Dari berbagai macam primbon yang saya ketahui, yang runtut (sistematis) hanya primbon yang berasal dari Kadilangu/Demak, gubahan almarhum Kangjêng Pangeran Wijil. Akan tetapi, almarhum Kangjêng Pangeran Wijil yang keberapa, hingga sekarang belum diketahui pasti. Setahu saya, almarhum Pangeran Jayaprana, yang dimakamkan di Pasar Gêdhe
(Ngayogyakarta), sebelum diangkat sebagai Pujangga di Mataram, juga bergelar Panêmbahan/Pangeran Wijil. Putra beliau, yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Kartasura awal, juga bergelar Pangeran Wijil (pertama), dimakamkan di Sêtana Nglawihan. Putra beliau, yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Kartasura akhir, juga bergelar Pangeran Wijil (yang kedua), dimakamkan di Sêtana Gêndok (Bintara-Dêmak).
(Ngayogyakarta), sebelum diangkat sebagai Pujangga di Mataram, juga bergelar Panêmbahan/Pangeran Wijil. Putra beliau, yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Kartasura awal, juga bergelar Pangeran Wijil (pertama), dimakamkan di Sêtana Nglawihan. Putra beliau, yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Kartasura akhir, juga bergelar Pangeran Wijil (yang kedua), dimakamkan di Sêtana Gêndok (Bintara-Dêmak).
Yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Surakarta awal, yaitu Kyai Jurumartani, dimakamkan di Pêngging, juga bergelar Pangeran Wijil (yang ketiga). Lantas yang berdiam di Kadilangu, hingga turun temurun sampai kelima, juga bergelar Pangeran Wijil. Padahal semua sosok yang disebutkan diatas adalah para sarjana terpelajar dalam hal sastra dan ilmu kebatinan.
Oleh karenanya, saya meyakini, primbon tersebut pastilah memiliki nilai kebenaran yang tidak bisa serta merta di nafikan begitu saja. Saya meyakini, catatan tersebut dibuat tidak dengan sembarangan belaka mengingat kredibilitas sang penulisnya.
Menurut isi primbon tersebut, Êmpu yang terbilang paling tua bergelar RAMAYADI, hidup dijaman SANG PRABHU SRI MAHA DEWA BUDA manakala beliau memerintah tanah Jawa. Diceritakan, pusaka-pusaka yang dibuat adalah pusaka yang sering terdengar di jagad pewayangan semacam : Konta, Pasopati, Sarotama, Cakra, Naggala, Trisula, Limpung, Dhuwung, Cundrik, Waos, Sabêt, Patrêm dan sejenisnya yang sering digunakan sebagai senjata untuk bertempur. Konon saat membuat tanpa menggunakan peralatan sebagaimana para pandhe pada jaman sekarang. Tidak mempergunakan api, Palu, Paron, Kikir, Ungkal (Batu asah) dan semacamnya. Hanya di kepal-kepal, dipijit-pijit bagaikan memijat tubuh manusia, dipanasi dengan udara yang dikeluarkan dari mulut, didinginkan dengan lidah serta air liur.
ÊMPU RAMAYADI memiliki putra ÊMPU SÊKADI. Pusaka buatannya juga terkenal ampuh tiada beda dengan pusaka buatan ramandanya.
ÊMPU SÊKADI berputra ÊMPU BRAMAKÊDHALI. Tosan Aji buatannya yang terkenal : Dhuwung (Kêris) dhapur (model) Tilam-Upih, yang diberinama Kyai Jakapituruh, Waos (Tombak) yang diberinama Kyai Tundhungmungsuh dan Kyai Kêdhêr.
ÊMPU BRAMAKÊDHALI berputra ÊMPU CAKANG. ÊMPU CAKANG konon sangat gagah dan tampan. Buatannya Curiga (Kêris) yang sangat terkenal ampuh serta memiliki daya perbawa besar, bernama Kyai Manglar Monga, serta Cundrik (Kêris Kecil) bernama Kyai Badher.
ÊMPU CAKANG berputra ÊMPU JANGGITA. Buatannya tidak pernah disebut, konon hanya membantu ramandanya serta melanjutkan pekerjaan ramandanya yang belum selesai. Mempunyai putra enam orang :
- ÊMPU DEWAYASA
- ÊMPU KI PURBAGÊNI
- ÊMPU KI ANDONGPURWA
- ÊMPU KYAI MAYANG
- ÊMPU KI MUNDHINGBRATA
- ÊMPU KI BRATALINUWIH
Seluruh putra-putra ini melanjutkan pekerjaan ramandanya. Membuat tosan-tosan aji yang banyak dipergunakan untuk senjata berperang. Akan tetapi buatan mereka tidak pernah disebutkan. Malahan kemudian yang tercatat dan terkenal melanjutkan pekerjaan sebagai Êmpu hanyalah sang cucu. Cucu yang lahir dari putra bungsu (KI BRATALINUWIH), yang lain tidak diketahui.
Putra ÊMPU KI BRATALINUWIH yang melanjutkan pekerjaan ramanda dan kakendanya hanya seorang, bernama ÊMPU GANDAWISESA. Sedangkan kakaknya KYAI KUMBAYANA terpikat untuk menjalankan tapa brata, lantas menjadi seorang Wiku (Bhiksu/Bhikku)
ÊMPU GANDAWISESA mempunyai enam orang putra :
- ÊMPU KANDHANG AJI
- ÊMPU WINDUNATADI
- ÊMPU WINDUWIDAGDA
- ÊMPU WINDU SARPA
- ÊMPU HANDAYA SANGKALA
- ÊMPU KAJAT SARI
Seluruh keturunan dari enam bersaudara ini, yang terkenal menonjol dalam sejarah Para Êmpu di tanah Jawa, hanya cucu dari ÊMPU KAJAT SARI.
ÊMPU KAJAT SARI mempunyai dua orang putra :
- ÊMPU KAJAT JATIWISESA
- ÊMPU BRAMAKÊDHI
KYAI BRAMAKÊDHI berputra KYAI ANJANI yang terkenal berperawakan halus, tampan, kegemarannya suka bertapa diatas puncak-puncak gunung diseluruh Jawa Barat. KYAI ANJANI mempunyai seorang putra laki-laki bernama KYAI MÊRCUKUNDHA, seorang Êmpu yang sangat terkenal di jaman Pajajaran dan mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama KYAI SANGGABUMI sedangkan yang bungsu bernama KYAI MANCA. Diceritakan, KYAI SANGGABUMI setelah menginjak dewasa, mengembara ke tanah Sumatera sebelah barat, menyebarkan keterampilannya membuat tosan aji diwilayah Minangkabau. Sedangkan yang bungsu, KYAI MANCA, meneruskan mengabdi di Pajajaran, dan sangat dekat dengan Sang Prabhu.
KYAI MANCA mempunyai empat orang putra, yaitu :
- KYAI KUWUNG tampan dan gagah, tosan aji hasil buatannya berwarna Gêdhah (Kehijau-hijauan)
- KYAI ANGGA, kegemarannya bertapa, tosan aji hasil buatannya berwarna hitam bagai kan gosong.
- KYAI KÊLÊNG, tosan aji hasil buatannya, bilahnya seperti ada serpihan serutan halus kayu.
- KYAI SOMBRO, seorang Êmpu wanita yang terkenal kepiawaiannya. Akan tetapi tidak mau membuat dhapur (model) baru. Seluruh hasil buatannya hanya sekedar mutrani (membuat tiruan) seluruh tosan aji hasil buatan saudara-saudara tuanya. Pusaka hasil buatannya bilahnya juga seperti ada serpihan serutan halus kayu.
ÊMPU KYAI ANGGA dikemudian hari lantas berganti nama KYAI SINGKIR. Sebab mengapa berganti nama ceritanya adalah sebagai berikut.
Disuatu hari saat KYAI ANGGA tengah mencari inspirasi untuk membuat tosan aji dengan tingkat kesulitan yang tinggi serta hasilnya kelak bisa memberikan daya kebaikan bagi sesama, tak diduga mendapatkan wisik dari almarhum eyangnya, KYAI ÊMPU ANJANI, yang intinya agar supaya saat mengerjakan pembuatan harus berada ditengah samudera. Wisik yang demikian itu dipatuhi. KYAI ANGGA lantas mengucilkan diri dari masyarakat dan lantas bertempat tingal disebuah pulau kecil. Mulai saat itulah KYAI ANGGA lantas bergelar KYAI SINGKIR. Tosan aji hasil buatannya yang terkenal keampuhannya berbentuk dhuwung (kêris), diberinama SINGKIR GÊNI. Kekuatannya mampu menjauhkan sang pemilik dari bahaya api dan mampu memadamkan kobaran api.
KYAI KUWUNG mempunyai lima orang putra, semuanya lantas tinggal diwilayah Tuban, mereka adalah :
- KI LARASÊMBAGA
- KI JAKAJATI
- KI PANITI
- KI JAKASURATMAN
- KI SALAETA
Didalam semua catatan primbon yang membahas tentang Dhuwung (Kêris), hasil buatan lima orang Êmpu ini diberinama awalan ‘Tuban’, contoh ‘Tuban Pamêkti. Hasil garapannya, bilah terkesan kering dan kesat.
KYAI SINGKIR mempunyai dua orang putra yang terkenal hasil karyanya, yaitu :
- KI JIGJA, menjadi Êmpu diwilayah Majalengka (Majapahit). Konon menurut cerita, KI JIGJA ibujari tangan kanannya berbentuk mirip kepala ular.
- KI SURAWISESA, mengabdi di Kadipaten Blambangan.
KI SURAWISESA memiliki dua orang putra, kedua-duanya juga meneruskan pekerjaan ramandanya, mereka adalah :
- KYAI MLAYAGATI
- KYAI CAKRABAWA
KYAI MLAYAGATI berputra dua orang :
- ÊMPU KALUNGLUNGAN
- ÊMPU SÊDHAH
Sedangkan KYAI CAKRABAWA mempunyai lima orang putra, yaitu :
- KI JANGGA, menginjak dewasa lantas menjadi Êmpu diwilayah Surabaya
- KI KUMÊNDHUNG
- KI CANGKRING
- KI TILAM
- KI LANANGJAHA, setelah dewasa terkenal kesaktiannya, hasil buatannya adalah tosan aji yang mempunyai daya perbawa agung. Berdiam diri diwilayah Kudus (Catatan : Kota Kudus berdiri setelah jaman Dêmak, sebelumnya bernama Dêmakan)
KI KÊLÊNG, putra ÊMPU KYAI MANCA, setelah menginjak usia sepuh, berkelana kea rah timur, berdiam di dusun Pituruh, berganti nama menjadi KYAI WANABAYA. Hasil buatannya ampuh. Lantas pindah lagi ke pulau Madura, berganti nama KYAI KASA. Setelah di Madura, hasil tosan aji buatannya kebanyakan digunakan untuk para petani, memberikan keselamatan dan menjauhkan tanaman dari hama.
ÊMPU SÊDHAH mempunyai tiga orang putra, yaitu :
- KI SUPA MANDRANGI, semenjak muda terpikat bertapa diwilayah Tuban
- KI BODAG, tidak tertarik menjadi Êmpu dan memilih menjadi seorang Pandhita
- KI SUPAGATI, suka bertapa juga ada diwilayah Tuban.
Diceritakan, KI SUPA MANDRANGI dikemudian hari mendapat anugerah seorang putri Majapahit. Diangkat derajatnya oleh Sang Prabhu Brawijaya di Majapahit dengan gelar PANGERAN ING SÊDAYU. Berkuasa atas wilayah selebar 100 Jung ( 1 Jung sama dengan 28.386 m persegi : Damar Shashangka). Lantas lebih dikenal dengan gelar PANGERAN SÊDAYU. Sebab mendapat anugerah sedemikian itu kisahnya adalah sebagai berikut.
Suatu ketika istana Majapahit kehilangan pusaka bernama Kyai Sumêlanggandring, menyebabkan kesedihan hati Sang Prabhu. Setelah semua abdi dalem yang diutus untuk melacak keberadaan pusaka tak memperoleh hasil, Sang Prabhu lantas mengeluarkan sayembara. Barang siapa saja yang berhasil menemukan pusaka keraton tadi, maka akan diberikan anugerah pemberian salah satu puteri beliau yang cantik. Bahkan akan diangkat derajatnya menjadi seorang Pangeran dan diberikan wilayah seluas 100 Jung.
Begitu Ki Supa Mandrangi dan adiknya Ki Supagati mendengar sayembara tersebut, berdua mereka segera menghadap ke istana Majapahit. Mereka berniat untuk memenuhi perintah Sang Prabhu. Sang Prabhu Brawijaya begitu mendengar kesanggupan keduanya, berkenan dihati dan lantas memberikan restu.
Kedua Êmpu mempergunakan langkah penyamaran dengan jalan menceritakan disepanjang perjalanan bahwa mereka berdua adalah orang buangan kerajaan Majapahit. Jika sampai tertangkap oleh pihak pemerintah, bisa jadi mereka akan mendapatkan hukum mati. Agar cerita rekayasa ini bisa semakin dipercayai oleh orang banyak, sebelum meninggalkan dusun tempat tinggalnya, rumah pribadi mereka sengaja dibakar sendiri. Kejadian ini diceritakan pula kepada orang banyak, bahwa yang membakar rumah mereka adalah utusan Prabhu Brawijaya.
Singkatnya, tujuan mereka meninggalkan wilayah Majapahit, pertama dengan niat mengungsi mencari hidup dan yang kedua mencari bantuan kekuatan untuk membalaskan sakit hati kepada Sang Prabhu. Sengaja mereka pergi kearah timur hingga sampailah diwilayah Blambangan.
Sang Adipati Blambangan begitu mendengar kabar ada dua orang Êmpu linuwih yang menjadi buronan pemerintahan Majapahit, bergembira dihati. Sang Adipati Blambangan memang sudah semenjak lama memendam niat untuk mengadakan pemberontakan. Oleh karenanya kedua Êmpu tadi lantas diperintahkan agar menghadap dan diminta untuk mengabdi di Kadipaten Blambangan. Setelah pengabdian kedua Êmpu ini sudah cukup lama serta telah mendapatkan kepercayaan, suatu ketika Sang Adipati Blambangan berkenan memerintahkan Ki Supa Mandrangi untuk mutrani (membuat duplikat) pusaka yang bernama Kyai Sumêlang gandring. Ki Supa Mandrangi menyangupi dengan hati gembira. Akan tetapi karena belum pernah melihat dhapur (model) serta wujud pusaka yang hendak dibuat tiruannya tersebut, maka Ki Supa Mandrangi memohon perkenanan Sang Adipati agar meminjamkan pusaka yang asli dengan maksud agar supaya hasil tiruannya tidak sampai salah. Permintaan Ki Supa dikabulkan.
Dengan hati gembira, Ki Supa Mandrangi lantas melaksanakan perintah Sang Adipati untuk membuat pusaka tiruan. Tidak hanya membuat satu tiruan, bahkan dua buah. Kedua pusaka tiruan tersebut diserahkan kepada Sang Adipati, sedangkan Kyai Sumêlanggandring yang asli, disembunyikan, karena pusaka itulah yang selama ini dicari-cari. Sang Adipati bergembira dan tidak sadar bila sudah ditipu. Sang Adipati mengira dua buah pusaka kembar yang diterimanya salah satunya adalah Kyai Sumêlanggandring yang asli, yang sangat dihormati olehnya. Ki Supa Mandrangi setelah sekian lama mengabdi di Blambangan lantas mendapat gelar Ki Pitrang.
Oleh sebab sangat berkenan dalam hati, Sang Adipati lantas memberikan anugerah seorang putri yang sangat cantik jelita kepada Ki Pitrang.
Setelah berdiam beberapa bulan di Blambangan seusai pernikahannya, Ki Pitrang lantas memohon pamit kepada istrinya untuk melihat perkembangan Majapahit, dengan dalih sekedar mencari kabar berita apakah Sang Prabhu Brawijaya sudah memberikan ampunan atas kesalahan Ki Pitrang dulu.
Kala itu istri Ki Pitrang tengah hamil muda, oleh karenanya Ki Pitrang lantas meningalkan pesan, apabila kelak anak dalam kandungan istrinya tersebut terlahir laki-laki, maka harus diberikan nama Jaka Sura. Ki Pitrang juga meninggalkan beberapa besi khusus yang bisa dibuat sebagai pusaka. Jika nanti Ki Pitrang tidak juga segera pulang, sang putra agar disuruh menyusul. Jika nanti lahir wanita, terserah kepada istrinya untuk memberikan nama.
Ki Pitrang lantas menghadap ke istana Majapahit sembari menghaturkan Kyai Sumêlanggandring. Membuat gembira hati Sang Prabhu, lantas diberikan anugerah seorang putri yang sangat cantik, diangkat menjadi seorang Pangeran dan diberikan wilayah seluas 100 Jung didaerah Sedayu. Semenjak saat itu Ki Pitrang lantas bergelar Pangeran Sêdayu.
Dikisahkan, saat perjalanan Ki Supa Mandrangi meninggalkan Majapahit dulu, disepanjang perjalanan dia membuat tosan aji, berbentuk dhuwung kecil (patrêm), panjangnya hanya selebar satu cengkal jari, kebanyakan dhapur (model) Kidang soka, Pandhawa, Tilam Upih, Carang Soka dan Pasopati. Tosan aji hasil buatannya tersebut terkenal sangat ampuh luar biasa.
Karena dianggap telah membantu Ki Pitrang selama menjalankan perintah Sang Prabhu, Ki Supagati lantas juga diangkat menjadi seorang Mantri, diberikan gelar Ki Supadi, dan diberikan wilayah seluas 100 Jung pula.
*Sumber : Buku BAB DHUWUNG, berbahasa Jawa Krama, oleh Ki Darmosoegito, terbitan Yayasan Penerbitan Jayabaya, Surabaya, 1989. Diterjemahkan oleh Damar Shashangka// http://annunaki.wordpress.com/2011/01/14/para-empu-di-tanah-jawa-1/
0 komentar:
Posting Komentar