Yen Kabul kabuki</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Ing drajad kajating urip</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kaya kang wus winahya sekar Sri Nata</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Ada-Ada</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Asal dengan kejujuran dan ketulusan, dan niat serta semangat yang menggelora dalam “hati” (perasaan atau jiwa)</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Jika terlaksana harapan nya, ia bakalan ditinggikan drajat hidupnya, bagai seorang raja besar yang mempunyai nama harum keseluruh penjuru dunia</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">8.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Basa ngelmu</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Mupakate lan panemu</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Pasahe lan tapa</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Yen satriya tanah Jawi</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kuna-kuna kang ginilut triprakara</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Arti kata “ngelmu” adalah keselarasan dan akal pikiran (yang tajam)</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Diperoleh dengan jalan berusaha dengan tekun dan selalu berusaha…</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kalau manusia utama di tanah jawa di jaman kuno kuno dahulu yang dipelajari secara terus menerus adalah tiga hal (tekad, perasaan dan pikiran)</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">9.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Lila lamun</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kelangan nora gegetun</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Trima yen kataman</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sak serik sameng dumadi</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tri legawa nalangsa srah ing Bathara</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Selalu iklas dikala kehilangan… kalau pun kehilangan selalu merasa pasrah tanpa perasaan menyesal, dan tidak pernah menyesal kepada apa yang telah terjadi…</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tidak pernah merasa benci kepada semua hal, apa pun itu….</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Harus benar benar rela dan dikembalikan kepada kuasa Sang Semesta</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">10.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Bathara gung</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Inguger graning jajantung</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Jenek Hyang Wisesa</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sana Pesenetan suci</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Nora kaya si mudha mudhar angkara</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sang Semesta yang maha segalanya, memberikan berkahnya di dalam jantung (perasaan/hati nurani) yang benama “Hyang Wisesa” yang bercirikan selalu suci dan selalu memberikan pertimbangan baiknya kepada manusia.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tidak seperti yang selalu membesar besarkan segala macam masalah</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">11.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Nora uwus</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Karema anguwus-uwus</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Uwose tan ana</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Mung janjine muring-muring</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kaya buta buteng betah nganiaya</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;"><br />
…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tidak seperti yang selalu yang berbicara tidak benar dan tidak terbukti, selalu mengumbar janji kosong dan selalu marah marah seperti raksasa (ke-angkara murkaan) ngawur yang selalu menyiksa…</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">12.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Sakeh luput</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Ing angga tansah linimput</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Linimpet ing sabda</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Narka tan ana udani</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Lumuh ala hardane ginawe gada</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;"><br />
…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Semua kesalahan dalam seluruh tubuh dijadikan satu, di utarakan lewat kata kata dengan harapan tidak akan bisa dibantah, semua kesalahan lawan bicara di jadikan senjata balik memukul lawan</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">13.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Durung punjul</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kasusu kaselak jujul</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Kaseselan hawa</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Cupet kapepetan pamrih</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small; font-style: italic;">…………. diartikan secara bebas</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Belum cukup kemampuan, ingin cepat cepat terlihat pandai, terdorong hawa napsu menjadikan sempit pemikiran, hanya karena terdorong keinginan disanjung (pamrih).. yang seperti itu tidak akan mungkin dekat dengan Sang Semesta.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">*****</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">*Sumber : http://wiedpatikraja.blogspot.com/2010/08/petuah-jawa-kuno.html</span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-8503778475066113472011-09-19T08:59:00.000-07:002011-10-18T00:04:20.619-07:00Aksara Lampung<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: inherit;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhP2nlxBGiR2Wy089YYtG6QgAePKxV2B-CsxCc5js5Jo88kOq_mZP8sCBcgN4_sa1tYVMNFVry8gfa0zjLFjzDCA4RafZOUXIxG5xIYIcWostWYRnKKcWc2wyEz-3IuKX_Ng5iX9jDswMc/s1600/New+Picture+%252869%2529.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhP2nlxBGiR2Wy089YYtG6QgAePKxV2B-CsxCc5js5Jo88kOq_mZP8sCBcgN4_sa1tYVMNFVry8gfa0zjLFjzDCA4RafZOUXIxG5xIYIcWostWYRnKKcWc2wyEz-3IuKX_Ng5iX9jDswMc/s320/New+Picture+%252869%2529.jpg" width="263" /></a></span></div></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Bentuk tulisan yang masih berlaku di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. </span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Macam-macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tapi tidak memakai tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang. Masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Aksara Lampung hampir sama bentuknya dengan aksara Rencong (Aceh). Artinya, Had Lappung dipengaruhi dua unsur, yakni; aksara Pallawa dan huruf Arab.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
Adapun Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka, dan tanda baca.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><a name='more'></a><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><b>1 . Huruf Induk</b><br />
Aksara Lampung disebut dengan istilah kaganga, ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan (pada Tabel 1 dibaca dari atas ke bawah). Huruf induk berjumlah 20 buah. Bentuk, nama, dan urutan huruf induk dikemukakan pada Tabel 1 dibawah ini.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Berikut adalah kelabai sughat bahasa lampung :</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
<a href="http://supriliwa.files.wordpress.com/2008/02/akarsa-lampung.gif" title="akarsa-lampung.gif"><img alt="akarsa-lampung.gif" src="http://supriliwa.files.wordpress.com/2008/02/akarsa-lampung.gif?w=500" /></a></span> </div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><b><br />
2. Anak Huruf </b></span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><b> </b><br />
Anak huruf Kaganga ada 12 buah:</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Nama masing-masing anak huruf itu adalah sebagai berikut:</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
<a href="http://supriliwa.files.wordpress.com/2008/02/anak-hurug.gif" title="anak-hurug.gif"><img alt="anak-hurug.gif" src="http://supriliwa.files.wordpress.com/2008/02/anak-hurug.gif?w=500" /></a> </span><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">a. Anak huruf yang terletak diatas huruf<br />
1. ulan<br />
2. bicek<br />
3. tekelubang : ang<br />
4. rejenjung : ar<br />
5. datas : an<br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">b. Anak huruf yang terletak dibawah huruf<br />
1. bitan : dan<br />
2. tekelungau : au<br />
</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">c. Anak huruf yang terletak di kanan huruf<br />
1. tekelingai : ai<br />
2. keleniah : ah<br />
3. nengen : tanda huruf mati</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: inherit; text-align: left;"><span style="font-size: small;">Sumber : diolah dari http://kabepiilampungcom.wordpress.com/category/aksara-nusantara/ </span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-16893665618171848962011-09-19T08:47:00.000-07:002011-10-18T00:04:51.258-07:00Aksara Kawi dan Perubahannya menjadi Aksara Jawa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; font-family: inherit; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirOL1AtQz1tYw8TayttwA6yBlPnhMfI4ncgyLEwAOKnWh3c70qlm6I8MHdS5VFs-PTXPzlcSD_fYPUH_FcCY_Rsh840b6ZUJyi78-ukDbssfCX7ZxKFgpgXv6MPagCCO6wr1Xe9W5rtlM/s1600/aksara-kawi1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirOL1AtQz1tYw8TayttwA6yBlPnhMfI4ncgyLEwAOKnWh3c70qlm6I8MHdS5VFs-PTXPzlcSD_fYPUH_FcCY_Rsh840b6ZUJyi78-ukDbssfCX7ZxKFgpgXv6MPagCCO6wr1Xe9W5rtlM/s320/aksara-kawi1.jpg" width="299" /></a></span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><b>Kawi</b> (juga dikenal dengan nama Kavi) adalah nama untuk sistem penulisan atau aksara yang berasal dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa" title="Jawa">Jawa</a> dan digunakan di sekitar <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Semenanjung_Malaya" title="Semenanjung Malaya">Semenanjung Malaya</a> dalam berbagai <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti" title="Prasasti">prasasti</a> dan tulisan dari abad ke-8 hingga sekitar tahun 1500 M. Kawi juga merupakan nama dari bahasa, yaitu <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Kawi" title="Bahasa Kawi">Bahasa Kawi</a> yang digunakan dalam prasasti dan tulisan tersebut di atas, namun lebih umum disebut sebagai <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Kuna" title="Bahasa Jawa Kuna">Bahasa Jawa Kuna</a>. </span></div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Aksara Kawi berasal dari “<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Pallawa" title="Aksara Pallawa">Aksara Pallawa</a>” menurut para ahli Studi Asia Tenggara seperti <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/George_Coedes" title="George Coedes">George Coedes</a> and D. G. E. Hall<sup> </sup>sebagai dasar dari beberapa sistem penulisan atau aksara di Asia Tenggara.</span></div><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Tulisan beraksara Kawi paling awal diketahui berasal dari zaman <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Singasari" title="Kerajaan Singasari">Kerajaan Singasari</a> di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa" title="Jawa">Jawa</a>. Sedangkan yang lebih baru ditemukan dalam masa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Majapahit" title="Kerajaan Majapahit">Kerajaan Majapahit</a>, juga di pulau Jawa dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bali" title="Bali">Bali</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan" title="Kalimantan">Kalimantan</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera" title="Sumatera">Sumatera</a>.</span></div><a name='more'></a><div style="font-family: inherit;"><br />
</div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Huruf Kawi termasuk jenis <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abugida" title="Abugida">abugida</a>, yang artinya huruf-huruf dibaca dengan vokal yang menyertainya. Tanda <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Diakritik&action=edit&redlink=1" title="Diakritik (halaman belum tersedia)">diakritik</a> digunakan untuk membunyikan vokal dan mewakili konsonan murni, atau mewakili vokal-vokal lain.</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;">Dokumen terkenal yang ditulis dalam huruf Kawi adalah prasasti <i><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laguna_Copperplate_Inscription&action=edit&redlink=1" title="Laguna Copperplate Inscription (halaman belum tersedia)">Laguna Copperplate Inscription</a></i>, yang ditemukan 1989<sup><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Kawi#cite_note-pdi-1"></a></sup> di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Laguna_de_Bay" title="Laguna de Bay">Laguna de Bay</a>, di metropleks <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Manila" title="Manila">Manila</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Filipina" title="Filipina">Filipina</a>. Prasasti ini ditulis pada 822 tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Saka" title="Saka">Saka</a> atau setara dengan tanggal 10 Mei 900 M, dan ditulis dalam <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_Kuna" title="Bahasa Melayu Kuna">Bahasa Melayu Kuna</a> dan mengandung banyak kata pinjaman / serapan dari bahasa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sansekerta" title="Sansekerta">Sansekerta</a> dan beberapa dari elemen perbendaharaan kata non-Melayu yang asalnya meragukan antaralain dari Bahasa Jawa Kuna atau dari <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Bahasa_Tagalog_Kuna&action=edit&redlink=1" title="Bahasa Tagalog Kuna (halaman belum tersedia)">Tagalog Kuna</a>. Dokumen ini, selain penemuan lain akhir-akhir ini di negara tersebut seperti <i><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Golden_Tara&action=edit&redlink=1" title="Golden Tara (halaman belum tersedia)">Golden Tara</a></i> dari <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Butuan&action=edit&redlink=1" title="Butuan (halaman belum tersedia)">Butuan</a> serta tembikar dan artifak perhiasan emas dari abad ke-14 yang ditemukan di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cebu" title="Cebu">Cebu</a>, merupakan hal yang sangat penting dalam upaya merevisi sejarah kuno Filipina (900–1521).</span></div><div style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="font-family: inherit;"><tbody>
<tr> <td width="80%"><span style="font-size: small;">Perubahan aksara Kawi menjadi Aksara jawa modern</span></td> <td width="20%"><span style="font-size: small;"><br />
</span></td> </tr>
<tr> <td colspan="2" height="20"><div><br />
<span style="font-size: small;">Sebenarnya hampir tidak banyak perubahan bentuk aksara kawi menjadi aksara jawa modern, yang menonjol adalah berubahnya nama huruf-huruf <b>mahaprana</b> menjadi <b>aksara Murda</b> dalam aksara jawa modern, </span><br />
<table align="center" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 200px;"><tbody>
<tr> <td><span style="font-size: small;"><br />
</span></td> </tr>
<tr> <td><div><span style="font-size: small;"><img alt="" height="320" src="http://hanacaraka.fateback.com/images/ak_jwkawi_01.gif" width="400" /> </span></div></td> </tr>
<tr> <td><div><span style="font-size: small;"></span></div></td> </tr>
<tr> <td><div><span style="font-size: small;"><img alt="" height="293" src="http://hanacaraka.fateback.com/images/ak_jwkawi_02.gif" width="400" /></span></div></td> </tr>
<tr> <td><div><span style="font-size: small;"><img alt="" height="290" src="http://hanacaraka.fateback.com/images/ak_jwkawi_03.gif" width="400" /></span></div></td> </tr>
<tr> <td><div><span style="font-size: small;"><img alt="" height="220" src="http://hanacaraka.fateback.com/images/ak_jwkawi_04.gif" width="400" /></span></div></td> </tr>
</tbody> </table><br />
<span style="font-size: small;"><i>Dirangkum dari Kitab Pelajaran Bahasa jawa Kuna penulis Prawirosugondo, 1950 </i><br />
(ucapan terima kasih kepada Bp. Sugiarso di Jayapura yang telah mengirimkan koleksi bukunya kepada kami)</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">*Sumber diolah dari : wikipedia dan http://kabepiilampungcom.wordpress.com/category/aksara-nusantara/ </span></div></td></tr>
</tbody></table><div style="font-family: inherit;"><br />
</div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-86177365929684138342011-09-19T08:28:00.000-07:002011-09-19T08:36:17.601-07:00Aksara Jawa, Cikal-Bakal Sejarah Jawa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJvjSVCoLrWhj-ycBw0LZowi1fQoiAFqqEvV7FIq6u9Rk3Sa4QKNY-ShfeiXbq4qisjj-x4y9aBgfTUl1Q_Ttm3HJyn9LExMVi_moSYqQ1PGKWUbibT-Bm4EM7K6eKB-uxFOHNo7XJ6FU/s1600/aksara-jawa13.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="272" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJvjSVCoLrWhj-ycBw0LZowi1fQoiAFqqEvV7FIq6u9Rk3Sa4QKNY-ShfeiXbq4qisjj-x4y9aBgfTUl1Q_Ttm3HJyn9LExMVi_moSYqQ1PGKWUbibT-Bm4EM7K6eKB-uxFOHNo7XJ6FU/s320/aksara-jawa13.jpg" width="320" /></a></span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Aksara Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Tak hanya di Jawa, aksara Jawa ini rupanya juga digunakan di daerah Sunda dan Bali, walau memang ada sedikit perbedaan dalam penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama saja.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Di bangku Sekolah Dasar, siswa-siswi di Jogja pasti tak asing dengan pelajaran menulis aksara Jawa. Namun tahukah kita bahwa Aksara Jawa yang berjumlah 20 yang terdiri dari Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga dinamakan Aksara Legena.</span></div><a name='more'></a><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Ya, Aksara Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah. Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup oleh <i>wignyan</i>, <i>cecak </i>dan <i>layar</i>. Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, di dalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga. </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Aksara Jawa ternyata juga mengalami peralihan. Ada Aksara Jawa Kuno dan Aksara Jawa baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa baru. "Sangat sulit menemukan kapan lahir ataupun peralihannya. Dikarenakan juga masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini," jelas Dra. Sri Ratna Sakti Mulya, M. Hum, Dosen Sastra Jawa UGM. Diprediksi Aksara Jawa Kuno ada pada jaman Mataram Kuno. Aksara Jawa Kuno juga mirip dengan Aksara Kawi. "Jika mau diurut-urutkan, sejarah Aksara Jawa ini berasal dari cerita Aji Saka dan Dewata Cengkar," tambahnya.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Dari penulisannya pada jaman dahulu pun, ternyata Aksara Jawa dapat dibedakan menjadi 2, yaitu aksara yang ditulis oleh orang-orang Kraton dan aksara yang ditulis oleh masyarakat biasa - lebih dikenal dengan sebutan Aksara Pesisir. Aksara Kraton mempunyai bentuk yang jauh lebih rapi. Aksara-aksaranya ditulis dengan jelas dan rapi, serta naskah sering dihiasi dengan gambar ornamen-ornamen yang mempunyai arti tersembunyi. "Setiap gambar yang menghiasi halaman naskah, mempunyai arti dan maknanya masing-masing. Kadang juga dihiasi dengan tinta emas asli. Dan ini semuanya adalah tulisan tangan," jelas Bapak Rimawan, Abdi Dalem yang membantu mengelola Perpustakaan Pakualaman. Sedangkan aksara Pesisir, penulisannya kurang rapi.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"> </span><span style="font-size: small;">Sebagai salah satu cara pelestarian, banyak koleksi naskah aksara Jawa sejak jaman dahulu tersimpan rapi di Perpustakaan Pakualaman dan Perpustakaan Kraton. Perpustakaan Pakualaman menyimpan sekitar 251 naskah kuno yang dikumpulkan mulai sejak masa Pakualam I hingga Pakualam VII. </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Aksara Jawa sudah mendapat pengakuan resmi dari Unicode, lembaga di bawah naungan UNESCO. Pengakuan ini diberikan pada 2 Oktober 2009, bersamaan dengan penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Dengan pengakuan itu, kini aksara Jawa bisa dipakai untuk komputer yang setara dengan huruf lain di dunia yang telah digunakan dalam komputer, seperti Latin, Cina, Arab, dan Jepang. </span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Pengakuan tersebut diberikan setelah Ki Demang Sokowaten dari Yogyakarta pada 9 September 2007 silam mendaftarkannya ke Unicode. Banyak keuntungan bagi Indonesia apabila aksara Jawa diakui UNESCO sebagai simbol salah satu bahasa ibu di dunia, diantaranya: terlindungi dari ancaman kepunahan, melindungi dan melestarikan sendi-sendi kebudayaan aksara Jawa, serta tidak bisa dicuri atau diklaim pihak manapun.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Aksara Jawa Hanacaraka atau yang dikenal dengan nama Carakan termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan dari aksara Assyiria.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Aksara Jawa modern adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dari struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara latin.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang menuliskannya di atas garis.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">1. Huruf Dasar (Aksara Nglegena)</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Pada aksara Jawa Hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu “cerita pendek”:</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">* ha na ca ra ka<br />
* da ta sa wa la<br />
* pa dha ([dha]) ja ya nya ([ɲa])<br />
* ma ga ba tha ([ʈa]) nga ([ŋa])</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">2. Huruf Pasangan (Aksara Pasangan)</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega akan diperlukan pasangan untuk “se” agar “n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan terbaca manganasega.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">3. Huruf Utama (Aksara Murda)</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">4. Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara)</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">5. Huruf Tambahan (Aksara rèkan)</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">6. Huruf Vokal Tidak Mandiri (Sandhangan)</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">7. Tanda Baca (Pratandha)</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">a. Berdasarkan bentuk aksara dibagi menjadi 3, yakni:</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">1. Ngetumbar</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">2. Mbata Sarimbag</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">3. Mucuk Eri</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">b. Berdasarkan daerah asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa:</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">* Yogjakarta<br />
* Surakarta</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Penggunaan (pengejaan) Hanacaraka pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan aksara ini. Pertemuan pertama menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena loka karya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/. Alih-alih penulisan ejaan baru menjadi bentuk Ronggawarsita -bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19- dengan mengurangi penggunaan taling-tarung.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam mempelajari tulisan Hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Kongres ini menghasilkan perubahan beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan).</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Ada sedikit perbedaan dalam Cacarakan Sunda dimana aksara “Nya” dituliskan dengan menggunakan aksara “Na” yang mendapat pasangan “Nya”. Sedangkan Aksara “Da” dan “Tha” tidak digunakan dalam Cacarakan Sunda. Juga ada penambahan aksara Vokal Mandiri “É” dan “Eu”, sandhangan “eu” dan “tolong”.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Integrasi Aksara Jawa Hanacaraka ke dalam Sistem Informasi Komputer.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Usaha-usaha untuk mengintegrasikan aksara ini ke sistem informasi elektronik telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden (dipimpin Willem Van Molen). Integrasi ini diperlukan agar setiap anggota aksara Jawa memiliki kode yang khas dan diakui di seluruh dunia.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara ini ke Unicode pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998. Selanjutnya, Jason Glavy membuat “font” aksara Jawa yang diedarkan secara bebas sejak 2002 dan mengajukan proposal pula ke Unicode. Di Indonesia Ermawan Pratomo membuat font Hanacaraka pada tahun 2001,Teguh Budi Sayoga pada tahun 2004 telah membuat font aksara Jawa untuk Windows (disebut “Hanacaraka”) berdasarkan ANSI. Matthew Arciniega membuat screen font untuk Mac pada tahun 1992 dan ia namakan “Surakarta”. Yang terbaru adalah yang digarap oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006), yang dapat diekspor ke dalam html.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;">Baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara ini. Aksara Jawa Hanacara saat ini telah dirilis dalam Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009. Alokasi Memori Aksara Jawa (Javanese) pada Unicode 5.2.0 adalah di alamat A980 sampai dengan A9DF.</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: left;"><span style="font-size: small;">*Sumber : diolah dari http://ksupointer.com/aksara-jawa dan http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=7&news_id=1021</span></div></div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7827128299661047873.post-20517493833221339272011-07-14T02:30:00.000-07:002011-07-14T02:30:40.845-07:00Mengungkap Sosok Saridin<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh81DSLuLs7BjQTB4U6P_eJcMscH1_iTNakmauqknEh90TvmClTKXkrTbhTqeYhhAXICqgoR7k37E8Re2n6mNQF9x9LhnJXLnPYjuG1kA8J50vPMjut0sJP-BOYDeeD8LekDiXMqqAw2u4/s1600/jejak_petualang_by_GeoGrafer.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh81DSLuLs7BjQTB4U6P_eJcMscH1_iTNakmauqknEh90TvmClTKXkrTbhTqeYhhAXICqgoR7k37E8Re2n6mNQF9x9LhnJXLnPYjuG1kA8J50vPMjut0sJP-BOYDeeD8LekDiXMqqAw2u4/s320/jejak_petualang_by_GeoGrafer.jpg" width="204" /></a></div><small class="metadata"><span class="chronodata"><br />
</span> </small> <br />
Siapa sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.</div><div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;">Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ontran - ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Atas jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya. </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">*Dari berbagai sumber</div>@dolobwaehttp://www.blogger.com/profile/05640627442237418379noreply@blogger.com0