ANDA PERLU BUKU SENI DAN BUDAYA, hubungi 0857-2994-6859 atau http://www.facebook.com/buku.rupa

12 Januari 2011

Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah)

Syeikh Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Djati merupakan orang yang sama. Dengan kata lain, salah satu nama lain dari Syeikh Syarif Hidayatullah adalah Sunan Gunung Djati. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari kesamaran dalam tulisan ini, sekalipun hal ini mengabaikan polemik berkepanjangan tentang identitas siapa sebenarnya Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Djati.

Adalah hal yang menarik melihat sosok Syarif Hidayatullah dari sudut pandang
spiritualitas (sufisme) atau kewalian, karena untuk melihat tokoh historis-legendaris ini tidaklah cukup hanya dari satu perspektif saja, terlebih karena ia berperan ganda, yakni sebagai seorang sultan (kepala pemerintahan) dan sebagai seorang ulama-da’i. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam di Tatar Sunda, bahkan ia dikonversi sebagai salah seorang wali sanga, sejumlah wali yang populer sebagai agen Islamisasi di Tanah Jawa.

Dalam dunia tasawuf, pembicaraan tentang wali merupakan hal yang sudah umum. Rujukan paling banyak dikemukakan adalah kisah Musa dan Khidir. Khidir dianggap sebagai orang yang mempunyai pengetahuan rahasia, sedangkan Musa hanya mengetahui hal-hal yang bersifat lahir, sehingga di dalam perjalanan mereka berdua banyak berbeda pendapat (QS 18:60-82). Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menelisik ketokohan Syarif Hidayatullah dalam perspektif sufisme, terutama dalam sudut pandang kewalian. Bagaimanakah identitas yang dinisbahkan kepada tokoh ini hingga ia digolongkan sebagai wali sanga. Inilah yang menjadi fokus tulisan ini. Hal ini karena kewalian merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran tasawuf yang barangkali sampai saat ini sering dilupakan atau masih jarang disentuh oleh para sejarawan dan khususnya pemerhati tasawuf.
Term Kewalian

AL-HUJWIRI (1993:82) mendefinisikan wali dengan cara merujuk al-Qur’an surat Yunus ayat 62, “Sesungguhnya, wali-wali Allah (auliya) tidak ada ketakutan bagi mereka dan mereka tidak akan bersedih hati.” Sedangkan menurut al-Tirmidzi (t.t.:491) dan al-Syanqiti (1961:12), wali Allah adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Apabila kedua pendapat ini digabungkan, maka secara umum dapat dikatakan bahwa wali adalah orang yang secara aktif dan tegar (tidak mempunyai rasa takut dan sedih) untuk mengungkapkan dan menyampaikan pesan-pesan kebenaran yang datang dari Allah dan Rasulnya dengan dasar iman dan taqwa yang sebebar-benarnya.

Kemudian apabila beberapa literatur tasawuf dirujuk dapat ditemukan bahwa kata wali merupakan ism sifat musyabbahat bermakna fa’il (subjek; pelaku pekerjaan), dengan tekanan yang intensif, karena ia selalu menjaga diri untuk taat kepada Allah swt dan tetap disiplin memenuhi kewajiban-kewajibannya dan menjauhi larangannya. Jadi, term wali dalam arti aktifnya ialah “orang yang menginginkan” (murid). Untuk kategori wali ini, proses mendapatkannya dilakukan melalui ibadah secara terus menerus (mujâhadah). Oleh karena itu, berdasarkan kategori ini, menurut Tirmidzi (1961:494), wali adalah “orang yang disiplin melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya (sesuatu yang diharamkan secara syar’i) secara terus menerus (man tawâlat tha’âtuhu min ghairi an yattakhola laha isyânun).” Kata wali  juga merupakan bentuk ism sifat musyabbahah  yang bermakna mafûl  (objek penderita); jadi wali dalam arti pasifnya menunjuk kepada “orang-orang yang diinginkan Allah” (murad). Pengertian terakhir ini menurut al-Hujwiri merujuk kepada firman Allah, QS al-A’râf (7):96, “Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang benar.”   

Oleh karena itu, Ali Harazim dalam Jawâhir al-Maânî  (1985:62) berpendapat bahwa wali  adalah seseorang yang urusannya dikuasai Allah secara khusus serta musyahadah  terhadap af’âl Allah. Sebenarnya dua pemahamaman wali tersebut apabila digabungkan mengarah pada satu pengertian bahwa wali adalah orang yang disiplin melaksanakan taqarub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan cara melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangannya (yang diharamkan) sampai pada maqam (station) tertentu. Yang dimaksud maqam  dalam tradisi sufisme merujuk pada suatu tingkatan ruhani (spiritual) yang didapat para sufi (wali) melalui hasil usaha (ibadah). Apabila seorang wali sudah sampai pada maqam tertentu, sangat mungkin apabila Allah kemudian menariknya atau menginginkannya untuk mengetahui rahasia-rahasia-Nya.

Dengan demikian, kewalian dibina melalui arah. Pertama, manusia itu sendiri secara aktif mempersiapkan diri melalui disiplin ibadah sampai pada maqam tertentu. Inilah yang dimaksud dengan al-muktasab, yakni usaha menempuhi jalan Allah, dan karena itulah Allah menariknya sampai pada tingkat ma’rifah. Peristiwa terakhir ini dikategorikan sebagai ghair muktasab (anugerah; bukan merupakan usaha manusia). Dengan demikian, kewalian itu sendiri didapat melalui campur Allah, secara mutlak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kewalian adalah wujud rahman dan rahim Allah swt.

Perihal isyarat-isyarat mengenai makna hakikat kewalian telah banyak diungkap oleh para sufi; misalnya (1) Abu Ali Jurjani; nama aslinya adalah Hasan ibn Ali al-Jurjani, penulis kitab-kitab dalam bidang Ilm al-Auqât (ilmu tentang waktu) dan suluk (jalan sufi). Menurut Ibrahim al-Sulama (1969:242), ia sejaman dengan Muhammad ibn Ali al-Tirmidzi (w. 247 H). (2) Abu Yazid Taifur ibn Isa ibn Sursan al-Bustami, yang lahir di Persia dan wafat pada tahun 261 H.
Ciri-Ciri Kewalian Syarif Hidayatullah

DALAM literatur tasawuf ditemukan bahwa salah satu ciri kewalian seseorang adalah adanya keistimewaan-keistimewaan (karamah) yang muncul dari diri wali. Menurut Jusuf al-Nabhani (t.t.:13), karamah adalah sesuatu yang melanggar adat (hukum adi) yang keluar dari tangan atau anggota hamba Allah yang benar-benar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya

Menurut hemat penulis, agaknya karamah wali erat kaitannya dengan misi risalah al-nubuwwah Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi akhir jaman yang syari’atnya berlaku hingga hari akhir. Melihat misi Nabi Muhammad saw. sebagai khatam al-anbiyâ, maka untuk mengaktualkan dakwahnya mesti ada kelompok tertentu yang secara khusus mengkonsentrasikan dirinya untuk memelihara misi tersebut. Dalam pandangan kaum sufi, orang-orang yang mengemban misi tersebut adalah mereka yang secara penuh mengabdi kepada urusan Allah dan tidak menuruti dorongan-dorongan hawa nafsu mereka dan orang-orang yang demikian adalah para wali.

Selanjutnya, dapat dikatakan pula bahwa karamah wali pada dasarnya merupakan tanda kenabian (burhan al-nubuwwah) Nabi Muhammad yang tetap ada hingga sekarang. Para wali-lah yang kemudian menjadi sarana manifestasi dari burhan al-nubuwwah, agar tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. senantiasa dapat dilihat dengan jelas. Dengan demikian, jika Nabi Muhammad saw. mengemukakan mukjizat sebagai bukti kebenaran kenabiannya, selanjutnya kebenaran pengakuannya dikuatkan oleh karamah wali. Hal ini, karena syari’at Nabi Muhammad senantiasa berlaku sampai akhir zaman dan bukti keberannya (hujjah)-nya juga senantiasa berlaku dan wali-wali adalah saksi-saksi kebenaran misi Rasulullah saw.

Uraian di atas menunjukkan bahwa karamah yang ditampilkan wali tidak mungkin dan tidak seharusya bertentangan dengan mu’jizat  yang ditampilkan Nabi saw., sebab karamah tidak terkukuhkan, kecuali orang yang menampilkannya bersaksi (musyahadah) atas kebenaran orang yang telah memperlihatkan mu’jizat. Pada dasarnya, karamah dan kewalian merupakan anugerah Allah, bukan sesuatu yang diusahakan oleh manusia sehingga usaha manusia tidak dapat menjadi sebab bagi terwujudnya hal tersebut. Lebih jauh dikatakan oleh Ali Harazim (1985:107) bahwa kesucian pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifah), merupakan dasar dari semua karamah  yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Karena sudah adanya cahaya ma’rifah itulah, maka selanjutnya akan menyebabkan seseorang akan mempunyai keistimewaan (karamah). Salah satu hadits Nabi Muhammad saw senantiasa dirujuk dalam literatur sufi untuk mendukung eksistensi karamah, “Haba-hamba-Ku tidak bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kusenangi dari ibadah yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku selalu bertaqarrub kepada-Ku dengan amal ibadah sunnah sampai Aku cinta kepadanya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang dia buat mendengar, Aku adalah penglihatannya yang dia buat untuk melihat, Aku adalah tangannya yang dia buat untuk memegang dengan keras, dan Aku adalah kakinya yang dia buat untuk berjalan. Apabila dia minta kepada-Ku, maka pastilah memberikannya dan apabila dia minta perlindungan kepada-Ku, pasti aku melindunginya (HR Bukhari).

Kemudian apabila dipandang dari dimensi perwujudannya, karamah wali  itu dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, karamah hissiyyah yaitu karamah yang berhubungan dengan indera, seperti berjalan di atas air dan mengobati orang sakit tanpa menggunakan diagnosis medis. Kedua, karamah maknawi, yaitu karamah  wali yang terkait dengan bimbingan ruhani (spiritual) secara langsung dibimbing oleh Nabi Muhammad saw., yang dalam literatur tasawuf disebut dengan talqin barzakhi, dan atau petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang secara langsung disampaikan kepada wali (nûr al-ladzi yaqdzifuhu Allah fî qalb al-‘abd bi ghair hassah wa la wasithah). Kedua jenis karamah  tersebut, sebagaimana telah diinformasikan oleh beberapa penulis sejarah perkembangan Islam di Tatar Sunda dan tanah Jawa pada umumnya, dan juga sebagaimana dilukiskan dalam naskah-naskah babad, melekat pada ketokohan Syarif Hidayatullah. Di dalam Babad Tanah Sunda, misalnya, banyak dilukiskan tentang peristiwa-peristiwa historis yang menunjukkan tentang adanya karamah  dalam diri Syeikh Syarif Hidayatullah.

Salah satu peristiwa yang menunjukkan adanya karamah hissiyyah yang dinisbahkan kepada Syarif Hidayatullah adalah sebagaimana dilukiskan dalam Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon. Disebutkan bahwa suatu ketika, Syarif Hidayatullah muda hendak menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Ia dibekali oleh ibunya (Larasantang atau Syarifah Mudaim) uang sejumlah seratus dirham. Di tengah perjalanan, ia dihadang sekelompok perampok (penyamun). Tanpa basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, ia berikan kepada para penyamun tersebut. Para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa ia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikannya kepada mereka. Mereka terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya. Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon, “Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya terlihat seperti terbuat dari emas. Para penyamun semakin penasaran dan mereka terus mengikuti Syarif Hidayatullah untuk meminta rahasia dari kelebihan Syarif Hidayatullah. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif Hidayatullah. Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa ketika berangkat dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu, tetapi ia justru berjalan di atas air laut.

Dalam Serat Walisana dengan langgam durma diceritakan pula sebuah peristiwa yang dinisbahkan kepada Syeikh Syarif Hidayatullah dan masih menunjukkan karama kewaliannya. Peristiwa itu terjadi pada sebuah peperangan antara pasukan wali sanga (Demak) dengan para tentara Majapahit. Dalam peristiwa itu diceritakan bahwa para wali mengeluarkan karamah masing-masing. Dalam peristiwa tersebut, diceritakan bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah dikibaskan, maka muncul bala tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya (tikus maketi-keti / andeleg marang  jroning pabarisan/ kumarep angerobi…) menyerang bala tentara Majapahit sehingga mereka panik dan berantakan.

Masih banyak cerita lain berkenaan dengan karamah hissiyyah yang dilekatkan pada tokoh satu ini. Mungkin saja, kalau dipahami dari sudut pandang logika rasional empiris, peristiwa-peristiwa tersebut tersebut dianggap sebagai sesuatu yang irrasional, mitos, atau legenda, atau paling tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang personal dan sulit dicari pembuktian empirisnya. Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif tasawuf, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan hal yang mungkin dan masih dalam kerangka sunnatullah. Dalam hal ini, banyak berita gaib yang diinformasikan oleh al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. yang dapat dijadikan sandaran argumentasi atas terobosan cahaya Ilahi wali Allah yang kharik al-‘adah dan tidak berada dalam tataran sunnatullah yang common sense. Misalnya, karamah terjadi pada Maryam binti Imran yang mendapat hidangan dari surga. Tatkala melahirkan Nabi Isa a.s., Maryam pun mendapatkan kurma yang didapatkannya dari pohon kurma yang telah mengering (QS Maryam ayat 25 dst). Begitu pula peristiwa yang terjadi pada Asof bin Barkhoya, panglima tentara Nabi Sulaiman a.s. yang mampu memindahkan istana Ratu Bilkis dari Saba (Yaman) ke negeri Syam (Syiria) dalam tempo sekejap mata (QS al-Naml ayat 38-40).

Adapun peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya karamah maknawi pada diri Syeikh Syarif Hidayatullah adalah beberapa peristiwa yang menjelaskan pertemuannya dengan pada nabi, di antaranya Nabi Ilyas a.s. dan terutama pertemuannya dengan Nabi Muhammad saw. Dalam perjumpaan (ruhani) tersebut, ia menyerap bimbingan dan mendapatkan pengukuhan tentang maqam yang diraihnya. Diceritakan dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengaku pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan sekaligus mendapat wejangan dari Nabi saw. berbunyi, “Jangan menghebat-hebatkan dan mengunggul-unggulkan sesuatu yang tiada amal kebajikan dan janganlah menduduki yang bukan maqamnya”. Diceritakan pula bahwa Nabi Muhammad saw. pernah mengajarkan tentang syahadat lathifat al-sirr (atau dalam literatur sufi disebut manhaj al-dzikr) sekaligus mengukuhkan Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai insân al-kâmil dan atau wali quthb, yang secara lengkap berbunyi, “Aku memberi gelar insân al-kâmil, menjabat sebagai wali quthb, sebagai wakil mutlak-ku”.

Terjadinya karamah maknawi sebagaimana dialami oleh Syeikh Syarif Hidayatullah, apabila merujuk literatur tasawuf yang membahas tentang kewalian, hal tersebut bukanlah merupakan hal yang aneh melainkan sesuatu yang biasa (lazim). Bahkan banyak para sufi yang mengaku telah mengalami hal serupa, terutama bertemu dan mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad saw. Di antara mereka adalah Syeikh Ibn al-‘Arabi, Syeikh Abu Madyan al-Maghribi, Syeikh Abd al-Rahman al-Qunawi, Syeikh Musa al-Zawawi, Syeikh Abu Hasan Syadzili, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi (686 H), Syeikh Abu Su’ud bin Abi al-‘Asya’ir, Syeikh Ibrahim al-Mabtuli (682 H), Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi (911 H), Syeikh Ahmad Zawawi (812 H), Syeikh Sayyidina Ali al-Khawashi, Syeikh Sayyid Ahmad al-Rifa’I, Syeikh Sayyid Abu al-Abbas al-Thanji, Syeikh Abd al-Aziz al-Dhabagi, Syeikh Nur al-Din al-Suni, dan al-Thawwasi (1165 H).

Menurut K.H. Badri Masduki, seorang Muqaddam tarekat Tijaniyah Probolinggo, pertemuan para wali dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan karunia Allah sebagai tabsyir untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ia mengutip sebuah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 63, “Allah akan memberikan kegembiraan kepada mereka di dunia dan akhirat“. Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi memberikan penjelasan tentang ayat ini terutama kata lahum al-busyra dengan ru’ya al-shalihah. Selanjutnya dikatakan bahwa Allah memperlihatkan ru’ya al-shalihah  tersebut dalam keadaan jaga. Di antara ru’ya al-shalihah tersebut adalah pertemuan dengan Rasulullah saw. K.H. Badri Masduki pun berpendapat bahwa pertemuan seorang wali dengan Nabi Muhammad saw. merupakan salah satu dari karamah para wali. Hal ini berarti bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan terjaga (yaqzah) merupakan karamah yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia pilihan yang telah mencapai maqam ma’rifah.

Untuk lebih jelas, di sini dikutipkan beberapa pengakuan beberapa wali yang menyatakan bahwa ia telah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Pertama, Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H; t.t.:44), mengaku telah melihat Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga. Ia berkumpul dengan para rasul lainnya lebih dari tujuh puluh kali. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pertemuan bersama Rasulullah berlangsung dalam keadaan jaga.

Kedua, Syeikh Abi Hasan al-Syadzali (w. 686 H), mengungkapkan pengalamannya, “Ma katabtu harf fi hidzb min ahzâb illa bi amr Rasulullah saw (Aku tidaklah pernah menulis satu huruf pun dari hizb-hizbnya [kumpulan do'a] kecuali atas perintah Rasulullah. Pengakuan ini menegaskan bahwa do’a-do’a hizb yang ditulisnya diakui bersumber langsung dari Rasulullah.

Ketiga, Syeikh Ibrahim al-Matbuli (w. 682 H) mengaku dan menyatakan, “Laisa lî syaikh illa Rasul Allah saw.   (Aku tidak mempunyai guru kecuali Nabi Muhammad saw.)”.

Keempat, Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani (w 561 H) mengaku berdialog dengan Nabi Muhammad saw. untuk meminta petunjuk dalam rangka menghadapi jamaah yang ingin mendapat bimbingannya.

Kelima, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi pernah berkata, “Kalau Nabi Muhammad saw. hilang dari pandanganku selama sedetik, maka saya tidak merasa menjadi muslim”.

Keenam, Syeikh Ahmad al-Zawawi telah mengaku bercakap-cakap dan berkumpul dengan Nabi Muhammad saw.

Pengakuan pengalaman para wali tersebut menunjukkan bahwa bimbingan Nabi Muhammad saw. tidak pernah putus dengan wafatnya beliau. Dalam melihat pengalaman para wali tersebut, pengarang al-Mizan menjelaskan bahwa dalam keadaan jaga ruh para wali Allah dapat ijtima (berkumpul) dengan ruh Rasulullah saw. untuk mendapatkan bimbingan langsung dari beliau, dan hal itu mungkin terjadi dalam keadaan jaga. Penjelasan ini menegaskan bahwa komunikasi spiritual antara wali dengan nabi Muhammad saw. tidaklah putus. Bahkan dalam Tanbih al-Muqatarin dikatakan bahwa apbila wali mengalami kesulitan dalam melakukan mujahadah, maka mereka menghadapkan ruhnya kepada nabi Muhammad saw. dan apabila telah hadir di hadapannya, mereka memohon bimbingan dan petunjuk dari Nabi mengenai kaifiyat amalan yang dilakukannya.

Menurut keyakinan para wali Allah, sebagaimana dikatakan Sayyid Ali al-Khawwas (w. 291), berkumpul dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan bukti kesempurnaan ma’rifah seorang wali atau dalam arti khusus wali Allah. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa la ya’lamu abd fî maqâm al-irfân hatta yashira yajtami’ bi Rasul Allah saw. yaqadhaz wa musyafahah” (Seorang hamba belum dapat dikatakan sempurna di dalam ma’rifah, sampai ia berkumpul dengan Rasulullah saw. secara langsung dalam keadaan jaga).  Pendapat ini menegaskan bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan salah satu kesempurnaan ma’rifah. Ini berarti pengalaman tersebut hanya akan diperoleh seorang wali yang telah melewati maqamat secara bertahap melalui tarbiyah spiritual  sampai maqam ma’rifah.

Dalam al-Jaisy al-Kafil dikatakan bahwa apabila seorang wali telah bertemu dengan nabi Muhammad asw. Secara yaqzah, maka hatinya merasa tegar dalam arti sedikit sekali kemungkinan maqam yang telah dilaluinya dicabut, lebih dari itu ia akan tambah yakin bahwa ada kemungkinan meraih maqam yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertemuan dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan hal yang didambakan oleh para wali. Mereka meyakini bahwa apabila hal tersebut belum dialami, maka hati mereka tidak akan tenang. Karena menurut keyakinan mereka, hal ini erat kaitannya dengan maqam yang telah diraihnya, dalam arti apabila hal tersebut belum dialami oleh seorang wali, maka maqam wali bersangkutan masih ada kemungkinan dicabut kembali oleh Allah atau maqam yang telah diraihnya tidak akan meningkat. Hal lain, menurut hemat saya, pertemuan wali dengan Rasulullah saw. dalam keadaan jaga adalah dalam rangka meningkatkan ketegaran lahir batin bagi tugas-tugas yang diamanatkan oleh Nabi Muhammad saw. kepadanya, yaitu perintah untuk melaksanakan dakwah di jalan Allah. Sebagai komparasi, apabila Nabi diberi wahyu dan mu’jizat untuk ketegaran dakwahnya, maka wali diberi bimbingan oleh Nabi saw. melali pertemuan barzakiyah secara yaqzah.

Jelaslah bahwa pengakuan Syeikh Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan mendapat bimbingan darinya menunjukkan dirinya telah mencapai kesempurnaan ma’rifah. Di antara ciri-ciri yang telah mencapai kesempurnaan ma’rifah  adalah ia melakukan dakwah melalui pendekatan hikah (bijaksana), yakni mengajak umat manusia ke jalan Allah sesuai dengan kemampuan akalnya (‘an yukhatib al-nas ‘ala qadr uqulihim).

Di antara bukti pendekatan hikmah dalam dakwah Syeikh Syarif Hidayatullah tercermin dalam kisah berikut yang dituturkan Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon (t.t.:54). Pada suatu hari para wali songo mengadakan pertemuan setelah perang Demak melawan Brawijaya (raja Majapahit akhir). Pada waktu itu, Pangeran Kudus datang ke tempat pertemuan tersebut dengan membawa tawanan perang, di antaranya adalah Dipati Teterung. Pangeran Kudus berkata bahwa semoga para wali menerima semua tawanan tersebut. Namun untuk kasus Dipati Teterung, Pangeran Kudus memohon agar Dipati tersebut dihukum pancung, karena telah membunuh Sunan Ngudung. Namun Syeikh Syarif Hidayatullah berpendapat lain; dengan bijak ia menyarankan agar Dipati tersebut diampuni dan dianjurkan untuk memeluk agama Islam. Menyoal gugurnya Sunan Ngudung, Syeikh Syarif Hidayatullah menyebutnya sebagai sebuah upaya penyempurnaan derajat kewaliannya sebagai syuhada fi sabil Allah.

Terdapat bukti lain yang menunjukkan tentang kebijaksanaan yang ditempuh oleh Syarif Hidayatullah dalam melakasanakan dakwahnya. Di antaranya, disebutkan oleh Wiji Saksono (1995:97) bahwa, Syeikh Syarif Hidayatullah telah memperbaiki doa mantra (pengobatan batin) firasat, dan jampi-jampi (pengobatan lahir) dan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan ataupun dalam pembukaan dan pembangunan wilayah baru. Dengan cara ini, menurut Sulendraningrat (t.t.: 85-86), banyak orang Cirebon dan sekitarnya memeluk Islam.

Diceritakan oleh Sulendraningrat (t.t.: 85-86) bahwa suatu ketika, Syeikh Syarif Hidayatullah bertanya kepada Pangeran Kuningan tentang cara-cara mengIslamkan raja-raja Pasundan. Pada waktu itu Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya memiliki suatu jimat yang dapat mendatangkan bala tentara yang banyak dengan cara mengumpulkan kerikil dan jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu tirta bala. Setelah dilakukan uji coba, maka tiba-tiba muncul bala tentara yang sangat banyak dan memenuhi alun-alun Cirebon. Peristiwa ini menimbulkan rasa kaget dan heboh di kalangan penduduk Cirebon. Lalu Syeikh Syarif Hidayatullah membacakan do’a tolak bala. Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran Kuningan itu seketika hilang dan kembali ke asalnya. Syeikh Syarif Hidayatullah berkata, “Dipati Awangga, telah aku bacakan do’a tolak bala, karena itu bala tentara ciptaan itu hilang. Bala tentara ciptaan itu sungguh tidak ada gunanya bagi tentara auliya.

Apabila dilihat dari segi ciri-ciri kewalian sebagaimana telah diuraikan di atas, maka jelas bahwa Syarif Hidayatullah merupakan salah seorang wali yang telah mencapai maqam ma’rifah. Karenanya sangat tepat bila para wali lainnya di tanah Jawa menganggapnya sebagai wali quthb (poros). Demikianlah, ciri-ciri kewalian yang ditampilkan Syarif Hdiayatullah, yang kesempurnaan ma’rifahnya diupayakan untuk meraih posisi waratsat al-anbiyâ (pewaris Nabi). Untuk itu ia memandang penting arti penting tampilnya sorang wali di tengah-tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.



Daftar Pustaka

    * Hasan Efendi. 1994. Petatah Petitih Sunan Gunung Djati: Dari Aspek Nilai dan Pendidikan. Indra Prahasta.
    * Harazim, Ali. 1985. Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Ma’ani. Mesir: Maktabah Abd al-Ghani.
    * Hujwiri, al. 1993. Kasyf al-Mahjûb. Bandung: Mizan.
    * Nabhani, Jusuf al-. T.T. Jami Karamât al-Nabhani. Beirut: Maktab al-Fikr.
    * Sulama, Ibrahim al. 1969. Tabaqât al-Shuffiyyah. Kairo: Maktabah al-Khanzi.
    * Sulendraningrat, P.A. T.T. Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon.
    * Syanqiti, al. 1961. Al-Jaisy al-Kafil. Mustafa al-Bâbi al-Halaby.
    * Sya’rani, al- T.T. Al-Mizan al-Kubra. Mesir: Dar al-Ma’rifah.
    * Tirmidzi, al. T.T. Kitâb Khatm al-Auliyâ. Beirut: Al-Maktabah Katulikiyyah.
    * Yoseph Iskandar. 1998. Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon. Bandung: Padepokan Ciapus.
    * Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung:Pustaka.
    * Widji Saksono. 1995. MengIslamkan Tanah Jawa. Bandung: Mizan.

*Sumber : http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/22/syarif-hidayatullah-dalam-perspektif-kewalian/

0 komentar:

Posting Komentar