ANDA PERLU BUKU SENI DAN BUDAYA, hubungi 0857-2994-6859 atau http://www.facebook.com/buku.rupa

13 Januari 2011

Kesultanan Sambas

Sumber yang digunakan oleh kaum sejarawan untuk melacak riwayat
Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat adalah dua kitab sastra bercorak
sejarah, yaitu /Asal Raja-Raja Sambas /dan /Salsilah Kerajaan Sambas.
/Naskah /Asal Raja-Raja Sambas/ diperkirakan telah berusia ratusan tahun

tetapi belum diketahui data yang lebih jelas mengenai asal-usul naskah
yang ditulis dengan aksara Arab-Melayu ini, baik siapa penulisnya, judul
aslinya, maupun waktu dan tempat penulisannya (Pabali H. Musa, 2003:50).

Kesultanan Sambas memiliki riwayat panjang dan berkaitan dengan sejarah
sejumlah kerajaan lain, seperti Kesultanan Brunei Darussalam, Johor,
Serawak, Sukadana dan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak, bahkan juga dengan
Kerajaan Majapahit di Jawa. Secara garis besar, riwayat Kesultanan
Sambas terbagi atas dua periode, yakni pada masa Hindu dan Islam, selain
juga pada masa kolonial dan pascakemerdekaan Indonesia.

Kesultanan Sambas sebenarnya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Hindu
Ratu Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan ini berada di bawah
pengaruh Kesultanan Johor. Pada waktu itu, Kesultanan Johor sedang
menapak zaman keemasannya di mana kerajaan ini memiliki daerah taklukan
yang luas dan mulai menyaingi kebesaran Kerajaan Majapahit di Jawa
(Musa, 2003:1).

Hegemoni Kesultanan Johor terhadap kerajaan-kerajaan lain, termasuk
sebagai penyaing Mahapahit terlihat jelas karena sebelumnya Kerajaan
Sambas Tua merupakan wilayah taklukan Majapahit pada era pemerintahan
Raja Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi) dan Mahapatih Gajah Mada. Hal ini
tercatat dalam kitab /Negarakrtagama/ karya Mpu Prapanca yang ditulis
pada tahun 1365 M (Yudithia Ratih, tt:62).

Ekspedisi Pamalayu Majapahit pada abad ke-14 M sangat berperan terhadap
berdirinya Kerajaan Sambas Tua yang diawali oleh pemerintahan yang
dipimpin Raden Janur dengan pusat pemerintahan di daerah bernama Paloh.
Asal-muasal berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari kedatangan
orang-orang dari Majapahit di bawah pimpinan Raden Janur pada sekitar
tahun 1364 M. Setelah beberapa saat berinteraksi dengan warga lokal,
mereka mendirikan pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai rajanya
(Ratih, tt:62).

Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan karena raja yang
memimpin bukan lagi keturunan Majapahit. Hal itu terjadi karena Raden
Janur tidak memiliki keturunan dan mengangkat anak bernama Tang Nunggal.
Raja Tang Nunggal, yang dikenal sebagai sosok yang kejam, menimbulkan
kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan yang membawahi Paloh. Oleh
karena itu, sepeninggal Tang Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh
kembali diambil-alih Majapahit (Ratih, tt:62).

Pada pertengahan abad ke-15, pemerintahan di Paloh dipindahkan ke Kota
Lama, Benua Bantanan-Tempapan, berjarak 36 kilometer ke arah barat Kota
Sambas sekarang. Pada tahun 1550 M, pemerintahan di Kota Lama dipimpin
oleh Ratu Sepudak dan kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Hindu Ratu
Sepudak atau Kerajaan Sambas Tua. Ratu Sepudak didampingi saudaranya
bernama Timbung Paseban (Ratih, tt:62).

Seiring berkembangnya Islam di nusantara, pada tahun 1570 M, pengaruh
Majapahit atas Kerajaan Sambas Tua mulai melemah. Di sisi lain,
Kesultanan Johor di Semenanjung Malaka justru sedang menapak masa
kejayaan, termasuk berambisi untuk menguasai kerajaan-kerajaan taklukan
Majapahit di Sumatra dan Kalimantan, hingga pada akhirnya Johor berhasil
menguasai Kerajaan Sambas Tua.

Pengaruh Islam yang masuk ke Kerajaan Sambas Tua sebenarnya datang dari
Kesultanan Brunei Darussalam yang dipimpin Sultan Abdul Majid Hasan (1408 M).
Sultan ini tidak memiliki sehingga ketika beliau wafat
pada tahun 1408 M, tahta kesultanan dilimpahkan kepada adik iparnya,
bernama Ong Sum Pin, seorang muallaf keturunan Cina. Ong Sum Pin adalah
suami dari Putri Ratna Dewi, adik kandung almarhum Sultan Abdul Majid
Hasan. Setelah dinobatkan menjadi sultan, Ong Sum Pin menyandang gelar
Sultan Ahmad (1408 ? 1425 M) (Urai Riza Fahmi [/ed/.], 2003:2). 

Pasangan Sultan Ahmad dan Putri Ratna Dewi dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Putri Ratna Kesuma yang kemudian dikawinkan dengan
seorang bangsawan Arab yang baru datang dari Mekah bernama Syarif Ali
bin Hasan bin Abi Anami bin Barkat Pancaran Amir Hasan. Konon, Syarif
Ali masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Pada tahun 1425 M,
Syarif Ali ditabalkan sebagai Sultan Brunei Darussalam dengan gelar
Sultan Barkat (1425 ? 1432 M) menggantikan ayah mertuanya, yaitu Sultan
Ahmad (Fahmi [/ed./], 2003:2).

Selanjutnya, para pemimpin Kesultanan Brunei Darussalam pengganti Sultan
Barkat secara berturut-turut antara lain: Sultan Sulaiman (1432 ? 1485
M), Sultan Bolqiah (1485 ? 1524 M), Sultan Abdul Kahar (1524 ? 1530 M),
Sultan Saiful Rijal (1530 ? 1581 M), hingga Sultan Syah Brunei (1581 ?
1582 M). Karena Sultan Syah Brunei tidak memiliki anak, maka kemudian
yang dinobatkan sebagai sultan adalah adiknya bernama Pangeran Muhammad
Hasan dengan gelar Sultan Muhammad Hasan (1582 ? 1598 M). Sedangkan adik
bungsu almarhum Sultan Syah Brunei, Pangeran Muhammad, diangkat sebagai
bendahara kerajaan (Fahmi [/ed./], 2003:2-3).

Sultan Muhammad Hasan mempunyai tiga orang putra, yaitu Pangeran Abdul
Jalilul Akbar, Pangeran Muhammad Ali, dan Pangeran Raja Tengah. Menurut
Urai Riza Fahmi (2003), Pangeran Raja Tengah inilah yang kelak
menurunkan para penguasa Kesultanan Sambas Islam (Fahmi [/ed./],
2003:3). Pada abad ke-16 itu, Pangeran Raja Tengah terkenal sebagai
panglima perang yang telah menaklukan banyak negeri di bawah kuasa
Kesultanan Brunei Darussalam. Atas jasa-jasanya itu, Pangeran Raja
Tengah dipercaya untuk memimpin Serawak. Setelah dinobatkan sebagai
Sultan Serawak pada tahun 1599 M, Pangeran Raja Tengah menyandang gelar
Sultan Ibrahim Ali Omar Syah atau sering juga disebut sebagai Sultan
Tengah (Mawardi Rivai, tt:2-4).

Pada waktu itu, Kesultanan Brunei Darussalam berhubungan erat dengan
Kesultanan Johor, terutama melalui ikatan perkawinan, termasuk bibi
Sultan Tengah sendiri yang menjadi permaisuri Sultan Abdul Jalil, Sultan
Johor yang bertahta antara tahun 1570 ? 1571 M. Pada suatu ketika, dalam
perjalanan pulang dari Johor ke Serawak, kapal yang ditumpangi rombongan
Sultan Tengah dihantam badai sehingga terdampar di wilayah Kerajaan
Sukadana di Kalimantan Barat. Kerajaan Sukadana pada masa itu masih
menganut agama Hindu dengan rajanya yang bernama Raja Giri Mustika.
Kedatangan Sultan Tengah disambut dengan suka-cita oleh Kerajaan
Sukadana yang memang berminat menjalin hubungan baik dengan Sultan
Tengah yang terkenal pemberani itu.

Atas perantara seorang ahli agama Islam bernama Syeh Syamsudin yang baru
saja kembali dari Mekah, Sultan Tengah mengislamkan Raja Giri Mustika
beserta sebagian besar rakyat Sukadana. Bahkan, Raja Giri Mustika
berkenan menikahkan Sultan Tengah dengan adiknya yang bernama Ratu Surya
Kesuma. Pernikahan ini dianugerahi tiga orang putra dan dua orang putri,
yaitu masing-masing bernama Raden Sulaiman, Raden Badarudin, Raden Abdul
Wahab, Raden Rasymi Putri, dan Raden Ratnawati (Ratih, tt:63).

Dari bibinya yang menjadi permaisuri Sultan Johor, Sultan Tengah sering
mendengar tentang Kerajaan Sambas Tua. Kerajaan Sambas Tua ketika itu
memang masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Saat di
Sukadana inilah Sultan Tengah semakin tertarik untuk mengunjungi
Kerajaan Sambas Tua. Maka berangkatlah rombongan Sultan Tengah ke
Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Kota Lama, Benua Bantanan-Tempapan.

Di Kota Lama, rombongan Sultan Tengah disambut hangat oleh Ratu Sepudak.
Pemimpin Kerajaan Sambas Tua ini mempunyai dua anak perempuan. Putri
yang pertama bernama Raden Mas Ayu Anom dinikahkan dengan Pangeran Prabu
Kencana yang tidak lain adalah keponakan Ratu Sepudak sendiri. Sedangkan
putri Ratu Sepudak yang kedua bernama Raden Mas Ayu Bungsu. Sultan
Tengah sendiri kemudian mendirikan permukiman di Kota Bangun, yang
terletak tidak jauh dari Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan Sambas
Tua. Pembangunan permukiman ini atas persetujuan Ratu Sepundak.

Akan tetapi, belum seberapa lama Sultan Tengah bermukim di Sambas, Ratu
Sepudak wafat. Sebagai penggantinya, maka diangkat Pangeran Prabu
Kencana dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Sementara itu, putri kedua
almarhum Ratu Sepudak, Raden Mas Ayu Bungsu, dinikahkan dengan putra
sulung Sultan Tengah, yakni Raden Sulaiman. Pernikahan Raden Sulaiman
dengan Raden Mas Ayu Bungsu dikaruniai seorang putra dan dua orang putri
yang masing-masing bernama Raden Bima, Raden Ratna Dewi, dan Raden
Ratna  (Fahmi [/ed./], 2003:5).

Tidak lama setelah kelahiran Raden Bima, yaitu pada tahun 1055 Hijriah,
Sultan Tengah memutuskan kembali ke Kesultanan Serawak yang telah lama
ia tinggalkan. Sementara itu, Raden Sulaiman tetap tinggal di Kerajaan
Sambas Tua dan diangkat sebagai patih/menteri pertahanan dan keamanan
yang dibantu oleh tiga orang pejabat, yakni Kiai Dipa Sari, Kiai Dipa
Negara, dan Kiai Setia Bakti (Musa, 2003:1).

Pada perkembangan selanjutnya, terjadi perselisihan antara Raden
Sulaiman dengan Pangeran Mangkurat, keponakan almarhum Ratu Sepudak.
Pangeran Mangkurat merasa Ratu Anom Kesuma Yuda lebih dekat kepada Raden
Sulaiman daripada dirinya yang notabene adalah orang asli kerajaan.
Perseteruan itu semakin membesar ketika Kiai Setia Bakti, salah seorang
abdi setia Raden Sulaiman, ditemukan tewas terbunuh yang ternyata
pelakunya adalah orang-orang suruhan Pangeran Mangkurat.

Untuk menghindarkan konflik internal, Raden Sulaiman menyingkir ke Kota
Bangun, tempat Sultan Tengah mendirikan perkampungan ketika pertama kali
tiba di Kerajaan Sambas Tua. Kabar bahwa Raden Sulaiman keluar dari Kota
Lama didengar oleh beberapa petinggi negeri yang masih menjadi bagian
dari kekuasaan Kerajaan Sambas Tua, antara lain petinggi Nagur,
Bantilan, dan Segerunding yang kemudian mengajak Raden Sulaiman pindah
ke simpang Sungai Subah dan mendirikan negeri di Kota Bandir (Fahmi
[/ed./], 2003:6). Tiga tahun berselang, Raden Sulaiman pindah ke simpang
Sungai Teberau di Lubuk Madung, dan kemudian pindah lagi ke muara tiga
sungai (Sungai Subah, Sungai Teberau, dan Sungai Sambas Kecil), di Muara
Ulakan (Fahmi [/ed./], 2003:6).

Di Muara Ulakan, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan
gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Sementara dua adik laki-laki Raden
Sulaiman, yaitu Raden Baharudin dan Raden Abdul Wahab, masing-masing
diangkat sebagai Pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Pangeran Tumenggung
Jaya Kesuma (Fahmi [/ed./], 2003:6). Dengan demikian, Kesultanan Sambas
resmi berdiri di Muara Ulakan, berdampingan dengan Kerajaan Sambas Tua
di Kota Lama. Di Muara Ulakan inilah Raden Sulaiman membangun Istana
Alwazikhoebillah.

Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara kalangan sejarawan
tentang penentuan waktu yang tepat kapan Raden Sulaiman mendirikan
Kesultanan Sambas Islam, meski dalam beberapa naskah yang ditemukan
menyebut tanggal 10 Dzulhijah tahun 1040 Hijriah sebagai tanggal di mana
Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas Islam yang pertama (Sri
Wulan Rujiati Mulyadi, 1994:17).

Sejumlah sejarawan saling bersilang pendapat ihwal penanggalan masehi
pendirian Kesultanan Sambas. Machrus Effendy, misalnya, meyakini tahun
1612 M, sedangkan Mawardi Rivai menyebutkan tahun 1622 M. Sejarawan
Melayu asal Brunei, Awang Al-Sufri, menyatakan tahun 1631 M (Musa,
2003:35). Tahun yang sama juga diyakini oleh Yudithia Ratih dalam
tulisannya /Istana Alwatzikubillah ? Sambas /(Ratih, tt:65). Terlepas
dari perbedaan itu, sebenarnya dapat ditarik jalan tengah bahwa
berdirinya Kesultanan Sambas paling tidak terjadi pada dekade-dekade
awal abad ke-17. Mengenai tahun wafatnya Raden Sulaiman, pendiri
Kesultanan Sambas Islam, oleh Pabali H. Musa disebutkan pada tahun 1669
M (Musa, 2003:36).

Sepeninggal Raden Sulaiman, pemerintahan Kerajaan Sambas Tua dipimpin
oleh Ratu Anom Kesuma Yuda hingga wafat dan digantikan putranya yang
bernama Raden Bekut dengan gelar Panembahan Kota Balai. Selanjutnya,
penerus tahta Kesultanan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun yang
menjadi raja terakhir karena tidak lama setelah dinobatkan, Raden Mas
Dungun menyerahkan wilayahnya kepada Raden Sulaiman yang bertahta di
Kota Bangun (Ratih, tt:63).

Dengan demikian, jika dirunut dari riwayat terdahulu, Kesultanan Sambas
masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Hindu Ratu
Sepudak/Kerajaan Sambas Tua, Sukadana, Serawak, dan Brunei Darussalam.
Untuk menjaga hubungan keluarga yang turun-temurun itu, Sultan
Syafiuddin I menitahkan putra pertamanya, Raden Bima, agar mengunjungi
Kesultanan Brunei Darussalam yang menjadi tempat asal Sultan Tengah,
ayahanda Sultan Syafiuddin I sekaligus kakek dari Raden Bima.

Sebelumnya, Raden Bima terlebih dulu ke Sukadana untuk mengunjungi
neneknya, Ratu Surya Kesuma. Pemimpin Sukadana waktu itu, Sultan
Zainuddin, berkenan menjodohkan Raden Bima dengan adik perempuannya yang
bernama Putri Indra Kusuma. Dari hasil perkawinan itu, Raden Bima dan
Putri Indra Kusuma mempunyai seorang putra bernama Raden Milian yang
dilahirkan pada tanggal 2 Rabbiul Awal 1075 H (Musa, 2003:9).

Setelah pulang ke Muara Ulakan untuk menemui ayah dan ibundanya dengan
membawa serta Putri Indra Kusuma dan Raden Milian yang baru berusia satu
setengah tahun, Raden Bima bersiap menuju ke Brunei Darussalam.
Kedatangan Raden Bima disambut meriah oleh keluarga Kesultanan Brunei
Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Mahyiddin (1673 ? 1690 M). Bahkan,
Sultan Mahyiddin berkenan memberikan anugerah gelar kehormatan Sultan
Anum kepada Raden Bima. Selain itu, Raden Bima diberi banyak sekali
benda-benda kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang masih
dipergunakan dalam upacara-upacara adat Kesultanan Sambas sampai
sekarang (Musa, 2003:9).

Sepulang dari Brunei, Raden Bima dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan
gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708 M). Ketika beliau wafat, tahta
kesultanan diberikan kepada putranya yaitu Raden Milian bergelar Sultan
Umar Akamuddin I (1708-1732 M). Pengganti Raden Milian adalah Raden
Bungsu dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin (1732-1762 M). Setelah
itu, berturut-turut yang menjabat sebagai Sultan Sambas hingga awal abad
ke-19 adalah Sultan Umar Akamuddin II (1762-1786 M), Sultan Achmad
Tajuddin (1786-1793 M), dan Sultan Abubakar Tajuddin I (1793-1815)
(Ratih, tt:64).

Pada tahun 1609 M, Belanda membuka hubungan dagang dengan Kesultanan
Matan di Kalimantan Barat. Dari situ, Belanda mendengar kabar tentang
Kerajaan Sambas Tua di bawah pimpinan Ratu Sepudak yang kaya akan hasil
hutan dan emas. Namun baru pada tanggal 1 Oktober 1696 M, wakil Belanda,
Samuel Bloemaert, mengadakan perjanjian dagang dengan Kesultanan Sambas
yang telah bercorak Islam (Ratih, tt:62).

Pada tanggal 24 Juli 1812, Inggris menyerang Sambas. Peristiwa itu
terjadi ketika Sultan Abubakar Tajuddin I sedang melawat ke Serawak.
Namun, serangan Inggris itu berhasil dipatahkan. Pada tahun 1815, Sultan
Abubakar Tajuddin I wafat dan digantikan Pangeran Anom dengan gelar
Sultan Muhammad Ali Syafiudin I (1815-1828) (Ratih, tt:64).

Sejak akhir tahun 1823 Belanda dan Inggris membahas pembagian wilayah
atas nusantara dan Malaka. Pada tanggal 17 Maret 1824, Belanda dan
Inggris menyepakati perjanjian yang dikenal sebagai Traktat London. Isi
Traktat London pada intinya adalah penyerahan negeri-negeri di nusantara
dari Inggris kepada Belanda. Sedangkan Inggris berhak atas Malaka
beserta tanah jajahannya dan Singapura (Netscher, 2002:465-466). Dengan
demikian, wilayah Kesultanan Sambas kembali dikuasai Belanda.

Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I wafat tahun 1828 dan digantikan Raden
Ishak atau Pangeran Ratu Nata Kusuma. Tapi karena Raden Ishak belum
dewasa, maka pemerintahan sementara dipegang oleh saudara Sultan
Muhammad Ali Syafiudin I, Pangeran Bendahara Sri Maha Sultan dengan
gelar Sultan Usman Kamaluddin (1828-1830) (Ratih, tt:64). Sultan Usman
Kamaluddin wafat tahun 1831 dan kepemimpinan dialihkan kepada adik
Sultan Muhammad Ali Syafiudin I yang lain, Pangeran Tumenggung Jaya
Kusuma bergelar Sultan Umar Akamuddin III (1830-1845). Ketika Sultan
Umar Akamuddin III wafat tanggal 15 Desember 1845, Pangeran Ratu Nata
Kusuma dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin
II (Ratih, tt:64).

Dengan surat keputusan Gubernemen Hindia Belanda tertanggal 17 Januari
1848, putra sulung Sultan Abubakar Tajuddin II, Syafiuddin, diangkat
sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati dan kemudian
disekolahkan ke Jawa. Karena berselisih dengan pemerintah kolonial,
Sultan Abubakar Tajuddin II diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, pada
tahun 1855. Belanda kemudian mengangkat Pangeran Ratu Negara sebagai
pengganti sultan dengan gelar Sultan Umar Kamluddin (1855-1866) (Ratih,
tt:64).

Pada tanggal 23 Juli 1861, Pangeran Adipati pulang ke Sambas setelah
menyelesaikan sekolahnya di Jawa. Kemudian, pada tanggal 16 Agustus 1866
beliau dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin
II (1866 ? 1922). Pada masa ini, Kesultanan Sambas mengalami masa
kejayaan, salah satu wujudnya adalah dengan pembangunan Masjid Jami atau
Masjid Agung Sambas pada tahun 1877 (Ratih, tt:64).

Selain membangun Masjid Jami, sebagai upaya untuk mengembangkan ajaran
Islam, Sultan Muhammad Syafiuddin II juga mendirikan Madrasah
Al-Sultaniyah. Sebelumnya, pada tahun 1872, Sultan telah membentuk
Maharaja Imam sebagai institusi keagamaan tertinggi di istana. Untuk
memimpin institusi yang memiliki otoritas terbesar dalam bidang kegamaan
ini, Sultan menunjuk seorang ulama bernama Haji Muhammad Arif Nuruddin
(Muhammad Rahmatullah,2003:6).

Kemajuan intelektual juga diperoleh Kesultanan Sambas pada era Sultan
Muhammad Syafiuddin II dengan mendirikan sekolah-sekolah dan memberi
penghargaan kepada siswa-siswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan
ke Mesir dan Arab Saudi (Fahmi [/ed./], 2003:37). Salah seorang putra
Sambas yang berhasil menempuh pendidikan di Mesir adalah Muhammad
Basiuni Imran (1885 ? 1976) yang kemudian diangkat sebagai Maharaja Imam
Kesultanan Sambas sejak tahun 1913. Berkat pemikiran dan karya-karyanya,
Muhammad Baisuni Imran dianggap sebagai pelopor pandangan reformisme
Mesir di Indonesia (Erwin Mahrus, 2007:5).

Sebagai calon penggantinya, Sultan Muhammad Syafiuddin II mengangkat
Raden Ahmad, sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Ahmad.
Akan tetapi, Raden Ahmad, yang dikenal sangat gigih melawan penjajah
Belanda, meninggal dunia dalam usia muda karena sakit. Dengan wafatnya
Raden Ahmad, maka putra kedua Sultan Muhammad Syafiuddin II yang bernama
Raden Muhammad Mulia Ibrahim ditetapkan sebagai putra mahkota dengan
gelar Pangeran Ratu Nata Wijaya.

Saat Sultan Muhammad Syafiuddin II merasa sudah tidak mampu lagi
memimpin pemerintahan, sementara putra mahkota dirasa belum cukup umur
untuk menggantikannya, maka dipilihlah putra Sultan Muhammad Syafiuddin
II dari istri selir, yang bernama Raden Muhammad Ariadiningrat, sebagai
pemimpin Kesultanan Sambas untuk sementara dengan gelar Sultan Muhammad
Ali Syafiuddin II (1922 ? 1926) (Fahmi [/ed./], 2003:39).

Sultan Muhammad Syafiuddin II wafat pada tanggal 12 September 1924. Pada
tanggal 9 Oktober 1926, menyusul kemudian Sultan Muhammad Ali Syafiuddin
II yang meninggal dunia karena sakit. Dikarenakan putra mahkota masih
belum dewasa, maka pemerintahan Kesultanan Sambas untuk sementara
dipegang oleh lembaga bernama /Bestuur Commisie /yang terdiri dari
sejumlah pejabat tinggi Kesultanan Sambas dan wakil pemerintah Hindia
Belanda  (Fahmi [/ed./], 2003:39).

Putra mahkota Pangeran Ratu Nata Wijaya dinobatkan sebagai Sultan Sambas
pada tahun 1931 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin
(1931-1943). Ketika pendudukan Belanda di Indonesia berakhir dan
digantikan oleh pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942, Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin mengajak sejumlah pemimpin kesultanan
yang ada di Kalimantan Barat mengadakan pertemuan untuk bersatu melawan
penjajah Jepang. Namun, pertemuan yang dilakukan pada tahun 1943 itu
diketahui oleh aparat Jepang sehingga para pemimpin kesultanan ditangkap
dan kemudian dibunuh di mana Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin
termasuk yang menjadi korban kekejaman Jepang.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, Sambas dikuasai
kembali oleh Belanda. Karena putra mahkota, Raden Muhammad Taufik dengan
gelar Pangeran Ratu Muhammad Taufik, masih kecil, Belanda kembali
membentuk /Bestuur Commisie/. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda
kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, Kesultanan
Sambas menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
pusat pemerintahan di Singkawang (Fahmi [/ed./], 2003:42). Pangeran Ratu
Muhammad Taufik, putra mahkota Kesultanan Sambas yang tidak sempat
dinobatkan sebagai sultan, meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1984
(Fahmi [/ed./], 2003:42).

Pada masa Kerajaan Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom Kesuma Yuda,
sistem pemerintahan yang dianut adalah menurut adat-istiadat yang sudah
turun-temurun, di mana raja sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dibantu
oleh beberapa orang yang menempati jabatan sebagai Orang-Orang Besar.
Jabatan ini di antaranya terdiri dari Pangeran Mangkurat yang bertugas
memegang perbendaharaan kerajaan dan mewakili raja apabila raja sedang
sakit atau berhalangan hadir dalam suatu upacara (Fahmi [/ed./], 2003:5). 

Terdapat juga posisi menteri yang bekerja di bawah perintah raja sesuai
dengan tugas mereka masing-masing. Salah satu menteri Kerajaan Sambas
Tua pada era Ratu Anom Kesuma Yuda adalah Raden Sulaiman sebagai menteri
pertahanan dan keamanan. Raden Sulaiman inilah yang kelak mendirikan
Kesultanan Sambas Islam. Di samping itu, juga terdapat pangkat dan
gelar-gelar lainnya dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sambas Tua,
seperti sida-sida, bentara, dan hulubalang, yang bertugas sebagai
pengawal raja di dalam lingkungan istana (Fahmi [/ed./], 2003:5).

Saat pengangkatan Orang-Orang Besar dan pegawai-pegawai tinggi kerajaan,
diadakan sumpah akan selalu patuh dan setia kepada raja. Perwujudan
sumpah itu dilakukan dengan meminum air dari rendaman keris pusaka
kerajaan. Maksud dari ritual ini adalah jika orang yang disumpah
melanggar ikrarnya setia kepada raja, maka keris itulah nantinya yang
akan menuntut tanggung jawab atas perbuatannya (Fahmi [/ed./], 2003:5).

Ketika berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda,
Kesultanan Sambas tidak lagi leluasa mengatur pemerintahannya sendiri.
Penunjukan sultan dan putra mahkota harus dengan izin resmi dari
pemerintah kolonial. Saat terjadi kekosongan pemerintahan, pemerintah
kolonial berhak membentuk dewan pemerintahan kesultanan sementara
bernama /Bestuur Commisie /yang terdiri dari bangsawan tinggi Kesultanan
Sambas dan wakil dari pemerintah kolonial.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara resmi pada
tahun 1949, Kesultanan Sambas bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah
swapraja. Pada perkembangannya, wilayah yang menjadi pusat pemerintahan
Kesultanan Sambas dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Sambas, Provinsi
Kalimantan Barat. Karena sudah menjadi bagian dari wilayah negara
Indonesia, jabatan sultan sebagai pemimpin Kesultanan Sambas ditiadakan
dan digantikan dengan jabatan yang disebut Kepala Rumah Tangga
Kesultanan Sambas hingga sekarang.

Terdapat sejumlah nama tempat yang penting kaitannya dengan kekuasaan
Kerajaan Sambas Tua dan Kesultanan Sambas. (1) Kota Lama, pusat
pemerintahan Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Sekura; (2) Kota
Bangun, merupakan tempat pertama kalinya Sultan Tengah membangun
perkampungan di Sambas; (3) Kota Bandir, daerah di hulu Sungai Subah
yang merupakan tempat Raden Sulaiman mengasingkan diri setelah
meninggalkan Kota Lama. Selama tiga tahun, Kota Bandir menjadi pusat
pemerintahan transisional dari Kerajaan Sambas Tua ke Kesultanan Sambas;
(4) Lubuk Madung, daerah simpang Sungai Teberau yang merupakan ibu kota
pertama Kesultanan Sambas; dan (5) Muara Ulakan, pusat pemerintahan
Kesultanan Sambas yang terakhir.

Selain tempat-tempat yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua
dan Kesultanan Sambas di atas, ditemukan juga sejumlah nama tempat yang
diperkirakan menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan
Sambas, meskipun jumlah negeri-negeri taklukan tersebut tidak seberapa
banyak karena Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan Sambas juga menjadi negeri
jajahan, dari Kerajaan Majapahit, Kesultanan Johor, hingga pada masa
pendudukan Belanda dan kemudian Jepang. Beberapa negeri yang diduga
menjadi negeri taklukan Kerajaan Sambas Tua/Kesultanan Sambas itu antara
lain Nagur, Bantilan, dan Segerunding (Fahmi [/ed./], 2003:6).

Jika ditinjau dari kondisi geografis dan administratif pada masa
sekarang, kekuasaan Kesultanan Sambas meliputi seluruh wilayah Kecamatan
Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pemerintahan
Kesultanan Sambas yang terletak di bagian pantai barat paling utara di
Kalimantan Barat, hingga kini dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Sambas.

(Iswara NR/Ker/01/12-2009)

*Referensi*

    * ?Kesultanan Sambas?, diunduh pada tanggal 20 Desember 2009 dari
      http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Sambas.
    * E. Netscher. 1870. /De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot
      1865/. Diterjemahkan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia oleh
      Wan Ghalib dkk.  2002. /Belanda di Johor dan Siak 1602 - 1865/.
      Siak: Pemerintah Daerah Kabupaten Siak dan Yayasan Arkeologi dan
      Sejarah Bina Pusaka.
    * Erwin Mahrus. 2007. /Falsafah dan gerakan pendidikan Islam
      Maharaja Imam Sambas Muhammad Basiuni Imran (1885?1976)./
      Pontianak: Yayasan Pesisir ? STAIN Pontianak Press.
    * Mawardi Rivai. Tanpa tahun. /Peranan Sultan Tengah sebagai tokoh
      sejarah yang melahirkan hubungan bangsa serumpun dan pengaruhnya
      di antara tokoh rumpun Melayu lainnya di Kalimantan Barat/.
      Makalah seminar di Malaysia (tidak siterbitkan).
    * Muhammad Rahmatullah. 2003. /Pemikiran fikih Maharaja Imam
      Kesultanan Sambas Muhammad Basiuni Imran (1885?1976). /Pontianak:
      Bulan Sabit Press.
    * Pabali H. Musa. 2003. /Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat:
      Kajian naskah asal raja-raja dan silsilah Raja Sambas/. Pontianak:
      STAIN Pontianak Press, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford
      Foundation.
    * Sri Wulan Rujiati Mulyadi. 1994. /Kodikologi Melayu di Indonesia.
      /Jakarta: Universitas Indonesia.
    * Urai Riza Fahmi. 2003. /Selayang Pandang Kerajaan Islam Sambas.
      /Sambas: Mutiara.
    * Yudithia Ratih. ?Istana Alwatzikubillah ? Sambas?, dalam
      /Istana-istana di Kalimantan Barat. /Inventarisasi Istana di
      Kalimantan Barat: tanpa tahun.

*Sumber Foto:*

    * Yudithia Ratih. ?Istana Alwatzikubillah ? Sambas?, dalam
      /Istana-istana di Kalimantan Barat/. Inventarisasi Istana di
      Kalimantan Barat: tanpa tahun.
    * Foto-foto Istana Alwazikhoebillah, benda-benda koleksi Kesultanan
      Sambas, dan Masjid Jami dalam http://wisatamelayu.com.

*Sumber : diolah dari http://melayuonline.com/

0 komentar:

Posting Komentar