Membicarakan bedhaya tentu tidak lepas dari proses penciptaan tari bedhaya itu sendiri. Pada mulanya, bedhaya dan srimpi di keraton adalah termasuk joged atau tari pasamuwan agami. Hal tersebut terlihat dari lambatnya tetabuhan gamelan dan lemah gemulai serta tajamnya (khusuknya) penari.
Kira-kira tari tersebut pada jaman kuna (dahulu) adalah joged atau tari persembahan di candi atau pundhen. Ditarikan oleh para perawan sebagai sarana memuja dewa Siwa, Wisnu, atau Brahma. Ketika itu, tari
tersebut jelas bukan tari pertunjukan hiburan.
Candi-candi atau pundhen tersebut pada zaman dahulu, hanya dibangun atas perintah seorang raja. Bangunan tersebut digunakan sebagai sarana hormat dan prasetya serta untuk memohon rahmat dari dewa. Dapat diperkirakan para penari (yang masih suci, perawan) tersebut termasuk abdi raja (abdi dalem). Bersamaan dengan hilangnya penyembahan terhadap dewa-dewa akibat masuknya agama Islam, para tersebut penari (yang masih suci, perawan) mendapat pengungsian di keraton. Pada waktu-waktu tertentu, kadang kala mereka masih mempertontonkan kepiawaiannya menari. Sehingga, tari tersebut dapat lestari hingga sekarang dan hanya dimiliki oleh raja.
Sedangkan joged bedhaya srimpi, gamelannya hanya sebagai sarana perlengkapan saja, sebagai perlengkapan dari pertunjukan joged atau tari, jadi hanya sebagai pengiring wirama dan wiletnya. Tari tersebut tentu saja harus diiringi sindhen (syair lagu), ada beberapa bedhaya dan srimpi yang syairnya hanya uran-uran, isinya tidak berhubungan sedikitpun dengan yang dipertunjukkan, maka sering membuat salah terima, bedhaya atau srimpi tesebut dinamai sesuai dengan nama uran-uran.
Malahan, uran-uran tersebut hanya merupakan pethikan yang tidak berhubungan, walaupun ada beberapa yang memang urut, tetapi tetap saja tidak berhubungan dengan yang lainnya. Para bedhaya sendiri juga tidak terasa atau pun mengerti sambungannya, mengertinya hanya menurut aturan beberapa tembang. Dari hal tersebut dapat diketahui, bahwa tari bedhaya hanya meneruskan tata cara adat tradisi kuna, tidak ada ciri-cirinya yang berhubungan dengan rasa dari pelakunya sendiri.
Para guru tari putri sebisa mungkin akan selalu berusaha mengupayakan, jangan sampai ada perubahan yang kedua menurut keinginannya sendiri. Tari, tata cara, dan aturan seluruhnya selalu dilestarikan seperti sediakala.
Hal tersebut turun-temurun hingga ratusan tahun, maka khasanah luhur dari jaman kuna tersebut dapat lestari hingga sekarang.
Apabila kita memperhatikan bedhaya Ketawang dan bedhaya Semang, ada beberapa hal unik yang menarik. Masing-masing tari tersebut dimiliki oleh dua kerajaan besar penerus dinasti Mataram pasca perjanjian Giyanti, yaitu bedhaya Ketawang dimiliki oleh Karaton Surakarta dan bedhaya Semang dimiliki oleh Karaton Ngayogyakarta. Kedua tari sakral ini berfungsi sebagai tari upacara pada saat peristiwa jumenengan dalem atau yang kita kenal sebagai peristiwa penobatan raja baru dan ulang tahun tahta raja. Meskipun kedua tari ini bersumber dari akar yang sama (kedua kerajaan tersebut berasal dari dinasti mataram), namun keduanya memiliki ciri khas unik yang berbeda. Hal ini disebabkan karena kedua keraton ini menciptakan suatu ciri khas sebagai identitas jati diri.
Dari data-data yang ada, terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa bedhaya Ketawang lebih tua daripada bedhaya Semang. Hal ini tersurat pada naskah cakepan (syair lagu) bedhaya Ketawang yang mengisahkan percintaan antara Panembahan Senapati dan Kangjeng Ratu Kidul ketika berada di keraton laut selatan. Berbeda dengan cakepan bedhaya Semang yang mengisahkan tentang sebuah peperangan yang begitu dahsyat (dalam naskah diibaratkan bagai angin lesus) dan memakan banyak korban. Ada dugaan yang kuat bahwa bedhaya Ketawang merupakan peninggalan Sultan Agung. Menurut manuskrip yang tersimpan di perpustakaan Sana Pustaka Karaton Surakarta, tari bedhaya Ketawang diciptakan oleh Sultan Agung dengan bantuan beberapa orang ahli tari dan karawitan (silakan baca Serat Wedhapradangga). Berbeda dengan bedhaya Semang, dari naskah manuskrip yang tersimpan di perpustakaan Karaton Ngayogyakarta (K. H. P. Widyabudaya) berupa kumpulan syair lagu pengiring bedhaya dan srimpi. Naskah ini memuat syair lagu bedhaya Semang. Dari analisis struktur yang ada pada syair bedhaya Semang, dapat dipastikan bahwa tari ini diciptakan pada masa-masa perjuangan Pangeran Mangkubumi karena naskah ini menggambarkan peperangan yang dahsyat disertai jatuhnya banyak korban. Dapat disimpulkan bahwa bedhaya Ketawang lebih tua daripada bedhaya Semang.
Membandingan keunikan dan ciri khas masing-masing tari tersebut tentu tidak hanya bisa dilihat dari bukti-bukti literatur yang ada. Keunikan kedua tari tersebut dapat kita perhatikan pada saat pementasan. Komponen-komponen yang perlu mendapat perhatian ialah busana, penyajian, dan tentu saja komposisi gerak tari.
Busana kedua tari tersebut menggunakan dhodhot ageng pengantin jawa yang disebut basahan. Meskipun demikian, tentu saja busana yang dikenakan akan mengikuti pakem masing-masing keraton. Kedua tari sama-sama menggunakan gelung bokor mengkureb, tetapi bentuk bokor mengkureb-nya berbeda. Busana gaya Surakarta menggunakan gelung bokor mengkureb dengan ukuran yang lebih besar dibanding gaya Yogyakarta. Busana Yogyakarta juga dilengkapi kelat bahu yang berbentuk naga. Kelat bahu ini tidak dimiliki oleh gaya Surakarta.
Panyajian kedua tari tersebut tidak jauh berbeda. Diawali dari pembukaan, bagian inti dan penutup. Jumlah penari adalah sembilan orang. Bedhaya Ketawang pada saat latihan (latihan jatuh setiap hari Selasa Kliwon dalam penanggalan Jawa) boleh ditarikan oleh tujuh orang.
Dugaan semula, bedhaya Semang merupakan modifikasi dari babak ketiga bedhaya Ketawang adalah tidak tepat. Dugaan ini muncul karena babak ketiga bedhaya Ketawang disebut juga dengan Semang-semang karena permulaan syairnya terdapat kata semang-semang. Namun, bentuk dan cerita yang ditampilkan oleh bedhaya Semang berbeda jauh dengan yang terdapat pada bedhaya Ketawang.
Satu hal yang kontras pada penyajian kedua tari ini terletak pada iringan musiknya. Bedhaya Ketawang tidak menggunakan iringan gamelan lengkap. Instrumen yang digunakan hanya kethuk, kenong, kendhang ageng, ketipung, kemanak. Gerongan ketawang ageng menjadi bagian pokok dalam pengiring. Gerongan ini disajikan secara koor (dibawakan oleh lebih dari satu sindhen dan dinyanyikan bersama-sama). Ada satu instrumen unik yang mendapat perhatian khusus, yaitu kemanak. Kemanak adalah instrumen yan berbentuk seperti pisang, tetapi berlubang bagian tengahnya (bayangkan lobang pada kenthongan), berjumlah sepasang. Dimainkan dengan cara dipukul secara bergantian. Suasana yang ditimbulkan oleh perpaduan antara kemanak dan gerongan berkesan tintrim, wingit, dan angker. Kemanak dalam tradisi Yogyakarta kurang populer. Walaupun instrumen pengiring bedhaya Ketawang sederhana, namun tidak mudah untuk dimainkan.
Permainan keseluruhan instrumen membutuhkan konsentrasi tinggi. Hal ini disebabkan karena permainan gendhing ini berkesan monoton meskipun ada perubahan irama dari lambat menuju cepat, sehingga menyebabkan para pengrawit mengantuk dan akibatnya akan mengacaukan permainan gendhing tersebut. Bedhaya Semang menggunakan iringan gamelan lengkap. Komposisi permainannya menggunakan ndhawah untuk pergantian ke pola lagu yang berbeda. Ada beberapa bagian gamelan berhenti (rep), kemudian gamelan berbunyi lagi (gesang). Saat gamelan tidak berbunyi, intrumen yang digunakan adalah instrumen halus, seperti rebab, gambang, gender, dan kendhang. Pola garap tabuhan seperti ini pada gaya Surakarta umum digunakan untuk mengiringi bedhaya dan srimpi yang lebih muda (selain bedhaya Ketawang).
Bentuk pola tarian kedua tari ini menunjukkan suatu tujuan penggambaran yang berbeda. Pola bedhaya Ketawang berhubungan dengan astronomi, yaitu mengikuti pola perbintangan (rasi bintang) yang dikenal dan dianut masyarakat Jawa untuk keperluan sehari-hari (menentukan musim, bertani, dan sebagainya). Beberapa pola rasi bintang yang digunakan adalah gubug penceng dan waluku. Pola bedhaya Semang menggambarkan pola strategi perang dan berkesan tegas.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa kedua tari ini memiliki sesuatu hal yang unik dan kontras. Walaupun berasal dari akar yang sama, tetapi karena hidup pada dua lingkungan entitas yang berbeda hal ini menyebabkan keduanya mengembangkan gaya yang khas sebagai upaya menunjukkan jati diri dan idiologi yang berbeda.
Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2089159&page=2
15 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar