ANDA PERLU BUKU SENI DAN BUDAYA, hubungi 0857-2994-6859 atau http://www.facebook.com/buku.rupa

14 Juli 2011

Syekh Belabelu dan Syekh Damiaking (versi cerita tutur)

Menurut cerita tutur setempat Syekh Belabelu adalah salah satu keturunan dari Prabu Brawijaya terakhir. Ia mempunyai nama kecil Raden Jaka Bandem. Pada awalnya Raden Jaka Bandem tidak bisa menerima agama Islam. Oleh karena itu pulalah ia menyingkir dengan menyusuri pantai selatan ke arah barat sampai di perbukitan Parangtritis.
 
Tidak ada sumber yang dapat menjelaskan mengapa dari nama Raden Jaka Bandem ini kemudian berubah menjadi Syekh Belabelu. Raden Jaka Bandem ini dalam pengembaraannya kemudian menetap di bukit yang sekarang termasuk dalam wilayah Kalurahan Mancingan. Di bukit ini Syekh Belabelu mempunyai kegiatan membuat patung. Patung-patung yang dibuat antara lain berupa patung Punakawan dan Banteng. Oleh karena keberadaan patung Banteng itu pula, maka bukit yang didiami Syekh Belabelu ini dinamakan Bukit atau Gunung Banteng yang sekarang termasuk dalam wilayah administrasi Dusun Mancingan, Kalurahan Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta. Di bukit inilah Syekh Belabelu tinggal bersama Syekh Damiaking sampai meninggalnya. Dalam cerita tutur setempat disebutkan bahwa Syekh Belabelu adalah kakak beradik dengan Syekh Damiaking. Akan tetapi versi lain menuturkan bahwa mereka hanyalah dua saudara seperguruan. 

 
Berkaitan dengan dua patung yang dibuat Syekh Belabelu itu sampai sekarang masih ada. Patung yang diidentifikasikan sebagai Banteng ini sekarang terletak di sebelah timur kompleks makam, tepatnya di sisi dinding selatan gedung peristirahatan bagi peziarah. Patung ini kondisinya sudah rusak. Bagian kepala patung tampak terpenggal dan hilang.
Hari paling ramai untuk kunjungan peziarahan di makam Syekh Belabelu dan Damiaking adalah hari Jumat. 

Banyak peziarah datang ke tempat ini dengan berbagai permohonan. Sesuai tradisi setempat siapa pun yang merasa berhasil setelah memohon sesuatu di tempat ini kemudian mengadakan syukuran dengan membuat persembahan (caos dhahar) berupa nasi liwet ayam. Nasi liwet ayam adalah nasi yang ditanak setengah matang kemudian didalamnya diberi ingkung ayam yang telah dimasak matang. Nasi dan ayam yang telah dimasak itu kemudian dimasak terus hingga nasinya menjadi matang. Jika semua selesai barulah makanan berupa nasi liwet ayam itu dipersembahkan melalui jurukunci setempat yang untuk saat ini dipegang oleh Bapak Surakso Suwela (70).
Jalan mendaki ke kompleks makam ini telah diperkeras dengan beton serta dibuat berundak-undak. Dari kompleks makam ini peziarah dapat menikmati pemandangan pantai Parangtritis dengan laut selatan (Samudra Indonesia).

Fisik Bangunan
Batu nisan Syeh Belabelu dan Syekh Damiaking diletakkan berdampingan. Ukuran kedua nisan sama, yakni panjang 195 Cm, lebar 60 Cm, tinggi 55 Cm. 

Sedangkan peninggalan lain yang berupa patung Lembu Nandi, patung Agastya, dan dua buah batu andesit. Patung Lembu Nandi memiliki ukuran lebar 43 Cm, tinggi 40 Cm, dan panjang 82 Cm. Patung Agastya memiliki ukuran tinggi 28 Cm, tebal 15 Cm, dan lebar 20 Cm. 

Dua buah batu andesit berbentuk persegi yang terdapat di sisi barat (kanan) cungkup mempunyai ukuran panjang 100 Cm, lebar 50 Cm, dan tebal 20 Cm. Sedang sisi batu persegi yang terdapat di sebelah sebelah kiri (timur) cungkup memiliki ukuran panjang 90 Cm, lebar 37 Cm, tebal/tinggi 16 Cm.

Cungkup makam Syeh Belabelu dan Syekh Damiaking memiliki sebuah pintu menghadap ke selatan/pantai. Ukuran cungkup panjangnya 6,8 meter, tinggi 2,8 meter, dan lebar 4 meter. Cungkup telah diberi lantai keramik berwarna abu-abu (bawah). Sedangkan lantai atas juga telah dikeramik berwarna putih.
Di samping bercungkup, kompleks makam Syekh Belabelu dan Damiaking juga dilengkapi dengan tempat peristirahatan bagi para peziarah (pesanggrahan). Tempat peristirahatan ini memiliki arah hadap ke barat.

Kompleks makam ini juga dikelilingi oleh pagar tembok dengan ukuran tembok tertinggi 90 Cm dan terendah 80 Cm. Tebal tembok pagar makam adalah 29-36 Cm. Kompleks makam ini juga dilengkapi dengan pintu gerbang/gapura menghadap ke barat. Lebar pintu gapura adalah 2 meter, tinggi gapura 2,1 meter. Kompleks makam ini dinaungi 3 buah pohon asam yang cukup besar dan tua.
 


sUMBER : Tim TeMBI: Didit PD, Herjaka, Sartono K. (http://www.tembi.org/situs-prev/belabelu.htm)

Sedangkan dalam versi lain di ceritakan juga sebagai berikut : 
Babad Demak menyebutkan bahwa setelah Majapahit runtuh karena serangan Demak, banyak putra-putri keturunan Brawijaya yang mengungsi menyelamatkan diri. Salah satunya ialah Raden Dhandhun, putra Prabu Brawijaya dari selir.

Dalam usia yang masih terbilang muda, Raden Dhandhun terpisah dari keluarganya, keluar masuk hutan, mendaki gunung, menuruni jurang, terlunta-lunta tak jelas arah tujuannya.

Hingga pada suatu ketika Raden Dhandhun tiba di Desa Mancingan, Yogyakarta. Pada waktu itu, di Mancingan ada seorang pendeta Budha (Hindu?) yang sangat mumpuni ilmu agamanya dan bernama Kyai Selaening. Oleh sang pendeta, Raden Dhandhun diganti namanya menjadi Kyai Bela-belu untuk keperluan penyamaran identitas.

Beliau diperintahkan untuk ke puncak gunung sebelah barat Gunung Sentana yaitu setelah Gunung Bantheng. Kyai Bela Belu ini sejak tiba sudah terlihat kalau ia rajin melakukan tapa. Ia biasa tidak tidur hingga tiga sampai empat hari. Tetapi, Raden Dhandhun tidak kuat menahan lapar, sebentar-sebentar ia harus makan. Sebab, tiap hari ia biasa makan tiga sampai empat kali. Kesukaannya adalah nasi ayam liwet yaitu nasi yang dimasak menggunakan santan kelapa dan dalamnya diisi dengan daging ayam.

Karenanya, kemudian Kyai Selaening meminta Raden Dhandhun untuk mencuci beras di Sungai Beji, sebelah utara Parangendhog, kira-kira 5 km dari Gunung Bantheng. Dengan cara seperti itu nafsu makannya dapat dikurangi menjadi sekali dalam sehari.

Saking gemarnya melakukan ulah batin, Kyai Bela Belu pun kemudian memperoleh kelebihan yang bisa digunakan untuk menolong warga desa sekitarnya. Karena itu, sampai makamnya saja hingga kini masih dianggap keramat. Setelah Kyai Selaening masuk Islam, Kyai Bela Belu juga ikut pula masuk Islam. Oleh Syekh Maulana, Kyai Bela Belu diberikan sebutan sebagai Syekh yang berarti sang guru, meskipun beliau adalah seorang putra raja.

Babad tidak menyebutkan apakah Kyai Bela Belu itu menikah atau tidak. Sebab tidak ada orang yang mengaku sebagai keturunannya Syekh Bela Belu. Bahkan setelah wafat pun tidak ada yang tahu dimana makam beliau yang sesungguhnya. Tetapi yang pasti, makamnya terdapat di sebelah barat Gunung Sentana. Letak makam Syekh Bela Belu baru ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IV sewaktu ia berkuasa.

Seperti yang disebutkan oleh R. Ng. Djadjalana dalam Bab Pesanggrahan Parangtritis tahun 1933. Disebutkan sekitar tahun 1830 di Grogol (sebelah utara Parangtritis) ada seorang sesepuh desa yang juga menjabat sebagai Demang Pemajegan (Pemaosan) yang masih merupakan keturunan dari Kyai Selaening dan sering melakukan tapa. Pada suatu malam tatkala Demang Pemajegan pergi ke Segara Kidul (Laut Selatan), ia melihat cahaya rembulan yang tampak dari balik Gunung Sentana dan jatuh di Gunung Bantheng. Di lain hari lagi, ia melihat cahaya seperti tugu yang terus amblas di Gunung Bantheng. Kejadian ini dialami berkali-kali. Kemudian Lama-lama tempat jatuhnya cahaya di Gunung Bantheng ini ditandainya dengan tanda dari kayu.

Kejadian ini kemudian diceritakannya kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IV sekalian memohon izin untuk menggali dasar dari patok makam, siapa tahu diketemukan benda-benda yang aneh. Setelah disetujui, dilakukanlah penggalian. Pada saat itu ditemukan obyek berupa empat buah batu hitam yang berjejeran, dua di utara dan dua di selatan. Seperti makam yang berdampingan tetapi tanpa nisan yang membedakannya.

Di dekatnya ditemukan sebuah lempengan batu hitam bergambar �ilir� (semacam kipas dari anyaman bamboo) dan �iyan� (semacam tampah yang juga terbuat dari anyaman bamboo). Dimana �iyan� dan �ilir� adalah alat untuk mendinginkan nasi, yakni setelah nasi �diler� di tampah barulah dikipasi dengan kipas tadi.

Kejadian atas temuan inipun kemudian diberitahukan kepada Sri Sultan. Dan dilihat dari diketemukannya gambar �ilir� dan �iyan�, Sri Sultan pun kemudian menetapkan bahwa kuburan itu adalah makamnya Syeh Bela Belu. Sedangkan yang di sebelahnya adalah makam adiknya Kyai Dami (Gagang) Aking, yang juga terkenal akan tapa tanpa henti hingga lupa akan makan dan minum.

Karena kesungguhan Syekh Bela Belu dan juga Kyai Gagang Aking dalam melakukan tapa, maka keduanya kemudian bisa mencapai apa yang dicita-citakan, yaitu �pencerahan�.

Kemudian atas perintah Sri Sultan pulalah makam di Gunung Bantheng ini kemudian dicungkup kayu jati. Bagian luarnya dilapisi menggunakan batu hitam dan atasnya dilangse. Kini, makam dijaga oleh abdi dalem keraton yang juga adalah penjaga makam dari Syekh Maulana.

Selain kisah di atas, Syekh Bela Belu serta adiknya Syekh Dami Aking juga diyakini sebagai murid dari Sunan Kalijaga, yang diperintahkan untuk melakukan tapa di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Pertapaan Lemah Putih, yang sangat melegenda di daerah Nganjuk, Jawa Timur.
 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Berangkat dari cerita tutur, Syeh Bela-belu sbg murid Sunan Kalijaga, beliau merupakan arsitektur Masjid Agung Demak. Konon, satu pohon jati berukuran besar dapat dipakai sebagai bahan bangunan.

Posting Komentar