ANDA PERLU BUKU SENI DAN BUDAYA, hubungi 0857-2994-6859 atau http://www.facebook.com/buku.rupa

4 Desember 2010

Candi Jawi

Pasuruan adalah sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah peninggalan sejarah (masa lalu) yang berupa candi, yaitu Candi Jawi. Candi ini tepatnya terletak di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Untuk dapat mencapai lokasi tersebut (dari Kota Surabaya) dapat menggunakan jasa angkutan umum yang berupa bus jurusan Surabaya-Malang, kemudian turun di kilometer 45 (kota Kecamatan Pandaan) dan diteruskan dengan kendaraan lain (jurusan Tretes) dengan jarak kurang lebih 1 kilometer melewati Taman Candra Wilwatikta. Tidak seperti candi lain yang umumnya sudah berubah nama menurut tempat, keadaan, atau selera yang memberi nama (misal: Prambanan, Burbrah, Bima dan lain-lain),
Candi Jawi termasuk salah satu diantara sedikit candi yang namanya boleh dikata tidak berubah, walau ada pula perubahan ucapan. Dalam Negarakertagama candi ini disebut Jawa-jawa atau Jajawi.

Kesejarahan
Candi Jawi yang dibangun sekitar abad ke-13 ini adalah tempat penyimpanan sebagian abu jenazah Raja Kertanegara (Raja terakhir Singosari) yang meninggal tahun 1292 M. Sebagian abu lainnya disimpan pada Candi Singosari. Pada zaman Majapahit, Candi Jawi pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) pada waktu mengadakan perjalanan ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M). Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat. Nagarakertagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.

Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping. Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya), memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M), menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Padi di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.

Menurut Nagarakrtagama, candi yang sarat akan nilai-nilai budaya ini pada candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 C/1331 M) pernah rusak karena disambar petir. Selain bangunan candi, ada salah satu arcanya yang ikut rusak yaitu arca Maha Aksobaya. Hal ini membuat Raja Hayam Wuruk sangat sedih, sehingga satu tahun kemudian (1332 M) ia mengerahkan rakyat untuk memperbaikinya kembali. Namun, sama seperti candi-candi lain yang ada di Jawa, Candi Jawi baru mulai diperhatikan lagi pada awal abad ke-20, setelah bangunannya menjadi porak-poranda dan begitu banyak unsur yang hilang.

Pemugaran
Candi Jawi baru dipugar kembali pada tahun 1938 karena kondisinya sudah rusak. Pemugaran yang konon telah memenuhi syarat tekno-arkeologis itu dilakukan oleh Oudheidkundige Dienst dengan membangun kembali lagi kaki candi, mengupas halaman candi serta menyusun beberapa bagian candi dalam bentuk susunan percobaan. Akan tetapi, pemugaran dihentikan pada tahun 1941 karena sebagian batunya telah hilang.

Usaha pemugaran baru dimulai lagi pada Pelita II (1975/1976) yang dilakukan oleh Dit. Linbinjarah, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud dengan Drs. Tjokrosudjono (Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur) sebagai pimpinan lapangan. Dalam pemugaran yang ketiga ini, berkat kejelian seorang pekerja yang bernama Mbah Karto Plewek dari Prambanan, batu-batu yang hilang dapat ditemukan lagi sebingga pemugaran dapat dilanjutkan sampai selesai pada tahun 1980. Dua tahun kemudian (1982), Candi Jawi diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus obyek wisata sejarah.

Data Bangunan
Candi Jawi dibangun di atas batur atau dasar yang tinggi dan dikelilingi oleh halaman dan kolam. Di luar kolam masih terdapat sisa-sisa halaman yang dihubungkan dengan pintu gerbang. Namun bentuk halaman, gerbang dan bangunan lain termasuk pagar keliling tidak jelas lagi karena runtuh, hilang atau ditimpa bangunan lain di atasnya.

Candi Jawi berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang bahannya terbuat dari batu hitam dan batu putih, berukuran luas 14,24x9,55 meter dengan tinggi 24,50 meter. Seperti candi-candi yang lain, candi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Pada bagian kaki candi terdapat pahatan relief yang sampai saat ini belum diketahui maknanya secara pasti, yaitu relief yang menggambarkan tokoh wanita dan pengiring (punakawan), bangunan rumah maupun candi, dan panorama dengan beraneka pepohonan. Di depan tangga naik candi terdapat sisa bangunan kelir yang berbentuk empat persegi panjang yang letaknya melintang di depan pintu yang menghadap ke arah timur agak serong ke utara, membelakangi Gunung Penanggungan. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai sebagai alasan untuk mempertegas bahwa Candi Jawi bukan tempat peribadatan atau pradaksina, karena candi-candi untuk tempat peribadatan biasanya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayamnya para dewa.

Menurut Negarakertagama, pada bagian dalam candi terdapat bilik-bilik tempat arca Siwa, Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma. Saat ini arca-arca tersebut telah disimpan di dua museum. Acra Durga disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Sedangan arca-arca yang lainnya lagi, kecuali arca Brahma disimpan di Museum Trowulan. Arca Brahma tidak disimpan karena sudah tidak ditemukan lagi. (ali gufron)

Sumber:

Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

0 komentar:

Posting Komentar