Ceramah Ki Ageng Suryomentaram ini disampaikan beliau dalam pertemuan yang diadakan di Yayasan Hidup Bahagia, Jakarta, pada tanggal 19 Juli 1958.
Rasa bebas adalah rasa tidak bertentangan (konflik). Apabila orang melihat sesuatu dan mengerti sifatnya, ia akan merasa bebas; yakni tidak berselisih dengan sesuatu yang dilihat dan dimengerti. Melihat dan mengerti itu
tidak hanya melalui panca indera, tetapi juga dengan rasa hati dan pikiran.
Bila melihat dan mengerti dalam diri orang itu terpisah, hal itu tidak dapat menimbulkan rasa bebas. Misalnya seorang digigit nyamuk malaria. Ia memperoleh keterangan, bahwa nyamuk malaria itu, setelah menggigit orang yang menderita sakit malaria, ia tentu mengandung kuman-kuman penyakit, dan akan menularkan penyakit pada orang lain yang digigitnya. Mendengar keterangan semacam itu, orang dapat mengerti, tetapi tidak melihat prosesnya. Maka tatkala ia menderita sakit malaria dan makan obat malaria, namun penyakitnya tidak sembuh, berselisihlah ia dengan penyakit malaria, maka ia merasa tidak bebas. Demikian bila orang mengerti, tetapi tidak melihat, sehingga ia tidak bebas.
Sebaliknya, walaupun melihat, kalau tidak mengerti, orang pun tidak akan bebas. Umpama, kita melihat bola lampu di atas ini, yang bentuknya bulat dan cahayanya terang. Tetapi bila kita tidak mengerti bagaimana cara memadamkan atau menyalakannya, jikalau bola lampu itu tiba-tiba padam, kita menjadi bingung, lantas bertengkar dengan bola lampu itu, sehingga tidak bebas.
Jadi rasa bebas atau tidak berselisih itu timbul, jika kita serentak melihat sesuatu dan mengerti sifatnya. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa api itu bila dipegang dapat membakar tangan. Maka kita merasa bebas dan tidak bertengkar dengan api. Artinya, kita tidak berusaha mengubah sifat api itu, sehingga tidak membakar tangan yang memegangnya. Rasa bebas ini melahirkan perbuatan yang pasti benar. Tegasnya kita tidak akan berbuat, tanpa sengaja memegang api.
Supaya lebih jelas, saya beri contoh lain lagi. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa ular belang itu berbisa, ia dapat membinasakan orang yang dipagutnya. Maka bebaslah kita untuk tidak menentang ular itu. Tegasnya, kita tidak perlu berusaha mengubah sifat ular belang itu supaya tidak berbisa. Tindakan kita yang tepat dalam menghadapi ular itu, ialah menyingkiri atau mengusirnya.
Melihat dan mengerti terhadap rasa batin (emosi} pun dapat menimbulkan rasa bebas atau tidak berselisih, antara batin yang melihat dan batin yang dilihatnya. Sebaliknya, bila melihat dan mengerti terhadap rasa-rasa itu terpisah, hal itu tidak menimbulkan kebebasan, melainkan perselisihan. Misalnya kita sedang marah, kita menyadari kemarahan itu. Tetapi kita tidak mengerti makna marah kita itu. Karena itu kita menentang kemarahan kita, yang berwujud perbuatan menahan marah. Pertentangan itu merupakan perang batin, dalam mana pada suatu saat kita merasa "aku marah", pada saat kemudian kita merasa "aku menahan marah". Sehingga kita bingung untuk menentukan diri kita sendiri ini yang mana. Yang marah, atau yang menahan marah. Kita mengira bahwa kedua rasa itu, berasal dari dua unsur yang berlainan. Padahal, rasa yang marah dan rasa yang menahan marah itu sebenarnya adalah sama sifatnya. Pada waktu kita marah, kita merasa bahwa kemarahan itu akan menimbulkan tindakan yang berakibat tidak enak. Untuk menghindari hal itu kita lalu berusaha menahan marah, atau dengan kata lain, menentang marah. Jika diteliti rasa menahan atau menentang marah itu, ternyata juga rasa marah; yakni marah terhadap diri-sendiri. Kalau semula kita marah terhadap orang lain, kini kita marah terhadap diri sendiri. Jadi yang yang menahan marah adalah si marah, yang masih bersifat sama. Pengertian di atas itu melahirkan kesadaran bahwa diri-sendiri si-marah tidak dapat mengubah kemarahan sendiri.
Dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa diri-sendiri "si marah", tidak dapat mengubah sifat dirinya. Setiap kali kita berusaha mengubah diri sendiri, selalu tidak berhasil, melainkan berganti rupa. Yaitu si marah menjadi si menahan marah. Bila kita sudah mengerti bahwa kita tidak dapat mengubah diri-sendiri, maka kita tidak ingin mengubah. Bila kita, dalam keadaan perang batin itu tidak ingin mengubah diri-sendiri, maka diri-sendiri lalu 'diam, tidak bergerak'. Dengan kata iain, berarti diri-sendiri 'mati'. Sudah tentu yang mati bukan raga kita, melainkan rasa "aku" kita, atau rasa "aku" si Kramadangsa. "Kramadangsa" ini adalah rasa "aku", identik dengan namanya sendiri-sendiri. Orang itu mempunyai nama sendiri-sendiri, dan merasa "aku" dengan namanya sendiri-sendiri. Jika ia bernama Suta, ia merasa aku si Suta, jika ia bernama Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa aku identik dengan nama sendiri ini, saya beri istilah "Kramadangsa".
Jadi yang marah itu adalah diri-sendiri yang merasa aku si Kramadangsa, dan yang menahan marah pun si Kramadangsa. Jika Kramadangsa ini mati, tentu perbuatan marahnya tidak terlaksana. Mengerti atas kemarahan sendiri demikian itu, kita bebas dari kemarahan kita sendiri. Artinya kita tidak bertentangan dengan marah kita. Kebebasan ini, pasti melahirkan perbuatan benar, yang tidak mungkin salah. Bila kita bergaul dengan orang lain, kita dapat mengetahui rasa orang itu. Mengetahui rasa orang lain pun, menimbulkan rasa bebas, yang tidak berselisih dengan orang lain. Tidak berselisihan ini, berarti tidak menabrak rasa orang lain, oleh karenanya damai dalam hubungannya.
Rasa yang perlu dilihat dan dimengerti itu, ialah rasa kita sendiri. Karena meskipun kita mengetahui banyak macam barang-barang, tetapi bila kita tidak mengetahui diri kita sendiri, pasti berselisihan dengan diri-sendiri, dan timbulah perang batin (konflik). Tetapi kita takut melihat diri-sendiri dan kita berusaha menutupi diri-sendiri, supaya tidak tampak seperti diri-sendiri. Bila diri-sendiri sudah kelihatan tidak seperti diri-sendiri, barulah kita puas. Jadi kita tidak puas hanya sebagai mana adanya diri-sendiri. Sekarang, mari kita teliti rasa kita sendiri, yang takut melihat diri-sendiri ini.
Terlebih dahulu saya jelaskan dalil saya, ialah bahwa kita takut melihat diri-sendiri ini adalah sama dengan setiap orang. Tetapi kita takut melihat kenyataan, bahwa diri kita itu sama dengan orang lain. Maka kita cari tutupnya, untuk menutupi diri-sendiri, supaya tidak sama dengan setiap orang. Sehingga kita berusaha mati-matian mencari kekayaan, kedudukan dan kekuasaan (bhs. Jawa: semat, drajat, kramat) untuk menutupi diri-sendiri, agar supaya tidak tampak keadaan yang sesungguhnya. Kekayaan atau harta benda, kecuali untuk kebutuhan penghidupan, kita pakai untuk menutupi diri kita. Misalnya kita memakai pakaian baru yang mahal dan bagus, kita lantas congkak dan sombong. Rasa congkak dan sombong ini jika diteliti, berarti kita merasa beda dari keadaan kita yang sebenarnya, yaitu kita sudah merasa lain dari pada setiap orang.
Bila kita melihat dan mengerti bahwa diri kita adalah sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti diri-sendiri sebagai berikut: "Saya memakai baju baru mengapa menjadi congkak, sombong, ini karena apa? Apakah kalau bajuku baru, diriku pun turut menjadi baru? Sudah barang tentu sifat diriku yang sebenarnya, masih tetap sama seperti yang kemarin itu." Demikian kita menutupi diri-sendiri namun tidak mengubah keadaan yang sesungguhnya.
Kedudukan pun dipakai untuk menutupi diri kita sendiri. Misalnya kita baru saja memperoleh kenaikan pangkat, lantas kita merasa congkak, sombong. Bila kita mengerti bahwa diri-sendiri sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti kecongkakan dan kesombongan kita demikian: "Aku dapat kenaikan pangkat, mengapa menjadi congkak, sombong ini karena apa? Apakah kalau pangkatku tinggi, sifat batinku pun menjadi tinggi? Sudah tentu sifat diriku yang sebenamya masih sama saja seperti yang kemarin itu."
Bila kita memeluk salah satu agama, agama ini pun kita gunakan untuk menutupi diri kita sendiri, supaya tidak kelihatan keadaan yang benar, dan kita dapat menyombongkan diri. Memang agama itu baik karena ia mengajarkan: "Janganlah berdusta." Tetapi apakah kita dengan menganut pelajaran itu, lantas menjadi baik dan tidak berdusta? Sudah barang tentu sifat batin kita yang sesungguhnya, masih tetap seperti kemarin ini. Demikian kita berusaha menutupi diri, namun kita tetap sebagaimana adanya.
Umpama kita masuk suatu kelompok ideologi yang bersemboyan: "Sama Rata Sama Rasa". Semboyan itu pun kita pakai untuk menutupi diri kita. Sehingga kita sombong dan merasa sudah berbeda dari kita sendiri. Padahal sifat kita masih tetap sama, yaitu kita masih suka menyembunyikan uang isteri kita dan tidak berlaku sama rata sama rasa. Demikian itu kita berusaha mati-matian mencari tutupnya, untuk menutupi supaya tidak tampak seperti kita sendiri.
Ada lagi tutup yang berupa nama-nama dari orang-orang termashur. Misalnya yang kita pakai nama-nama jalan, seperti jalan Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain. Hal mana mencerminkan bahwa kita berpegangan pada orang-orang ternama.
Misalnya kita mengandal pada Prabu Joyoboyo yang di dalam dongeng kesohor, karena ia dapat meramalkan masa tujuh ratus tahun yang akan datang. Orang ternama itu, sering kita pergunakan untuk menakuti isteri kita sendiri, demikian: "Lihatlah Prabu Joyoboyo ini, ternama, hal-hal yang akan terjadi tujuh ratus tahun kemudian, ia sudah mengetahuinya. Apakah kamu tidak takut?" Biasanya isteri kita menjawab: "Kalau terhadap Prabu Joyoboyo, aku takut. Tetapi terhadap kamu, tidak!" Demikian kita mati-matian mencari tutup, yang berupa orang-orang termashur, untuk menutupi diri kita, agar tidak tampak keadaannya yang asli.
Sekarang marilah kita teliti, bagaimana sifat kita yang sama dengan setiap orang itu? Kita masing-masing merasa pribadi, yaitu merasakan apa saja secara sendiri, tidak dapat mewakilkannya kepada orang lain. Umpama saya menderita sakit gigi, dan saya minta saudara saya untuk mewakili penderitaan itu. Dapatkah sakit gigi itu dipindahkan kepada orang lain, pastilah tidak mungkin. Mau tidak mau, harus saya derita sendiri. Demikian rasa pribadi, yang berarti menanggung sendiri segala perasaan kita.
Oleh karena setiap orang itu merasa pribadi, maka kita masing-masing mencari enak (senang) sendiri (pribadi); dengan tidak mempedulikan orang lain. Meskipun orang lain itu terdiri dari anak atau isteri kita. Maka kita ini sebenarnya tidak mencintai anak-isteri kita, melainkan pura-pura mencintai mereka. Demikian kita menutupi diri supaya tidak kelihatan sifat kita yang sebenarnya.
Mari saudara-saudara saya ajak bersama-sama meneliti diri kita sendiri. Apakah kita, benar-benar mencintai suami/isteri kita? Ingatlah akan maksud kita pada waktu kita memilih calon suami/isteri kita. Apakah benar-benar kita ingin membahagiakan mereka sebagai manusia? Kaiau kita ingin membahagiakan manusia saja, ada ribuan manusia yang bersedia untuk dibahagiakan. Tetapi kita hanya ingin membahagiakan satu orang saja, yaltu calon suami/isteri kita. Maka jelaslah keinginan itu bukanlah cinta kasih, melainkan rindu asmara, mengejar kenikmatan diri-sendiri. Rasa hati kita: "Bila aku berjodoh dengan orang itu, aku akan senang sekali." Kita semata-mata memikirkan kesenangan diri-sendiri dengan tidak memperdulikan kepentingan calon suami/isteri kita. Jadi menghargai suami/isteri kita, hanyalah sebagai barang untuk kesenangan. Sama dengan barang-barang kesenangan yang berupa burung perkutut, kucing, dengkek (nama kartu ceki, dalam bahasa Jawa) dan sebagainya. Misalnya kita memelihara burung perkutut, bila burung itu bersiul bagus "hoorketekung", kita akan menambah makannya, air minumnya, dan memandikan serta mengereknya tinggi-tinggi. Tetapi bila burung itu berbunyi buruk "tekekkek", kita lantas benci dan membantingnya. Demikian juga tindakan kita terhadap suami/isteri kita, bila mereka tidak menyenangkan kita, seperti perkutut yang berbunyi "hoorketekekkek" kita segera membantingnya. Maka dalam setiap pertengkaran antara suami-isteri, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh tindak-tanduk yang tidak menyenangkan satu sama lain, seperti perkutut bersiul "hoorketekekkek" itu.
Oleh karena kita tidak mau melihat diri-sendiri sebagaimana adanya, maka kita lalu menutupi diri sebagai berikut: "Sebetulnya aku ini mencintai isteri, buktinya aku membelikan pakaian dan rumah yang bagus." Tetapi kalau diteliti, apakah membelikan barang-barang itu berarti cinta? Misalnya seorang suami, tatkala ia pulang dari luar negeri, membawa oleh-oleh berupa kain-kain indah untuk isterinya; dengan harapan bahwa sang isteri tentu akan senang dan ketawa bila melihat barang-barang tanda kecintaannya. Tetapi ternyata isterinya tidak ketawa senang, malah mengomeli: "Kamu pergi jauh-jauh ke luar negeri, hanya membawa kain semacam itu, di Jakarta saja banyak yang menjualnya." Bagaimana tanggapan suami itu, apakah ia masih tetap mencintai isterinya? Tentulah tidak, bahkan sebaliknya, ia akan kecewa dan marah. Maka jelaslah, hal itu bukanlah cinta kasih, melainkan sebagai hal jual-beli, yakni si suami membayar dengan kain untuk membeli tawa si isteri. Demikian dalam hubungan suami-isteri, masing-masing pihak mengharapkan faedah sebanyak-banyaknya, dan memberi faedah sedikit mungkin.
Begitu juga terhadap anak-anak kita, kita pun tidak mencintainya. Yang sering kita anggap sebagai cinta kasih, ialah hasrat hidup untuk melangsungkan keturunan. Misalnya di waktu anak kita masih kecil, kita rawat baik-baik supaya bisa berlangsung hidupnya. Sama halnya dengan kucing atau hewan lain, yang melindungi anaknya yang masih kecil. Tetapi bila anak itu sudah dewasa, kita sering mengajaknya bertengkar. Padahal pertengkaran itu bukanlah cinta kasih.
Di samping untuk melanjutkan keturunan, anak itu kita anggap sebagai dana pensiun dan alat kebanggaan. Kita merasa: "Anakku kudidik demikian rupa, agar ia memperoleh ijazah dan kedudukan baik dengan penghasilan besar. Karena jika saya sudah tua dan tidak kuat lagi bekerja, anakkulah yang memberi pensiun padaku." Bahkan penilaian ini sering menyeleweng jauh demikian: "Jika anakku berpenghasilan besar, sedang aku sudah tua, tidak bekerja lagi, tetapi masih butuh tambah isteri, maka kuharap ia akan mengawinkan aku lagi."
Selain untuk cadangan pensiun, kita menilai anak sebagai alat kebanggaan. Maka jika anak tidak membanggakan kita, tetapi mencemarkan nama kita, marahlah kita dan mengusirnya. Demikian persamaan diri kita dengan orang lain, atau setiap orang, yaitu kita sendiri merasa pribadi, mencari enak pribadi, dengan mengorbankan orang lain; walaupun anak-isteri/suami sendiri. Oleh karena itu, kita sendiri bila diganggu atau dirugikan lantas marah, sekalipun yang mengganggu anak-isteri-suami. Jadi sifat kita ini sebenarnya buas, galak. Padahal marah itu tidak mengenakkan, melainkan menyakiti orang lain, maka kita ini suka menyakiti orang lain; ibarat senjata yang ampuh. Jadi dapat dikatakan kita ini buas! galak dan ampuh, yang sama dengan tabiat sewenang-wenang. Maka kesimpulannya sifat kita sendiri ini buas, ampuh, sewenang-wenang, yang sama dengan orang lain atau setiap orang.
Bila kita mengerti bahwa sifat diri-sendiri yang buas, ampuh dan sewenang-wenang ini sama dengan orang lain, kita segera mengerti bahwa tidak ada orang yang baik. Pengertian itu membuat kita tidak lagi dapat dikelabui oleh pernyataan adanya orang baik. Dunia menjadi kacau-balau sekarang ini, karena manusia kena dikelabui oleh pernyataan tentang adanya orang baik. Sering kali dikabarkan bahwa di sana ada orang baik, lantas kita ikut-ikutan menyatakan benar ia baik, dan mempercayainya saja; tetapi pada akhirnya kita kecewa.
Jadi bila kita mengerti bahwa kita sendiri buas, ampuh, sewenang-wenang sama dengan orang lain; kita tidak dapat ditipu oleh pernyataan adanya orang baik, dan tidak dapat menipu pada diri-sendiri, dengan berpura-pura baik. Hal mana berarti kita melihat kenyataan yang ada pada diri-sendiri. Pengertian diri-sendiri inilah, yang seharusnya dipakai sebagai landasan membangun masyarakat.
Pada masa sekarang ini, pembangunan masyarakat kita tidak berdasar atas hal-hal yang nyata, tetapi berdasarkan atas cita-cita yang tidak nyata, yang dapat menimbulkan bentrokan. Membangun masyarakat yang luas itu, harus dimulai dari masyarakat lingkungan kecil; yaitu lingkungan keluarga.
Bila kita mengetahui kenyataan kita sendiri, kita dapat mengetahui pula kenyataan keadaan anak kita. Kalau diselidiki, ternyata anak itu dendam terhadap kita. Mengetahui dendam anak kita itu lebih mudah dari pada mengertinya. Misalnya pada masa kanak-kanak, kita setiap kali menderita susah, kita selalu menyalahkan orang tua kita. "Kalau orang tuaku tidak begini atau begitu, tentu aku tidak akan menderita seperti sekarang." Kemudian kita dapat pula mengetahui kenyataan isteri/suami kita, yang kecewa terhadap kita; karena mereka merasa menjadi korban dari watak sewenang-wenang kita.
Dalam membangun masyarakat, orang sering kali menanyakan: "Apakah seseorang itu diperuntukkan masyarakat, atau masyarakat itu diperuntukkan seseorang?" Pertanyaan tersebut telah lama usianya, dan memperoleh dua macam jawaban. Yaitu yang pertama, bahwa seseorang untuk masyarakat dan yang kedua adalah masyarakat untuk seseorang.
Jawaban bahwa masyarakat itu untuk seseorang, ini berarti yang dipentingkan adalah perseorangan. Masyarakat harus memberi kemerdekaan kepada seseorang. Kemerdekaan yang diberikan kepada setiap orang itu, dipergunakan oleh masing-masing orang, untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, tidak kenal batas. Sehingga menimbulkan bentrokan dengan kepentingan masyarakat. Hal itu kemudian meletus menjadi pemberontakan atau peperangan. Padahal perang adalah bertentangan dengan tujuan hidup. Kalau tujuan hidup ialah untuk melangsungkan kehidupan, sedangkan perang adalah bunuh membunuh. Maka perang, dengan dalih apapun adalah jahat dan keliru.
Jawaban lainnya bahwa seseorang untuk masyarakat, ini pun keliru. Karena pertanyaannya sendiri keliru, maka bila dijawab, jawabannya pasti keliru. Kekeliruan ini terdapat pada kedua pertanyaan, yang berupa pemisah seseorang dari masyarakat. Sedang keadaan yang sebenarnya, seseorang dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu badan kesatuan. Masyarakat itu terjadi dari hubungan seorang dengan seorang, yang diatur dengan peraturan-peraturan, perjanjian-perjanjian atau undang-undang. Undang-undang ini jika ditulis dinamakan tata-negara, jika tidak ditulis dinamakan aturan masyarakat. Undang-undang negara adalah perjanjian dalam hubungan antara warga negara, Undang-undang masyarakat ialah perjanjian dalam hubungan antara perseorangan. Sifat undang-undang atau hubungan Itu tergantung pada sikap jiwa orangnya. Bila jiwa orang yang berhubungan itu tenteram dan damai, maka hubungannya (masyarakat) pun tenteram dan damai. Tetapi bila orangnya gelisah, hubungannya (masyarakat) pun menggelisahkan. Jadi kalau undang-undang atau hubungan itu ibarat asapnya, orangnya adalah sebagai apinya. Maka bila usaha kita hanya menghilangkan asapnya, tanpa memadamkan apinya, usaha itu pasti akan sia-sia saja.
Manusia kerapkali mengalami kesulitan-kesulitan yang berupa pertikaian. Tiap-tiap pertikaian selalu dipecahkan dengan undang-undang, tetapi tidak pernah berhasil. Demikian menurut sejarah, telah terjadi juga di negara kita Indonesia. Pada jaman Majapahit, timbul perselisihan yang mengobarkan perang saudara. Kesudahan dalam perang saudara itu, Majapahit kalah dan berdirilah kerajaan Demak, serta mengganti undang-undang negara. Apakah setelah diadakan undang-undang baru, lantas tidak timbul pertikaian lagi? Tidak, pertikaian berjalan terus, sehingga pecah perang saudara lagi. Perang itu berakhir dengan kerajaan Demak kalah, dan yang menang mendirikan kerajaan di Mataram. Kerajaan baru ini pun mengganti undang-undang lama dengan yang baru. Setelah ada undang-undang baru, apakah tiada perselisihan lagi? Tidak, perselisihan masih saja terjadi, dan mengobarkan perang saudara lagi, dengan kesudahan Mataram kalah. Kemudian datanglah penjajah Belanda, yang menamakan tanah air kita Hindia Belanda, dan mengadakan undang-undang baru. Apakah setelah undang-undang baru pertikaian lantas lenyap? Tidak, pertikaian tetap terjadi. Sampai pada tanggal 17 Agustus 1945, kita memberontak sehingga lenyaplah penjajah itu. Dan lahirlah Republik Indonesia, dengan undang-undang baru yakni undang-undang berdasar Pancasila. Apakah setelah ada undang-undang tdak ada perselisihan? Saudara-saudara dapat membuktikan sendiri, bahwa perselisihan senantiasa ada saja. Jadi jelaslah bahwa kesulitan itu tidak dapat diselesaikan dengan undang-undang.
Kita bangsa Indonesia dalam membangun negara Indonesia kerapkali salah, yaitu yang dibangun bukan negara Indonesia. Misalnya pada jaman Majapahit, terjadi pecah perang saudara yang berakhir runtuhnya kerajaan Majapahit. Keruntuhan Majapahit itu, tidak berarti meruntuhkan negara Indonesia. Maka negara Indonesia ini tidak dapat diketahui sejak kapan adanya. Catatan yang ada dan yang tertulis dibatu-batu pun tidak dapat mengungkapkan, sehingga orang tidak dapat menafsirkan kapan mulainya, dan akan berakhirnya negara Indonesia. Oleh karena demikian panjang usianya, maka dapat dikatakan negara Indonesia itu langgeng abadi. Membangun negara Indonesia yang abadi, tidak seperti kerajaan Majapahit yang tidak abadi. Keruntuhan kerajaan Majapahit, tidak berarti keruntuhan negara Indonesia, melainkan keruntuhan golongan pemimpin Majapahit, yang tindakannya sewenang-wenang. Begitu juga kehancuran kerajaan-kerajaan Demak, Mataram, pemerintah Hindia Belanda, tidak berarti kehancuran negara Indonesia, kecuaii kehancuran pemimpin-pemimpinnya yang bertindak sewenang-wenang. Jadi kerajaan Majapahit, Demak, Mataram, Hindia Belanda dan Republik Indonesia itu, bukanlah negara Indonesia yang abadi melainkan sebagai ombak negaranya. Ombak itu kerapkali mengalami pasang-surut. Tatkala kerajaan Majapahit sedang gilang-gemilang, ombak negara Indonesia mengalami pasang. Tetapi ketika kerajaan di atas runtuh, ombak negara Indonesia mengalami surut. Ombak yang pasang-surut itu, tidak mempengaruhi adanya negara Indonesia.
Maka untuk membangun negara Indonesia, terlebih dahulu harus dilihat sebabnya pasang-surut ombak negara Indonesia. Keterangannya sebagai berikut. Setiap negara di mana saja, pada jaman apa saja, selalu dikuasai oleh segolongan warga negaranya, walaupun dalam undang-undang dasarnya, dinyatakan bahwa negara itu harus dikuasai oleh seluruh warganya, pada kenyataannya negara itu hanya dikuasai oleh segolongan warganya. Golongan yang menguasai itu ialah golongan terpelajar. Golongan terpelajar itu, ialah golongan yang mengerti undang-undang negara. Golongan terpelajar jaman dulu dan jaman sekarang tentu saja berbeda, tetapi pada dasarnya adalah sama, ialah yang mengerti undang-undang.
Setiap golongan yang menguasai negara, pasti mabuk kekuasaan, dan mabuk kuasa ini pasti melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang ini, selanjutnya membangkitkan pemberontakan, yang dapat menggulingkan pemerintahan yang ada. Bila kadang-kadang pemberontakan itu gagal, hal mana disebabkan belum matangnya tindakan sewenang-wenang itu. Misalnya pada jaman Majapahit ada pemberontakan yang gagal, yang dilakukan oleh Minakjinggo dan lain-lain. Kegagalan itu disebabkan perbuatan pemimpin-pemimpin Majapahit, yang sewenang-wenang itu, belum matang {belum cukup hebat). Tetapi setelah tindakan sewenang wenang dari pemimpin Majapahit matang, atau sudah sampai batas waktunya, pemberontakan yang timbul itu berhasil, dan mereka itu lalu mendirikan kerajaan Demak. Demikianlah sejarah negara Indonesia, yang hanya berisi segolongan warganya berkuasa, mereka lantas mabuk, dan bertindak sewenang-wenang, yang mengundang pemberontakan. Sehingga kini belum mengalami kemajuan.
Kalau kita hendak membangun negara Indonesia yang abadi, haruslah dicari jawaban atas pertanyaan, "Bagaimanakah caranya, orang berkuasa, tetapi tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang". Kalau kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini, berarti kita tidak dapat membangun negara Indonesia yang abadi. Sehingga kini, belum ada suatu jaminan untuk menjamin orang yang berkuasa pasti tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang. Yang ada hanyalah baru janji-janji, atau kesanggupan-kesanggupan dari golongan-golongan. Yaitu bila nanti golongannya berkuasa, negara ini hendak diaturnya begini-begitu.
Jaminan satu-satunya agar supaya kita dalam memegang kekuasaan tidak akan mabuk dan tidak akan bertindak sewenang-wenang ialah bila kita yakin bahwa manakala kita berkuasa, pasti mabuk kekuasaan dan pasti berbuat sewenang-wenang. Karena biasanya, belum berkuasa saja, kita sudah merencanakan caranya, bagaimana kita akan mabuk dan sewenang-wenang. Misalnya seorang tua yang giginya ompong, ia merencanakan mabuknya: "Nanti bila aku berkuasa, pasti kubeli gigi palsu." Jika kita mengerti bahwa diri-sendiri ini buas, ampuh, sewenang-wenang, rencana mabuk di atas dapat kita teliti sebagai berikut: "Aku hendak membeli gigi palsu ini untuk apa? Kalau hanya untuk menggigit uli saja, tidak usah pakai gigi pun dapat." Jelaslah gigi itu akan dipakai menggigit kulit yang masih ulet.
Jadi untuk membangun negara Indonesia yang abadi itu, kita harus senantiasa mengawasi dan mengerti sifat diri-sendiri, yang galak, ampuh dan sewenang-wenang. Setiap detik langkah kita, tentu berasal dari rasa mabuk kuasa dan watak sewenang-wenang. Tetapi sifat mabuk dan sewenang-wenang itu, jika diteliti sedalam-dalamnya sehingga selesai, rasa itu tidak melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Namun setelah penelitian tadi selesai, pada saat berikutnya tentu timbul rasa sewenang-wenang lagi. Dan jika diteliti lagi, segera selesai laqi. Jadi penelitian diri-sendiri itu hendaknya dilakukan setiap detik, pada setiap rasa yang timbul. Demikianlah caranya membangun negara Indonesia yang abadi.
Melihat dan mengerti akan sifat-sifat diri-sendiri, yang sewenang-wenang itu, menimbulkan revolusi jiwa. Revolusi jiwa adalah perubahan jiwa, yang terjadi dalam diri kita sendiri, dan mengakibatkan perubahan sikap kita terhadap diri-sendiri dan orang lain. Melihat sifat kita sendiri yang galak, ampuh, sewenang-wenang, sama dengan setiap orang, maka kita tidak dapat melengahkannya barang sekejap saja. Karena kelengahan terhadap diri kita sendiri barang sedetik saja, cukuplah menyempatkan kita untuk mengganggu orang lain atau diri-sendiri.
Jadi jika kita hendak membangun negara Indonesia yang abadi, kita harus senantiasa mengawasi diri kita sendiri, yang berwatak tetap sewenang-wenang.
Sumber : http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/rb1.htm
Rasa bebas adalah rasa tidak bertentangan (konflik). Apabila orang melihat sesuatu dan mengerti sifatnya, ia akan merasa bebas; yakni tidak berselisih dengan sesuatu yang dilihat dan dimengerti. Melihat dan mengerti itu
tidak hanya melalui panca indera, tetapi juga dengan rasa hati dan pikiran.
Bila melihat dan mengerti dalam diri orang itu terpisah, hal itu tidak dapat menimbulkan rasa bebas. Misalnya seorang digigit nyamuk malaria. Ia memperoleh keterangan, bahwa nyamuk malaria itu, setelah menggigit orang yang menderita sakit malaria, ia tentu mengandung kuman-kuman penyakit, dan akan menularkan penyakit pada orang lain yang digigitnya. Mendengar keterangan semacam itu, orang dapat mengerti, tetapi tidak melihat prosesnya. Maka tatkala ia menderita sakit malaria dan makan obat malaria, namun penyakitnya tidak sembuh, berselisihlah ia dengan penyakit malaria, maka ia merasa tidak bebas. Demikian bila orang mengerti, tetapi tidak melihat, sehingga ia tidak bebas.
Sebaliknya, walaupun melihat, kalau tidak mengerti, orang pun tidak akan bebas. Umpama, kita melihat bola lampu di atas ini, yang bentuknya bulat dan cahayanya terang. Tetapi bila kita tidak mengerti bagaimana cara memadamkan atau menyalakannya, jikalau bola lampu itu tiba-tiba padam, kita menjadi bingung, lantas bertengkar dengan bola lampu itu, sehingga tidak bebas.
Jadi rasa bebas atau tidak berselisih itu timbul, jika kita serentak melihat sesuatu dan mengerti sifatnya. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa api itu bila dipegang dapat membakar tangan. Maka kita merasa bebas dan tidak bertengkar dengan api. Artinya, kita tidak berusaha mengubah sifat api itu, sehingga tidak membakar tangan yang memegangnya. Rasa bebas ini melahirkan perbuatan yang pasti benar. Tegasnya kita tidak akan berbuat, tanpa sengaja memegang api.
Supaya lebih jelas, saya beri contoh lain lagi. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa ular belang itu berbisa, ia dapat membinasakan orang yang dipagutnya. Maka bebaslah kita untuk tidak menentang ular itu. Tegasnya, kita tidak perlu berusaha mengubah sifat ular belang itu supaya tidak berbisa. Tindakan kita yang tepat dalam menghadapi ular itu, ialah menyingkiri atau mengusirnya.
Melihat dan mengerti terhadap rasa batin (emosi} pun dapat menimbulkan rasa bebas atau tidak berselisih, antara batin yang melihat dan batin yang dilihatnya. Sebaliknya, bila melihat dan mengerti terhadap rasa-rasa itu terpisah, hal itu tidak menimbulkan kebebasan, melainkan perselisihan. Misalnya kita sedang marah, kita menyadari kemarahan itu. Tetapi kita tidak mengerti makna marah kita itu. Karena itu kita menentang kemarahan kita, yang berwujud perbuatan menahan marah. Pertentangan itu merupakan perang batin, dalam mana pada suatu saat kita merasa "aku marah", pada saat kemudian kita merasa "aku menahan marah". Sehingga kita bingung untuk menentukan diri kita sendiri ini yang mana. Yang marah, atau yang menahan marah. Kita mengira bahwa kedua rasa itu, berasal dari dua unsur yang berlainan. Padahal, rasa yang marah dan rasa yang menahan marah itu sebenarnya adalah sama sifatnya. Pada waktu kita marah, kita merasa bahwa kemarahan itu akan menimbulkan tindakan yang berakibat tidak enak. Untuk menghindari hal itu kita lalu berusaha menahan marah, atau dengan kata lain, menentang marah. Jika diteliti rasa menahan atau menentang marah itu, ternyata juga rasa marah; yakni marah terhadap diri-sendiri. Kalau semula kita marah terhadap orang lain, kini kita marah terhadap diri sendiri. Jadi yang yang menahan marah adalah si marah, yang masih bersifat sama. Pengertian di atas itu melahirkan kesadaran bahwa diri-sendiri si-marah tidak dapat mengubah kemarahan sendiri.
Dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa diri-sendiri "si marah", tidak dapat mengubah sifat dirinya. Setiap kali kita berusaha mengubah diri sendiri, selalu tidak berhasil, melainkan berganti rupa. Yaitu si marah menjadi si menahan marah. Bila kita sudah mengerti bahwa kita tidak dapat mengubah diri-sendiri, maka kita tidak ingin mengubah. Bila kita, dalam keadaan perang batin itu tidak ingin mengubah diri-sendiri, maka diri-sendiri lalu 'diam, tidak bergerak'. Dengan kata iain, berarti diri-sendiri 'mati'. Sudah tentu yang mati bukan raga kita, melainkan rasa "aku" kita, atau rasa "aku" si Kramadangsa. "Kramadangsa" ini adalah rasa "aku", identik dengan namanya sendiri-sendiri. Orang itu mempunyai nama sendiri-sendiri, dan merasa "aku" dengan namanya sendiri-sendiri. Jika ia bernama Suta, ia merasa aku si Suta, jika ia bernama Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa aku identik dengan nama sendiri ini, saya beri istilah "Kramadangsa".
Jadi yang marah itu adalah diri-sendiri yang merasa aku si Kramadangsa, dan yang menahan marah pun si Kramadangsa. Jika Kramadangsa ini mati, tentu perbuatan marahnya tidak terlaksana. Mengerti atas kemarahan sendiri demikian itu, kita bebas dari kemarahan kita sendiri. Artinya kita tidak bertentangan dengan marah kita. Kebebasan ini, pasti melahirkan perbuatan benar, yang tidak mungkin salah. Bila kita bergaul dengan orang lain, kita dapat mengetahui rasa orang itu. Mengetahui rasa orang lain pun, menimbulkan rasa bebas, yang tidak berselisih dengan orang lain. Tidak berselisihan ini, berarti tidak menabrak rasa orang lain, oleh karenanya damai dalam hubungannya.
Rasa yang perlu dilihat dan dimengerti itu, ialah rasa kita sendiri. Karena meskipun kita mengetahui banyak macam barang-barang, tetapi bila kita tidak mengetahui diri kita sendiri, pasti berselisihan dengan diri-sendiri, dan timbulah perang batin (konflik). Tetapi kita takut melihat diri-sendiri dan kita berusaha menutupi diri-sendiri, supaya tidak tampak seperti diri-sendiri. Bila diri-sendiri sudah kelihatan tidak seperti diri-sendiri, barulah kita puas. Jadi kita tidak puas hanya sebagai mana adanya diri-sendiri. Sekarang, mari kita teliti rasa kita sendiri, yang takut melihat diri-sendiri ini.
Terlebih dahulu saya jelaskan dalil saya, ialah bahwa kita takut melihat diri-sendiri ini adalah sama dengan setiap orang. Tetapi kita takut melihat kenyataan, bahwa diri kita itu sama dengan orang lain. Maka kita cari tutupnya, untuk menutupi diri-sendiri, supaya tidak sama dengan setiap orang. Sehingga kita berusaha mati-matian mencari kekayaan, kedudukan dan kekuasaan (bhs. Jawa: semat, drajat, kramat) untuk menutupi diri-sendiri, agar supaya tidak tampak keadaan yang sesungguhnya. Kekayaan atau harta benda, kecuali untuk kebutuhan penghidupan, kita pakai untuk menutupi diri kita. Misalnya kita memakai pakaian baru yang mahal dan bagus, kita lantas congkak dan sombong. Rasa congkak dan sombong ini jika diteliti, berarti kita merasa beda dari keadaan kita yang sebenarnya, yaitu kita sudah merasa lain dari pada setiap orang.
Bila kita melihat dan mengerti bahwa diri kita adalah sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti diri-sendiri sebagai berikut: "Saya memakai baju baru mengapa menjadi congkak, sombong, ini karena apa? Apakah kalau bajuku baru, diriku pun turut menjadi baru? Sudah barang tentu sifat diriku yang sebenarnya, masih tetap sama seperti yang kemarin itu." Demikian kita menutupi diri-sendiri namun tidak mengubah keadaan yang sesungguhnya.
Kedudukan pun dipakai untuk menutupi diri kita sendiri. Misalnya kita baru saja memperoleh kenaikan pangkat, lantas kita merasa congkak, sombong. Bila kita mengerti bahwa diri-sendiri sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti kecongkakan dan kesombongan kita demikian: "Aku dapat kenaikan pangkat, mengapa menjadi congkak, sombong ini karena apa? Apakah kalau pangkatku tinggi, sifat batinku pun menjadi tinggi? Sudah tentu sifat diriku yang sebenamya masih sama saja seperti yang kemarin itu."
Bila kita memeluk salah satu agama, agama ini pun kita gunakan untuk menutupi diri kita sendiri, supaya tidak kelihatan keadaan yang benar, dan kita dapat menyombongkan diri. Memang agama itu baik karena ia mengajarkan: "Janganlah berdusta." Tetapi apakah kita dengan menganut pelajaran itu, lantas menjadi baik dan tidak berdusta? Sudah barang tentu sifat batin kita yang sesungguhnya, masih tetap seperti kemarin ini. Demikian kita berusaha menutupi diri, namun kita tetap sebagaimana adanya.
Umpama kita masuk suatu kelompok ideologi yang bersemboyan: "Sama Rata Sama Rasa". Semboyan itu pun kita pakai untuk menutupi diri kita. Sehingga kita sombong dan merasa sudah berbeda dari kita sendiri. Padahal sifat kita masih tetap sama, yaitu kita masih suka menyembunyikan uang isteri kita dan tidak berlaku sama rata sama rasa. Demikian itu kita berusaha mati-matian mencari tutupnya, untuk menutupi supaya tidak tampak seperti kita sendiri.
Ada lagi tutup yang berupa nama-nama dari orang-orang termashur. Misalnya yang kita pakai nama-nama jalan, seperti jalan Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain. Hal mana mencerminkan bahwa kita berpegangan pada orang-orang ternama.
Misalnya kita mengandal pada Prabu Joyoboyo yang di dalam dongeng kesohor, karena ia dapat meramalkan masa tujuh ratus tahun yang akan datang. Orang ternama itu, sering kita pergunakan untuk menakuti isteri kita sendiri, demikian: "Lihatlah Prabu Joyoboyo ini, ternama, hal-hal yang akan terjadi tujuh ratus tahun kemudian, ia sudah mengetahuinya. Apakah kamu tidak takut?" Biasanya isteri kita menjawab: "Kalau terhadap Prabu Joyoboyo, aku takut. Tetapi terhadap kamu, tidak!" Demikian kita mati-matian mencari tutup, yang berupa orang-orang termashur, untuk menutupi diri kita, agar tidak tampak keadaannya yang asli.
Sekarang marilah kita teliti, bagaimana sifat kita yang sama dengan setiap orang itu? Kita masing-masing merasa pribadi, yaitu merasakan apa saja secara sendiri, tidak dapat mewakilkannya kepada orang lain. Umpama saya menderita sakit gigi, dan saya minta saudara saya untuk mewakili penderitaan itu. Dapatkah sakit gigi itu dipindahkan kepada orang lain, pastilah tidak mungkin. Mau tidak mau, harus saya derita sendiri. Demikian rasa pribadi, yang berarti menanggung sendiri segala perasaan kita.
Oleh karena setiap orang itu merasa pribadi, maka kita masing-masing mencari enak (senang) sendiri (pribadi); dengan tidak mempedulikan orang lain. Meskipun orang lain itu terdiri dari anak atau isteri kita. Maka kita ini sebenarnya tidak mencintai anak-isteri kita, melainkan pura-pura mencintai mereka. Demikian kita menutupi diri supaya tidak kelihatan sifat kita yang sebenarnya.
Mari saudara-saudara saya ajak bersama-sama meneliti diri kita sendiri. Apakah kita, benar-benar mencintai suami/isteri kita? Ingatlah akan maksud kita pada waktu kita memilih calon suami/isteri kita. Apakah benar-benar kita ingin membahagiakan mereka sebagai manusia? Kaiau kita ingin membahagiakan manusia saja, ada ribuan manusia yang bersedia untuk dibahagiakan. Tetapi kita hanya ingin membahagiakan satu orang saja, yaltu calon suami/isteri kita. Maka jelaslah keinginan itu bukanlah cinta kasih, melainkan rindu asmara, mengejar kenikmatan diri-sendiri. Rasa hati kita: "Bila aku berjodoh dengan orang itu, aku akan senang sekali." Kita semata-mata memikirkan kesenangan diri-sendiri dengan tidak memperdulikan kepentingan calon suami/isteri kita. Jadi menghargai suami/isteri kita, hanyalah sebagai barang untuk kesenangan. Sama dengan barang-barang kesenangan yang berupa burung perkutut, kucing, dengkek (nama kartu ceki, dalam bahasa Jawa) dan sebagainya. Misalnya kita memelihara burung perkutut, bila burung itu bersiul bagus "hoorketekung", kita akan menambah makannya, air minumnya, dan memandikan serta mengereknya tinggi-tinggi. Tetapi bila burung itu berbunyi buruk "tekekkek", kita lantas benci dan membantingnya. Demikian juga tindakan kita terhadap suami/isteri kita, bila mereka tidak menyenangkan kita, seperti perkutut yang berbunyi "hoorketekekkek" kita segera membantingnya. Maka dalam setiap pertengkaran antara suami-isteri, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh tindak-tanduk yang tidak menyenangkan satu sama lain, seperti perkutut bersiul "hoorketekekkek" itu.
Oleh karena kita tidak mau melihat diri-sendiri sebagaimana adanya, maka kita lalu menutupi diri sebagai berikut: "Sebetulnya aku ini mencintai isteri, buktinya aku membelikan pakaian dan rumah yang bagus." Tetapi kalau diteliti, apakah membelikan barang-barang itu berarti cinta? Misalnya seorang suami, tatkala ia pulang dari luar negeri, membawa oleh-oleh berupa kain-kain indah untuk isterinya; dengan harapan bahwa sang isteri tentu akan senang dan ketawa bila melihat barang-barang tanda kecintaannya. Tetapi ternyata isterinya tidak ketawa senang, malah mengomeli: "Kamu pergi jauh-jauh ke luar negeri, hanya membawa kain semacam itu, di Jakarta saja banyak yang menjualnya." Bagaimana tanggapan suami itu, apakah ia masih tetap mencintai isterinya? Tentulah tidak, bahkan sebaliknya, ia akan kecewa dan marah. Maka jelaslah, hal itu bukanlah cinta kasih, melainkan sebagai hal jual-beli, yakni si suami membayar dengan kain untuk membeli tawa si isteri. Demikian dalam hubungan suami-isteri, masing-masing pihak mengharapkan faedah sebanyak-banyaknya, dan memberi faedah sedikit mungkin.
Begitu juga terhadap anak-anak kita, kita pun tidak mencintainya. Yang sering kita anggap sebagai cinta kasih, ialah hasrat hidup untuk melangsungkan keturunan. Misalnya di waktu anak kita masih kecil, kita rawat baik-baik supaya bisa berlangsung hidupnya. Sama halnya dengan kucing atau hewan lain, yang melindungi anaknya yang masih kecil. Tetapi bila anak itu sudah dewasa, kita sering mengajaknya bertengkar. Padahal pertengkaran itu bukanlah cinta kasih.
Di samping untuk melanjutkan keturunan, anak itu kita anggap sebagai dana pensiun dan alat kebanggaan. Kita merasa: "Anakku kudidik demikian rupa, agar ia memperoleh ijazah dan kedudukan baik dengan penghasilan besar. Karena jika saya sudah tua dan tidak kuat lagi bekerja, anakkulah yang memberi pensiun padaku." Bahkan penilaian ini sering menyeleweng jauh demikian: "Jika anakku berpenghasilan besar, sedang aku sudah tua, tidak bekerja lagi, tetapi masih butuh tambah isteri, maka kuharap ia akan mengawinkan aku lagi."
Selain untuk cadangan pensiun, kita menilai anak sebagai alat kebanggaan. Maka jika anak tidak membanggakan kita, tetapi mencemarkan nama kita, marahlah kita dan mengusirnya. Demikian persamaan diri kita dengan orang lain, atau setiap orang, yaitu kita sendiri merasa pribadi, mencari enak pribadi, dengan mengorbankan orang lain; walaupun anak-isteri/suami sendiri. Oleh karena itu, kita sendiri bila diganggu atau dirugikan lantas marah, sekalipun yang mengganggu anak-isteri-suami. Jadi sifat kita ini sebenarnya buas, galak. Padahal marah itu tidak mengenakkan, melainkan menyakiti orang lain, maka kita ini suka menyakiti orang lain; ibarat senjata yang ampuh. Jadi dapat dikatakan kita ini buas! galak dan ampuh, yang sama dengan tabiat sewenang-wenang. Maka kesimpulannya sifat kita sendiri ini buas, ampuh, sewenang-wenang, yang sama dengan orang lain atau setiap orang.
Bila kita mengerti bahwa sifat diri-sendiri yang buas, ampuh dan sewenang-wenang ini sama dengan orang lain, kita segera mengerti bahwa tidak ada orang yang baik. Pengertian itu membuat kita tidak lagi dapat dikelabui oleh pernyataan adanya orang baik. Dunia menjadi kacau-balau sekarang ini, karena manusia kena dikelabui oleh pernyataan tentang adanya orang baik. Sering kali dikabarkan bahwa di sana ada orang baik, lantas kita ikut-ikutan menyatakan benar ia baik, dan mempercayainya saja; tetapi pada akhirnya kita kecewa.
Jadi bila kita mengerti bahwa kita sendiri buas, ampuh, sewenang-wenang sama dengan orang lain; kita tidak dapat ditipu oleh pernyataan adanya orang baik, dan tidak dapat menipu pada diri-sendiri, dengan berpura-pura baik. Hal mana berarti kita melihat kenyataan yang ada pada diri-sendiri. Pengertian diri-sendiri inilah, yang seharusnya dipakai sebagai landasan membangun masyarakat.
Pada masa sekarang ini, pembangunan masyarakat kita tidak berdasar atas hal-hal yang nyata, tetapi berdasarkan atas cita-cita yang tidak nyata, yang dapat menimbulkan bentrokan. Membangun masyarakat yang luas itu, harus dimulai dari masyarakat lingkungan kecil; yaitu lingkungan keluarga.
Bila kita mengetahui kenyataan kita sendiri, kita dapat mengetahui pula kenyataan keadaan anak kita. Kalau diselidiki, ternyata anak itu dendam terhadap kita. Mengetahui dendam anak kita itu lebih mudah dari pada mengertinya. Misalnya pada masa kanak-kanak, kita setiap kali menderita susah, kita selalu menyalahkan orang tua kita. "Kalau orang tuaku tidak begini atau begitu, tentu aku tidak akan menderita seperti sekarang." Kemudian kita dapat pula mengetahui kenyataan isteri/suami kita, yang kecewa terhadap kita; karena mereka merasa menjadi korban dari watak sewenang-wenang kita.
Dalam membangun masyarakat, orang sering kali menanyakan: "Apakah seseorang itu diperuntukkan masyarakat, atau masyarakat itu diperuntukkan seseorang?" Pertanyaan tersebut telah lama usianya, dan memperoleh dua macam jawaban. Yaitu yang pertama, bahwa seseorang untuk masyarakat dan yang kedua adalah masyarakat untuk seseorang.
Jawaban bahwa masyarakat itu untuk seseorang, ini berarti yang dipentingkan adalah perseorangan. Masyarakat harus memberi kemerdekaan kepada seseorang. Kemerdekaan yang diberikan kepada setiap orang itu, dipergunakan oleh masing-masing orang, untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, tidak kenal batas. Sehingga menimbulkan bentrokan dengan kepentingan masyarakat. Hal itu kemudian meletus menjadi pemberontakan atau peperangan. Padahal perang adalah bertentangan dengan tujuan hidup. Kalau tujuan hidup ialah untuk melangsungkan kehidupan, sedangkan perang adalah bunuh membunuh. Maka perang, dengan dalih apapun adalah jahat dan keliru.
Jawaban lainnya bahwa seseorang untuk masyarakat, ini pun keliru. Karena pertanyaannya sendiri keliru, maka bila dijawab, jawabannya pasti keliru. Kekeliruan ini terdapat pada kedua pertanyaan, yang berupa pemisah seseorang dari masyarakat. Sedang keadaan yang sebenarnya, seseorang dan masyarakat bukan dua badan terpisah, melainkan satu badan kesatuan. Masyarakat itu terjadi dari hubungan seorang dengan seorang, yang diatur dengan peraturan-peraturan, perjanjian-perjanjian atau undang-undang. Undang-undang ini jika ditulis dinamakan tata-negara, jika tidak ditulis dinamakan aturan masyarakat. Undang-undang negara adalah perjanjian dalam hubungan antara warga negara, Undang-undang masyarakat ialah perjanjian dalam hubungan antara perseorangan. Sifat undang-undang atau hubungan Itu tergantung pada sikap jiwa orangnya. Bila jiwa orang yang berhubungan itu tenteram dan damai, maka hubungannya (masyarakat) pun tenteram dan damai. Tetapi bila orangnya gelisah, hubungannya (masyarakat) pun menggelisahkan. Jadi kalau undang-undang atau hubungan itu ibarat asapnya, orangnya adalah sebagai apinya. Maka bila usaha kita hanya menghilangkan asapnya, tanpa memadamkan apinya, usaha itu pasti akan sia-sia saja.
Manusia kerapkali mengalami kesulitan-kesulitan yang berupa pertikaian. Tiap-tiap pertikaian selalu dipecahkan dengan undang-undang, tetapi tidak pernah berhasil. Demikian menurut sejarah, telah terjadi juga di negara kita Indonesia. Pada jaman Majapahit, timbul perselisihan yang mengobarkan perang saudara. Kesudahan dalam perang saudara itu, Majapahit kalah dan berdirilah kerajaan Demak, serta mengganti undang-undang negara. Apakah setelah diadakan undang-undang baru, lantas tidak timbul pertikaian lagi? Tidak, pertikaian berjalan terus, sehingga pecah perang saudara lagi. Perang itu berakhir dengan kerajaan Demak kalah, dan yang menang mendirikan kerajaan di Mataram. Kerajaan baru ini pun mengganti undang-undang lama dengan yang baru. Setelah ada undang-undang baru, apakah tiada perselisihan lagi? Tidak, perselisihan masih saja terjadi, dan mengobarkan perang saudara lagi, dengan kesudahan Mataram kalah. Kemudian datanglah penjajah Belanda, yang menamakan tanah air kita Hindia Belanda, dan mengadakan undang-undang baru. Apakah setelah undang-undang baru pertikaian lantas lenyap? Tidak, pertikaian tetap terjadi. Sampai pada tanggal 17 Agustus 1945, kita memberontak sehingga lenyaplah penjajah itu. Dan lahirlah Republik Indonesia, dengan undang-undang baru yakni undang-undang berdasar Pancasila. Apakah setelah ada undang-undang tdak ada perselisihan? Saudara-saudara dapat membuktikan sendiri, bahwa perselisihan senantiasa ada saja. Jadi jelaslah bahwa kesulitan itu tidak dapat diselesaikan dengan undang-undang.
Kita bangsa Indonesia dalam membangun negara Indonesia kerapkali salah, yaitu yang dibangun bukan negara Indonesia. Misalnya pada jaman Majapahit, terjadi pecah perang saudara yang berakhir runtuhnya kerajaan Majapahit. Keruntuhan Majapahit itu, tidak berarti meruntuhkan negara Indonesia. Maka negara Indonesia ini tidak dapat diketahui sejak kapan adanya. Catatan yang ada dan yang tertulis dibatu-batu pun tidak dapat mengungkapkan, sehingga orang tidak dapat menafsirkan kapan mulainya, dan akan berakhirnya negara Indonesia. Oleh karena demikian panjang usianya, maka dapat dikatakan negara Indonesia itu langgeng abadi. Membangun negara Indonesia yang abadi, tidak seperti kerajaan Majapahit yang tidak abadi. Keruntuhan kerajaan Majapahit, tidak berarti keruntuhan negara Indonesia, melainkan keruntuhan golongan pemimpin Majapahit, yang tindakannya sewenang-wenang. Begitu juga kehancuran kerajaan-kerajaan Demak, Mataram, pemerintah Hindia Belanda, tidak berarti kehancuran negara Indonesia, kecuaii kehancuran pemimpin-pemimpinnya yang bertindak sewenang-wenang. Jadi kerajaan Majapahit, Demak, Mataram, Hindia Belanda dan Republik Indonesia itu, bukanlah negara Indonesia yang abadi melainkan sebagai ombak negaranya. Ombak itu kerapkali mengalami pasang-surut. Tatkala kerajaan Majapahit sedang gilang-gemilang, ombak negara Indonesia mengalami pasang. Tetapi ketika kerajaan di atas runtuh, ombak negara Indonesia mengalami surut. Ombak yang pasang-surut itu, tidak mempengaruhi adanya negara Indonesia.
Maka untuk membangun negara Indonesia, terlebih dahulu harus dilihat sebabnya pasang-surut ombak negara Indonesia. Keterangannya sebagai berikut. Setiap negara di mana saja, pada jaman apa saja, selalu dikuasai oleh segolongan warga negaranya, walaupun dalam undang-undang dasarnya, dinyatakan bahwa negara itu harus dikuasai oleh seluruh warganya, pada kenyataannya negara itu hanya dikuasai oleh segolongan warganya. Golongan yang menguasai itu ialah golongan terpelajar. Golongan terpelajar itu, ialah golongan yang mengerti undang-undang negara. Golongan terpelajar jaman dulu dan jaman sekarang tentu saja berbeda, tetapi pada dasarnya adalah sama, ialah yang mengerti undang-undang.
Setiap golongan yang menguasai negara, pasti mabuk kekuasaan, dan mabuk kuasa ini pasti melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang ini, selanjutnya membangkitkan pemberontakan, yang dapat menggulingkan pemerintahan yang ada. Bila kadang-kadang pemberontakan itu gagal, hal mana disebabkan belum matangnya tindakan sewenang-wenang itu. Misalnya pada jaman Majapahit ada pemberontakan yang gagal, yang dilakukan oleh Minakjinggo dan lain-lain. Kegagalan itu disebabkan perbuatan pemimpin-pemimpin Majapahit, yang sewenang-wenang itu, belum matang {belum cukup hebat). Tetapi setelah tindakan sewenang wenang dari pemimpin Majapahit matang, atau sudah sampai batas waktunya, pemberontakan yang timbul itu berhasil, dan mereka itu lalu mendirikan kerajaan Demak. Demikianlah sejarah negara Indonesia, yang hanya berisi segolongan warganya berkuasa, mereka lantas mabuk, dan bertindak sewenang-wenang, yang mengundang pemberontakan. Sehingga kini belum mengalami kemajuan.
Kalau kita hendak membangun negara Indonesia yang abadi, haruslah dicari jawaban atas pertanyaan, "Bagaimanakah caranya, orang berkuasa, tetapi tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang". Kalau kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini, berarti kita tidak dapat membangun negara Indonesia yang abadi. Sehingga kini, belum ada suatu jaminan untuk menjamin orang yang berkuasa pasti tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang. Yang ada hanyalah baru janji-janji, atau kesanggupan-kesanggupan dari golongan-golongan. Yaitu bila nanti golongannya berkuasa, negara ini hendak diaturnya begini-begitu.
Jaminan satu-satunya agar supaya kita dalam memegang kekuasaan tidak akan mabuk dan tidak akan bertindak sewenang-wenang ialah bila kita yakin bahwa manakala kita berkuasa, pasti mabuk kekuasaan dan pasti berbuat sewenang-wenang. Karena biasanya, belum berkuasa saja, kita sudah merencanakan caranya, bagaimana kita akan mabuk dan sewenang-wenang. Misalnya seorang tua yang giginya ompong, ia merencanakan mabuknya: "Nanti bila aku berkuasa, pasti kubeli gigi palsu." Jika kita mengerti bahwa diri-sendiri ini buas, ampuh, sewenang-wenang, rencana mabuk di atas dapat kita teliti sebagai berikut: "Aku hendak membeli gigi palsu ini untuk apa? Kalau hanya untuk menggigit uli saja, tidak usah pakai gigi pun dapat." Jelaslah gigi itu akan dipakai menggigit kulit yang masih ulet.
Jadi untuk membangun negara Indonesia yang abadi itu, kita harus senantiasa mengawasi dan mengerti sifat diri-sendiri, yang galak, ampuh dan sewenang-wenang. Setiap detik langkah kita, tentu berasal dari rasa mabuk kuasa dan watak sewenang-wenang. Tetapi sifat mabuk dan sewenang-wenang itu, jika diteliti sedalam-dalamnya sehingga selesai, rasa itu tidak melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Namun setelah penelitian tadi selesai, pada saat berikutnya tentu timbul rasa sewenang-wenang lagi. Dan jika diteliti lagi, segera selesai laqi. Jadi penelitian diri-sendiri itu hendaknya dilakukan setiap detik, pada setiap rasa yang timbul. Demikianlah caranya membangun negara Indonesia yang abadi.
Melihat dan mengerti akan sifat-sifat diri-sendiri, yang sewenang-wenang itu, menimbulkan revolusi jiwa. Revolusi jiwa adalah perubahan jiwa, yang terjadi dalam diri kita sendiri, dan mengakibatkan perubahan sikap kita terhadap diri-sendiri dan orang lain. Melihat sifat kita sendiri yang galak, ampuh, sewenang-wenang, sama dengan setiap orang, maka kita tidak dapat melengahkannya barang sekejap saja. Karena kelengahan terhadap diri kita sendiri barang sedetik saja, cukuplah menyempatkan kita untuk mengganggu orang lain atau diri-sendiri.
Jadi jika kita hendak membangun negara Indonesia yang abadi, kita harus senantiasa mengawasi diri kita sendiri, yang berwatak tetap sewenang-wenang.
Sumber : http://reocities.com/SouthBeach/Tidepool/1029/rb1.htm
0 komentar:
Posting Komentar