ANDA PERLU BUKU SENI DAN BUDAYA, hubungi 0857-2994-6859 atau http://www.facebook.com/buku.rupa

11 Januari 2011

Melacak Sisa Sisa Atlantis di Indonesia

Beberapa paparan ilmiah maupun mistis menyatakan, Atlantis merupakan sebuah benua tempat peradaban tertua di dunia ribuan tahun silam, yang menjadi awal mula dan pusat semua pengetahuan dan kebudayaan umat manusia. Tema tentang Atlantis pertama kali diungkap oleh Plato sekitar 2.500 tahun silam dalam kitabnya yang cukup tersohor, Timaeus dan Critias. Peradaban agung ini banyak dirujuk oleh kitab-kitab suci dari berbagai tradisi dunia. Ia pernah berjaya selama ribuan tahun, namun
kemudian hancur dan tenggelam ke dasar laut oleh sebuah bencana besar yang diyakini sebagai peristiwa Banjir Semesta yang mengakhiri Zaman Es. Sejak Plato mengungkapkan fakta tentang Atlantis, ribuan spekulasi dari para ahli muncul tentang letak keberadaan lokasinya.
Di buku ini, Prof. Arysio Santos, seorang geolog dan fisikawan nuklir dari Brasil, melalui penelitian selama 30 tahun sangat meyakini bahwa situs Atlantis yang sejati adalah Indonesia. Ciri-ciri Atlantis yang dicatat Plato, secara mengejutkan, menurutnya sangat cocok dengan kondisi geografis Indonesia daripada kawasan-kawasan lain di dunia. Dan yang lebih penting lagi dari tesisnya adalah, kisah tentang Atlantis bukanlah sekadar dongeng, tetapi nyata-nyata ada dan dapat dilacak tinggalan-tinggalannya melalui penelitian interdisipliner.
Atlantis yang digambarkan Plato adalah “surga” beriklim tropis yang penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung-gunung; batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas, tembok perak, dan benteng; gajah dan segala jenis binatang buas, dan sebagainya. Pada Zaman Es, ketika hampir semua kawasan di permukaan bumi masih tertutup salju atau bahkan kering karena ketiadaan hujan, yang sangat tidak memungkinkan peradaban berkembang maju, maka satu-satunya kawasan yang memungkinkan ciri-ciri yang disebut Plato itu eksis hanyalah di kawasan Khatulistiwa. Sekali lagi menurut Prof. Santos, jika direnungkan keadaan ini secara lebih saksama, mudah bagi kita untuk menyadari bahwa sebagian besar kekayaan ini adalah khas Hindia Timur, khususnya Indonesia. Indonesia adalah tempat di mana “Pulau-pulau Rempah-rempah” (Moluccas atau Maluku) yang menakjubkan berada.
Akhir Atlantis: Terpisahnya Jawa dari Sumatra, Terbukanya Selat Sunda
Plato sendiri menyebut bencana alam yang dialami penduduk Atlantis sebagai Banjir Semesta seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab suci. Ia juga menambahkan beberapa detail menarik, yang tak diragukan lagi, detail-detail itu menggiring kita pada kesimpulan bahwa bencana ini dipicu oleh aktivitas gunung-gunung berapi besar yang diikuti dengan penurunan tanah dan pembentukan kaldera, muntahan batu apung, tsunami dan gempa bumi hebat, dan sebagainya.
Penanggalan yang diberikan Plato—11.600 BP [Before Present]—bertepatan dengan penanggalan akhir Zaman Es Pleistosen dan juga Meltwater Pulse 1B [MWP1B]. Kedua fenomena geologis ini merupakan bencana alam raksasa berskala global dan dampak bencana ini jauh lebih besar dan berskala luas dibandingkan dengan gempa bumi dan tsunami yang menimpa wilayah Aceh dan sekitarnya pada akhir tahun 2004. Menurut Prof, Santos, Kehancuran Atlantis yang dramatis dipicu oleh letusan dahsyat Krakatau (dan mungkin gunung-gunung lain di sekitarnya). Letusan hebat ini menciptakan Selat Sunda, memisahkan pulau Jawa dan Sumatra, dan membuat air laut membanjiri dataran-dataran rendah yang berada di Atlantis. Ledakan dahsyat ini juga dirujuk secara luas dalam semua mitos dan tradisi dunia tentang Banjir Bah, Atlantis, dan “surga”, yang sebenarnya terletak di wilayah yang sama. Letusan Krakatau ini mengakibatkan tsunami besar-besaran, yang menyapu dan menenggelamkan dataran-dataran rendah Atlantis secara permanen dan menyebabkan mereka menghilang di bawah air.
Indonesia, Sisa-sisa Atlantis yang Tenggelam?
Pulau-pulau di Indonesia yang ribuan jumlahnya, menurut Prof. Arysio Santos, merupakan puncak-puncak gunung dan dataran-dataran tinggi benua-yang-pernah-tenggelam, yang dataran-dataran rendahnya tenggelam ketika permukaan air laut naik pada akhir Zaman Es Pleistosen. Asal mula gunung-gunung dan pulau-pulau dapat dijelaskan sepenuhnya dengan teori Lempeng Tektonik. Teori ini menunjukkan bahwa mereka muncul dari dasar laut, bukan tenggelam ke dalamnya dengan cara apa pun. Pulau-pulau di sana hanyalah puncak-puncak vulkanis yang terbentuk dari magma basalt yang merupakan materi khas dasar laut, dan sama sekali tidak berhubungan dengan materi kontinental (daratan) yang umumnya adalah silisius.
Indonesia terletak di persimpangan tiga lempeng benua—ketiganya bertemu di sini—menciptakan tekanan sangat besar pada lapisan kulit bumi. Akibatnya, lapisan kulit bumi di wilayah ini terdesak ke atas, membentuk paparan-paparan yang luas (Paparan Sunda dan sebagainya) dan beberapa barisan pegunungan yang sangat tinggi. Paparan-paparan ini agak dangkal dan pada Zaman Es, ketika permukaan laut turun ratusan meter, mereka pun terlihat. Ini terjadi pada akhir Zaman Es, masa ketika Atlantis berkembang pesat. Seluruh wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi yang dahsyat, yang kerap mengakibatkan kerusakan-kerusakan sangat parah. Hal ini terlihat dari beberapa catatan geologis. Gempa bumi dan tsunami mengerikan, yang dialami Aceh belum lama ini, hanyalah episode terakhir dari seluruh rangkaian peristiwa panjang dalam masa sejarah dan prasejarah, seperti yang tampak dalam catatan geologis wilayah tersebut.
Tsunami yang melanda Indonesia pada akhir tahun 2004 hanya mencapai ketinggian 10 meteran. Meskipun demikian, bencana ini telah menewaskan ratusan ribu orang. Bayangkan bagaimana kerusakan yang terjadi akibat gelombang setinggi satu mil yang digambarkan dalam banyak legenda tentang Banjir Semesta di seluruh muka bumi. Dalam bencana yang menimpa Atlantis, air laut naik sekitar 130 meter atau lebih, hingga dataran-dataran rendah yang sangat luas di paparan Indonesia menjadi terendam dan menghilang di bawah laut secara permanen. Hanya dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis yang tersisa sebagai saksi bisu bencana alam mahadahsyat itu.
Dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis ini menjelma menjadi ribuan pulau di Indonesia, sebuah nama yang berarti sesuatu seperti “Kepulauan India”. Mereka yang bertahan hidup terpaksa eksodus ke tempat-tempat lain di seputar Asia Tenggara, Cina, Polinesia, Amerika, Timur Dekat, hingga ke Eropa dan wilayah-wilayah Barat Jauh lainnya, di mana mereka membangun peradaban-peradaban kuno yang kita kenal saat ini dan tercatat dengan baik oleh pena sejarah. Mereka yang terpaksa pindah inilah yang menjadi ahli waris langsung dari kebudayaan agung yang usianya tertua itu. Sebagian besar kemajuan yang diperlihatkan oleh peradaban-peradaban tersebut jelas-jelas mengandung petunjuk yang memperlihatkan bahwa mereka berasal dari sebuah wilayah luas yang sekarang tenggelam, yang kini bernama Indonesia. Dari orang-orang yang bertahan hidup menghadapi bencana tersebutlah peradaban-peradaban besar muncul: Lembah Sungai Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoa, Kreta, Romawi, Inca, Maya, Aztec, dan sebagainya.
Dalam satu atau beragam bentuk, bangsa-bangsa kuno ini hanya menyebutkan dan berbicara tentang “surga” sebagai tempat kelahiran umat manusia dan peradaban. Bagaimana mungkin mereka semua secara independen menciptakan mitos yang persis sama?
Mengarifi Kebhinnekaan dalam Keragaman
Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, demikian tulis Mpu Tantular dalam kitab Sutasuma, yang kemudian kalimat pertama dari ungkapan tersebut dijadikan sebagai semboyan negara ini. Bahwa segala keragaman di dunia ini satu adanya, dan tidak ada kebenaran yang mendua. Tentu saja menarik untuk mengaitkan semboyan tersebut dengan tesis Prof. Santos bahwa semua peradaban besar di muka bumi ini berasal dari satu sumber: Atlantis. Ketika peradaban agung itu tenggelam karena bencana alam mahadahsyat, penduduknya yang selamat kemudian melakukan eksodus besar-besaran ke seluruh penjuru dunia. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan Atlantis kemudian terdifusi ke mana-mana, dari satu titik pusat menuju ke beberapa titik, membawa benih peradaban yang semangat dan kontennya serupa.
Melalui penelitian panjang, Prof. Santos menemukan adanya keserupaan dalam semua cerita mitis tentang “asal-usul” serta ilmu pengetahuan dan kebudayaan di hampir semua peradaban. Sebagai contoh sederhana, arsitektur bangunan bergaya piramida bisa kita temukan di Candi Sukuh Jawa Tengah, piramida Mesir, serta piramida suku bangsa Maya dan Inca, yang bisa saja kita, di antaranya, berspekulasi bahwa struktur bangunan tersebut merujuk kepada gunung Krakatau. Tentu saja, penelitian yang dituangkan di buku ini akan banyak mengubah cara pandang kita tentang sejarah manusia, agama, antropologi, dan bidang-bidang yang terkait.
Mengapa tradisi-tradisi tentang Atlantis sebagai “surga bumi” mesti dianggap salah padahal mereka dituturkan terus-menerus oleh semua bangsa? Prof. Santos menyatakan bahwa dari masa ke masa ada usaha untuk terus menyembunyikan kebenaran tentang kisah Atlantis. Jika ada orang yang berani membocorkan rahasia ini, hukumannya bisa sangat fatal: kematian! Mengapa demikian? Ada kecurigaan bahwa kuasa-kuasa pengetahuan di Barat sengaja dan dengan cara-cara yang sistematis sekaligus laten tidak mengungkapkan rahasia ini kepada dunia. Jika rahasia ini terbongkar, sudah pasti mereka harus mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mereka kukuhi saat ini ternyata berasal dari Timur, di mana dalam hal ini Prof. Santos dengan sangat yakin menyatakannya sebagai Indonesia.

*Sumber diambil dari referensi buku : Atlantis, The Lost Continent Finally Found

0 komentar:

Posting Komentar