Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :
1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.
2. Ritual ruwat untuk lingkungan.
2. Ritual ruwat untuk wilayah.
Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan pada siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pagelaran pewayangan. Pagelaran pewayangan ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat.
1. Ruwatan Diri Sendiri
Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan selamatan, melakukan tapa brata. Dalam masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk dalam ruwatan. Dengan memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik), akan memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal yang bersifat baik.
Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Rituan Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon Mantrawara III, Mantra Yuda
Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari sedulur papat limo pancer atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain (makhluk halus). Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan pendeteksian.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan (petungan) Jawa yaitu : Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya. Jika sisa:
1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,
2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,
3. Bersemayam di telinga kanan,
4. Bersemayam di telinga kiri,
5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,
6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,
7. Bersemayam di mulut,
8. Bersemayam di sekeliling pusar,
9. Bersemayam di kemaluan,
sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sedikit darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung). Cara mengambil darah ini adalah dengan mengunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas puti. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersama-sama dengan syarat yang lain, berupa :
1. Beras 4 kg,
2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram),
3. Ayam,
4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),
5. Benang Lawe satu gulung,
6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),
7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,
8. Kelapa 1 buah.
Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan duri dilabuh sambil membaca mantera: “Ingsung ora mbuwang klapa lan isine, ananging mbuwang apa kang ndadekake apesing awakku”. (Aku tidak membuang kelapa beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang menjadikan kesialan bagiku).
Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, dikrarkan untuk disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkan.
2. Ruwatan Untuk Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi. Sebagai contoh yang sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita adalah memberikan pagar gaib. Hal semacam memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi (anggap saja rumah) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain :
a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan, misalnya kepala kerbau atau kepala kambing.
b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat.
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.
Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan pada lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.
Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal, membaca doa untuk membuat pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah.
Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh berbeda antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri. Dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon.
3. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas
Disini akan dijelaskan contoh ruwatan di Kepatihan Danurejan, dari Babon Primbon Kagungan Dalem KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden hadipati Danureja IV).
Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.
Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.
Urut-urutan ruwatan sebagai berikut :
a. Dimulai dengan doa pembuka :
“Hong ilaheng, tata winanci awignam mastu samas sidhdhem”
b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang Hyang Kala, yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip seperti nyanyian, tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat pembukaan sang dalang dalam membuka pagelaran wayang :
“Sinigeg sakathahing para jawata watak nawa sanga, pada retane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba ing sela sana sewu, bentar kepara sewu, mila dalah samangka watu, dadi sajagad.
Ana sawijine yogane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba telenging samodra, medal akimplik-kimplik, ing aran Sang Hyang Kamasalah, bisa ngadeg ing aranan Sang Hyang Candhusekti.
Ing kana kaidenan dening Sang Hyang Pramesthi Guru, sakathahe jawata watak nawasanga, kinen nggunturana marang Kamasalah, sakathahe guntur wedang, guntur watu, apa dene guntur geni, pada nurunake, guntur tanana, kang tumama, nora sangsaya suda, malah sangsaya gedhe kalawun-lawun. Ing kana kocap bebandhem, malar dadi pepak dandananing sarira, nulya minggah marang gagana arsa panggih lawan wong tuwanira, iya Sang Hyang Pramesthi Guru”.
c. Diteruskan dengan membaca Pakem Sontheng. Pakem ini dimulai dilagukan :
“Hong ilaheng pra yoganira Sang Hyang Kamasalah tengerannya, kang daging Sang Kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murub, amarab”.
d. Setelah Pakem Sontheng selesai, dibacakan :
“Anekak aken prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan pantara, alimaku tanpa suku, alembehan tanpa tangan, aningali tanpa netra, amyarsa tanpa karna, ambegan tanpa grana, acelathu tanpa lidah, angan-angan tanpa driya”.
e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca Kidung Sastra Pinandhati :
“Hong Ilaheng Tata winanci awighnam astu nammas siddam. Hong Ilaheng pra yoganira, sang bawana sariraku, randhu kepuh pangadhegku, kidang kancil kor tumaku, raiku lemah paesan, mataku socaning manuk, kupingku sang plempengan, cangkemku sangagunging wong, lambeku sang sarapati, utegku sang watu rejeng, ilatku sang lemah polah, janggutku sang watu sumong, guluku sang lemah dedet, selangku sang darmaraja, bauku sang lemah mraju, geger lemah gigir sapi, cangklekan lemah lempit-lempitan, dadaku sang lungka-lungka, wetengku sang lemah mendhak, susuku sang gunung kembar, penthilku sang asri kembar, wangkungku sang pacul tugel, silitku elenging landhak, kempungku tlaga mambeng, plananganku waja glijenm planangan waja binandung, pringsilan waja malela, uyuhku banyu pancuran, sukerke padhas cecuri, entutku mercu dadari, iduku parang teritis, riyakky pulut bendala, wentisku lemah bajangan, delamakanku lemah seta, paturonku lemah bleberan, tindhakku lindhu prahara, geter pater panebaku, awedi kang buta kabeh, sawedana Durga Kala, sawedana kertidara, tumurun ingsung madya, wowor ing dewata muja, ajiku sang ata ati, amaraja nata wuwusku, amahraja ta ajiku, Ya Yamaraja, Ya Jaramaya, Ya Yamarani, Ya Niramaya, Ya Yasilapa, Ya Palasiya, Ya Yamidora, Ya Rodomiya, Ya Yamidosa, Ya Sadomiya, Ya Yadayuda, Ya Dayudaya, Ya Yasiyaca, Ya Cayasiya, Ya Yasihama, Ya Mahasiya.
Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu yusisangya, yatangisiyu yusitangya, yadangsiyu yusidangya, yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yahangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya”.
Diteruskan dengan membaca atau amateg sastra yang ada di langit-langit mulut (telak) Bethara Kala. Sastra ini menjadi pepingitan (peringatan) di jawata (menjadi hal yang dirahasiakan) tidak boleh dibacakan keras-keras uleh sang dalang. Hal ini dilakukan sambil menundukkan kepala dan tampak seperti mengheningkan cipta dengan menyanyikan lagi dandhanggula.
“Jatiswara, swaraning pamisik, lamun sira miwiti amaca, kawruhana kamulane, kembang cempaka kudhup, sari mulya kang bayu manjing, manjing sang bayu mulya, purnama kang bayu, abali sang bayu mulya, sabda idep-idepa marang kang yogi, ketawang kapigesang”.
f. Diteruskan dengan membaca “Sastra Banyak Dalang” lagu kentrung :
“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung lan keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, sampurnaning banyak Dalang”.
“Hong Ilaheng pra yoganira.
Sang raja kumitir-kitir anakku si banyak dalang, peksa arep memantuwa kudu bisa angaji, dukuhe ki ulung kembang bale anyar tanpa galar, isi ingkang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winatu aji, asri dinulu tingkahe, tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, saliring mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, ana jaka meneng kembang, denya menek angutapel, wus kebek jejomprangira, dene sekar anelahi, ana ta prawan liwat, dinulu rupane ayu, prawan angaku rara, ya ni mara nini mara, anontana kintel muni, ting caremplung, anggero kang kodok ijo, solahe krangkang rangkang, sedayane kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, kidungku si banyak dalang, saben dina pari dadar, sedina yen ana angring yen garing keaadak, ngelu puyeng pilek watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murub benceretan, yen angrungu kidung iki, wong asomah padha banyak dalang, miwah yen prawan tuwa, miwah yen jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, kang angidung maringa begawan, anonton larung keli, pepitu paring kadulu larunge ki banyak dalang, ajejuluk ki jelarung, garudha cucuke wesi, ora anucuka lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, sampurnaning banyak dalang”.
g. Diteruskan dengan membaca Sastra Gumbalageni, Geni, atau api yang datang dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat dan utara, disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan melakukan pembacaan mantera :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni tekane saka wetan, putih rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka aneng wetan.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kidul, abang rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kidul.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kulon, kuning rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kulon.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka elor, ireng rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana elor.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka tengah, lelima rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana tengah”.
h. Diteruskan dengan Kidung Sastra Puji Bayu :
“Sang Hyang sekti naga nila warna, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting liman, abebed kuliting singa, acawet angga genitri, liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan asih-asih, premanaku ing sulasih”.
i. Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Sang Hyang Tangkep Bapa kasa, kaliyan ibu pertiwi, mijil yogyanira Sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube amarab arab, anekakaken prabawa, ketuk lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kudu lumaku rinuwat iki, anata senajata singwang, aranemandalagiri, Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
“Ruwatan dadi pagagan, bale mas sakane dhomas, pinucukan manik putih, rinawe-rawe kumala marbuk miging gandanira cendhana kara, gandhane jebat kasturi, kuning sira kocapa Bethara, ijil Bathara kusika, sang gagra mesi kurusa, umijil Sang Hyang Kuwera, ana sira rupa buta, ana sira rupa ula, kudu lumaku rinuwat anata sanjata ngngwang arane panji kumala, pinaputrakaken gunung, arane mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
j. Diteruskan dengan Sastra Kakancingan :
“Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu sampir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pakoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrak-akengunung arane, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan cara atau ritual ruwat.
k. Diteruskan dengan Sastra Panulak, pada proses ini, kekuatan gaib dari Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan musnah :
“Tolak tunggul ing dhadhaku, macam putih ing raiku, singa barong ing gigirku, baya nyasar ing cangkemku, sarpa naga ing tanganku, raja tuwa ing sikilku, surya candhra ing paningalku, swaraku lir gelap sewu, nulak sakabehing bilahi, setan balio padha adoh, wong saleksa padha lunga, wong sakethi padha mati, rep sirep sajagad kabeh.
Kuneng Bathara kalawan sira Sang Hyang Bethari Durga, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataningwang, arane panji kumala, pinaputrekken gunung, arane Mandhalagir, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samangko.
Nora sira rupa kala, nora sira rupa Durga, atemahan Uma-uma, arep ageweya bala, ana lanang ana wadon, si betapasi betapi, sibrenggala si brenggali, si rahmaya si rahmayi, si kuntara si kuntari, kudu lumaku rinuwat, anata senjataning wang arane panji kumala, pina putrakaken gunung, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko.
Kala atemahan Guru, Durga atemahan Uma, Umayana umayini, widadara widadari, arep mantuk mring khayangan, Hyang Kala Bethara reswara, amediya swara wija, aweha urip sarasa”.
l. Diteruskan dengan Sastra Ruwat Panggung, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Sang Hyang Galinggang kalawan sira Sang Hyang Damarjati, kelire Hyang Tinjomaya, Peluntur alimun, kekuping Sang Hyng Kuwera, peracik Sang Retna Adi, deboge Sang Hyang Gebohan, Cangkoke Bethara Gana, alinggih pang kayu Tera Sumbu, awune Bethara Brama, arenge Bethara Wisnu, kewala anonton wayang, Sang Hyang Eyang Guru kang amayang, widadari kang nggameli, anyangang iyang ayine, suu tegang ora wangewang, sehamana maya, katon kang anonton nora katon, kabruk-kabruk katung, pralambe yang ana maya katon, kang tinonton nora katon, kang anonton nora katon”.
m. Diteruskan dengan Sastra Panengeran, dengani dinyanyikan lagu Dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, sakti guna nila warna, turuku lindur buwana, salonjorku lungguh wesi, amunjung kayu perbatang, sedhakepku oyod nimang, candi sewu ing dhadhaku, adegku katu kastuba, randhu kepuh ing jengkengku, naga mulat ing guluku, naga peksa tulaleku, gadhingku warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku Hyang pancanaka, lidahku sang sara sekti, brajapati ning wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra,sumuluh ing rat bawana, awedi kang buta dengen, awedi kang manungsa kabeh, awedi raksasa kabeh, undun ngudu aliweran, lemah paran lungka-lungka, liman watu rejeng, alas agung anderkara, tetegale angyangan, songing landhak garung-gungan, ajarat lemah tendhesan, slirane kang lemah aeng, paomahane durga yekti, lemah wates jejebangan, lemah setra akil ing wang, kang katungkul manut ingwang, dandang bango salirane, anauta lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, tuju teluh teregnyana, budug edan ayan buyan, tuju teluh tarangyana, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, supatane adi guru, yoga ruwat dening aku, budug ayan buyan, lumpuh wuta tuli bisu, tak usapi tangan kiwa, pan aku pangruwat mala, geter pater pangucapku, ketuk lindhu prabawaku, kilat cleret ing kendhepku, lebda wara mandi sebda, japa mantra kasektenku, kurdaku galudhug gelap, aku kang Hyang Candra sekti, aku Sang Hyang Raja Polah, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Hyang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung putih, aku surak tanpa mungsuh, aku tengeraning angin, lesus agung aliweran, prahara kalawan tambur, pangleburan rajamala, ila-ila upadarwa, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, tan tumama saliraku, tuju teluh taragnyana, budhug edan ayan buyan, lebur kabeh musna ilang, aku Sang Hyang Candhusekti, turun sira sakareng, rijajegan rejeg wesi pinayungan kalacakra, kinemiting widadara, kinemiting widadari, Resi dewa sogataku, aku Sang Hyang Jaya pamurus”.
n. Diteruskan dengan Kidung Panengeran lanjutan, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, Sang Hyang Tiga Pelunguhku, dadaku Sang Ula Naga, Naga Raja selasangku, Naga Mulet ing guluku, Naga Pulet tulaleku, gadhing warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku mas pancanaka, lidahku sang rasa sekti, brajapatining wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra, sumuluh ing rat bawono, awedi kang buta dengen, tumingal ing kasektenku, udung-udung ulur-ulur, pilinglung watu tinumpuk, paran limang watu rejeng, lungka-lungka watu putih, sirate lemah tandhesan, agerat kang lemah sangar, alang-alang amelakang, tetegal kang ameyangan, lemah amunuking lembu, lemah aguluning manuk, lemah anggiring sapi, lemah anjilinthing kendhil, lemah ambara bathari, sakehe kang lemah aeng, akehe kang watu aeng, teja-teja ing ulatku, kuwung-kuwung lelathiku, durga galudhug gelap, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung Putih, aku Naganilawarna, aku Sang Hyang Naga Pamolah, aku tengeraning angin, sindhung lesus leliweran, prahara kalawan geter, udang braja salah mangsa, angagem dendha trisula, musala kalawan gadha, senjataku luwih sewu, ngongdokaken mungsuhku bubar, kabeh dewata tumingal kasektenku, aku sang bala sewu, aku Sang Hyang Guru Taya, tumurun aku sekareng, angadheg ing nggonku ring windhu, ajamang akarawistha, asesep angga genitri, trinaya catur bujangga, rinajegan rejen wesi, pinayungan kalacakra, kinemiting pancaresi, sang kusika gagra mestri kurasa, sang Pritanjala, surenggana, surenggini, kinemiting widadara, kinemiting widadari, kinemiting catur loka, endra baruna kuwera, yama luwan bismawana, nguniweh butawilaksa, padha ngreksa padha kemit, rumeksaa mring aku, angastuti maring mami, ya ingsung Sang Hyang Dewa Murti, papaku jati yuswa, sampurna dak tampa mala, niruga nirupa darwa, ya minamuna mas wahak”.
o. Diteruskan dengan Kidung Sastra Pangruwatan, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ilanga Sanga Dyrga Durgi, sakehe kang alas seng, randhu kepuh karangan kroya waringin ageng, lemah seta tangkeling wang, kang katungkul manut ing wang, dandang bango salirane, anglebura lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, supata lawan sengsara, supatane Sang Hyang Dewata, supatane awak dhewe, nguni wah buta wiyaksa, kalawan buta wiyaksi, ila-ila upadarwa, budhug edan ayan buyan, budhug edan buyan, mumet mules bencretan, ngelu puyeng pilek watuk, sarta ingkang kena welak, nguni weh padha rawe, tak usapi tangan kiwa, cakra lepas ing tanganku, ke ka ruwat mala, geter pater pangucapku, gerah minangka sabdaku, sabda wara japa mantra, apan iku kasektenku, Sang Hyang Permana ing senenku, ilanga rupa Kala, ilanga sang rupa buta, ilanga sang rupa sasap, ilanga sang rupa jugil, ilanga sang rupa jakat, ilangan sang rupa gendruwa, ilanga sang rupa dusta, durjana kawisayan ulun, durga uta paripurna, nuraga ni rupa dewa, ya minamuna maswahak”.
p. Diteruskan dengan Kidung Pangruwat Pamungkas, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ruwata Sang Rupa Durga, ruwata sang rupa Buta, ruwata sang rupa Sasab, ruwata sang rupa Jugil, ruwata sang rupa Jakat, ruwata sang rupa Mercu, ruwata sang rupa Taya, ruwata sang rupa Dusta, ulun ingkang angruwata, ulun ingkang angilangna, Durga yuta paripurna, nuraga nirupa darwa, ya minamuna maswahak”.
Setelah selesai melantunkan Kidung Ruwat Muewakala, rambut anak sukerta dipotong sebagai syarat yang nantinya akan dilarung. Kemudian anak Sukerta tersebut dimandikan air bubga setaman oleh yang meruwat. Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang meruwat (dalang). Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat (dalang ruwat).
Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan (gila), atau sudah lama mengalami kesurupan, maka harus dibacakan Kidung Rumaya, sekar sinom yang menyebutkan adanya lelembut di tanah Jawa sebagai berikut :
Tembang Sinom
Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.
Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura.
Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrjeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga.
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan.
Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira.
Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa.
Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang.
Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang.
Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan.
Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa.
Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala Nadah ing Tojamas, Segaluh aran si Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng Lowange, gunung Duk Geniyara, Bok Bereng Parangtaritis, Drembamoa ingkang aneng Purbalingga.
Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing Jenu si Karungkala, ing Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek putih kang nenggani, Buta Glemboh ing Ngayah kajanganira.
Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin, Juwal-pajal ing Talsinga, ing Tremas Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si Kuncung Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si Asmara aneng Taji, Bagus-anom ing Kudus kayanganira.
Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati, Cucuk Dandang ing Kartika, Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga Buwana ranipun, Pak Kecek Pejarakan, Cing-cing Goling Kalibening, ing Dahrama Karawelang kang rumeksa.
Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban, Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung Garunggung, kang aneng Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura ingkang aneng Majaraga.
Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si Londir ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih ranipun, si Gober Pecangakan, Danapi ing Jatisari, Abar-abir ingkang aneng Jatimalang.
Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Parangtandang ing Kesanga, ing Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang aran si Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang, Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa sukuning ardi Baita.
Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih, Buta Kepala Prambanan, Bok Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji, Pager Waja Rahaden Kusumayuda.
Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit, kalangkung kasektenira, titihane jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege wesi, cametine pat-upate ula lanang.
Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali mangetan, mangidul panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali mangidul, ngulon panyabetira, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.
mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak ngalor parannya, manginggil panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali manduwur, mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.
Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati, kalangkung kasektenira, keringan samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli, Yudapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambir Anom aneng Pti, si Kecebung Kadilangu kang den reksa.
Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang rumeksa Parang Wedang, Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga Nyai Kidul, sampun pepak sadaya, para pramukaning demit, nungsa Jawa paugeran kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”.
Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan ritual ruwat secara lengkap dan menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden Hadipati Danureja IV).
Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala, selanjutnya dibuatlah Rajah Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat. Pembuatan Rajah Kalacakra Balik adalah menulis huruf hanacaraka secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan nga ta ba ga ma sampai ka ra ca na ha dilakukan dengan cara sebagai berikut :
* Ditulis melingkar diatas lempengan emas,
* Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada tengah malam saja,
* Pati geni selama sehari semalam penuh,
* Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.
* Penulisan huruf dengan aksara Jawa.
Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang berwarna putih kemudian ditempel pada tembok atau pintu depan rumah. Penggunaan warna tinta dengan menggunakan dua warna, misalnya hitam dan merah. Dalam menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
* Melakukan puasa selama 21 hari,
* Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa,
Sumber : http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/ruwatan/
0 komentar:
Posting Komentar